Tampilkan postingan dengan label kurikulum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kurikulum. Tampilkan semua postingan

26 Februari, 2022

,

Dapatkah Budaya Antri Dimasukkan ke dalam Kurikulum?


Hari-hari ini keluhan tentang langkanya migor atau minyak goreng merebak dimana-mana. Dan sudah bisa ditebak, jika ada bazaar yang menyelenggarakan pengadaannya, langsung diserbu habis. Memang begitulah kita, setiap ada barang kebutuhan sehari-hari menghilang di pasaran, maka kita bergegas antri pagi-pagian menuju bazaar, agar mendapat jatah. 

Ini tidak terjadi di zaman sekarang saja, bahkan jauh sebelum itu. Bisa kita lihat dokumentasinya sejak zaman Bung Karno, tiap tahun selalu ada sembako yang harus diantrikan. Dan memang tidak selalu sama. Kadang beras, kadang telur ayam (dan termasuk penunjangnya, yaitu elpiji). 

Mengapa ini selalu terulang? Apa kerja badan statistik kita yang tak becus? Apa karena tata niaga perdagangan yang tak pernah dibenahi? Ataukah ada mafia sembako yang berkuasa? Jika pertanyaan terakhir ini yang menjadi muasalnya, kenapa tidak dibasmi? Mengapa kita tiap tahun mengulang-ulang hal yang sama, meskipun komoditinya berbeda? 

Terlepas dari hal itu, kelakuan kita dalam mengantri sembako, masih mengindikasikan kita sebagai negara berkembang. Dimanapun negara berkembang, selalu urusannya soal perut. Tentu berbeda dengan negara maju, antriannya sering berkisar pada hal sekunder bahkan tersier, semacam antri beli gawai terbaru. 

Dan tingkah laku dari warga negara berkembang saat mengantri itu, masih menjadi sorotan tajam. Tidak cuma Indonesia saja, yang di negara jiran sering diolok-olok. Setiap ada orang yang menyerobot baris antrian, pasti dituduh orang Indonesia. Seakan sudah menjadi mitos. Hal ini sebenarnya kebiasaan yang berlaku umum di negara berkembang. Tidak cuma di Indonesia.

Makanya kita sebagai bangsa yang besar, harus memupus mitos itu. Sehingga tak perlu ada aparat keamanan maupun penjaga, agar antrian berjalan tertib. Alangkah eloknya apabila kita mengantri dengan teratur. Tak perlu dorong-dorongan maupun ribut dengan sebelah. Apalagi nyelonong karena dapat bantuan orang dalam. 

Tentu kesadaran ini harus dipupuk sejak kecil. Melalui keluarga dan sekolah. Jika melalui sekolah, tidakkah perlu dipikirkan memasukkan budaya antri, sebagai sebuah entitas yang bisa menimbulkan bangsa lain yang melihat menjadi berdecak kagum? Jika iya, mestinya kurikulum kita segera mengadopsinya.

Sumber gambar: life.lk

13 Februari, 2022

, ,

Student-Centered, Apakah Masih Layak Digunakan?


Sudah lama Guru Muda (Gurmud) tak menyambangi Mbah Guru (Mbahru). Oleh karena itu, sore ini meski ada rintik hujan tetap berkunjung ke rumah beliaunya. Dan langsung ditohok dengan pertanyaan.

Mbahru: 
"Ada apa gerangan kemari?"

Gurmud: 
"Pertanyaannya simbah ini lho, kok seakan nggak kenal saya."

Mbahru: 
"Ooo... keliru ya? He he he."

Gurmud: 
"Ya nggak juga sih. Cuma rasanya gimana gitu lho?"

Mbahru: 
"Ngomong aja, nggak sah belibet. Nanti pasti tanyanya juga gitu."

Gurmud: 
"Iya sih mbah, kira-kira begitu. Maaf."

Mbahru: 
"Nggak usah minta maaf. Kan kebiasaannya gitu. Udah cuss werr, apa yang mau ditanyakan?"

Gurmud: 
"Gini mbah, saya mau tanya soal Student Centered. Tentang pengertiannya maksud saya."

Mbahru: 
"Kalau males cari di buku, bisa searching di Google tho?"

Gurmud: 
"Nggak marem, kalau nggak tanya simbah."

Mbahru: 
"Halah, alesan saja. Student Centered kan sudah jelas ketebak dari namanya."

Gurmud: 
"Ketebak gimana?"

Mbahru: 
"Hadeuh. Student kan murid. Centered berarti berpusat. Jadi Student Centered ini adalah pembelajaran yang mendudukkan murid sebagai aktor utama dalam prosesnya."

Gurmud: 
"Masak sih mbah? Bukankah pada kenyataannya gurulah yang menjadi aktor utamanya?"

Mbahru: 
"Jangan bicara soal kenyataannya. Yang mbah bilang tadi adalah tentang pengertiannya. Seperti yang kau minta."

Gurmud: 
"Oke, oke."

Mbahru: 
"Mau tanya apa lagi?"

Gurmud: 
"Ya masih seputar itu. Sekarang mau tanya, apakah memang pembelajaran berpusat pada murid ini, hanya terjadi di Kurikulum 2013 dan Prototipe 2022?"

Mbahru: 
"Kalau lihat sejarah pendidikan kita, sebenarnya pembelajaran itu sudah ada. Contohnya di Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Dari namanya saja sudah tertera, gaya pembelajaran itu mau diterapkan dengan gagahnya."

Gurmud: 
"Berarti klam itu salah ya mbah?"

Mbahru: 
"Situ mau njebak simbah ya?"

Gurmud: 
"Hanya minta penegasan saja."

Mbahru: 
"Jelas klaim yang tidak melihat fakta atau buta sejarah."

Gurmud: 
"Apakah pada waktu CBSA itu diterapkan, ada keberhasilan?"

Mbahru: 
"Tentu setiap kurikulum punya keunggulan dan kekurangan yang tak bisa disembunyikan. Dan semakin kentara, ketika kurikulum itu tidak dipergunakan lagi."

Gurmud: 
"Kalau boleh tahu gimana sih mbah ceritanya?"

Mbahru: 
"Mbah cuma ingat sedikit-sedikit. Waktu itu, terjadi pergolakan luar biasa. Banyak praktisi pendidikan yang menolak pelaksanaannya. Mereka memandang, kurikulum itu memberikan cek kosong pada anak-anak. Hanya anak yang pandai saja  yang memanfaatkan peluang itu, sebaik-baiknya. Sehingga mereka memplesetkan kurikulum ini menjadi Cah Bodo Saya Akeh (Anak Bodoh Tambah Banyak)."

Gurmud: 
"Ngeri kali mbah plesetannya."

Mbahru: 
"Karena desakan dari banyak pihak, kurikulum itu diturunkan dari panggung. Dan diganti dengan yang baru. Bertahun-tahun kemudian, kurikulum itu diacungi jempol. Karena membuat anak menguasai berbagai pengetahuan secara terperinci, dan mampu melekat di otak sampai akhir hayat. Jauhkan dengan kurikulum sekarang, baru sehari bisa, besok sudah lenyap tak berbekas?"

Gurmud: 
"Ooo... gitu ya mbah? Boleh tanya lagi?"

Mbahru: 
"Tonya-tanya? Perutnya juga dipikir no maszzzeeeh?"

Gurmud: 
"Ini mbah sampai lupa, martabak kesukaannya."

Mbahru: 
"Sudah dingin. Mirip dengan yang kita bicarakan."

Sumber gambar: dreamstime.com