Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan

03 September, 2022

, ,

Akhirnya Bisa Meguru ke Mbah Ali Harsojo

Orang Indonesia, khususnya orang Jawa selalu menyematkan gelar "Mbah" kepada seseorang yang dianggap pintar atau pandai. Bahkan sebutan ini tidak saja diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada sesuatu. Contohnya saja adalah Google. Kita suka memanggilnya dengan sebutan Mbah Google. Padahal kita semua juga tahu, bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencari. Dan kita bisa mengira-ira dari suaranya, dia berkelamin perempuan. Dengan usia sekitaran 30-40an tahun. Jadi masih terbilang muda. Sehingga sebenarnya lebih layak, dipanggil Mbak Google daripada Mbah Google. Namun karena dia sudah waskita dibanding kita, jadi mungkin akan kualat bila dipanggil dengan sebutan Mbak.

Meskipun begitu, kita ini sebenarnya punya standar ganda soal panggilan ini. Kalaupun tak mau dicap seperti itu, minimal kita dapat disebut melakukan anomali. Mengapa demikian? Sebab kita sering menyebut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan sebutan Mas. Ini kan aneh. Mestinya itu ya Mbah Menteri. Secara beliau itu memang benar-benar pintar, tajir-melintir, dan pemegang kendali pendidikan di Indonesia. Walaupun beliaunya terbilang masih muda. Dan jelas umurnya sepantaran dengan Mbah Google tadi. Apa kita nggak takut kualat atau paling tidak disebut kurang ajar? Meskipun beliaunya ini yang minta atau merasa fine-fine saja dipanggil semacam itu.

Dengan dasar di atas, maka pantaslah saya menyebut Ali Harsojo (yang punya aleepenaku.com) dengan embel-embel Mbah di depannya. Di samping saya menyediakan waktu untuk belajar kepada beliaunya. Beliaunya memang betul-betul mumpuni di bidang per-bloggingan. Ibarat kata, beliaunya sudah apal-kecepal soal seluk beluk bikin blog. Dan bisa dipastikan tulisan ini, tidak direncanakan secara sistematis untuk mendapatkan template gratis dari beliaunya. Tapi lebih kepada ungkapan kejujuran. Walaupun kalau dikasih, ya saya nggak menolak. Wong diberi cuma-cuma oleh Mbahe. Hehehe.

NB: Jangan lupa klik tautan ini: Tempat Aneka Info

Bojonegoro, 3 September 2022

30 Agustus, 2022

,

Mengapa Edublogger Top-topan Kebanyakan Guru SD?


Kalau dilihat daftar daripada edublogger papan atas, maka akan nampak diduduki oleh guru-guru sekolah dasar. Mengapa bisa demikian? Karena kalau dipikir-pikir  guru weton SD ini secara logika tidak mempunyai pengetahuan formal yang cukup. Mereka ini jelas-jelas cuma memiliki ijazah kesarjanaan yang jauh dari "bau teknologi". Mestinya kan ya, yang menjadi blogger pendidikan kelas wahid itu guru TIK atau Informatika, yang notabene ngendon di sekolah menengah. Baik dari segi keilmuan maupun pengalaman, tentu sangat mumpuni. Tapi faktanya tidak demikian bukan?

Ini menjadi pertanyaan bagi saya. Dan di sini, saya mencoba menerka-nerka jawaban yang sekiranya cocok untuk itu. Jawaban-jawaban itu akan saya rangkai-bernomor di bawah ini.
1. Cari Cuan
Mungkin kelihatannya jawaban ini terasa mendiskreditkan. Namun memang itulah yang terjadi. Dan tidak ada yang salah dengan hal ini. Kita tahu energi yang didapatkan dari niat ini, pastilah sangat besar. Sehingga halangan ijazah, bukanlah menjadi hal penting.
2. Tulus Berbagi
Bagi yang tak begitu minat me-monetize-kan blognya, pasti kebanyakan menggolongkan diri sebagai orang-orang yang ikhlas. Dan ini juga tak sedikit, blogger yang bergabung di dalamnya. Jadi jangan mengira semua blogger itu mata duitan. Apalagi jika ketulusan tadi ditenagai hal yang spiritual, malah akan membumbung tinggi semangatnya.
3. Kebutuhan Pribadi
Ada pula yang membikin blog sekadar untuk menabung tulisan. Karena berpikir dengan adanya blog, mudah diakses dan sekaligus tempat untuk mengarsipkan apa yang sudah dikerjakan. Para penganut jawaban ini, tidak terlalu memusingkan fulus ataupun shorang-sharing seperti hal di atas tadi. 
4. Wadah Ekspresi
Ini bisa dikatakan sebagai golongan keempat. Golongan ini lebih mengutamakan kebebasan diri, tidak mau menjebakkan kepada ini dan itu. Dan mirip dengan kelakuan pada golongan sebelumnya. Yang membedakan, terletak pada opsi pendokumentasiannya saja. Golongan sebelumnya mengukuhkan pada sisi yang sudah diperintahkan atau dideskripsikan pekerjaannya.

