Tampilkan postingan dengan label belajar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label belajar. Tampilkan semua postingan

18 Januari, 2023

,

Yang Penting "Paham", Bukan "Pernah"

Yang Penting "Paham", Bukan "Pernah"
(Hari Kelimabelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Menjelang siang, di hari kelimabelas, saatnya pelajaran Matematika. Ada seorang anak yang berkata, "Itu sudah pernah diterangkan pak". Ketika membuka materinya. Tentu saya merasa senang, jika materinya sudah pernah diterangkan. Pasti mereka akan cepat mengerti, itu pikir saya. Mungkin begitu juga, pikiran bapak dan ibu sekalian.

Namun saya juga teringat, bahwa pernyataan ini, adalah hal yang lumrah. Dan bisa dianggap sebagai pernyataan ketidaksukaan secara terselubung. Sebab anak-anak kerapkali tidak menyukai suatu materi yang diulang-ulang, padahal belum tentu paham. Maunya yang serba new, setiap ketemu.

Ini bukannya suuzan lho ya. Ini juga fakta dan bisa dibuktikan. Sebab biasanya reaksi ini muncul, ketika seorang guru menanyakannya terlebih dahulu. Bukannya secara "berani" terlebih dulu menyatakan pendapat. Dan sewaktu ditanya balik, pastilah jawabannya sudah sangat-sangat bisa ditebak. Yaitu "tidak bisa". Memang berlagaklah, tapi kita sebagai guru tak perlu ambil emosi.

Beda halnya, kalau respon awalnya begini, "Wah aku udah bisa." Jika pendapatnya begitu, jelas nampak memang menguasai. Meski begitu, tetap kita tes sampai seberapa besar derajat kepintarannya. Apakah memang valid dan perlu diacungi jempol? Ataukah semacam pendapat akon-akon belaka?

Dan karena jawaban anak tadi sudah terang benderang. Maka tentunya saya mengharuskan diri untuk menerangkan kembali dari awal secara utuh. Setelah menerangkan, kemudian saya susul dengan contoh. Lalu tibalah saya memberikan dua buah soal saja. Mengapa cuma dua buah saja? Karena saya lebih mementingkan anak menjadi paham. Bukan yang penting banyak. Sebenarnya secara substantif keduanya sama. Yang membedakan cuma, yang satu mengandung gambar, sedangkan lainnya tidak.

Ternyata soal yang saiprit itu, butuh waktu yang lama bagi mereka untuk menyelesaikan. Dan saat saya membahasnya, sebagian besar dari mereka berkata, "Jawabannya saya sama pak, tapi caranya berbeda". Tentu saya kaget dong. Dalam benak saya tak ada cara lain, sebab sesuai buku caranya cuma itu. Dan seperti itulah saya terangkan.

Untuk mengobati rasa kekagetannya saya, saya minta salah satunya menuliskan perhitungannya di depan. Dan caranya memang beda, tidak berasal dari buku. Melihat ini saya tersenyum dan berkata, "Matematika mengenal beragam cara dan rumusan. Dan cara yang kalian pakai itu tidak salah. Hanya tidak sama dengan yang diterangkan. Apakah itu boleh? Sebenarnya boleh. Tapi ingat, lebih baik menggunakan cara yang sudah diterangkan. Apalagi cara yang diterangkan ini lebih pendek dan mudah."

Bojonegoro, 18 Januari 2023

03 September, 2022

,

Blog Ko Ngene, Kok Dibanding-bandingke


Karena saya sedang belajar ngeblog lagi, makanya saya teringat di masa saya ketika belajar beberapa materi. Salah satu ingatannya adalah materi tentang "tembak-menembak". Tapi ini bukan tembak-menembak yang katanya menembak orang, tapi yang mati CCTV-nya. Tidak itu lho. Tembak-menembak di sini adalah tembak-menembak dalam arti kiasan. Jadi jangan dikait-kaitkan dengan dar-der-dor. Plis. Apalagi dengan Si Kaisar itu. Pokoknya tidak boleh.

Yang saya maksud di sini adalah materi tentang bagaimana agar postingan kita (yang otomatis blog kita) terkerek di halaman satu pencarian. Atau paling tidak, mudah muncul. Perlu dilakukan beberapa langkah. Namun lagi-lagi yang dikuak cuma satu langkah saja. Apa itu? Simak di bawah ini. Cukup sederhana dan mudah dipraktikkan. Sehingga tak sampai serepot para netizen mencari tafsir dibalik angka 052, yang tersemat di sebuah baju oranye. 

