05 September, 2022

,

Asa Seorang Narablog


A ku ingin tulisanku punya guna
S emua orang pun senang membaca
A ku ingin itu terjadi segera

S emoga bukan khayal semata
h, kalau itu tak tercipta
h, betapa diri ini berduka
asa galau kan slalu melanda
sam-manis jadi pahit terasa
yenyak tidur tinggal cerita
elisah bayangi slalu saja

amun kutepis itu syak-wasangka
ku harus yakin di dada
agu kubuang ke dalam belantara
papun yang terjadi akan kuterima
etapapun itu berat dirasa
ogika kewarasan harus dijaga 
risinilitas karya tetap utama
erak blogku laju ke muka

*Ini adalah sebuah puisi akrostik berjudul "Asa Seorang Narablog". Dan ditulis sebagai "Tugas Pelatihan Membuat Blog" dari aleepenaku.com

Sumber gambar: www.worldvectorlogo.com
,

Ada hubungan apa, antara Enda, Sambo, dan Blog?


Sebagai seorang blogger atau dalam Bahasa Indonesia disebut narablog, harus tahu siapa bapak blogger Indonesia. Sebab kalau tak tahu atau bahkan tak mau tahu, itu namanya sudah kelewatan. Ketahuilah dengan jasa beliaulah, dia bisa "hadir" di dunia ini. Apalagi dengan adanya blog itu, dapurnya bisa mengepul. Dan mampu mengusir keberadaan perut yang keroncongan. Itu adalah sebuah "kedurhakaan". 

Makanya biar tidak terjadi kedurhakaan berlarut-larut, blog ini ikut menyajikan secuil kisah tentang bapak blogger Indonesia. Tentunya dengan demikian, tidak terjadi lagi mitologi kutukan di negeri kita. Karena akibat kutukan itu sangat fatal sekali. Seperti yang sudah ada di dongeng-dongeng. Pelaku kutukan sangat-sangat tidak bertanggung jawab.

Bagaimana tidak bertanggung jawab, mereka seenaknya mengutuk tanpa berpikir panjang terlebih dahulu akan dampaknya? Hanya akibat sedikit kesalahan, main kutuk saja. Kalaupun main kutuk ini dibenarkan, mbokyao cuma mengenai "obyek" yang bersalah.

Jangan orang-orang yang tidak berdosa atau terlibat, baik secara aktif mau pasif menjadi korban. Contoh akan kejadian ini, sangat kentara pada kisah "Malin Kundang". Coba pikirkan, "Kru awak kapalnya, apakah melakukan kejahatan serius seperti yang dilakukan Si Malin Kundang?" Tidak, kan?

Kalau tidak, mestinya redaksional kutukan dari Bundanya Malin Kundang ini fokus ke Malin Kundang saja. Sehingga di dalam cerita itu, tiba-tiba Malin Kundang terpeleset kulit pisang, dan kemudian terjatuh ke dalam laut. Atau agar terdengar konspiratif, dibuatlah alur pemberontakan. Dan Malin Kundang yang berhasil dikudeta, dibuang ke laut. Ini lebih tepat dan masuk akal, bukan?

Masak jaman sekarang, masih memungkinkan terjadinya kutukan yang berefek sampai perubahan ekologi? Why not? Karena itu demi mengantisipasi perilaku main kutuk, apalagi yang berbau main hakim sendiri. Makanya artikel ini hadir, meskipun belum tentu mengusir kemungkinan itu. Tapi mungkin bisa meminimalisir, agar itu tidak terjadi secara masif.

Ketahuilah bahwa bapak blogger Indonesia ini adalah Bapak Enda Nasution. Karena beliau sejak awal dekade 2000an, begitu getol mempopulerkan keberadaan blog. Sehingga akhirnya lahirlah Hari Blogger Nasional, pada tanggal 27 Oktober.

Demikianlah sekelumit kisah tentang bapak blogger Indonesia. Jangan bilang yang bikin pertama kali blog di Indonesia itu adalah Sambo, seperti yang ada di tautan ini. Karena itu kisah fiktif saudara-saudara. Ingat kisah fiktif, harus dikatakan fiktif. Bukan direkayasa, agar dianggap menjadi nyata. Dan perlu diketahui tulisan ini dibuat sebagai "Tugas Pelatihan Membuat Blog" dari aleepenaku.com

Sumber gambar: www.maxmanroe.com
,

Sambo Sang Penemu Blog

Pada suatu hari, di saat orang belum begitu akrab dengan dunia maya, hiduplah seorang anak bernama Sambo. Memang nama anak ini tidak seperti umumnya nama orang. Sebab waktu itu, nama anak lelaki masih seputaran Sugeng, Agus, atau Wawan. Jadi banyak yang bilang aneh. Padahal nama anak ini merupakan kependekan dari nama kedua orang tuanya, yaitu Samsul dan Bonita.

Tentu bila melihat nama ibunya ini, kita mungkin akan bertanya, "Apakah ibunya seorang bule?" Betul, ibunya seorang bule. Karena mustahil, ada perempuan Jawa di waktu itu bernama Bonita. Beda halnya kalau jaman sekarang. Nama itu sudah seperti nama biasa. Kurang begitu keren.

Karena ibunya seorang bule, wajar jika perawakan Sambo tinggi besar dan berkulit putih. Dengan kondisi semacam ini, dan di rumahnya dimanja oleh ayah dan ibunya. Maka timbullah sifat congkak pada dirinya. Dia ingin selalu dihormati dan dianggap hebat di semua bidang.

Dan memang dia bisa membuktikan. Dia jago di semua bidang. Hingga suatu hari, di awal kelas sepuluh terjadilah kecelakaan. Dan dia harus menjalani hari-harinya di atas kursi roda, setelahnya. Lalu hancurlah dunianya mulai saat itu. Dia mulai ditinggalkan teman-temannya yang suka berbuat onar di sekolah. Dia juga dikucilkan oleh teman-teman lainnya, karena tak ada prestasi yang lagi diukirnya.

Sesudah kecelakaan itu, semangat belajarnya menurun. Sehingga nilai-nilai akademik melorot dengan drastis. Setiap hari dilewati dengan uring-uringan. Apalagi ketika di rumah, semua barang perabotan sering dilemparkan hingga hancur berantakan. Orang tuanya yang melihat hal ini, menjadi sangat sedih. Dan akhirnya Sambo pun berhenti di sekolah umum. Kemudian mereka mendatangkan guru di rumah untuk homeschooling.

Awalnya dia tak mau, tapi akhirnya dengan ketelatenan  ibu dan guru pengasuhnya dalam mengarahkan, dia mengerti. Saat dia mulai memahami itulah, terbit keinginannya menjadi seorang yang handal di bidang komputasi. Melihat keinginan yang begitu besar dari Sambo, orang tuanya pun mendukung. Mereka membelikan seperangkat komputer yang canggih dengan tentunya didampingi seorang mentor yang mumpuni.

Hingga di suatu pagi, terdengar teriakan yang cukur keras dari kamarnya. Orang tuanya pun kaget. Dan datang menghampiri. Mereka takut terjadi apa-apa pada anak semata wayangnya. Sesampainya di kamar Sambo, mereka menjadi heran. Sambo terlihat tersenyum bahagia. Ibunya pun bertanya, "Ada apa Mbo? Kenapa kamu terlihat ceria? Bunda sudah lama tak melihatmu sebahagia itu."

Dan tak terasa air mata meleleh saat mengatakan hal itu. Sambo pun datang bersama kursi rodanya menghampiri ibunya, dan berkata, "Ini Bun, aku menemukan sesuatu yang mungkin akan berguna bagi kehidupan manusia kelak."

Mendengar perkataan ini, ayahya menjadi kaget. Dan ikutan bertanya, "Mbo, apa yang telah kamu buat? Ayah tak menyangka kamu kembali menjadi anak yang hebat lagi. Selamat!"

Ayahnya berkata demikian, sambil menjabat dan memeluk dirinya. Sambo pun akhirnya menjelaskan bahwa dirinya menciptakan aplikasi yang memungkinkan orang-orang untuk membuat diary secara daring. Dan dinamai "Blog". Blog ini katanya, berasal dari kata "jeblok". Biar terlihat keren, diambil suku kata belakangnya saja. Dan juga huruf "k-nya" diganti huruf "g".

Jeblok ini katanya untuk mengingatkan dirinya, bahwa ada masa-masa terpuruk, termasuk nilai-nilai sekolahnya. Tapi tak boleh putus semangat. Harus tetap maju ke depan. Mendengar penuturan anaknya ini, mereka menjadi semakin bangga. Anaknya memang benar-benar telah berubah.

Demikianlah kisah dari Si Sambo ini, apabila ada kesamaan nama, itu cuma kebetulan belaka. Sebab cerita ini hanyalah rekaan saja. Dan dalam rangka memenuhi "Tugas Pelatihan Membuat Blog" dari aleepenaku.com

Sumber gambar: www gramedia.com

04 September, 2022

,

Blog yang Ramah Ponsel

Ini adalah tulisan semi-serius. Meskipun judul tulisannya serius pakai bingit. Kalau begitu aneh dong? Kenapa nggak bikin yang semi sekalian, kan rasanya nanggung? Iya memang sengaja dibikin nanggung. Dan para pembacanya, dapat menebak-nebak judul "yang seharusnya" atau "yang sebaiknya".

Sudah cukup sekian dulu soal gegeran tentang serius dan semi-serius itu. Karena tidaklah terlalu urgen. Janganlah kita sebagai bangsa hanya ngurusin hal-hal yang remeh temeh. Mbok ya yang geger geden sekali-kali. Maksudnya ini secara konsep pemikiran. Bukan yang berhubungan dengan fisik, lho ya.

Misalnya tentang bagaimana upaya pemerintah benar-benar menyeriusi infrakstruktur di bidang kendaraan listrik. Agar rakyat tak lagi sambat dan mengancam demo turun ke jalan, karena naiknya BBM yang tak kira-kira. Dengan berjalannya proyek tersebut disertai dengan penyediaan kendaraan massalnya secara gratis--kalau memungkinkan--tentu saja sangat meringankan beban.