Dari keempat tebakan jawaban tadi, mungkin saja ada yang kurang mampu memahami. Dan saya anggap ini wajar. Bahkan mungkin pula ada yang berpendapat, empat jawaban tadi tidak dapat menggambarkan mengapa maqom puncak dikuasai guru-guru SD. Untuk opini ini, saya bisa membalas dengan satu jawaban: GURU SD LEBIH BANYAK DARI GURU MANAPUN. Walaupun jawaban ini dapat juga dipatahkan dengan argumen, bahwa tidak banyak GURU TIK/INFORMATIKA atau GURU SMP-SMA serta yang SEDERAJAT, yang unjuk diri di dalam ranah edukasi. Kalaupun ada, hanya melulu seputar bidang studi yang diampu atau jenjang sekolah dimana dia berada. Berbeda dengan blogger dari Guru SD. Mereka ini lintas mupel dan jenjang. Serta meng-update  keterkinian di bidang pengajaran. Hal inilah yang memungkinkan mereka merajai list blogger pendidikan.

Sumber gambar: caritahuaejha.blogspot.com

24 Maret, 2022

,

Mendaku Guru Penulis, Tapi Jarang Menulis

Ada pertanyaan yang cukup menyengat bagi guru yang mempunyai "sampingan" sebagai penulis. Yaitu, "Katanya jadi penulis? Tapi kok jarang menulis. Beneran nggak nih jadi penulisnya?"

Mereka yang hobi ngurusi hidup orang lain pasti suka menimpuk guru penulis, dengan pertanyaan dan pernyataan yang nyelekit. Dan salah satunya seperti di atas tadi. Mereka menganggap kerja menulis adalah sesuatu yang mudah dan ringan. Sehingga mereka begitu menyelepekan. Padahal kalau mereka disuruh, paling ya plonga-plongo pah-poh. 

Lantas upaya apa yang harus diupayakan untuk mengeliminasi ejekan itu? Jawabannya sangat mudah dan sudah terukur, yaitu rutin menulis atau bisa dibilang setiap hari menulis. Baik itu di media sosial, media massa, buku maupun publikasi ilmiah. 

Namun persoalannya tidak semudah itu. Sebab dalam menulis, selain dibutuhkan kayanya kosakata dan melimpahnya gagasan, juga diperlukan adanya referensi. Meskipun betul tidak semua tulisan memerlukan adanya hal itu. Tetapi dengan adanya pijakan pustaka, akan menguatkan serta membuat tulisan itu lebih berkarakter.

Dan pijakan pustaka atau referensi itu juga tidak mudah dijangkau. Seringkali harus ada usaha yang sangat keras. Tidak cukup menjumput warta atau file e-book dari dunia maya. Harus ada yang benar-benar riil secara fisik. 

Hal ini pun juga menghadirkan beberapa pertanyaan, "Berapa banyak sih guru penulis yang mempunyai perpustakaan mini di rumah? Berapa jumlah buku yang dimiliki? Berapa frekuensinya ke perpustakaan tiap minggunya? Berapa kali membeli buku setiap bulannya?"

Jika prosentase dari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas mendekati angka di bawah 50%, iya haruslah sadar diri. Sebab konsekuensi menjadi seorang penulis, walaupun itu sebutannya guru penulis, tetaplah sama. Mempunyai perbekalan yang cukup dalam menulis. Bagaimanapun juga buku adalah amunisi dalam kepenulisan. Ibaratnya sebuah senjata tanpa peluru, tidak mempunyai fungsi. 

Dan hal ini berdampak pada karya. Sehingga jika dinvestigasi, maka akan nampak sekali. Ada korelasi yang tinggi antara kepemilikan buku dengan karya tulis yang dihasilkan. Bagaimana dapat menghasilkan tulisan yang ajeg setiap hari, apabila tiada terdapat buku? Sebab datangnya kemampuan menulis itu berasal dari tingginya minat membaca.

