Tampilkan postingan dengan label sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sekolah. Tampilkan semua postingan

02 Januari, 2023

,

Serba Pertama

Serba Pertama
(Hari Pertama Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Hari ini, tanggal 2 Januari 2023, bisa dikatakan serba pertama bagi saya. Menjadi pengajar di kelas 6, untuk yang pertama kali. Sebab selama lebih dari 20 tahun mengajar, belum pernah namanya menjadi guru kelas di kelas itu. Kemudian pertama kali pula, memberi tugas menggambar di hari pertama masuk sekolah. Tepatnya tugas membuat poster dengan tema lingkungan hidup, sesuai dengan materi pelajaran. Biasanya bertahun-tahun, memberi tugas menuliskan tentang kegiatan liburan.

Di hari pertama ini juga, ruangan kelas saya berbagi dengan kantor guru. Karena kantor guru sedang direhab. Jadilah kantor guru ikut nebeng. Sehingga ruangan kelas menjadi penuh sesak. Lemari-lemari administrasi berjajar di kedua sisi kelas. Sedangkan meja guru di belakang kelas. Meskipun begitu, anak-anak terlihat enjoy saja. Tapi tidak dengan saya. 

Terlepas dari itu, saya tetap senang. Sebab sudah menjadi hal yang wajib di hari pertama, selalu pulang lebih awal. Walaupun selisihnya tak banyak, cuma 30 menit. Namun minimal bikin hati riang. Dan kegembiraan ini, kalau dipikir-pikir kok tak perlu ada. Tetapi kita semua tetap menyukainya.

Karena ini tulisan pertama kali di awal semester kedua, makanya dibuat pendek-pendek saja. Plus di awal tahun pula. Biar tak bikin mata capek melihatnya. Selain daripada, isinya juga biasa-biasa saja. Tak ada yang menonjol. Dan kalau Anda seorang guru, pastilah melakukan hal yang tak jauh beda.

NB: Gambar di atas merupakan karya salah satu murid saya.

Bojonegoro, 2 Januari 2023

12 Maret, 2022

, ,

Memasukkan Permainan Tradisional Menjadi Inkul atau Ekskul

Kita selama ini suka berbicara dalam tataran idealisme, namun selalu megap-megap dalam tataran operasional. Mengapa demikian? Ya karena kita sering halu gaes. Jadi apa yang ada di benak kita, ya kita semaikan di sana saja. Tidak mau mencobanya di alam nyata. Sebab selalu ketakutan akan kegagalan. Padahal kegagalan adalah bagian dari resiko hidup. Jika tak mau resiko, ya hidup kita akan stagnan. Dan lama-lama "punah sendiri". 

Ini pun terjadi pada hal-hal yang berbau tradisional. Kita suka berkoar-koar, suka menghamburkan kata-kata. Akan inilah, akan itulah. Intinya ingin melestarikan kebudayaan. Namun saat ditanya, kapan pelaksanaan. Tetiba bersembunyi di balik finansial, religiusitas, legal-formal, dan lain sebagainya. Ini kalau orang Jawa bilangnya  "Ora sumbut".

Contoh tentang tradisional ini adalah permainan tradisional. Sebagian besar peralatannya mudah didapat dan dibuat. Jadi tidak ada alasan, dapat menggerogoti anggaran. Jika berkaitan dengan faktor agama, juga jauh. Apabila diselidiki, tidak ada permainan tradisional yang umum dilakukan sejalan dengan kepercayaan tertentu atau sebuah kesesatan beragama. Semua permainan tradisional tadi bebas dari hal itu. Terkait dengan perundangan, permainan tradisional sudah dimasukkan ke dalam objek pemajuan kebudayaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Jadi alasan apalagi yang mau dipakai?

Makanya sekolah atau lembaga pendidikan yang telah memasukkan permainan tradisional sebagai mulok (muatan lokal), perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Ini artinya mereka tidak lagi berada di "omong besar" belaka. Namun sudah dalam aplikasi nyata. Dan jujur saja, sudah banyak daerah yang membuat pergub, perbup, dan perkot, terkait dengan mulok adat istiadat. Jadi ini hanya soal kemauan keras dari pihak sekolah saja.

Makanya untuk menguatkan hati lagi dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan, mungkin bisa membaca dua pendapat tentang pengertian permainan tradisional di bawah ini.

1. Novi Mulyani 
Dalam bukunya yang berjudul "Super Asyik Permainan Tradisional Anak" mengungkapkan, permainan tradisional adalah permainan warisan dari nenek moyang yang wajib dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal. 

2. Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
Dalam bukunya yang berjudul "Permainan Tradisional dan Perannya Dalam Mengembangkan" mengungkapkan, permainan tradisional merupakan suatu aktivitas permainan yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat dan diajarkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sumber gambar: liputan6.com

09 Maret, 2022

,

Usia Kemasakan Intelektual yang Diabaikan


Jam dinding baru menunjukkan pukul 11.30, dan ada tiga ketukan di pintu dengan suara salam yang lirih. Buru-buru Mbah Guru membuka pintu sambil membalas salam. Melihat yang datang, Mbah Guru tertawa-tawa.