Jikalau masih ada demo, minimal kan demonya sudah berubah. Dari demo BBM menjadi demo BBL (Bahan Bakar Listrik). Katanya, orang itu harus berubah. Jangan itu-itu mulu. Jangan larut dalam zona nyaman. Mosok sejak dulu, kok ramainya masalah kenaikan BBM. Mbok ya ganti.

Masalah ganti ini pun juga berlaku bagi ganti-ganti yang lain. Termasuk ganti rezim. Tapi yang santun, elegan, jangan gontok-gontokan. Sebab yang ono dan yang itu duduknya cuma selemparan batu dari Monas. Jadi secara logika, nggak mungkin gelut. Kalaupun mau membandingkan, jelas nggak apple to apple tho maszzzeeeh. Satunya jabatannya lebih tinggi. Jika pun masih memaksa, ya dibandingkan saat sama-sama berada di kursi yang sama. Ini lebih fair.

Namun saya kira, ini nggak usah dilakukan. Karena sudah diingatkan Farel Prayoga. Ojo dibanding-bandingke. Gimana? Ho'oh tenan kan pendapat saya ini?

Dan omong-omong soal ganti-mengganti tadi, juga sudah saya lakukan pada template blog ini. Bagi penganut blogger.com, tentunya sudah familiar bahwa template bawaan cenderung berwarna-warni. Padahal tidak setiap orang suka warna-warni, apalagi yang mencolok. Dan alasannya pun bermacam-macam. Kalau saya sendiri sih saat ini, lebih sreg ke warna putih. Lebih soft gitu loh rasanya. Bukan karena stereotip, bahwa putih lebih baik. Dan cenderung dekat dengan glowing. Apalagi isinya memang tak ada bakar-bakaran. Jadi lebih "masuk" jika blognya "berbaju" putih.

Sehingga memungkinkan isinya dapat dinikmati dengan penuh kenyamanan. Sama seperti judul blog ini, "Blog yang Ramah Ponsel". Ramah di sini dapat diartikan dari berbagai sisi. Baik dari sisi konten maupun tampilan. Bagaimana? Sepakat?

Bojonegoro, 4 September 2022

03 September, 2022

,

Blog Ko Ngene, Kok Dibanding-bandingke


Karena saya sedang belajar ngeblog lagi, makanya saya teringat di masa saya ketika belajar beberapa materi. Salah satu ingatannya adalah materi tentang "tembak-menembak". Tapi ini bukan tembak-menembak yang katanya menembak orang, tapi yang mati CCTV-nya. Tidak itu lho. Tembak-menembak di sini adalah tembak-menembak dalam arti kiasan. Jadi jangan dikait-kaitkan dengan dar-der-dor. Plis. Apalagi dengan Si Kaisar itu. Pokoknya tidak boleh.

Yang saya maksud di sini adalah materi tentang bagaimana agar postingan kita (yang otomatis blog kita) terkerek di halaman satu pencarian. Atau paling tidak, mudah muncul. Perlu dilakukan beberapa langkah. Namun lagi-lagi yang dikuak cuma satu langkah saja. Apa itu? Simak di bawah ini. Cukup sederhana dan mudah dipraktikkan. Sehingga tak sampai serepot para netizen mencari tafsir dibalik angka 052, yang tersemat di sebuah baju oranye. 

Langkahnya itu hanya menempelkan kata-kata yang berasal dari warta yang sedang viral atau dulunya disebut "sedang naik daun". Misalnya apa? Ya yang naik tiga bulan terakhir ini. Citayam, Brigadir, Gus Samsudin, Farel, dan BBM. Kalau saya sih pilih kata "Farel". Lebih aman, tak mungkin kena gusur, kena tembak, kena tipu, kena geruduk ataupun kena pasal karet. Dan memanglah bagi blogger pemula. Carilah yang aman-aman saja. Kecuali memang punya nyali maupun bekingan, bolehlah sedikit bengal. 

Karena terkait dengan "Farel", apapun yang berhubungan dengan beliaunya, bisa disusupkan dan disisipkan. Baik ke dalam judul maupun isi postingannya. Kalau saya pilih dua-duanya. Makanya judul tulisan ini adalah "Blog Ko Ngene, Kok Dibanding-bandingke". Dan jangan lupa cantumkan tautan yang berhubungan dengannya. Mau lihat? Di sini saja 👉 Lagu Ojo Dibandingke

Bagaimana? Enak bukan lagunya? Maunya saya meng-cover lagu itu dengan lirik komedi. Nanun sebab keterbatasan suara (sebut saja suaranya cempreng), saya hanya kasih liriknya, sampeyan semua yang menyanyikannya. Tapi ingat lho, jawil nama saya saat menyanyikannya. Ho'oh tenan lho? Karena ente kadang-kadang. Ya sudah tanpa berpanjang kata. Inilah liriknya.

Blog ko ngene, kok dibandhing-bandhingke
(Blog begini, kok dibanding-bandingkan)
Saing-saingke? Ya, mesthi mblarah
(Saing-saingkan? Ya, mesti tak karuan)
Tak oyak'a, aku ya ora mampu
(Kukejar, aku ya tak mampu)
Mung sak kuatku mostang-mosting ae
(Hanya sekuatku memposting saja)

Ku berharap engkau mengerti
Blog ini memang hanya ada satu

Jelas beda yen dibandhingke
(Jelas beda, jika dibandingkan)
Ora ana sing tak pamerke
(Tiada yang dapat aku pamerkan)
Aku ra isa yen kon gawe-gawe
(Aku tak bisa kalau disuruh buat-buat)
Humor, sak anane
(Humor, ala kadarnya)

Sapa wonge sing ra melek ati?
(Siapa orangnya yang tak terbuka hatinya?)
Wis ngguyoni tekan semene
(Sudah berkelakar sampai sekarang)
Iki kabeh ora ana artone
(Ini semua tak ada uangnya)
Ra ana adsense'ne
(Tidak ada adsense-nya)

Bojonegoro, 3 September 2022
, ,

Akhirnya Bisa Meguru ke Mbah Ali Harsojo

Orang Indonesia, khususnya orang Jawa selalu menyematkan gelar "Mbah" kepada seseorang yang dianggap pintar atau pandai. Bahkan sebutan ini tidak saja diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada sesuatu. Contohnya saja adalah Google. Kita suka memanggilnya dengan sebutan Mbah Google. Padahal kita semua juga tahu, bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencari. Dan kita bisa mengira-ira dari suaranya, dia berkelamin perempuan. Dengan usia sekitaran 30-40an tahun. Jadi masih terbilang muda. Sehingga sebenarnya lebih layak, dipanggil Mbak Google daripada Mbah Google. Namun karena dia sudah waskita dibanding kita, jadi mungkin akan kualat bila dipanggil dengan sebutan Mbak.

Meskipun begitu, kita ini sebenarnya punya standar ganda soal panggilan ini. Kalaupun tak mau dicap seperti itu, minimal kita dapat disebut melakukan anomali. Mengapa demikian? Sebab kita sering menyebut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan sebutan Mas. Ini kan aneh. Mestinya itu ya Mbah Menteri. Secara beliau itu memang benar-benar pintar, tajir-melintir, dan pemegang kendali pendidikan di Indonesia. Walaupun beliaunya terbilang masih muda. Dan jelas umurnya sepantaran dengan Mbah Google tadi. Apa kita nggak takut kualat atau paling tidak disebut kurang ajar? Meskipun beliaunya ini yang minta atau merasa fine-fine saja dipanggil semacam itu.

Dengan dasar di atas, maka pantaslah saya menyebut Ali Harsojo (yang punya aleepenaku.com) dengan embel-embel Mbah di depannya. Di samping saya menyediakan waktu untuk belajar kepada beliaunya. Beliaunya memang betul-betul mumpuni di bidang per-bloggingan. Ibarat kata, beliaunya sudah apal-kecepal soal seluk beluk bikin blog. Dan bisa dipastikan tulisan ini, tidak direncanakan secara sistematis untuk mendapatkan template gratis dari beliaunya. Tapi lebih kepada ungkapan kejujuran. Walaupun kalau dikasih, ya saya nggak menolak. Wong diberi cuma-cuma oleh Mbahe. Hehehe.

NB: Jangan lupa klik tautan ini: Tempat Aneka Info

Bojonegoro, 3 September 2022

30 Agustus, 2022

,

Mengapa Edublogger Top-topan Kebanyakan Guru SD?


Kalau dilihat daftar daripada edublogger papan atas, maka akan nampak diduduki oleh guru-guru sekolah dasar. Mengapa bisa demikian? Karena kalau dipikir-pikir  guru weton SD ini secara logika tidak mempunyai pengetahuan formal yang cukup. Mereka ini jelas-jelas cuma memiliki ijazah kesarjanaan yang jauh dari "bau teknologi". Mestinya kan ya, yang menjadi blogger pendidikan kelas wahid itu guru TIK atau Informatika, yang notabene ngendon di sekolah menengah. Baik dari segi keilmuan maupun pengalaman, tentu sangat mumpuni. Tapi faktanya tidak demikian bukan?