Sumber gambar: weareteachers.com

23 Maret, 2022

, , ,

Benarkah GLS Salah Arah?


Sejak pemerintah menggulirkan Gerakan Literasi Sekolah atau disingkat GLS, penulisan buku yang dilakukan oleh guru menjadi semakin marak. Seakan-akan ini seperti api membakar kayu kering, wuuuuk. 🔥

Namun lama kelamaan gerakan ini ada yang menganggapnya bergerak ke arah yang salah. ↩ Sebabnya antara lain, buku yang dihasilkan kebanyakan berupa keroyokan atau bahasa kerennya adalah antologi. Ditambah pula jenis tulisannya punya kecenderungan, kalau tidak cerpen, pasti puisi. Ini tidak terlepas dari tema yang diangkat, yang kebanyakan berisi ihwal awal menjadi guru dan hal-hal di luar tugas guru.

Sehingga menimbulkan nyinyiran seperti ini, "Mestinya buku 📚 yang dihasilkan terkait dengan bidang yang diampu. Masak guru Matematika berkarya tentang puisi melulu? Lagian puisinya juga nggak ada hubungannya sama sekali dengan dunia berhitung. Dan mutunya jauh dari nilai sastra." 

Akhirnya mereka menganggap hal ini menjadikan dunia perbukuan menjadi sesak oleh "sampah literasi" 📦. Di samping itu juga, mereka mensinyalir ada yang bermain membengkakkan sampah itu menjadi semakin membukit. Sebab ada tumpukan cuan bin fulus yang menanti. Dan temuan ini, semakin menumbuh-suburkan praduga tadi.

Yang menjadi pertanyaan, "Apakah salah jika seorang guru hanya mampu melebur dalam penerbitan buku antologi?" 

Jawaban tentang hal ini sangat debatable. Tergantung dari sisi mana yang mau dipijak. Ada yang melihat dari idealisme kepenulisan ✍ secara picik. Mereka berpendapat kelakuan seperti itu dianggap keliru. Mereka juga mengimbuhkan pernyataan seperti ini, "Bila belum mampu, mending mengumpulkan dulu tulisannya, baru kemudian dibukukan. Sebab untuk apa kegunaannya? Menginspirasi? Sebuah motivasi palsu yang sering dihembuskan para penerbit. Banyak penulis senior, yang setia bertahun-tahun menggeluti dunia penulisan, jarang yang menerbitkan buku tunggal. Bahkan jarang yang bermain dalam model pembuatan buku berombongan. Mereka menempuh jalan panjang dan berliku, sebelum mampu menerbitkan sebuah buku."

Memang demikian, pendapat mereka yang berpegang teguh pada tafsir idealisme sempit itu. Mereka tidak mau meluaskan cakrawala berpikirnya. Mestinya mereka, kalau bisa merendahkan ekspektasi. Sebab dengan semangat guru yang begitu tinggi dalam penulisan, paling tidak menggairahkan semangat untuk membaca, semangat untuk mencintai buku. Sebab kita tahu, buku adalah jendelanya dunia. Dengan adanya buku yang terus tercetak, akan melajukan gagasan-gagasan. Dan gagasan-gagasan itu akan berdampak pada perubahan. Jikalau ada buku yang tak bermutu, nanti pun akan terseleksi secara alamiah. Tak perlulah berkecil hati. 💝

Sumber gambar: spitjournal.com

22 Maret, 2022

,

Guru Inovatif "Sering" Dilihat dengan Tatapan Negatif

Semua guru mengharapkan adanya kemajuan dalam bidang pendidikan, namun sedikit yang benar-benar mau bergerak untuk mewujudkannya. Jadi bukan sekadar dalam rasan-rasan, apalagi hanya dalam angan. Dan dari yang sedikit itu pun, akhirnya banyak yang mrotol. Karena datangnya cibiran dan halangan yang dilakukan oleh rekan guru tersebut. Ini memang terdengar aneh, namun begitulah fakta yang terjadi di lapangan. 

Mengapa mereka begitu tega melakukannya pada teman seprofesi ini? Bukankah mereka juga sama-sama guru, sama-sama ingin melihat Indonesia berubah? Dua pertanyaan tajam ini menghasilkan beberapa jawaban yang bisa melukai hati. Dan semua itu adalah hal yang remeh temeh. 