Langkahnya itu hanya menempelkan kata-kata yang berasal dari warta yang sedang viral atau dulunya disebut "sedang naik daun". Misalnya apa? Ya yang naik tiga bulan terakhir ini. Citayam, Brigadir, Gus Samsudin, Farel, dan BBM. Kalau saya sih pilih kata "Farel". Lebih aman, tak mungkin kena gusur, kena tembak, kena tipu, kena geruduk ataupun kena pasal karet. Dan memanglah bagi blogger pemula. Carilah yang aman-aman saja. Kecuali memang punya nyali maupun bekingan, bolehlah sedikit bengal. 

Karena terkait dengan "Farel", apapun yang berhubungan dengan beliaunya, bisa disusupkan dan disisipkan. Baik ke dalam judul maupun isi postingannya. Kalau saya pilih dua-duanya. Makanya judul tulisan ini adalah "Blog Ko Ngene, Kok Dibanding-bandingke". Dan jangan lupa cantumkan tautan yang berhubungan dengannya. Mau lihat? Di sini saja 👉 Lagu Ojo Dibandingke

Bagaimana? Enak bukan lagunya? Maunya saya meng-cover lagu itu dengan lirik komedi. Nanun sebab keterbatasan suara (sebut saja suaranya cempreng), saya hanya kasih liriknya, sampeyan semua yang menyanyikannya. Tapi ingat lho, jawil nama saya saat menyanyikannya. Ho'oh tenan lho? Karena ente kadang-kadang. Ya sudah tanpa berpanjang kata. Inilah liriknya.

Blog ko ngene, kok dibandhing-bandhingke
(Blog begini, kok dibanding-bandingkan)
Saing-saingke? Ya, mesthi mblarah
(Saing-saingkan? Ya, mesti tak karuan)
Tak oyak'a, aku ya ora mampu
(Kukejar, aku ya tak mampu)
Mung sak kuatku mostang-mosting ae
(Hanya sekuatku memposting saja)

Ku berharap engkau mengerti
Blog ini memang hanya ada satu

Jelas beda yen dibandhingke
(Jelas beda, jika dibandingkan)
Ora ana sing tak pamerke
(Tiada yang dapat aku pamerkan)
Aku ra isa yen kon gawe-gawe
(Aku tak bisa kalau disuruh buat-buat)
Humor, sak anane
(Humor, ala kadarnya)

Sapa wonge sing ra melek ati?
(Siapa orangnya yang tak terbuka hatinya?)
Wis ngguyoni tekan semene
(Sudah berkelakar sampai sekarang)
Iki kabeh ora ana artone
(Ini semua tak ada uangnya)
Ra ana adsense'ne
(Tidak ada adsense-nya)

Bojonegoro, 3 September 2022

10 Maret, 2022

,

Hands on Experience, Belajar Secara Faktual


Kemarin siang, tiga rekan guru saya berbincang-bincang. Salah satunya yang menjadi guru Kelas 2 berkata, "Tadi saya lewat ruang Kelas 1, harum sekali ruangannya". Bu guru Kelas 1 pun membalas, "Iya, tadi anak-anak saya suruh belajar mengepel. Mereka bersemangat sekali. Bahkan saling berebutan mengambil alatnya, saat dijelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan." Mendengar ini, bu guru Kelas 3 ikutan nimbrung, "Ooo... gitu ya? Makanya semerbak mewangi kemana-mana." Bu guru Kelas 1 berujar, "Iya ini sesuai dengan materi yang ada di buku. Kan memang mintanya Kurikulum 2013 begitu".

Yang dilakukan oleh bu guru Kelas 1 inilah yang disebut dengan Hands on Experience. Hands on Experience dalam pelaksanaannya benar-benar melibatkan siswa dalam kegiatan tertentu, tidak cuma secara teoritis. Makanya secara terminologi, Hands on Experience diartikan sebagai suatu rancangan pembelajaran yang bertujuan untuk melibatkan anak dimulai dari menggali informasi, bertanya, beraktivitas, menemukan sampai menyimpulkan. Sehingga pembelajaran ini juga disebut dengan istilah Authentic Learning atau dikenal juga dengan nama Experiental Education. Dan ini setara dengan konsep learning by doing. Sebuah konsep belajar dengan mengerjakan sesuatu secara aktif dan mempunyai dampak dalam perubahan perilaku pelajar. 