Guru Muda: "Mbah, kenapa tertawa? Apa ada yang salah dengan saya?"

Mbah Guru: "Ada. Bahkan dua."

Guru Muda: "Ini pasti kayak kemarin."

Mbah Guru: "Memang. Yang pertama, kamu datang nggak bawa oleh-oleh."

Guru Muda: "Lho kok simbah sekarang jadi matre sih."

Mbah Guru: "Malah nuduh matre segala. Apa kamu nggak nyadar? Sudah sering kesini. Sering bawa persoalan berat-berat. Hal itu sih nggak masalah. Yang jadi masalah, justru suka ngabisin jatahnya simbah. Kalau kamu sering kesini tanpa membawa oleh-oleh itu kan artinya menggizi-burukkan simbah."

Guru Muda: "Iya maaf mbah. Besok-besok kalau kesini, pasti bawa oleh-oleh."

Mbah Guru: "Oke. Yang kedua, jam segini kok sudah pulang? Korupsi waktu ya?

Guru Muda: "Nggak mbah. Ini tadi pagi, mendadak ada rapat. Dan sekarang sudah selesai."

Mbah Guru: "Kenapa nggak balik ke sekolah?"

Guru Muda: "Ya kalau dibuat balik, sekolah sudah tutup. Kan sekolahnya jauh tho mbah."

Mbah Guru: "Alesan aja. Iya sudah."

Guru Muda: "Mbah, saya mau tanya nih."

Mbah Guru: "Kok sudah punya bahan? Berarti kesini sudah niat."

Guru Muda: "Nggak sengaja mbah. Tadi pas mau pulang, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan. Dan ingat, katanya simbah harus mempersiapkan bahan kalau sambang."

Mbah Guru: "Tanya apa?"

Guru Muda: "Gini mbah, saya mau tahu soal usia berapa anak sudah mencapai usia kemasakan intelektual?"

Mbah Guru: "Maksudnya untuk masuk sekolah dasar gitu?"

Guru Muda: "Iya mbah."

Mbah Guru: "Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar."

Guru Muda: "Tapi mbah, banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya kurang dari usia tersebut. Alasannya sudah bisa calistung."

Mbah Guru: "Mestinya sekolah dan pemerintah harus tegas menolak. Kan sudah ada aturan, jika kurang usia harus menyertakan surat dari pihak kesehatan."

Guru Muda: "La itu masalahnya. Orang tua tidak mau tahu, dan sekolah takut nggak dapat murid."

Mbah Guru: "Makanya pendidikan kita tidak maju-maju sebab siswanya belum waktunya. Dan pihak terkait tidak tegas."

Guru Muda: "Kok bisa mbah?"

Mbah Guru: "Menurut menurut teori perkembangan dari Piaget, pada usia tujuh tahun, perkembangan kognitif anak berada pada level operasional konkret dan mulai menggunakan operasi mental serta berpikir untuk menyelesaikan suatu permasalahan."

Guru Muda: "Terus mbah!"

Mbah Guru: "Anak-anak yang berusia kurang dari tujuh tahun bisa saja sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung. Namun secara psikologis belum memenuhi aspek konsentrasi, daya tahan, regulasi emosi, serta kemandirian."

Guru Muda: "Bagaimana kalau sudah usia tujuh tahun, tapi belum mampu membaca, menulis, dan berhitung dasar?"

Mbah Guru: "Tentu harus dibawa ke psikolog anak, agar diketahui apa persoalan yang terjadi. Dan ini harus ada pembicaraan antara lembaga pendidikan dan pihak orang tua. Siapa tahu anaknya mengalami disleksia."

Guru Muda: "Mbah dengar-dengar, dulu ada metode yang cukup mudah untuk menentukan usia kemasakan intelektual."

Mbah Guru: "Ada. Cuma katanya ini peninggalan Belanda. Caranya cukup melingkarkan lengan kanan melewati kepala, jika ujung jari dapat menyentuh bagian bawah telinga kiri. Apa ini ilmiah atau nggak, simbah nggak tau."

Sumber: pinterest.com

04 Maret, 2022

Sekolah Buat Apaan Sih?


Ada banyak jenis pertanyaan yang kadar kenylekitannya begitu tinggi, hingga membuat hati kita sebagai guru njarem-njarem. Dan judul di atas adalah salah satunya. Pertanyaan itu jelas menyiratkan tentang betapa tidak pentingnya sekolah. Bisa jadi pertanyaan itu terlahir dari sebuah anggapan, bahwa sekolah adalah hanya tempat mencari ilmu. Sedangkan sekarang ilmu bisa dicari dimanapun. Tanpa sekolah pun bisa.

Mereka yang beranggapan bahwa sekolah hanya tempat mencari ilmu belaka, sesungguhnya berpikir secara picik. Sebab dalam four pillars of learning (empat pilar belajar) yang dirilis oleh Unesco, sekolah harus menjadi lahan yang cocok untuk hal-hal berikut ini.