1. Cap Sombong
Ini adalah jawaban yang paling umum disorongkan. Mereka mengira guru inovatif sudah tak mau berkawan lagi dengan mereka. Dalam pikiran mereka, guru inovatif ini selalu sibuk dengan solusi dan solusi. 

2. Ahli Bolos
Akibat aktivitas yang padat menjadi peserta, panitia, pemateri, atau bahkan pengurus organisasi pendidikan, sehingga guru inovatif diduga kerjaannya hanya bolos dan mengabaikan tugas mengajar siswa.

3. Tukang Pencitraan
Guru inovatif dituduh tidak tulus ikhlas dalam berbuat. Sebab menganggap tingkah polah guru inovatif hanyalah untuk aksi pamer belaka. Biar terkenal, biar dapat penghargaan. 

4. Kurang Kerjaan
Ini adalah jawaban yang terparah. Mereka  menyangka hal-hal yang dilakukan oleh guru inovatif adalah sesuatu yang sia-sia. Dan sungguh tak berguna, membuang-buang waktu saja.

Empat jawaban "tidak beradab" yang mereka layangkan ini, jika ditelisik secara dalam, memang kebanyakan murni karena salah paham. Sebab disadari maupun tidak, guru yang sudah kadung digelari guru inovatif, cenderung kurang dalam berkomunikasi. Sehingga dianggap menjaga jarak. Selain itu, terlihat terlampau serius dalam memandang sesuatu. Kurang woles

Mungkin guru inovatif juga harus membuka diri dan tak henti-hentinya dalam mewartakan, bahwa apa yang dilakukan itu untuk kebajikan bersama. Bukan untuk tampil gagah-gagahan dan mengejar piagam penghargaan. Apabila hal ini sudah dilakukan, dan tetap diperlakukan "tidak senonoh", tetaplah bersabar. Dan kalau bisa mendoakan orang yang telah berbuat itu, agar mendapatkan pencerahan. Cepat mendapatkan hidayah. Sehingga tak lagi "merundung" dan menjadi calon guru inovatif berikutnya. 

Jika hal ini dilakukan, tentu persoalan luka hati tidak lagi muncul di benak. Semua hal yang terjadi akan nampak baik-baik saja. Meskipun ada masalah maupun tidak, tetap rileks dalam menjalani. Sebab dunia tempatnya permasalahan. Apalagi setiap permasalahan memang gunanya untuk menempa diri, agar mempunyai sikap yang lebih baik lagi.

Sumber gambar: malangtimes.com

20 Maret, 2022

, ,

Guru Negeri dan Mitos Hutangnya


Ada sebuah mitos yang berkembang cukup lama di masyarakat, yaitu apabila ingin bisa berhutang dengan "elegan", maka jadilah pegawai negeri sipil. Dan hal ini dicoba dikonfrontir oleh Guru Muda (Gurmud) ke Mbah Guru (Mbahgur)

Gurmud: "Mbah denger-denger nih, ada mitos yang bilang, guru-guru kita pasca terima SK langsung SK-nya itu "disekolahkan?"

Mbahgur: "Wkwkwk."

Gurmud: "Kenapa ketawa mbah?"

Mbahgur: "Kok kayak kamu nggak aja."

Gurmud: "Ya nggak dong mbah. Ngapain?"

Mbahgur: "La situ mungkin belum butuh."

Gurmud: "Iya sih, mungkin belum butuh. Tapi saya jadi sedih mbah. Masak temen-temen baru diangkat PNS, kok langsung pinjam ke bank? Seakan-akan guru itu pendapatannya begitu kecil. Padahal kalau dilihat-lihat nggak kecil amat. Di tempat kita, paling nggak dua kali lipat dari upah minimum regional. Di banyak tempat, meskipun ada yang di bawah UMR, tapi langsung ditambal dengan tunjangan daerah. Atau kalau nggak gitu, kan dapat juga dana sergu."

Mbahgur: "Ngapain juga ngurusi hidup orang."

Gurmud: "Ini bukan bermaksud ngurusi hidup orang mbah, tapi ini bisa menjadi preseden buruk. Sebab saya beberapa kali ngisi kegiatan yang pesertanya siswa, ketika ditanya soal apa cita-citanya. Jarang sekali yang berminat jadi guru. Alasannya sederhana, gaji guru kecil. Kenapa mereka bisa berbicara seperti ini? Karena mereka melihat hobinya guru-guru mereka suka utang kesana-kemari."