Ini menjadi pertanyaan bagi saya. Dan di sini, saya mencoba menerka-nerka jawaban yang sekiranya cocok untuk itu. Jawaban-jawaban itu akan saya rangkai-bernomor di bawah ini.
1. Cari Cuan
Mungkin kelihatannya jawaban ini terasa mendiskreditkan. Namun memang itulah yang terjadi. Dan tidak ada yang salah dengan hal ini. Kita tahu energi yang didapatkan dari niat ini, pastilah sangat besar. Sehingga halangan ijazah, bukanlah menjadi hal penting.
2. Tulus Berbagi
Bagi yang tak begitu minat me-monetize-kan blognya, pasti kebanyakan menggolongkan diri sebagai orang-orang yang ikhlas. Dan ini juga tak sedikit, blogger yang bergabung di dalamnya. Jadi jangan mengira semua blogger itu mata duitan. Apalagi jika ketulusan tadi ditenagai hal yang spiritual, malah akan membumbung tinggi semangatnya.
3. Kebutuhan Pribadi
Ada pula yang membikin blog sekadar untuk menabung tulisan. Karena berpikir dengan adanya blog, mudah diakses dan sekaligus tempat untuk mengarsipkan apa yang sudah dikerjakan. Para penganut jawaban ini, tidak terlalu memusingkan fulus ataupun shorang-sharing seperti hal di atas tadi. 
4. Wadah Ekspresi
Ini bisa dikatakan sebagai golongan keempat. Golongan ini lebih mengutamakan kebebasan diri, tidak mau menjebakkan kepada ini dan itu. Dan mirip dengan kelakuan pada golongan sebelumnya. Yang membedakan, terletak pada opsi pendokumentasiannya saja. Golongan sebelumnya mengukuhkan pada sisi yang sudah diperintahkan atau dideskripsikan pekerjaannya.

Dari keempat tebakan jawaban tadi, mungkin saja ada yang kurang mampu memahami. Dan saya anggap ini wajar. Bahkan mungkin pula ada yang berpendapat, empat jawaban tadi tidak dapat menggambarkan mengapa maqom puncak dikuasai guru-guru SD. Untuk opini ini, saya bisa membalas dengan satu jawaban: GURU SD LEBIH BANYAK DARI GURU MANAPUN. Walaupun jawaban ini dapat juga dipatahkan dengan argumen, bahwa tidak banyak GURU TIK/INFORMATIKA atau GURU SMP-SMA serta yang SEDERAJAT, yang unjuk diri di dalam ranah edukasi. Kalaupun ada, hanya melulu seputar bidang studi yang diampu atau jenjang sekolah dimana dia berada. Berbeda dengan blogger dari Guru SD. Mereka ini lintas mupel dan jenjang. Serta meng-update  keterkinian di bidang pengajaran. Hal inilah yang memungkinkan mereka merajai list blogger pendidikan.

Sumber gambar: caritahuaejha.blogspot.com

20 Juli, 2022

KUTIBA (Klub Tiga Bahasa)

 

Saya kok jadi kepikiran, setelah mengunggah video siswa-siswi saya di atas. Selang beberapa hari yang lalu, sekolah saya di KOSP-nya mencantumkan kegiatan ekskul English Club. Tentu saja dengan wadah ini, diharapkan anak-anak mampu cas-cis-cus secara sederhana tentang salah satu bahasa internasional yang paling populer sejagat. Dengan demikian, ketika menginjak sekolah menengah tak lagi gagap. Apalagi ditambah adanya Mulok Bahasa Inggris, malah dimungkinkan semakin mempertajam keberhasilannya. Walaupun ini, baru sekadar ekspektasi. 

Kalau memang bisa tiga bahasa sekaligus, kenapa harus tunggal? Pikir saya. Jujur saja kita lihat, pemakaian bahasa daerah (dalam hal ini Basa Jawa) semakin menipis. Secara tidak sadar, kita telah memunahkan secara perlahan-lahan bahasa lokal kita. Seakan bahasa itu sudah kuno, sudah ketinggalan zaman, sudah tidak perlu dilestarikan lagi keberadaannya. Padahal kita tahu, identitas bangsa salah satunya adalah bahasa. Jika kita telah kehilangan identitas. Apalagi yang bisa kita tunjukkan atau banggakan?

Demikian pula dengan Bahasa Indonesia, meskipun pemakaiannya semakin lama semakin luas, dan sedikit banyak telah menggusur bahasa daerah di sektor yang paling privat sekalipun. Namun kita dapat lihat, banyak orang-orang kita cenderung keminggris ataupun menggunakannya secara gado-gado. Dan populer disebut dengan Indonenglish. Tentu ini buruk. Ini mempertandakan bangsa kita telah lemah dalam kepercayaan diri. Dan Kurikulum Merdeka yang menggadang-gadang dirinya sebagai "Kurikulum yang Membebaskan", malah menyulut api pembakarannya menjadi semakin besar.

Kok tulisan saya jadi seemosional begini ya? Apa karena ditulis menjelang petang, surup, mau Maghrib? Bisa jadi. Tapi sebenarnya maksud tulisan ini lebih ke arah membuka cakrawala pandang kompromistis-alternatif. Bahwa apa yang terlihat buruk, tetap bisa ditaklukkan, atau minimal ditekuk-tekuk keberadaannya. Tak harus selalu konfrontatif. Seperti halnya ekskul English Club tadi, kenapa  gak sekalian dibikin Klub Tiga Bahasa. Lebih asyik lho singkatannya. Mau tahu singkatannya? KUTIBA. Gimana, mantap bukan?

06 Juli, 2022

Siswa, Murid, Pelajar, dan Peserta Didik, Mana yang Lebih Baik?

Tergelitik, itu mungkin ungkapan yang tepat, untuk menggambarkan apa yang ada di benak saya. Akibat dari membaca tak sengaja sebuah tulisan yang berisi perbedaan antara murid dan siswa. Dalam tulisan tersebut, makna "siswa" dipaparkan sebagai manusia yang mempunyai kepribadian kurang stabil, jauh dari kedewasaan. Berbeda halnya dengan arti "murid", dituturkan sebagai seseorang yang bersikap bijak. Dari pernyataan tadi jelas, kata "siswa" mengalami "character assasination". Sehingga menurut simpulan saya, kata "siswa" itu telah didiskreditkan.

Untuk memperkuat argumen saya, mari kita tengok pengertian keduanya di KKBI daring berikut ini:
a. Murid
Orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah)
b. Siswa
Murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah); pelajar

Dari sana kita tahu, kata "murid" dan "siswa" digunakan untuk saling menggantikan dan melengkapi dalam lingkup pendidikan. Bersamaan pula dengan kata "pelajar" dan "peserta didik". Empat serangkai ini dipakai secara konsisten dalam konteks yang berbeda-beda. Meskipun begitu, tidak ada dari keempat kosakata itu lebih unggul satu dengan yang lainnya. Artinya tidak terjadi pemeringkatan keberadaban.

Sebagai contoh, secara official ada istilah "wali murid". Dan tidak terdapat istilah "wali siswa", "wali pelajar", bahkan "wali peserta didik". Walaupun sebenarnya tetap dimungkinkan, utamanya pada "wali siswa". Lain hal ada pada istilah "perpisahan siswa" atau "penerimaan peserta didik baru". Begitu ajeg, kita memakainya seperti itu dan terasa klopnya.

Dengan demikian, memperbedakannya secara buruk justru akan menimbulkan percekcokan yang menguras energi. Anggap sajalah kata-kata tadi muncul untuk memperkaya khasanah kebahasaan kita. Oleh karena itu, mendinglah kita menempuh upaya-upaya yang mengandung perbaikan mutu pengajaran. Sebab sejak Era Reformasi hingga kini, kualitas output sekolah-sekolah kita semakin jauh panggang daripada api.

Sumber gambar: id.pinterest.com

28 Maret, 2022

,

Film Bocah, Memfasilitasi Sebuah Inisiatif


Jum'at kemarin, atau tepatnya tanggal 25 Maret 2022, anak-anak saya di Kelas V SDN Pandan II Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, membuat film bocah. Hal ini berawal, ketika saya menerangkan tentang jenis usaha yang ada di masyarakat. Salah satunya terkait tentang bidang kesenian. Dalam bidang tersebut terdapat banyak contohnya, termasuk film.

Saat saya menjelaskan tentang film, ada seorang anak yang berceletuk ingin membuat film dan teman-temannya juga menimpali dengan keinginan yang sama. Dan kebetulan saya pernah bermain di film pendek berjudul "Angel". Di sini tautannya: Film Angel. Film tersebut menceritakan tentang betapa susahnya pembelajaran jarak jauh atau disebut dengan PJJ. Anak-anak rupa-rupanya terinspirasi akan hal itu. 

Setelah selesai pemberian materi, saya setujui usulan mereka. Mereka saya ajak diskusi, tentang topik apa yang mereka akan angkat. Pertama-tama, ada yang mengusulkan tentang situasi saat berangkat ke sekolah. Semuanya setuju, namun setelah dipilih pemerannya, ada yang menolak. Akhirnya disepakati ganti tema. Tema kedua yang mau diusung adalah situasi saat menyelesaikan pekerjaan rumah. Dan secara mufakat, semua setuju. 

Sesudah membahas tema, ditentukan siapa yang akan menjadi pemeran utama. Kemudian anak-anak yang mendapat peran, mengajukan saran untuk tidak memakai nama asli. Karena dari sebelas siswa yang bermain hanya enam anak, maka yang lain membantu saya mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk memindahkan kursi dan meja kelas. Sebab pembuatan film ini mengacu pada konsep classroom-movie (film ruang kelas). Jadi semua adegan atau pengambilan gambarnya, dilakukan di dalam maupun di sekitar ruang kelas.

Selesai persiapan, dimulailah syutingnya. Karena aktor utama mempunyai porsi "berkata-kata" lebih banyak, menginginkan ada sedikit skenario. Hal ini pun saya turuti. Meskipun di saat diskusi disetujui untuk langsung berbicara tanpa script. Dan tiap peran sudah dibagikan jobdesk-nya. 

Dalam pelaksanaannya, film ini dibuat dengan menganut prinsip one shot movie. Yaitu dibuat tanpa pengulangan adegan, jadi hanya sekali ambil. Dan nyatanya sukses, walaupun kalau diperhatikan ada beberapa titik kekeliruan.  Dan saya rasa ini wajar, sebab baru pertama mereka bermain seperti ini dengan direkam. Di samping itu juga, karena menganut prinsip "sekali ambil" tadi. 

Lalu setelah usai pengambilan gambar, anak-anak bersepakat untuk membuat film mingguan. Dan hari yang dipilih adalah Sabtu, setelah pulang sekolah. Dengan pemainnya dibagi dua shift. Sehingga tiap anak hanya bermain dua kali dalam sebulan. 

