Tampilkan postingan dengan label hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hidup. Tampilkan semua postingan

22 Februari, 2022

, ,

Usia Harapan Hidup Guru yang Semakin Rendah


Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, namun sebuah perenungan. Bahwa hidup manusia di dunia ini penuh misteri. Apa yang disangka dan diperkirakan, belum tentu apa yang didapatkan. Dan di sinilah bukti bahwa Tuhan itu Maha Ada dan Maha Kuasa. Meskipun begitu, manusia tetap diwajibkan berikhtiar Oleh-Nya, bukan sekadar berpangku tangan. Menunggu bintang jatuh di tangan. Sebab manusia yang berusaha dengan tak kenal lelah adalah manusia yang sebenar-benarnya. Dan guru adalah salah satu sosok manusia tersebut.

Kita bisa lihat betapa besar perjuangan guru untuk kita. Beliau-beliaunya berela-rela berangkat pagi-pagi dan seringkali pulang menjelang petang. Demi memastikan kita mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan seringkali terpaksa mengabaikan kebutuhan pribadinya, agar anak didik tetap memperoleh pengajaran sebaik-baiknya.

Namun dibalik keluarbiasaan perjuangan tersebut, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kita lihat di berbagai tempat saat ini, angka harapan hidup guru semakin menipis. Hal ini memang tidaklah berasal dari sebuah data yang sungguh-sungguh valid. Namun hanya berdasarkan pada pengamatan dan berbagai informasi yang berseliweran.

Hampir setiap hari, kabar duka singgah di timeline kita. Guru-guru dalam kisaran usia 40 - 50 tahun, bahkan lebih muda dari itu, meninggalkan dunia fana ini. Penyebabnya dapat bermacam-macam. Tetapi yang terlihat kebanyakan, karena sebuah penyakit. Jika ini di-cross check-kan dengan keadaan guru-guru, khususnya sebelum era reformasi agak berbeda.

Guru-guru senior (kalau boleh dikatakan begitu), terbilang sehat bugar sampai lanjut usia. Hampir-hampir tak ada yang berpenyakit berat. Kekurangan yang biasanya ditemui pada usia tua, semacam pegal linu atau katarak, tak begitu berpengaruh pada mereka. Mereka aman dan nyaman saat "menyantap" makanan yang seharusnya cuma cocok untuk anak muda. Pokoknya tak ada keluhan berarti.

Tentu ini menimbulkan tanda tanya, apa ada yang salah dengan "kehidupan" guru kita saat ini? Padahal guru dulu, serba kekurangan dan jauh dari nutrisi. Berbeda dengan sekarang. Sudah banyak yang dapat menikmati hidup lebih dari layak dan dapat mengkonsumsi makanan yang sarat gizi. Dengan hal itu saja bermakna, bahwa kehidupan guru saat ini lebih baik. Beda betul dengan yang dulu, seorang guru negeri hidupnya banyak yang ngenes. Padahal tidak ada keneko-nekoan dalam hidupnya ini. Intinya hidup dalam serba keingiritan. Namun faktanya, nampak sehat dan bahagia sampai lanjut usia.

Apa yang sebenarnya terjadi? Karena kisaran besarnya mengenai guru yang PNS, jadi soal isu kesejahteraan jelas tak mungkin. Apa gegara beban kerja? Kalau masalah ini, harus diusut tuntas. Sebab tugas guru adalah mengajar. Jika tentang ini tentu persoalannya ringan binti sepele. Tapi bila menyangkut tugas tambahan atau tugas yang mengiringi, seperti administrasi sekolah, harus diselesaikan secara sistemik. Karena urusan itu adalah urusan para penggede. 

Meskipun hal itu urusan mereka, guru-guru juga tetap harus dilibatkan dalam ekosistem kebijakannya. Sebab bagaimanapun juga, guru adalah garda terdepan pendidikan kita. Yang setia mengawal tumbuh-kembang tunas-tunas bangsa.  Sehingga mereka dapat beraktualisasi, seperti apa yang diharapkan. Dan solusi bergizinya tidak boleh ditunda, untuk diketemukan. 

Sumber gambar: smiledeliveryonline.com

12 Februari, 2022

,

Lingkaran Setan, Siapa yang Membuatnya?

Mengapa persoalan buruk yang menimpa kita, ogah-ogahan untuk pergi? Mungkin jawabnya adalah, karena kita tak mau bersungguh-sungguh mencari siapa yang bersalah. Kita kadang-kadang lebih suka menyalahkan semuanya. Di lain waktu, menyalahkan pihak lain. Namun sekejap pula, ingin tampil sebagai pahlawan, menyalah-nyalahkan diri sendiri. Di sini terlihat, bahwa kita begitu tumpul dalam menganalisa keadaan.

Pendidikan yang tinggi dan luasnya pengetahuan ternyata juga tak mampu menelisik apa yang sesungguhnya terjadi. Kita begitu membiasakan diri, berputar-putar pada suatu titik. Dan bila ada yang mencoba memberi saran, tetiba telinga kita tersumpal kapas tebal. Lalu pikiran kita, seperti katak dalam tempurung. Merelakan diri untuk terjebak pada stigma tertentu.

Meski begitu kita kemana-mana selalu memanggul idealisme. Dan berkoar-koar dimana-mana, sedang membutuhkan pembaharuan. Namun ketika ada yang mengulurkan tangan untuk membantu, kita justru memilih berleha-leha. Berdalih belum siaplah, belum waktunyalah, dan belum-belum lainnya.

Kalau begitu, apa sih maunya kita? Mau enak, tapi kok masih malas-malasan berusaha? Mau nyaman, tapi kok diam mematung sambil melamun saja? Apa kita memamg termasuk jenis orang yang hobi menunggu durian jatuh dari langit?

Jika memang begitu, berarti jiwa kita masih kerdil, atau masih kekanak-kanakan. Belum mampu memilah dan memilih mana yang patut dijadikan pijakan, dijadikan pedoman. Jauh dari nilai-nilai kedewasaan. Dan itu bisa menjadi bukti, bahwa usia  seringkali tidak dapat dijadikan patokan untuk menunjukkan bijaknya pemikiran.

Sumber gambar: pinterest.com