Kemampuan menulis bagi seorang guru, sesungguhnya harus di-install jauh-jauh hari sebelum menjalani peran sebagai guru. Sebab pekerjaan guru memang bertalian erat dengan penulisan. Dari membikin administrasi kelas macam rencana pengajaran beserta konco-konconya sampai mengurusi administrasi sekolah (sebagai tugas tambahan).
Jadi ketika ada seorang guru merengek ke temannya, minta dibuatkan soal atau lebih parahnya minta kiriman file jadinya, sepintas memang terdengar aneh. Namun begitulah fakta pendidikan di Indonesia. Dan ini janganlah buru-buru dianggap sebagai potret buram pendidikan. Perlu pisau kajian yang mampu membelah sampai ke urat-urat terkecil dari problema pendidikan tersebut.
Dan hal itu seharusnya menjadi konsen utama bagi semua pemangku kebijakan di setiap levelnya. Bukan diserahkan kepada kesadaran internal para guru semata. Sebab guru kita sudah berdarah-darah dalam membimbing tunas-tunas bangsa. Jika beban itu dilimpahkan sepenuhnya ke pundak mereka. Tentu kelelahan ekstrim akan mendera. Dan akibatnya bisa ditebak. Yaitu timbulnya "kemalasan berjamaah", yang terkomandoi secara gaib.
Apabila sudah begini, percayalah kutukan "education-treadmill" tercipta. Kelihatannya gegas perkasa, namun tak kemana-mana. Tentu hal seperti ini, tak sudi kita alami bukan? Makanya diperlukan penumbuhan kesadaran kolektif, agar menemukan win-win solution di antara semua pihak. Tidak cuma satu pihak yang berada di situasi "asu gedhe menang kerahe".
Sumber gambar: dreamstime.com