Mbahgur: "Berarti ini muridnya pinter-pinter."

Gurmud: "Kok simbah malah ngedukung sih? Apa nggak khawatir, jika nanti tidak ada yang mau jadi guru, generasi besok akan diajar oleh robot?"

Mbahgur: "Apa jeleknya diajar robot?"

Gurmud: "Robot ini kan nggak bisa mengajarkan etika."

Mbahgur: "Apa guru-guru sekarang benar-benar tahu etika?"

Gurmud: "No comment mbah. Kok malah ngebahas robot."

Mbahgur: "Hehehe."

Sumber gambar: maucash.id
,

Prokrastinasi Mengancam Jiwa Guru

Percayalah tulisan ini tidak seseram judulnya. Lantas jika tidak seram, mengapa mengambil judul ini? Apakah ingin menipu pembaca? Dalam konteks pemberitaan, judul yang bombastis atau clickbait  adalah sesuatu biasa. Kenapa? Karena judul seperti itu menggoda secara psikologis. Penasaran akan membuncah. Dan bisa ditebak, pembacanya akan "gegap gempita" untuk membacanya.

"Jangan mengikuti kebiasaan buruk", mungkin ada yang menasihati seperti ini. Sebenarnya, ini bukan ngeles lho, judul ini memang disengaja sebab ada hubungannya dengan topik yang akan kita bahas. Karena topik yang akan kita bahas, memanglah sikap yang "berlebihan" dalam menunda suatu tugas atau pekerjaan. Dan cenderung untuk menipu diri sendiri.

Topik tersebut tiada lain adalah prokrastinasi (seperti yang sudah ada di judul). Prokrastinasi seperti yang diungkap Wikipedia, diserap dari bahasa Inggris. Kata ini sebenarnya diserap oleh bahasa Inggris dari dua kata dalam bahasa Latin, yaitu pro- yang berarti depan dan juga -crastinus yang berarti hari berikutnya. Imbuhan -crastinus sendiri juga gabungan dari dua kata, yaitu cras yang berarti besok serta -tinus yang merupakan imbuhan dalam bahasa Proto Indo-Eropa yang berfungsi sebagai untuk membentuk kata sifat yang berhubungan dengan waktu.

Secara sederhana, prokrastinasi berarti tindakan untuk menunda sebuah pekerjaan. Dan biasanya, baru dikerjakan di detik-detik terakhir. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita ulik alasannya.

1. Meremehkan 
Menganggap pekerjaan itu hal yang mudah dalam penyeselesaiannya, sehingga memicu dirinya untuk mengabaikan. Dan memilih tarsok-tarsok.

2. Kesulitan
Jika tadi pekerjaannya dianggap mudah, kali ini pekerjaannya dikira sulit. Hal ini membuat dirinya merasa harus belajar dulu. 

3. Tenggat
Merasa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masih lama. Maka membiarkan diri untuk tidak segera menyelesaikan. 

4. Kekinian
Waktu tenggat yang lama, juga memicu diri untuk merasa harus mementingkan hal-hal yang sekarang.

5. Prioritas
Karena merasa pekerjaan itu mudah diselesaikan. Pekerjaan itu tidak dianggap penting. Dan bisa nanti-nanti.

6. Perfeksionis
Memandang tiap sesuatu harus dikerjakan dengan sempurna, maka merasa tidak boleh ada kegagalan maupun kecacatan dalam hasilnya.

7. Kultur
Bisa saja hal ini terjadi, karena orang-orang di sekitarnya sering mempraktekkannya. Sehingga sudah seperti budaya yang harus dikerjakan.

Memang dalam kondisi tertentu, normal-normal saja prokrastinasi dilakukan. Namun menjadi sesuatu yang kurang baik, apabila hal itu sering atau bahkan dibiasakan. Apalagi itu dianggap sebagai sebuah kultur, hal itu akan membuat diri merasa termaafkan. Padahal dengan kebiasaan menunda sesuatu, banyak hal buruk akan terjadi. Dan mungkin bisa saja benar-benar mengancam keselamatan sebuah nyawa. Karena memang kebiasaan prokrastinasi ini mempunyai efek kelabakan dan hanya menabung kesengsaraan, seperti yang diungkap di situs mojok.co ini.