Senang rasanya saya sebagai guru dengan inisiatif dan kreativitas mereka. Saya sadar bahwa tugas guru, salah satunya adalah untuk memfasilitasi beragam potensi yang ada di setiap anak. Sehingga potensi-potensi tersebut dapat berkembang. Dan membuat mereka dapat mengarungi lautan kedewasaan nantinya, tanpa rasa kecil hati. 

Penasaran dengan film bocah yang digarap anak-anak itu? Lihat di bawah ini!



27 Maret, 2022

,

Writing-Hibernation


Mungkin istilah di atas, tidak akan Anda temukan dimanapun saja. Sebab ini rekaan saya saja. Writing-hibernation adalah sebutan dari saya untuk kondisi seseorang yang melakukan jeda penulisan dalam kurun waktu tertentu. Biasanya terjadi dalam beberapa bulan (paling lama satu sampai dua tahun saja). Faktor pencetus penjedaan ini bisa terjadi karena beberapa hal.

1. Kehilangan Gagasan
Gagasan, tetaplah jadi biang kerok dari semua persoalan kepenulisan. Seakan apapun kegagalan atau ketidakaktifan, selalu ditimpakan ke dirinya. Makanya ketika terjadi ketiadaan produktifitas menulis, sudah jelaslah "siapa" yang ditunjuk sebagai aktor utama.

2. Kesibukan Kerja
Kesibukan juga merupakan hal kedua yang turut dipersalahkan. Padahal kalau dipikir, sesibuk apa sih manusia-penulis itu, sehingga tak sempat meluangkan waktu barang 15 sampai 30 menit? Dalam hal ini, kesibukan telah menyerupai dengan gagasan tadi. Mungkin lebih tepatnya tangan kedua.

3. Kekurangan Motivasi
Motivasi sudah lama memantapkan diri untuk menjadi jawara ketiga soal penyebab redanya semangat menulis. Karena memang motivasi adalah salah satu "pelita" yang suka memberikan iming-iming. Baik itu popularitas maupun penghargaan (termasuk uang di dalamnya).

4. Kejenuhan Pikiran
"Kok cuma gini-gini aja", adalah pikiran gelap yang sering menyelusup. Dan jika dibiarkan seperti api yang membakar kertas kering. Hal ini awalnya, bisa bermula dari poin ketiga. Apabila dibiarkan berlarut tentu akan menimbulkan kebencian terhadap hal apapun yang berbau kepengarangan.

Empat hal tadi adalah sesuatu yang biasa. Namun tidak lagi menjadi biasa, kalau empat hal itu bergabung. Sebab tak banyak penulis, apalagi yang masih amatiran kuat menahan rongrongan anarkisme mereka. Kemungkinan besar mereka akan tumbang. Akhirnya menggantungkan penanya untuk selamanya.

Sehingga writing-hibernation tak lagi berlaku. Karena sudah dalam tahap writing-elimination. Yang kelak selalu mereka rindukan dan ceritakan, kemanapun mereka melangkah. Sebuah kebanggaan semu yang menyilaukan. 

26 Maret, 2022

,

Pengajaran Multikelas, Efisiensi yang Melesatkan (Sebuah Rangkuman)

Pengajaran Multikelas atau disebut Multigrade Teaching (MGT) dan di Indonesia sendiri disebut dengan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR), sudah jamak dilakukan dimana-mana. Cuma di Indonesia, PKR ini umumnya diterapkan di tingkat sekolah dasar. Makanya di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) diadakan mata kuliah PKR.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah eloknya, apabila kita menengok terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud  dengan PKR. PKR dimaknai sebagai satu bentuk pembelajaran yang mempersyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih, dalam saat yang sama dan menghadapi dua atau lebih dalam saat yang sama dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda.

Alasan-alasan penerapan PKR adalah karena beberapa faktor berikut ini, 1) sulitnya transportasi peserta didik karena bermukim jauh dari sekolah, 2) banyaknya sekolah yang mempunyai jumlah siswa terlalu kecil, 3) secara keseluruhan, terjadi kekurangan jumlah guru, sebagian disebabkan oleh penyebaran tidak merata, 4) kekurangan ruang kelas, 5) kemungkinan ada guru tidak hadir, padahal tidak ada guru cadangan.

Dengan adanya PKR, dimungkinkan terjadinya efisiensi pendidikan. Misalnya jika di kelas 1 hanya ada 9 siswa dan kelas 2 hanya ada 10 siswa maka tidak perlu masing-masing kelas diajar oleh seorang guru. Sebab PKR ini merupakan model pembelajaran yang dapat mencampur beberapa siswa yang terdiri dari dua atau tiga tingkatan kelas dalam satu kelas dan pembelajaran bisa diberikan oleh satu guru saja untuk beberapa waktu.

Dengan demikian tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan keberadaan guru dan kemampuan siswa dalam memahami lingkungannya. Juga meningkatkan sikap dan pengalaman dalam kelompok-kelompok umur yang berbeda. Sehingga dalam pelaksanaannya guru harus menguasai beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1) Keserempakan kegiatan belajar-mengajar, 2) Kadar tinggi waktu keaktifan akademik (WKA), 3) Kontak psikologis guru dan murid yang berkelanjutan, 4) Pemanfaatan sumber secara efisien, dan 5) Kebiasaan untuk mandiri.

Selain lima  prinsip tadi, guru juga harus menguasai keterampilan-keterampilan di bawah ini, khususnya saat dalam diskusi atau kerja kelompok kecil. Sebab memang bentukan dari pelaksanaannya cenderung ke arah tersebut. 
  1. Memusatkan perhatian murid.
  2. Memperjelas masalah yang menjadi pusat perhatian.
  3. Menganalisis pendapat murid.
  4. Memberi kesempatan kepada murid untuk mengeluarkan pendapat.
  5. Memeratakan kesempatan untuk berbicara.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi, PKR dapat ditingkatkan lebih jauh. Menjadi model pembelajaran yang dapat menjangkau lintas negara (dan tidak cuma di tingkat sekolah dasar). Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan co-teaching. Dimana seorang guru, baik dengan murid-muridnya maupun sendirian, mengadakan live streaming. Termasuk di dalamnya disepakati memakai sesi interaktif atau tidak. Sedangkan di negeri seberangnya, guru yang asli bisa sekadar bertugas sebagai "pemandu" (menjadi host dan moderator, sekaligus penerjemah). Dengan cukup bermodalkan sebuah proyektor.

Dampak dari pemakaian model pembelajaran ini, siswa dapat mengalami berbagai kebaruan pembelajaran, dan juga mengenal beragam bahasa sekaligus budaya. Sehingga hal ini memunculkan kesadaran di dalam diri siswa tentang pentingnya kerukunan dan menghargai bermacam perbedaan. Sesuatu yang sungguh-sungguh dibutuhkan saat ini.

Disarikan dari Berbagai Sumber

24 Maret, 2022

,

Mendaku Guru Penulis, Tapi Jarang Menulis

Ada pertanyaan yang cukup menyengat bagi guru yang mempunyai "sampingan" sebagai penulis. Yaitu, "Katanya jadi penulis? Tapi kok jarang menulis. Beneran nggak nih jadi penulisnya?"

Mereka yang hobi ngurusi hidup orang lain pasti suka menimpuk guru penulis, dengan pertanyaan dan pernyataan yang nyelekit. Dan salah satunya seperti di atas tadi. Mereka menganggap kerja menulis adalah sesuatu yang mudah dan ringan. Sehingga mereka begitu menyelepekan. Padahal kalau mereka disuruh, paling ya plonga-plongo pah-poh. 

Lantas upaya apa yang harus diupayakan untuk mengeliminasi ejekan itu? Jawabannya sangat mudah dan sudah terukur, yaitu rutin menulis atau bisa dibilang setiap hari menulis. Baik itu di media sosial, media massa, buku maupun publikasi ilmiah. 

Namun persoalannya tidak semudah itu. Sebab dalam menulis, selain dibutuhkan kayanya kosakata dan melimpahnya gagasan, juga diperlukan adanya referensi. Meskipun betul tidak semua tulisan memerlukan adanya hal itu. Tetapi dengan adanya pijakan pustaka, akan menguatkan serta membuat tulisan itu lebih berkarakter.

Dan pijakan pustaka atau referensi itu juga tidak mudah dijangkau. Seringkali harus ada usaha yang sangat keras. Tidak cukup menjumput warta atau file e-book dari dunia maya. Harus ada yang benar-benar riil secara fisik. 

Hal ini pun juga menghadirkan beberapa pertanyaan, "Berapa banyak sih guru penulis yang mempunyai perpustakaan mini di rumah? Berapa jumlah buku yang dimiliki? Berapa frekuensinya ke perpustakaan tiap minggunya? Berapa kali membeli buku setiap bulannya?"

Jika prosentase dari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas mendekati angka di bawah 50%, iya haruslah sadar diri. Sebab konsekuensi menjadi seorang penulis, walaupun itu sebutannya guru penulis, tetaplah sama. Mempunyai perbekalan yang cukup dalam menulis. Bagaimanapun juga buku adalah amunisi dalam kepenulisan. Ibaratnya sebuah senjata tanpa peluru, tidak mempunyai fungsi. 

Dan hal ini berdampak pada karya. Sehingga jika dinvestigasi, maka akan nampak sekali. Ada korelasi yang tinggi antara kepemilikan buku dengan karya tulis yang dihasilkan. Bagaimana dapat menghasilkan tulisan yang ajeg setiap hari, apabila tiada terdapat buku? Sebab datangnya kemampuan menulis itu berasal dari tingginya minat membaca.

Sumber gambar: weareteachers.com

23 Maret, 2022

, , ,

Benarkah GLS Salah Arah?