(1) Learning to know (belajar untuk mengetahui)
Belajar untuk mengetahui, maknanya adalah sekolah menjadi sarana untuk mencari ilmu pengetahuan. Dan siswa dapat mempergunakannya untuk memahami berbagai hal riil maupun abstrak yang ada di kehidupan.

(2) Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu)
Belajar untuk melakukan sesuatu, artinya adalah pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan dalam keseharian. Dan mendorong adanya penemuan, apabila timbul suatu permasalahan. 

(3) Learning to be (belajar untuk menjadi)
Belajar untuk menjadi, maksudnya yaitu sekolah mampu mendorong munculnya potensi siswa ke permukaan. Dan memantik mereka untuk mau dan mampu memilih sesuai dengan apa yang diinginkannya.

(4) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Belajar untuk hidup bersama, berarti agar sekolah dapat membuat iklim yang bersahabat, saling menghormati dan menghargai segala perbedaan yang ada. Sehingga para siswa tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dari paparan keempat pilar tadi, jelas bahwa sekolah sangat penting bagi kita, sangat penting bagi generasi penerus bangsa. Jadi pandangan bahwa sekolah hanya tempat mencari ilmu saja, adalah pandangan yang sempit. Pandangan itu kalau didalami, hanya berpatokan pada pilar pertama saja, yaitu learning to know.

Apalagi kalau ada pandangan yang menyebutkan bahwa sekolah hanyalah tempat untuk mempersemaikan orang-orang yang penurut. Ini adalah pandangan yang salah besar. Sekolah diciptakan kehadirannya untuk membekali anak-anak manusia, agar dapat meresapi denyut nadi kehidupan kekinian, dan tak menjadi gagap ketika kelak menjadi manusia dewasa seutuhnya. 

Sumber gambar: shutterstock.com

18 Februari, 2022

, ,

Sekolah Harus Berani "Berganti Kulit"


Keluhan klasik yang terjadi setiap tahun di hampir semua sekolah adalah kekurangan murid. Dan banyak cara dilakukan untuk mengatasinya. Dari sekian itu ada sebuah cara yang seragam, yaitu membuat brosur dan pasang banner segede Gaban, di area atau gerbang sekolah. Yang agak melek internet, di-posting di media sosial. 

Apakah cara itu benar-benar efektif? Sebab banyak sekolah yang tidak menerapkan cara serupa, namun laris manis. Dan semua bangkunya terisi, bahkan sampai menolak-nolak calon siswanya. 

Apakah metode spanduk ini sudah seperti macam ompong? Bisa jadi. Sebab metode tersebut itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah murid. Meskipun di situ dipampang raihan medali dan piala. Juga beragam aktivitas, baik intra maupun ekstra. 

Jika memang demikian, apa yang harus dilakukan oleh sekolah, di samping mengandalkan metode itu? Yaitu melakukan pengamatan dan survey kebutuhan orang tua. Karena bisa jadi wali murid menginginkan sekolah yang tidak membebani siswanya dengan kegiatan padat, dari pagi sampai sore. Selain itu, menguntungkan secara finansial (biasanya ini terjadi di sekolah yang berada di lingkungan berpendapatan rendah). 

Dengan melihat hasil dari pengamatan dan survey tadi, akan menghasilkan pendekatan yang sesuai. Walaupun ini juga tidak menjamin seratus persen. Namun ini dapat menjadi lebih efektif daripada sekadar sebar-tempel brosur. Terlepas brosurnya menjanjikan iming-iming yang menggiurkan sukma.

Apakah ada cara lain? Tentu ada, dan banyak. Misalnya melakukan metode lomba. Orang selalu membayangkan budget-nya besar. Padahal tidak selalu, dan bisa mencari sponsor atau urunan dari orang tua wali murid. 

Selain itu bisa menggunakan metode bina lingkungan. Metode ini lebih cocok dilaksanakan di lingkungan sekitar sekolah. Metode ini mengacu pada pendekatan saat kegiatan atau hajat pribadi dan lingkungan. Contohnya pernikahan, khitanan, agustusan, qurban, dan lain-lain. Di sini sekolah dapat menurunkan guru-gurunya (dapat pula dengan murid) menjadi bagian dari semacam event organizer dari kegiatan warga itu. 

Metode lain adalah metode buzzer. Metode ini memanfaatkan kemampuan pihak lain untuk mewacanakan kehebatan dari sekolah. Pihak lain itu bisa dari walmur, murid, guru, atau orang yang dibayar, untuk terus menerus "memberondong" ruang udara pergaulan dengan statemen yang luar biasa dari sekolah tersebut. 

Bagaimana? Mau mencoba? Atau punya metode lain yang lebih cocok-terap? Sebenarnya metode apapun bisa diterapkan, asalkan sekolahnya punya nyali dan melepaskan diri dari ikatan "andaikan". Karena hanya sekolah yang "mencintai" perubahan, yang akan adaptif sepanjang masa. Bukan soal dia disokong negara atau swasta.

Sumber gambar: cartoonstock.com