Sumber gambar: potential.com

19 Maret, 2022

,

Adakah "Crazy Teacher" Indonesia?

Akhir-akhir ini ramai di media massa dan sosial tentang adanya crazy rich yang telah melakukan penipuan lewat binary option. Menurut suara.com, julukan crazy rich dialamatkan pada orang-orang dengan kekayaan berlimpah yang memiliki berbagai bisnis, rumah dan mobil mewah, hingga mereka yang sering memamerkan gaya hidup khas kalangan kelas atas. Sedangkan binary option menurut kompas.com adalah instrumen trading online yang cara kerjanya adalah dengan mengharuskan trader untuk memprediksi atau menebak harga suatu aset akan bergerak naik atau turun dalam jangka waktu tertentu.

Tapi di tulisan ini, tidak akan mengulas lebih dalam tentang oknum crazy rich yang telah melakukan tindakan kriminal itu. Namun akan "menyoroti" polah tingkahnya untuk dijadikan kajian. Tingkah polahnya itu tiada lain adalah flexing. Flexing menurut Cambridge Dictionary adalah menunjukkan sesuatu yang Anda miliki atau raih, tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. 

Apakah flexing ini juga terjadi di dunia pendidikan di Indonesia? Sebab flexing dalam pengertiannya, selain menyangkut kekayaan, juga kecerdasan, bentuk fisik, dan segala hal yang mempunyai nilai lebih. Saya rasa hal ini bisa terjadi, karena pada dasarnya manusia terlepas apapun profesinya berpotensi untuk memamerkan apa yang telah berhasil dicapainya. 

Jadi apakah flexing ini keliru? Keliru maupun tidak, tergantung dari niatan si pelaku. Kalau dia menganggap hal itu sebagai upaya untuk menginspirasi dan memotivasi, tidaklah mengapa. Karena tuduhan bahwa orang itu pamer, memang berasal dari pihak lain. Belum tentu si pelaku ini mengakuinya sebagai bentuk pamer. 

Dan sebagaimana halnya pelaku flexing dalam ranah harta-benda, yang disebut dengan crazy rich. Maka pelaku flexing dalam ranah pendidikan, dapat saja disebut dengan crazy teacher. Karena memang prestasi mereka luar biasa, dan seakan-akan musykil untuk diraih guru biasa. Sehingga jika crazy rich diartikan sebagai super kaya, maka crazy teacher sebagai guru super. Alih-alih disebut sebagai guru gila.

Sumber gambar: 123rf.com

17 Maret, 2022

,

Jadi Guru Jangan Insekyur


Kira-kira ada nggak ya guru yang berani mengacungkan jari ketika diberi pertanyaan seperti ini, "Sudahkah bapak dan ibu guru menjadi pribadi yang inovatif dan kreatif, dinamis, responsif, manfaat tinggi bagi sejawat, produktif, dan memiliki resiliensi yang tinggi?" Sebelum buru-buru mengacungkan jari atau tidak, alangkah eloknya apabila membaca terlebih dahulu pengertian-pengertian dari istilah tersebut.

◇ Kreatif merupakan kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru untuk memandang masalah menjadi peluang. Sedang inovatif merupakan kemampuan untuk menerapkan solusi-solusi kreatif terhadap masalah dan peluang guna menumbuhkan usaha (Zimmerer dan Scrborough).

◇ Dinamis adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya (KBBI).

◇ Responsif adalah cepat merespon bersifat menanggapi, tegugah hati, bersifat memberi tanggapan  atau tidak masa bodoh (KBBI).

◇ Manfaat adalah suatu hal yang memiliki nilai guna yang dapat memberikan faedah (brainly.co.id).

◇ Produktif adalah sebuah bentuk dari sikap yang dimana ingin akan selalu untuk dapat terus berkarya, menciptakan sebuah yang akan memiliki nilai manfaat baik terhadap dirinya sendiri serta dari orang lain (brainly.co.id).

◇ Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (Adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich dan Shatte).

Bagaimana? Menjadi galau berat setelah membaca pengertian mereka? Merasa, "Aku kok nggak kayak gitu". Sebagai guru, saya jujur juga mengalami hal yang sama. Seakan-akan seperti jauh panggang daripada api, perilaku kita dengan hal itu. 