Sejak pemerintah menggulirkan Gerakan Literasi Sekolah atau disingkat GLS, penulisan buku yang dilakukan oleh guru menjadi semakin marak. Seakan-akan ini seperti api membakar kayu kering, wuuuuk. 🔥

Namun lama kelamaan gerakan ini ada yang menganggapnya bergerak ke arah yang salah. ↩ Sebabnya antara lain, buku yang dihasilkan kebanyakan berupa keroyokan atau bahasa kerennya adalah antologi. Ditambah pula jenis tulisannya punya kecenderungan, kalau tidak cerpen, pasti puisi. Ini tidak terlepas dari tema yang diangkat, yang kebanyakan berisi ihwal awal menjadi guru dan hal-hal di luar tugas guru.

Sehingga menimbulkan nyinyiran seperti ini, "Mestinya buku 📚 yang dihasilkan terkait dengan bidang yang diampu. Masak guru Matematika berkarya tentang puisi melulu? Lagian puisinya juga nggak ada hubungannya sama sekali dengan dunia berhitung. Dan mutunya jauh dari nilai sastra." 

Akhirnya mereka menganggap hal ini menjadikan dunia perbukuan menjadi sesak oleh "sampah literasi" 📦. Di samping itu juga, mereka mensinyalir ada yang bermain membengkakkan sampah itu menjadi semakin membukit. Sebab ada tumpukan cuan bin fulus yang menanti. Dan temuan ini, semakin menumbuh-suburkan praduga tadi.

Yang menjadi pertanyaan, "Apakah salah jika seorang guru hanya mampu melebur dalam penerbitan buku antologi?" 

Jawaban tentang hal ini sangat debatable. Tergantung dari sisi mana yang mau dipijak. Ada yang melihat dari idealisme kepenulisan ✍ secara picik. Mereka berpendapat kelakuan seperti itu dianggap keliru. Mereka juga mengimbuhkan pernyataan seperti ini, "Bila belum mampu, mending mengumpulkan dulu tulisannya, baru kemudian dibukukan. Sebab untuk apa kegunaannya? Menginspirasi? Sebuah motivasi palsu yang sering dihembuskan para penerbit. Banyak penulis senior, yang setia bertahun-tahun menggeluti dunia penulisan, jarang yang menerbitkan buku tunggal. Bahkan jarang yang bermain dalam model pembuatan buku berombongan. Mereka menempuh jalan panjang dan berliku, sebelum mampu menerbitkan sebuah buku."

Memang demikian, pendapat mereka yang berpegang teguh pada tafsir idealisme sempit itu. Mereka tidak mau meluaskan cakrawala berpikirnya. Mestinya mereka, kalau bisa merendahkan ekspektasi. Sebab dengan semangat guru yang begitu tinggi dalam penulisan, paling tidak menggairahkan semangat untuk membaca, semangat untuk mencintai buku. Sebab kita tahu, buku adalah jendelanya dunia. Dengan adanya buku yang terus tercetak, akan melajukan gagasan-gagasan. Dan gagasan-gagasan itu akan berdampak pada perubahan. Jikalau ada buku yang tak bermutu, nanti pun akan terseleksi secara alamiah. Tak perlulah berkecil hati. 💝

Sumber gambar: spitjournal.com

22 Maret, 2022

,

Guru Inovatif "Sering" Dilihat dengan Tatapan Negatif

Semua guru mengharapkan adanya kemajuan dalam bidang pendidikan, namun sedikit yang benar-benar mau bergerak untuk mewujudkannya. Jadi bukan sekadar dalam rasan-rasan, apalagi hanya dalam angan. Dan dari yang sedikit itu pun, akhirnya banyak yang mrotol. Karena datangnya cibiran dan halangan yang dilakukan oleh rekan guru tersebut. Ini memang terdengar aneh, namun begitulah fakta yang terjadi di lapangan. 

Mengapa mereka begitu tega melakukannya pada teman seprofesi ini? Bukankah mereka juga sama-sama guru, sama-sama ingin melihat Indonesia berubah? Dua pertanyaan tajam ini menghasilkan beberapa jawaban yang bisa melukai hati. Dan semua itu adalah hal yang remeh temeh. 

1. Cap Sombong
Ini adalah jawaban yang paling umum disorongkan. Mereka mengira guru inovatif sudah tak mau berkawan lagi dengan mereka. Dalam pikiran mereka, guru inovatif ini selalu sibuk dengan solusi dan solusi. 

2. Ahli Bolos
Akibat aktivitas yang padat menjadi peserta, panitia, pemateri, atau bahkan pengurus organisasi pendidikan, sehingga guru inovatif diduga kerjaannya hanya bolos dan mengabaikan tugas mengajar siswa.

3. Tukang Pencitraan
Guru inovatif dituduh tidak tulus ikhlas dalam berbuat. Sebab menganggap tingkah polah guru inovatif hanyalah untuk aksi pamer belaka. Biar terkenal, biar dapat penghargaan. 

4. Kurang Kerjaan
Ini adalah jawaban yang terparah. Mereka  menyangka hal-hal yang dilakukan oleh guru inovatif adalah sesuatu yang sia-sia. Dan sungguh tak berguna, membuang-buang waktu saja.

Empat jawaban "tidak beradab" yang mereka layangkan ini, jika ditelisik secara dalam, memang kebanyakan murni karena salah paham. Sebab disadari maupun tidak, guru yang sudah kadung digelari guru inovatif, cenderung kurang dalam berkomunikasi. Sehingga dianggap menjaga jarak. Selain itu, terlihat terlampau serius dalam memandang sesuatu. Kurang woles

Mungkin guru inovatif juga harus membuka diri dan tak henti-hentinya dalam mewartakan, bahwa apa yang dilakukan itu untuk kebajikan bersama. Bukan untuk tampil gagah-gagahan dan mengejar piagam penghargaan. Apabila hal ini sudah dilakukan, dan tetap diperlakukan "tidak senonoh", tetaplah bersabar. Dan kalau bisa mendoakan orang yang telah berbuat itu, agar mendapatkan pencerahan. Cepat mendapatkan hidayah. Sehingga tak lagi "merundung" dan menjadi calon guru inovatif berikutnya. 

Jika hal ini dilakukan, tentu persoalan luka hati tidak lagi muncul di benak. Semua hal yang terjadi akan nampak baik-baik saja. Meskipun ada masalah maupun tidak, tetap rileks dalam menjalani. Sebab dunia tempatnya permasalahan. Apalagi setiap permasalahan memang gunanya untuk menempa diri, agar mempunyai sikap yang lebih baik lagi.

Sumber gambar: malangtimes.com

20 Maret, 2022

, ,

Guru Negeri dan Mitos Hutangnya


Ada sebuah mitos yang berkembang cukup lama di masyarakat, yaitu apabila ingin bisa berhutang dengan "elegan", maka jadilah pegawai negeri sipil. Dan hal ini dicoba dikonfrontir oleh Guru Muda (Gurmud) ke Mbah Guru (Mbahgur)

Gurmud: "Mbah denger-denger nih, ada mitos yang bilang, guru-guru kita pasca terima SK langsung SK-nya itu "disekolahkan?"

Mbahgur: "Wkwkwk."

Gurmud: "Kenapa ketawa mbah?"

Mbahgur: "Kok kayak kamu nggak aja."

Gurmud: "Ya nggak dong mbah. Ngapain?"

Mbahgur: "La situ mungkin belum butuh."

Gurmud: "Iya sih, mungkin belum butuh. Tapi saya jadi sedih mbah. Masak temen-temen baru diangkat PNS, kok langsung pinjam ke bank? Seakan-akan guru itu pendapatannya begitu kecil. Padahal kalau dilihat-lihat nggak kecil amat. Di tempat kita, paling nggak dua kali lipat dari upah minimum regional. Di banyak tempat, meskipun ada yang di bawah UMR, tapi langsung ditambal dengan tunjangan daerah. Atau kalau nggak gitu, kan dapat juga dana sergu."

Mbahgur: "Ngapain juga ngurusi hidup orang."

Gurmud: "Ini bukan bermaksud ngurusi hidup orang mbah, tapi ini bisa menjadi preseden buruk. Sebab saya beberapa kali ngisi kegiatan yang pesertanya siswa, ketika ditanya soal apa cita-citanya. Jarang sekali yang berminat jadi guru. Alasannya sederhana, gaji guru kecil. Kenapa mereka bisa berbicara seperti ini? Karena mereka melihat hobinya guru-guru mereka suka utang kesana-kemari."

Mbahgur: "Berarti ini muridnya pinter-pinter."

Gurmud: "Kok simbah malah ngedukung sih? Apa nggak khawatir, jika nanti tidak ada yang mau jadi guru, generasi besok akan diajar oleh robot?"

Mbahgur: "Apa jeleknya diajar robot?"

Gurmud: "Robot ini kan nggak bisa mengajarkan etika."

Mbahgur: "Apa guru-guru sekarang benar-benar tahu etika?"

Gurmud: "No comment mbah. Kok malah ngebahas robot."

Mbahgur: "Hehehe."

Sumber gambar: maucash.id
,

Prokrastinasi Mengancam Jiwa Guru

Percayalah tulisan ini tidak seseram judulnya. Lantas jika tidak seram, mengapa mengambil judul ini? Apakah ingin menipu pembaca? Dalam konteks pemberitaan, judul yang bombastis atau clickbait  adalah sesuatu biasa. Kenapa? Karena judul seperti itu menggoda secara psikologis. Penasaran akan membuncah. Dan bisa ditebak, pembacanya akan "gegap gempita" untuk membacanya.

"Jangan mengikuti kebiasaan buruk", mungkin ada yang menasihati seperti ini. Sebenarnya, ini bukan ngeles lho, judul ini memang disengaja sebab ada hubungannya dengan topik yang akan kita bahas. Karena topik yang akan kita bahas, memanglah sikap yang "berlebihan" dalam menunda suatu tugas atau pekerjaan. Dan cenderung untuk menipu diri sendiri.

