Tampilkan postingan dengan label pertemanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pertemanan. Tampilkan semua postingan

12 Februari, 2022

, ,

Minta Sumbangan Jempol dan Subscribe-nya Dong Kakak

"Nggak sekalian comment-nya?" Mungkin begitu sebagian dari kita merespon kiriman pesan lewat jalur pesan pribadi. Dan apakah balasan ini salah? Tentu tidak dong. Sama juga tidak bersalahnya, bila yang dikirimi itu mendiamkan saja. Soalnya bisa jadi bingung, bagaimana menjawabnya. Mau bilang nggak mau, kok kelihatannya pelit kuota. Mau meluncur ke yang diminta, kok ya rasanya bukan sesuatu yang dibutuhkan. Dilematis bukan?

Kalau masih terbilang teman sih nggak masalah, meluncur ke tempat itu. Terlepas dari soal enak nggak enak sama teman. Tapi ini bukan teman lho, menurut arti sebenarnya. Hanya kebetulan, sama-sama member di suatu grup. Tak pernah bertegur sapa di dunia maya maupun nyata, eh tiba-tiba nge-DM. Minta dibegituin. Berkali-kali pula. Dongkol bukan?

Mbokyao ada basa-basinya dikit sebelumnya. Chit-chat ngalor ngidul-lah sekali-kali. Biar kalau sedang butuh, nggak ketahuan minta tolong. Ya bisa disebut teknik ini adalah masuk kategori "hidden agenda". Namun ya tak apalah, daripada main nyelonong bukan?

Hidup kan seperti itu. Apa yang dilihat, belum tentu hal sebenarnya. Bisa jadi, itu hal yang manipulatif, atau dirancang dengan teramat apik serta canggih di dalamnya. Who knows? Sehingga persepsi penilaian kerapkali tertipu oleh penampilan yang nampak. Dan itu dapat menimpa siapa saja. Tak memandang usia, gender, tingkat pendidikan, maupun ras. Bukan begitu?

Sumber gambar: freepik.com

11 Februari, 2022

,

Maunya "Diloloh" Terus

Bagaimana jika suatu hari, hidup kita mengalami situasi seperti Si B ini (saat itu belum ada layanan ojol)?

A: "Aku mau dong yang kau ceritakan itu."

B: "Siap."

A: "Tapi, jangan bilang ke yang lain lho ya, kalau aku minta."

B: "Oke."

A: "Beneran lho? Janji?"

B: "Iya, ya."

A: "Kapan ngasihnya?"

B: "Sekarang juga boleh."

A: "Sip. Gratis kan?"

B: "Iya, pasti. Dan ambil sendiri."

A: "Ambil sendiri? Kok nggak dianterin?"

B: "Di sini nggak ada kendaraan."

A: "Kan bisa nyuruh orang."

B: "Nyuruh siapa? Di sini saya orang baru. Belum begitu akrab sama orang-orang di sini."

A: "Alesan saja."

B: "Terserah apa katamu. Mau ambil nggak? Situ kan ada kendaraan. Tinggal cus werrr tho?"

A: "Iya, tapi jauh. Masak kamu nggak nganterin? Katanya temen. Ikhlas nggak sih ngasihnya?"

B: "Ikhlas dong. Kalau emang kamu anggap aku temen, ya kemari. Seorang temen tak mungkin nyusahin temennya. Bener kan perkataanku?"

A: "Bilang aja kalau nggak ikhlas. Nggak usah muter-muter. Sok nasihatin segala."

Dan pembicaraan via telepon itu diputus oleh Si A.

Tentu melihat kelakuan tak senonoh dari Si A itu, pastilah kita jadi gregetan. Jika diijinkan ngejitak, tentunya kita akan ngejitak tuh kepalanya. Namun sayangnya, dalam situasi nyata Si B malah membela. Dan tetap bilang bahwa Si A itu bestienya. Dan hubungan seperti inilah yang disebut "toxic relationship". Dimana satu pihak seenak udelnya memperlakukan pihak lain. Seakan dia yang harus diutamakan, tanpa mempedulikan perasaan dan keadaan pihak lainnya.

"Hubungan beracun" ini bisa terjadi di manapun. Dan memang sungguh tak layak dipertahankan. Meskipun dalam berhubungan ada nuansa kebahagiaan. Tapi percayalah, itu ilusi. Bukan sebenar-benarnya hubungan yang baik. Jika kita membiarkan diri untuk tetap bersama, maka bersiap-siaplah menuju jurang kenestapaan abadi.

Sumber gambar: vectorstock.com