Apakah aspek mental yang dirilis oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar (GTK Dikdas) ini memang "maunya" ataukah baru sekadar wacana? Kalau memang "maunya", maka kebanyakan pihak akan menganggap itu hal yang musykil atau utopis. Dan pihak GTK Dikdas, tak boleh kebakaran jenggot, jika mendengar anggapan ini. Sebab apa yang diutarakan, sama sekali tidak membumi. Kalaupun kemudian membantah hal itu seharusnya sudah melekat pada tiap guru. Hal ini dapat disergah dengan pernyataan, "Mau dikemanakan guru-guru kita, jika memang belum memilikinya? Dipensiunkan dini ataukah diberikan pelatihan secara terstruktur, sistematis, dan masif?"

Mungkin akan kelabakan juga jika mendapatkan sanggahan tersebut.  Berbeda apabila hal itu baru dalam tataran diskursus,  orang akan ngeh kalau ini pilihannya. Sebab apabila menginginkan sebuah idealisme, haruslah benar-benar diukur dengan realitas yang ada. Janganlah asal mangap, janganlah asal jeplak. Mana-mana yang terlebih dahulu harus dibenahi, harus punya skala prioritas dan fokus, serta tidak berlebihan. Bagaimanapun juga, guru adalah seperti manusia pada umumnya, yang mempunyai titik lemah dan titik jenuh.

16 Maret, 2022

,

Mengapa Kita Bisa "Mendredag" Saat Public Speaking?

Kegiatan kemarin malam dan kejadian sore tadi yang saya alami, mensahihkan pendapat bahwa tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik. Lebih-lebih pada komunikasi massa. Bahkan pada orang yang notabene sehari-hari menghadapi publik, yaitu guru. Meskipun yang dihadapi itu masih terbilang anak-anak. 

Mengapa demikian? Mengapa bisa terjadi? Padahal kalau dipikir-pikir secara sekilas, guru sudah terbiasa. Artinya mereka ini mempunyai jam terbang yang tinggi. Dan tidak banyak profesi yang mampu menandinginya. Tapi jika dinalar secara dalam-dalam akan "ketahuan belangnya".

Kok ketahuan belangnya sih? Kagak sopan. Memang istilah itu terdengar kurang menghormati guru, namun jika mau menyelidik lebih dalam, istilah itu sudahlah tepat untuk dipakai. Sebab disadari maupun tidak, seorang guru akan cenderung "menyelepekan" kedudukan siswa. Sehingga dia dengan leluasa ngomong apa saja tanpa beban. Berbeda jika berbicara di hadapan umum atau disebut public speaking. Nyalinya ciut-mengkerut, karena dalam pikirannya orang-orang akan menggibahnya atau lebih dari segala hal dibanding dirinya.

Padahal itu adalah manifestasi dari gelapnya pemikiran. Terlalu berlebihan dalam memandang pendapat orang yang belum tentu juga ada wujudnya. Dan kalau dirangkaikan dalam kalimat tanya, bisa segerbong gini.

1. Apa mereka akan menertawakan saya?

2. Apa mereka paham dengan perkataan saya?

3. Apa mereka sedang menggunjing saya?

4. Apa yang saya sampaikan salah?

5. Apa mereka tidak menyukai saya?

Dan masih banyak "apa-apaan" lainnya. Ini hanya sebagian kecil saja. Namun mampu memotret fakta yang terjadi.

Akibatnya hal ini dapat menimbulkan peristiwa yang disebut dengan tongue-tied atau ilat mblundeti alias lidah tercekat. Sehingga kesulitan untuk melanjutkan pembicaraan. Dan ending-nya jelas tertebak. Bikin kisruh.

Tentu kita semua tidak ingin hal itu terjadi pada kita. Makanya sebelum melakukan public speaking, kita wajib melakukan latihan. Dan ini juga tetap berlaku pada orang yang sudah mahir dan terbiasa. Sebab bagaimanapun juga, dengan berlatih akan menguatkan hasil.

Latihan apa saja yang perlu dilakukan? Ada dua yang umum dilakukan, yaitu bantuan-cermin dan rekam-video. Keduanya dapat dilakukan sendiri maupun dibantu pihak lain. Selain itu juga di-back up dengan mempelajari bahasa tubuh, ekspresi wajah, kejelasan, intonasi, diksi, dan aksen. 