Topik tersebut tiada lain adalah prokrastinasi (seperti yang sudah ada di judul). Prokrastinasi seperti yang diungkap Wikipedia, diserap dari bahasa Inggris. Kata ini sebenarnya diserap oleh bahasa Inggris dari dua kata dalam bahasa Latin, yaitu pro- yang berarti depan dan juga -crastinus yang berarti hari berikutnya. Imbuhan -crastinus sendiri juga gabungan dari dua kata, yaitu cras yang berarti besok serta -tinus yang merupakan imbuhan dalam bahasa Proto Indo-Eropa yang berfungsi sebagai untuk membentuk kata sifat yang berhubungan dengan waktu.

Secara sederhana, prokrastinasi berarti tindakan untuk menunda sebuah pekerjaan. Dan biasanya, baru dikerjakan di detik-detik terakhir. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita ulik alasannya.

1. Meremehkan 
Menganggap pekerjaan itu hal yang mudah dalam penyeselesaiannya, sehingga memicu dirinya untuk mengabaikan. Dan memilih tarsok-tarsok.

2. Kesulitan
Jika tadi pekerjaannya dianggap mudah, kali ini pekerjaannya dikira sulit. Hal ini membuat dirinya merasa harus belajar dulu. 

3. Tenggat
Merasa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masih lama. Maka membiarkan diri untuk tidak segera menyelesaikan. 

4. Kekinian
Waktu tenggat yang lama, juga memicu diri untuk merasa harus mementingkan hal-hal yang sekarang.

5. Prioritas
Karena merasa pekerjaan itu mudah diselesaikan. Pekerjaan itu tidak dianggap penting. Dan bisa nanti-nanti.

6. Perfeksionis
Memandang tiap sesuatu harus dikerjakan dengan sempurna, maka merasa tidak boleh ada kegagalan maupun kecacatan dalam hasilnya.

7. Kultur
Bisa saja hal ini terjadi, karena orang-orang di sekitarnya sering mempraktekkannya. Sehingga sudah seperti budaya yang harus dikerjakan.

Memang dalam kondisi tertentu, normal-normal saja prokrastinasi dilakukan. Namun menjadi sesuatu yang kurang baik, apabila hal itu sering atau bahkan dibiasakan. Apalagi itu dianggap sebagai sebuah kultur, hal itu akan membuat diri merasa termaafkan. Padahal dengan kebiasaan menunda sesuatu, banyak hal buruk akan terjadi. Dan mungkin bisa saja benar-benar mengancam keselamatan sebuah nyawa. Karena memang kebiasaan prokrastinasi ini mempunyai efek kelabakan dan hanya menabung kesengsaraan, seperti yang diungkap di situs mojok.co ini.

Sumber gambar: potential.com

19 Maret, 2022

,

Adakah "Crazy Teacher" Indonesia?

Akhir-akhir ini ramai di media massa dan sosial tentang adanya crazy rich yang telah melakukan penipuan lewat binary option. Menurut suara.com, julukan crazy rich dialamatkan pada orang-orang dengan kekayaan berlimpah yang memiliki berbagai bisnis, rumah dan mobil mewah, hingga mereka yang sering memamerkan gaya hidup khas kalangan kelas atas. Sedangkan binary option menurut kompas.com adalah instrumen trading online yang cara kerjanya adalah dengan mengharuskan trader untuk memprediksi atau menebak harga suatu aset akan bergerak naik atau turun dalam jangka waktu tertentu.

Tapi di tulisan ini, tidak akan mengulas lebih dalam tentang oknum crazy rich yang telah melakukan tindakan kriminal itu. Namun akan "menyoroti" polah tingkahnya untuk dijadikan kajian. Tingkah polahnya itu tiada lain adalah flexing. Flexing menurut Cambridge Dictionary adalah menunjukkan sesuatu yang Anda miliki atau raih, tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. 

Apakah flexing ini juga terjadi di dunia pendidikan di Indonesia? Sebab flexing dalam pengertiannya, selain menyangkut kekayaan, juga kecerdasan, bentuk fisik, dan segala hal yang mempunyai nilai lebih. Saya rasa hal ini bisa terjadi, karena pada dasarnya manusia terlepas apapun profesinya berpotensi untuk memamerkan apa yang telah berhasil dicapainya. 

Jadi apakah flexing ini keliru? Keliru maupun tidak, tergantung dari niatan si pelaku. Kalau dia menganggap hal itu sebagai upaya untuk menginspirasi dan memotivasi, tidaklah mengapa. Karena tuduhan bahwa orang itu pamer, memang berasal dari pihak lain. Belum tentu si pelaku ini mengakuinya sebagai bentuk pamer. 

Dan sebagaimana halnya pelaku flexing dalam ranah harta-benda, yang disebut dengan crazy rich. Maka pelaku flexing dalam ranah pendidikan, dapat saja disebut dengan crazy teacher. Karena memang prestasi mereka luar biasa, dan seakan-akan musykil untuk diraih guru biasa. Sehingga jika crazy rich diartikan sebagai super kaya, maka crazy teacher sebagai guru super. Alih-alih disebut sebagai guru gila.

Sumber gambar: 123rf.com

17 Maret, 2022

,

Jadi Guru Jangan Insekyur


Kira-kira ada nggak ya guru yang berani mengacungkan jari ketika diberi pertanyaan seperti ini, "Sudahkah bapak dan ibu guru menjadi pribadi yang inovatif dan kreatif, dinamis, responsif, manfaat tinggi bagi sejawat, produktif, dan memiliki resiliensi yang tinggi?" Sebelum buru-buru mengacungkan jari atau tidak, alangkah eloknya apabila membaca terlebih dahulu pengertian-pengertian dari istilah tersebut.

◇ Kreatif merupakan kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru untuk memandang masalah menjadi peluang. Sedang inovatif merupakan kemampuan untuk menerapkan solusi-solusi kreatif terhadap masalah dan peluang guna menumbuhkan usaha (Zimmerer dan Scrborough).

◇ Dinamis adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya (KBBI).

◇ Responsif adalah cepat merespon bersifat menanggapi, tegugah hati, bersifat memberi tanggapan  atau tidak masa bodoh (KBBI).

◇ Manfaat adalah suatu hal yang memiliki nilai guna yang dapat memberikan faedah (brainly.co.id).

◇ Produktif adalah sebuah bentuk dari sikap yang dimana ingin akan selalu untuk dapat terus berkarya, menciptakan sebuah yang akan memiliki nilai manfaat baik terhadap dirinya sendiri serta dari orang lain (brainly.co.id).

◇ Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (Adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich dan Shatte).

Bagaimana? Menjadi galau berat setelah membaca pengertian mereka? Merasa, "Aku kok nggak kayak gitu". Sebagai guru, saya jujur juga mengalami hal yang sama. Seakan-akan seperti jauh panggang daripada api, perilaku kita dengan hal itu. 

Apakah aspek mental yang dirilis oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar (GTK Dikdas) ini memang "maunya" ataukah baru sekadar wacana? Kalau memang "maunya", maka kebanyakan pihak akan menganggap itu hal yang musykil atau utopis. Dan pihak GTK Dikdas, tak boleh kebakaran jenggot, jika mendengar anggapan ini. Sebab apa yang diutarakan, sama sekali tidak membumi. Kalaupun kemudian membantah hal itu seharusnya sudah melekat pada tiap guru. Hal ini dapat disergah dengan pernyataan, "Mau dikemanakan guru-guru kita, jika memang belum memilikinya? Dipensiunkan dini ataukah diberikan pelatihan secara terstruktur, sistematis, dan masif?"

Mungkin akan kelabakan juga jika mendapatkan sanggahan tersebut.  Berbeda apabila hal itu baru dalam tataran diskursus,  orang akan ngeh kalau ini pilihannya. Sebab apabila menginginkan sebuah idealisme, haruslah benar-benar diukur dengan realitas yang ada. Janganlah asal mangap, janganlah asal jeplak. Mana-mana yang terlebih dahulu harus dibenahi, harus punya skala prioritas dan fokus, serta tidak berlebihan. Bagaimanapun juga, guru adalah seperti manusia pada umumnya, yang mempunyai titik lemah dan titik jenuh.

16 Maret, 2022

,

Mengapa Kita Bisa "Mendredag" Saat Public Speaking?

Kegiatan kemarin malam dan kejadian sore tadi yang saya alami, mensahihkan pendapat bahwa tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik. Lebih-lebih pada komunikasi massa. Bahkan pada orang yang notabene sehari-hari menghadapi publik, yaitu guru. Meskipun yang dihadapi itu masih terbilang anak-anak. 

Mengapa demikian? Mengapa bisa terjadi? Padahal kalau dipikir-pikir secara sekilas, guru sudah terbiasa. Artinya mereka ini mempunyai jam terbang yang tinggi. Dan tidak banyak profesi yang mampu menandinginya. Tapi jika dinalar secara dalam-dalam akan "ketahuan belangnya".

Kok ketahuan belangnya sih? Kagak sopan. Memang istilah itu terdengar kurang menghormati guru, namun jika mau menyelidik lebih dalam, istilah itu sudahlah tepat untuk dipakai. Sebab disadari maupun tidak, seorang guru akan cenderung "menyelepekan" kedudukan siswa. Sehingga dia dengan leluasa ngomong apa saja tanpa beban. Berbeda jika berbicara di hadapan umum atau disebut public speaking. Nyalinya ciut-mengkerut, karena dalam pikirannya orang-orang akan menggibahnya atau lebih dari segala hal dibanding dirinya.

Padahal itu adalah manifestasi dari gelapnya pemikiran. Terlalu berlebihan dalam memandang pendapat orang yang belum tentu juga ada wujudnya. Dan kalau dirangkaikan dalam kalimat tanya, bisa segerbong gini.

1. Apa mereka akan menertawakan saya?

2. Apa mereka paham dengan perkataan saya?

3. Apa mereka sedang menggunjing saya?

4. Apa yang saya sampaikan salah?

5. Apa mereka tidak menyukai saya?

Dan masih banyak "apa-apaan" lainnya. Ini hanya sebagian kecil saja. Namun mampu memotret fakta yang terjadi.

