20 Juli, 2022

KUTIBA (Klub Tiga Bahasa)

 

Saya kok jadi kepikiran, setelah mengunggah video siswa-siswi saya di atas. Selang beberapa hari yang lalu, sekolah saya di KOSP-nya mencantumkan kegiatan ekskul English Club. Tentu saja dengan wadah ini, diharapkan anak-anak mampu cas-cis-cus secara sederhana tentang salah satu bahasa internasional yang paling populer sejagat. Dengan demikian, ketika menginjak sekolah menengah tak lagi gagap. Apalagi ditambah adanya Mulok Bahasa Inggris, malah dimungkinkan semakin mempertajam keberhasilannya. Walaupun ini, baru sekadar ekspektasi. 

Kalau memang bisa tiga bahasa sekaligus, kenapa harus tunggal? Pikir saya. Jujur saja kita lihat, pemakaian bahasa daerah (dalam hal ini Basa Jawa) semakin menipis. Secara tidak sadar, kita telah memunahkan secara perlahan-lahan bahasa lokal kita. Seakan bahasa itu sudah kuno, sudah ketinggalan zaman, sudah tidak perlu dilestarikan lagi keberadaannya. Padahal kita tahu, identitas bangsa salah satunya adalah bahasa. Jika kita telah kehilangan identitas. Apalagi yang bisa kita tunjukkan atau banggakan?

Demikian pula dengan Bahasa Indonesia, meskipun pemakaiannya semakin lama semakin luas, dan sedikit banyak telah menggusur bahasa daerah di sektor yang paling privat sekalipun. Namun kita dapat lihat, banyak orang-orang kita cenderung keminggris ataupun menggunakannya secara gado-gado. Dan populer disebut dengan Indonenglish. Tentu ini buruk. Ini mempertandakan bangsa kita telah lemah dalam kepercayaan diri. Dan Kurikulum Merdeka yang menggadang-gadang dirinya sebagai "Kurikulum yang Membebaskan", malah menyulut api pembakarannya menjadi semakin besar.

Kok tulisan saya jadi seemosional begini ya? Apa karena ditulis menjelang petang, surup, mau Maghrib? Bisa jadi. Tapi sebenarnya maksud tulisan ini lebih ke arah membuka cakrawala pandang kompromistis-alternatif. Bahwa apa yang terlihat buruk, tetap bisa ditaklukkan, atau minimal ditekuk-tekuk keberadaannya. Tak harus selalu konfrontatif. Seperti halnya ekskul English Club tadi, kenapa  gak sekalian dibikin Klub Tiga Bahasa. Lebih asyik lho singkatannya. Mau tahu singkatannya? KUTIBA. Gimana, mantap bukan?

06 Juli, 2022

Siswa, Murid, Pelajar, dan Peserta Didik, Mana yang Lebih Baik?

Tergelitik, itu mungkin ungkapan yang tepat, untuk menggambarkan apa yang ada di benak saya. Akibat dari membaca tak sengaja sebuah tulisan yang berisi perbedaan antara murid dan siswa. Dalam tulisan tersebut, makna "siswa" dipaparkan sebagai manusia yang mempunyai kepribadian kurang stabil, jauh dari kedewasaan. Berbeda halnya dengan arti "murid", dituturkan sebagai seseorang yang bersikap bijak. Dari pernyataan tadi jelas, kata "siswa" mengalami "character assasination". Sehingga menurut simpulan saya, kata "siswa" itu telah didiskreditkan.

Untuk memperkuat argumen saya, mari kita tengok pengertian keduanya di KKBI daring berikut ini:
a. Murid
Orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah)
b. Siswa
Murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah); pelajar

Dari sana kita tahu, kata "murid" dan "siswa" digunakan untuk saling menggantikan dan melengkapi dalam lingkup pendidikan. Bersamaan pula dengan kata "pelajar" dan "peserta didik". Empat serangkai ini dipakai secara konsisten dalam konteks yang berbeda-beda. Meskipun begitu, tidak ada dari keempat kosakata itu lebih unggul satu dengan yang lainnya. Artinya tidak terjadi pemeringkatan keberadaban.

Sebagai contoh, secara official ada istilah "wali murid". Dan tidak terdapat istilah "wali siswa", "wali pelajar", bahkan "wali peserta didik". Walaupun sebenarnya tetap dimungkinkan, utamanya pada "wali siswa". Lain hal ada pada istilah "perpisahan siswa" atau "penerimaan peserta didik baru". Begitu ajeg, kita memakainya seperti itu dan terasa klopnya.

Dengan demikian, memperbedakannya secara buruk justru akan menimbulkan percekcokan yang menguras energi. Anggap sajalah kata-kata tadi muncul untuk memperkaya khasanah kebahasaan kita. Oleh karena itu, mendinglah kita menempuh upaya-upaya yang mengandung perbaikan mutu pengajaran. Sebab sejak Era Reformasi hingga kini, kualitas output sekolah-sekolah kita semakin jauh panggang daripada api.

Sumber gambar: id.pinterest.com