Bagaimana jika suatu hari, hidup kita mengalami situasi seperti Si B ini (saat itu belum ada layanan ojol)?
A: "Aku mau dong yang kau ceritakan itu."
B: "Siap."
A: "Tapi, jangan bilang ke yang lain lho ya, kalau aku minta."
B: "Oke."
A: "Beneran lho? Janji?"
B: "Iya, ya."
A: "Kapan ngasihnya?"
B: "Sekarang juga boleh."
A: "Sip. Gratis kan?"
B: "Iya, pasti. Dan ambil sendiri."
A: "Ambil sendiri? Kok nggak dianterin?"
B: "Di sini nggak ada kendaraan."
A: "Kan bisa nyuruh orang."
B: "Nyuruh siapa? Di sini saya orang baru. Belum begitu akrab sama orang-orang di sini."
A: "Alesan saja."
B: "Terserah apa katamu. Mau ambil nggak? Situ kan ada kendaraan. Tinggal cus werrr tho?"
A: "Iya, tapi jauh. Masak kamu nggak nganterin? Katanya temen. Ikhlas nggak sih ngasihnya?"
B: "Ikhlas dong. Kalau emang kamu anggap aku temen, ya kemari. Seorang temen tak mungkin nyusahin temennya. Bener kan perkataanku?"
A: "Bilang aja kalau nggak ikhlas. Nggak usah muter-muter. Sok nasihatin segala."
Dan pembicaraan via telepon itu diputus oleh Si A.
Tentu melihat kelakuan tak senonoh dari Si A itu, pastilah kita jadi gregetan. Jika diijinkan ngejitak, tentunya kita akan ngejitak tuh kepalanya. Namun sayangnya, dalam situasi nyata Si B malah membela. Dan tetap bilang bahwa Si A itu bestienya. Dan hubungan seperti inilah yang disebut "toxic relationship". Dimana satu pihak seenak udelnya memperlakukan pihak lain. Seakan dia yang harus diutamakan, tanpa mempedulikan perasaan dan keadaan pihak lainnya.
"Hubungan beracun" ini bisa terjadi di manapun. Dan memang sungguh tak layak dipertahankan. Meskipun dalam berhubungan ada nuansa kebahagiaan. Tapi percayalah, itu ilusi. Bukan sebenar-benarnya hubungan yang baik. Jika kita membiarkan diri untuk tetap bersama, maka bersiap-siaplah menuju jurang kenestapaan abadi.
Sumber gambar: vectorstock.com
Toxic relationship tak layak dipertahankan
BalasHapus