Hari-hari ini keluhan tentang langkanya migor atau minyak goreng merebak dimana-mana. Dan sudah bisa ditebak, jika ada bazaar yang menyelenggarakan pengadaannya, langsung diserbu habis. Memang begitulah kita, setiap ada barang kebutuhan sehari-hari menghilang di pasaran, maka kita bergegas antri pagi-pagian menuju bazaar, agar mendapat jatah.
Ini tidak terjadi di zaman sekarang saja, bahkan jauh sebelum itu. Bisa kita lihat dokumentasinya sejak zaman Bung Karno, tiap tahun selalu ada sembako yang harus diantrikan. Dan memang tidak selalu sama. Kadang beras, kadang telur ayam (dan termasuk penunjangnya, yaitu elpiji).
Mengapa ini selalu terulang? Apa kerja badan statistik kita yang tak becus? Apa karena tata niaga perdagangan yang tak pernah dibenahi? Ataukah ada mafia sembako yang berkuasa? Jika pertanyaan terakhir ini yang menjadi muasalnya, kenapa tidak dibasmi? Mengapa kita tiap tahun mengulang-ulang hal yang sama, meskipun komoditinya berbeda?
Terlepas dari hal itu, kelakuan kita dalam mengantri sembako, masih mengindikasikan kita sebagai negara berkembang. Dimanapun negara berkembang, selalu urusannya soal perut. Tentu berbeda dengan negara maju, antriannya sering berkisar pada hal sekunder bahkan tersier, semacam antri beli gawai terbaru.
Dan tingkah laku dari warga negara berkembang saat mengantri itu, masih menjadi sorotan tajam. Tidak cuma Indonesia saja, yang di negara jiran sering diolok-olok. Setiap ada orang yang menyerobot baris antrian, pasti dituduh orang Indonesia. Seakan sudah menjadi mitos. Hal ini sebenarnya kebiasaan yang berlaku umum di negara berkembang. Tidak cuma di Indonesia.
Makanya kita sebagai bangsa yang besar, harus memupus mitos itu. Sehingga tak perlu ada aparat keamanan maupun penjaga, agar antrian berjalan tertib. Alangkah eloknya apabila kita mengantri dengan teratur. Tak perlu dorong-dorongan maupun ribut dengan sebelah. Apalagi nyelonong karena dapat bantuan orang dalam.
Tentu kesadaran ini harus dipupuk sejak kecil. Melalui keluarga dan sekolah. Jika melalui sekolah, tidakkah perlu dipikirkan memasukkan budaya antri, sebagai sebuah entitas yang bisa menimbulkan bangsa lain yang melihat menjadi berdecak kagum? Jika iya, mestinya kurikulum kita segera mengadopsinya.
Sumber gambar: life.lk