Namun persoalannya, seringkali sulit sekali dilaksanakan di dalam pembelajaran. Ada dua sebab utama yang menjadikannya sulit. Pertama, soal waktu. Bagaimanapun juga alokasi waktu untuk praktik siswa, cenderung tidak bisa diperkirakan. Lebih banyak kurangnya dibandingkan dengan lebihnya. Karena saat pelaksanaan, sebagian anak tidak mau berhenti, dan sebagian lain tidak tuntas-tuntas dalam pengerjaannya. Dan guru lebih terdorong untuk membantu yang tidak bisa, dan memberikan keleluasaan pada yang sudah berhasil (yang mereka ini suka mengulangi lagi percobaannya). Padahal secara "kurikulum" ada batas waktu yang telah ditentukan. 

Yang kedua, soal administrasi. Persoalan administrasi ini juga sama dengan yang tadi. Sulit dicari solusinya. Karena selain sebagai guru, adalah juga seorang pegawai. Sebagai seorang pegawai tentu harus menuntaskan hal-hal yang terkait dengan administrasi. Dan ini tidak bisa dihindari maupun diabaikan. 

Akhirnya memang dilematis peran guru ini. Di satu pihak dituntut mengajar dengan inovatif. Di sisi lain ada tuntutan profesionalisme yang terkait dengan birokrasi kepegawaian. Jadi mau tidak mau, harus memeras otak dan memerah tenaga, agar semuanya berjalan dengan lancar. 

Makanya perundangan tentang pendidikan yang sekarang sedang digodok di tingkat kementerian, moga-moga mampu memberikan secercah asa tentang bagaimana guru seharusnya mengajar dengan baik. Tanpa diganggu keruwetan-keruwetan, yang sebenarnya bisa dialih-dayakan ke pihak lain. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar, dan tentunya berkemajuan.

Sumber gambar: dreamstime.com

28 Februari, 2022

, , ,

Baby Repetition, Cara Terbaik Bagi yang Sulit Belajar


Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam  belajar. Dan banyak sekali pencetus kesulitan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan mudah memvonis seseorang sebagai pemalas atau kurang sungguh-sungguh dalam pembelajaran. Harus ada pendekatan dan penyelidikan tentang metode belajarnya. Bisa jadi selama ini, metode yang digunakan tidak sesuai dengan gaya belajarnya.

Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana manusia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Dan mereka membagi gaya belajar itu ke dalam tiga kelompok, yaitu Visual, Audiotori, dan Kinestetik. 

Guru dalam situasi keseharian seharusnya menjalankan pengajaran yang mewadahi ketiga kelompok gaya belajar ini. Sehingga jika dipolakan secara umum menjadi Audiotori-Visual-Kinestetik. Mengapa dimulai dengan Audiotori bukan yang lain? Sebab di awal pengajaran, biasanya dimulai dengan penjelasan. Dan ranah ini masuk ke Audiotori. Apakah dapat dimulai dengan yang lain? Tentu dapat, mengapa tidak? Walaupun rezim pembelajaran  pada umumnya berkutat pada pola itu. 

Generasi sekarang ini kebanyakan memiliki gaya belajar Kinestetik, namun sayangnya para pengajarnya, adalah "mantan" pembelajar Audiotori. Ini yang memjadi problem. Dan mungkin saja, menjadi penyebab rendahnya daya serap siswa saat ini terhadap pengetahuan yang telah disampaikan. 

Lantas bagaimana mengatasinya? Salah satu pihak harus "mengalah", dan pasti kita tahu siapa itu. Dan juga tetap melaksanakan metode mengajar yang memfasilitasi gaya belajar lainnya. Meskipun porsinya agak kurang sedikit. Lalu konkritnya seperti apa? Tentu menggunakan metode pengajaran yang berbasis pada praktik, misalnya Project Based Learning.

Dan konsep pelaksanaannya menggunakan apa yang saya sebut dengan istilah "baby-repetition" atau "perulangan-bayi". Seperti yang kita lihat, bayi suka mengulang-ulang hal yang sama (lebih dari lima kali). Ini tentu bisa kita terapkan secara kontekstual. Dan agar tidak mendapat kejenuhan, kontennya dibuat berbeda-beda. Sehingga pelekatan pengetahuan terjadi "persis" seperti yang kita inginkan. 

Sumber gambar: shutterstock.com