Akibatnya hal ini dapat menimbulkan peristiwa yang disebut dengan tongue-tied atau ilat mblundeti alias lidah tercekat. Sehingga kesulitan untuk melanjutkan pembicaraan. Dan ending-nya jelas tertebak. Bikin kisruh.

Tentu kita semua tidak ingin hal itu terjadi pada kita. Makanya sebelum melakukan public speaking, kita wajib melakukan latihan. Dan ini juga tetap berlaku pada orang yang sudah mahir dan terbiasa. Sebab bagaimanapun juga, dengan berlatih akan menguatkan hasil.

Latihan apa saja yang perlu dilakukan? Ada dua yang umum dilakukan, yaitu bantuan-cermin dan rekam-video. Keduanya dapat dilakukan sendiri maupun dibantu pihak lain. Selain itu juga di-back up dengan mempelajari bahasa tubuh, ekspresi wajah, kejelasan, intonasi, diksi, dan aksen. 

Apakah masih ada persiapan lainnya? Masih. Yaitu membuat daftar perkiraan pertanyaan. Dengan membuat ini, kita menjadi dengan mudah menjawab. Dan ini tentu saja, dapat meningkatkan kepercayaan diri. Sebab memang ujung-ujungnya bahasan artikel ini tiada lain adalah rasa percaya diri. Makanya untuk meningkatkan hal itu, haruslah mampu menghafal materi (jika susah menghafal, buatlah tulisan garis besar) dan mengingat pendukung materi (humor, lagu, dalil agama  quotes, dan dance). 

NB: Mendredag ini adalah kosakata gaul Bahasa Jawa untuk kata "ndredeg"  yang berpadanan kata dengan gemetar, grogi, atau gugup.

Referensi:

• info.populix co

• peoplematters.in

15 Maret, 2022

,

Menepati Janji Juga Perlu Dipelajari


Dari lahir sampai ke liang lahat, kita selalu dikelilingi janji-janji. Baik itu janji yang kita bikin sendiri maupun orang lain. Dan janji ini, jika kita beber akan menjadi sangat panjang. Karena akan ada banyak item yang dapat dimasukkan. Mulai dari janji religius, profesi, sampai perkawinan. Dan tentu saja, setiap janji harus ditepati. Ini sesuai dengan pepatah kita, "Janji adalah hutang".

Karena janji adalah hutang, makanya harus dibayar. Dan ini perlu dipelajari sejak dini, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkup sekolah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mengingkarinya. Dan hal ini, bila ada kaitannya dengan hukum disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi merupakan istilah dari bahasa Belanda "wanprestatie" berarti tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Menurut KBBI, pengertiannya adalah salah satu pihak bersepakat dalam perjanjian memiliki prestasi buruk akibat dari kelalaiannya.

Agar tidak tumbuh menjadi pribadi yang ingkar janji, maka diperlukan sebuah ekosistem kejujuran yang dapat "memproteksi" anak. Ekosistem itu tentunya bermula dari pihak keluarga dan diperkuat oleh sistem persekolahan. Dan di bawah ini akan diulas dampak positif yang dapat diperoleh, apabila janji diajarkan secara terencana di lembaga pendidikan.
  • Memiliki nilai kejujuran dan keterbukaan yang tinggi.
  • Anak bisa mengukur kemampuan dirinya dalam menepati janji. Ia belajar untuk tidak mengobral janji.
  • Dipercaya oleh teman-teman dan lingkungannya.
  • Mudah untuk menerapkan nilai lain kepadanya, karena siswa mudah percaya pada apa yang guru katakan.
Lantas bagaimana cara membuat siswa mampu memahami arti pentingnya berjanji? Ada banyak cara, di bawah ini ditunjukkan beberapa yang mungkin bisa diadaptasi oleh sekolah.
1. Buat peraturan
Buat peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa. Ditempel di setiap kelas dan dibacakan setiap upacara bendera.
2. Penugasan ringan berulang
Buat penugasan atau piket untuk seluruh siswa, sesuai kelas. Dan tidak boleh diwakilkan atau digantikan.
3. Logika terbalik
Buat pemahaman tentang hal ini, secara rutin. Baik secara langsung maupun dalan bentuk cerita.
4. Konsisten
Guru dan pihak sekolah harus ketegasan, jika ada pelanggaran. Dan perlu memberikan reward, jika ada yang dinilai pantas, secara periodik.
5. Beri kesempatan kedua
Meskipun perlu ketegasan, namun perlu dilihat latar belakang terjadinya pelanggaran. Sanksi yang dijatuhkan tetap harus mendidik, dan membuat mereka insyaf.

Tentu setelah melihat hal-hal di atas, bisa timbul sebuah pertanyaan, "Apakah dampak negatif dari janji?" Tentu ada, jika janji itu tidak ditepati. Dan berikut ini, hal-hal yang mungkin terjadi akibat dari pengingkaran atau pelalaian janji. 
1. Siswa menjadi kecewa
2. Hilangnya kepercayaan pada guru
3. Siswa menjadi pelanggar janji
4. Siswa suka berbohong
5. Lunturnya kewibawaan guru
Hal-hal di atas karena sudah terang benderang, makanya tak perlu dipaparkan secara terperinci. 

Melihat itu semua, kita sebagai guru harus mempunyai kesadaran bahwa berjanji itu penting. Dan tak mungkin hidup tanpa sebuah janji. Sebab bagaimanapun juga kehidupan adalah kumpulan janji-janji. Terlepas dari tingkah seseorang atau sekelompok orang yang suka mengobral janji manis nan palsu. Karena itu sebagai guru, kita harus mampu mengajarkan dampak positif dari sebuah janji. Ingat karakteristik anak-anak dimanapun sama, yaitu promise keeper (pengingat janji), suka menagih janji. Makanya jangan suka mengumbar janji, apalagi tidak menepatinya atau PHP. Sebab hal ini akan membuat mereka menjadi peniru ulung.

Sumber: 

14 Maret, 2022

,

Sudahkah Memuji Siswa di Hari Ini?


Diakui maupun tidak, pujian disukai setiap orang. Di semua lapisan usia dan ras bangsa. Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan, pujian sangatlah bermanfaat. Sebab pujian selalu erat kaitannya dengan bentuk apresiasi guru terhadap kinerja siswa. Pada usia anak-anak, pencapaian terhadap suatu hal dan "perayaan" terhadap keberhasilannya adalah segaris lurus. Jika anak-anak mendapatkan pujian, maka akan mendorong dirinya melakukan validasi positif itu berulang-ulang. Dan seperti yang kita ketahui, apapun yang dilakukan akan menjadikannya sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini lalu tumbuh menjadi kultur. Kemudian akhirnya menjadi "DNA".

Tentu sebelum guru melakukan sebuah pujian, harus paham situasi dan kondisi. Tdak boleh menggeneralisir dan berlebihan. Untuk itulah hal-hal awal yang patut diketahui sebelum melayangkan pujian, bisa dicermati terlebih dahulu, seperti di bawah ini.

1. Harga Diri
Melakukan sesuatu bagi siswa (khususnya di kelas rendah), bukanlah sesuatu yang mudah. Maka dengan adanya pujian, membangun harga diri atau  self esteem. Dengan harga diri ini, membuat mereka merasa diterima, dicintai, dan dilindungi. 

2. Perilaku Baik
Di samping itu, pujian dapat membantu mereka untuk membedakan antara tindakan yang baik dan yang buruk. Dan hal ini juga merupakan cara terbaik untuk mendisiplinkan anak .

3. Mendekatkan Hubungan 
Sehingga berdampak pada kedekatan antara guru dan siswa. Karena mereka merasa berhasil membuat guru bangga padanya. Selain itu, mereka menganggap pujian sebagai hadiah untuk dirinya. Yang akhirnya hal ini dapat membuat siswa semakin percaya diri, bertanggung jawab, dan tidak ingin berbuat hal-hal yang buruk.

Setelah memperhatikan manfaat-manfaat pujian, marilah kita menuju "cara melakukannya". Sebab kekurang-tepatan dalam menyampaikan pujian bisa menimbulkan efek samping yang tidak mengenakkan. Untuk itulah perhatikan hal-hal berikut ini.

1. Usia
Apapun pujian harus memperhatikan kelayakan atau kepantasan dalam penyampaian. Dan kelayakan ini tentunya dapat dilekatkan pada umur berapa siswa mampu menunjukkan performanya. Sebab bila tak memperhatikan, malah membuat mereka kurang bergairah dalam proses pembelajaran.

2. Momen
Lebih baik memberikan pujian pada hal-hal yang baru dapat dicapainya. Dan bukan pada hal yang sama. Karena itu dapat membuat mereka tidak mau beranjak untuk "berjuang". Atau biasa orang sebut sebagai zona nyaman.

3. Ketulusan
Hindari memuji sambil lalu, cobalah untuk memusatkan perhatian pada mereka. Guru harus memilih kata yang tepat, disertai dengan ekspresi dan gerakan tubuh yang pas. Sebab jika tidak, mereka akan menganggap hal itu basa-basi belaka. Apalagi usia-usia di antara Kelas 1 sampai 3, mereka mempunyai kepekaan tinggi mengenali sebuah ketulusan. 

4. Spesifik
Ungkapkan secara lugas, dan tidak terlalu umum. Contohnya, "Luar biasa, kamu dapat menyelesaikan perhitungan ini dengan cepat". Bukan seperti ini, "Luar biasa, kamu memang jago Matematika". 

5. Proses
Pujian tidak selalu berbicara tentang hasil yang dicapai yang telah dicapai siswa. Akan tetapi, pada proses dan usaha mereka untuk mendapatkannya. Dengan demikian, mereka merasa usaha yang telah dilakukan, juga dihargai tanpa bergantung pada hasil yang mungkin didapat. Jadi berhasil maupun gagal, tidak masalah.

Dari uraian di atas, sudah dapat digambarkan bukan? Tentang arti pentingnya pujian pada anak usia sekolah. Makanya kita sebagai guru tak boleh segan-segan dalam memuji siswa. Meskipun juga harus dikontrol porsinya. Sehingga tidak nampak berlebihan. Dan membuat mereka bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang mau siswanya ogah-ogahan dalam pembelajaran. Dan dengan memelintir pesan yang selalu diungkap oleh Pak Ilham, bahwa memuji itu mudah dan menyenangkan bukan? Iyaaaaah. 

13 Maret, 2022

,

Tes Otka-otki untuk Melihat Keberbakatan Siswa

Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, saya juga menggemari singkatan. Makanya tak salah dong saya, di dalam tulisan ini juga membuat singkatan. Apalagi ini hari Ahad, masak harus saling menyalahkan? Capek tau. Mending dibuat santai-santaian. Tapi ini bagi yang tak lagi gawe. Meskipun begitu jangan begitu terlalu ngoyo. Tetap selow saja. 

Baiklah di tulisan ini saya bikin singkatan untuk otak kanan dan kiri. Yang otak kanan saya pendekkan menjadi otka. Sedangkan otak kiri menjadi otki. Bagaimana? Rada-rada keren gitu ya? Akhirnya terjawab juga kan tentang judul tulisan yang pakai otka dan otki itu?

Sudah kita ketahui bersama, bahwa ada asumsi di masyarakat yang mengelompokkan kemampuan manusia berdasarkan otka dan otki. Orang yang termasuk otki dipercaya kemampuannya lebih kepada logis-akademik. Sedangkan yang otka, lebih ke arah kreatif-artistik. Kalau menurut bahasa saya sih, yang otka ini suka nyeniJika yang otki itu cenderung kepada nyeno.

Lantas bagaimana cara mengetahui bahwa kita termasuk ke otka atau otki? Klik saja tautan berikut ini: Tes Otka-otki 1. Di sana ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Dan nanti keluar hasilnya yang menentukan, bahwa kita ikut golongan mana. Apabila ketika memilih jawaban terjadi kegalauan, yang akhirnya mungkin menimbulkan kekeliruan, maka dapat memilih cara yang kedua. Cara kedua ini lebih simpel-pel-pel. Cukup menangkupkan kedua tangan. Jika jempol tangan kanan berada di atas, berarti otka. Begitu juga sebaliknya. Dan apabila lagi-lagi diterpa keresahan, maka tengoklah link ini: Tes Otka-otki 2. Tes kedua ini dapat diterapkan ke murid-murid kita, dan akan membuat mereka tertegun-tegun. Lalu berkata, "Kok iso yo?"

Meskipun begitu, jangan pongah bin jumawa, apabila termasuk otka dan otki. Sebab banyak pakar syaraf yang mengatakan hal itu hanya mitos belaka. Sebab otak kita bekerja secara koordinatif. Hal ini juga diwartakan oleh detik.com, dengan mengutip dari Scientific American. Sebuah penelitian yang telah berjalan selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa “kognisi [kreatif] dihasilkan dari interaksi dinamis dari sejumlah area otak yang beroperasi di sebuah jaingan skala besar." Proses kreatif yang satu berbeda dengan yang lain, begitu juga bagian otak yang dibutuhkan dalam kerja kolektifnya. Inovasi, penciptaan baru, bukan monopoli salah satu bagian otak kita. Seperti sebuah kantor, proses perekrutan dari masing-masing departemen sesuai dengan proyek dan tugas yang datang. Bagaimanapun juga, meski berasal dari bagian-bagian yang berbeda, otak manusia mirip dengan kodratnya sebagai makhluk sosial: mesti bekerja secara kolektif agar mampu menghasilkan sesuatu yang berguna.

Lantas buat apa tes-tesan tadi? Iya sekadar untuk mengenali ke arah dominan mana kita dalam berperilaku. Meskipun itu tidak berlaku atau terjadi terus-menerus. Contohnya saya. Saya tiap hari rajin menulis. Menulis ini adalah kemampuan otak kiri (otki). Padahal jika dites, saya termasuk ke dalam kualifikasi otak kanan (otka).

Sumber gambar: verywellmind.com


12 Maret, 2022

, ,

Memasukkan Permainan Tradisional Menjadi Inkul atau Ekskul

Kita selama ini suka berbicara dalam tataran idealisme, namun selalu megap-megap dalam tataran operasional. Mengapa demikian? Ya karena kita sering halu gaes. Jadi apa yang ada di benak kita, ya kita semaikan di sana saja. Tidak mau mencobanya di alam nyata. Sebab selalu ketakutan akan kegagalan. Padahal kegagalan adalah bagian dari resiko hidup. Jika tak mau resiko, ya hidup kita akan stagnan. Dan lama-lama "punah sendiri". 

Ini pun terjadi pada hal-hal yang berbau tradisional. Kita suka berkoar-koar, suka menghamburkan kata-kata. Akan inilah, akan itulah. Intinya ingin melestarikan kebudayaan. Namun saat ditanya, kapan pelaksanaan. Tetiba bersembunyi di balik finansial, religiusitas, legal-formal, dan lain sebagainya. Ini kalau orang Jawa bilangnya  "Ora sumbut".

Contoh tentang tradisional ini adalah permainan tradisional. Sebagian besar peralatannya mudah didapat dan dibuat. Jadi tidak ada alasan, dapat menggerogoti anggaran. Jika berkaitan dengan faktor agama, juga jauh. Apabila diselidiki, tidak ada permainan tradisional yang umum dilakukan sejalan dengan kepercayaan tertentu atau sebuah kesesatan beragama. Semua permainan tradisional tadi bebas dari hal itu. Terkait dengan perundangan, permainan tradisional sudah dimasukkan ke dalam objek pemajuan kebudayaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Jadi alasan apalagi yang mau dipakai?

Makanya sekolah atau lembaga pendidikan yang telah memasukkan permainan tradisional sebagai mulok (muatan lokal), perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Ini artinya mereka tidak lagi berada di "omong besar" belaka. Namun sudah dalam aplikasi nyata. Dan jujur saja, sudah banyak daerah yang membuat pergub, perbup, dan perkot, terkait dengan mulok adat istiadat. Jadi ini hanya soal kemauan keras dari pihak sekolah saja.

Makanya untuk menguatkan hati lagi dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan, mungkin bisa membaca dua pendapat tentang pengertian permainan tradisional di bawah ini.

1. Novi Mulyani 
Dalam bukunya yang berjudul "Super Asyik Permainan Tradisional Anak" mengungkapkan, permainan tradisional adalah permainan warisan dari nenek moyang yang wajib dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal. 

2. Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
Dalam bukunya yang berjudul "Permainan Tradisional dan Perannya Dalam Mengembangkan" mengungkapkan, permainan tradisional merupakan suatu aktivitas permainan yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat dan diajarkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sumber gambar: liputan6.com

11 Maret, 2022

,

Menyalahkan Guru di Kelas Rendah


Selama ini kasus bullying di pendidikan, selalu dikira terjadi antara siswa dengan siswa. Padahal bullying atau mempunyai padanan kata dengan penindasan, perisakan, dan perundungan, ini juga terjadi antara guru dengan guru. Tentu mendengar hal ini, janganlah kaget. Memang benar guru secara ideal adalah manusia yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang etika. 

Tetapi yang namanya manusia juga mempunyai khilaf. Jadi melihat ini, perisakan bisa juga guru yang melakukannya. Dan jangan menganggap penindasan ini menjurus ke hal-hal yang cenderung fisik. Sebab faktanya lebih banyak ke arah psikis. Ini sesuai dengan pengertian bullying itu sendiri, yaitu tindakan atau perilaku yang dilakukan untuk menyakiti baik dalam bentuk verbal maupun ragawi.

Apa saja verbal-bullying yang umumnya terjadi antar guru, namun tidak disadari keberadaannya? Di sini hanya diberikan sebuah contoh saja. Perundungan itu adalah menyalahkan ketidakmampuan siswanya gegara guru sebelumnya dianggap tidak mengajari. Jika diredaksionalkan ungkapannya seperti ini, "Apa saat di kelas itu, kamu tidak diajari gurumu?" Hal ini jika dilontarkan langsung kepada siswanya. Apabila di antara sesama rekan guru, bisa saja jadi semacam ini, "Apa guru di kelas sebelumnya tidak bisa mengajar ya?" Padahal ini dikatakan di saat rapat, yang guru disentil itu ada. Dan ini tidak cuma sekali dua kali, namun terus menerus.

Padahal guru yang suka menyalahkan ini, belum tentu juga mempunyai kemampuan dan keberhasilan, jika ditempatkan di kelas atau sekolah yang lebih rendah jenjangnya. Mereka ini hanya mau menang-menangan saja, mau enak sendiri. Lupa bahwa tugas guru adalah "mencerdaskan" siswanya. Sebab seperti pemeo, kalau sudah cerdas kenapa harus sekolah?

Mereka tidak mau melihat secara luas, bahwa setiap siswa di setiap jenjang itu mempunyai persoalan yang unik dan khas. "Keistimewaan" ini dapat timbul karena faktor usia atau hal lain seperti keluarga, pertemanan, jarak sekolah, dan lain sebagainya. Jadi tidak boleh digebyah uyah. Kalau usia sudah sekian, atau sudah kelas sekian, pasti telah menguasai kemampuan yang dipersyaratkan. Jika memang sudah mampu, tentu tidak dilaksanakan adanya perbaikan. Padahal perbaikan ini salah satu muaranya dapat menentukan terjadinya penelitian tindakan kelas (PTK). Hal yang sangat dibutuhkan guru, untuk naik pangkat (di negeri).

Dan seringkali ketidakmampuan siswa itu, memacu guru menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam merancang konsep pembelajaran yang akan dilakukan. Sehingga menciptakan penemuan-penemuan baru di dalam perbaikan mutu pendidikan. Yang dalam hal ini dapat mewujud ke arah best practice (praktik terbaik). Sesuatu yang sungguh dibutuhkan pendidikan saat ini.

Sumber gambar: facebook.com