Apakah masih ada persiapan lainnya? Masih. Yaitu membuat daftar perkiraan pertanyaan. Dengan membuat ini, kita menjadi dengan mudah menjawab. Dan ini tentu saja, dapat meningkatkan kepercayaan diri. Sebab memang ujung-ujungnya bahasan artikel ini tiada lain adalah rasa percaya diri. Makanya untuk meningkatkan hal itu, haruslah mampu menghafal materi (jika susah menghafal, buatlah tulisan garis besar) dan mengingat pendukung materi (humor, lagu, dalil agama  quotes, dan dance). 

NB: Mendredag ini adalah kosakata gaul Bahasa Jawa untuk kata "ndredeg"  yang berpadanan kata dengan gemetar, grogi, atau gugup.

Referensi:

• info.populix co

• peoplematters.in

11 Maret, 2022

,

Menyalahkan Guru di Kelas Rendah


Selama ini kasus bullying di pendidikan, selalu dikira terjadi antara siswa dengan siswa. Padahal bullying atau mempunyai padanan kata dengan penindasan, perisakan, dan perundungan, ini juga terjadi antara guru dengan guru. Tentu mendengar hal ini, janganlah kaget. Memang benar guru secara ideal adalah manusia yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang etika. 

Tetapi yang namanya manusia juga mempunyai khilaf. Jadi melihat ini, perisakan bisa juga guru yang melakukannya. Dan jangan menganggap penindasan ini menjurus ke hal-hal yang cenderung fisik. Sebab faktanya lebih banyak ke arah psikis. Ini sesuai dengan pengertian bullying itu sendiri, yaitu tindakan atau perilaku yang dilakukan untuk menyakiti baik dalam bentuk verbal maupun ragawi.

Apa saja verbal-bullying yang umumnya terjadi antar guru, namun tidak disadari keberadaannya? Di sini hanya diberikan sebuah contoh saja. Perundungan itu adalah menyalahkan ketidakmampuan siswanya gegara guru sebelumnya dianggap tidak mengajari. Jika diredaksionalkan ungkapannya seperti ini, "Apa saat di kelas itu, kamu tidak diajari gurumu?" Hal ini jika dilontarkan langsung kepada siswanya. Apabila di antara sesama rekan guru, bisa saja jadi semacam ini, "Apa guru di kelas sebelumnya tidak bisa mengajar ya?" Padahal ini dikatakan di saat rapat, yang guru disentil itu ada. Dan ini tidak cuma sekali dua kali, namun terus menerus.

Padahal guru yang suka menyalahkan ini, belum tentu juga mempunyai kemampuan dan keberhasilan, jika ditempatkan di kelas atau sekolah yang lebih rendah jenjangnya. Mereka ini hanya mau menang-menangan saja, mau enak sendiri. Lupa bahwa tugas guru adalah "mencerdaskan" siswanya. Sebab seperti pemeo, kalau sudah cerdas kenapa harus sekolah?

Mereka tidak mau melihat secara luas, bahwa setiap siswa di setiap jenjang itu mempunyai persoalan yang unik dan khas. "Keistimewaan" ini dapat timbul karena faktor usia atau hal lain seperti keluarga, pertemanan, jarak sekolah, dan lain sebagainya. Jadi tidak boleh digebyah uyah. Kalau usia sudah sekian, atau sudah kelas sekian, pasti telah menguasai kemampuan yang dipersyaratkan. Jika memang sudah mampu, tentu tidak dilaksanakan adanya perbaikan. Padahal perbaikan ini salah satu muaranya dapat menentukan terjadinya penelitian tindakan kelas (PTK). Hal yang sangat dibutuhkan guru, untuk naik pangkat (di negeri).

Dan seringkali ketidakmampuan siswa itu, memacu guru menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam merancang konsep pembelajaran yang akan dilakukan. Sehingga menciptakan penemuan-penemuan baru di dalam perbaikan mutu pendidikan. Yang dalam hal ini dapat mewujud ke arah best practice (praktik terbaik). Sesuatu yang sungguh dibutuhkan pendidikan saat ini.

Sumber gambar: facebook.com

08 Maret, 2022

,

Ketika Guru Merindukan Libur di Hari Sabtu


Siang ini hujan turun begitu deras, sehingga terpaksalah Guru Muda mampir ke pondoknya Mbah Guru. Sebab rumah beliaunya yang paling dekat dengan jalan dan mudah dijangkau. Setelah sampai dan dipersilakan duduk, maka terjadilah percakapan seperti ini.

Mbah Guru: "Kadingaren siang-siang begini ke rumahnya simbah."

Guru Muda: "Maaf ini tadi saya pulang dari sekolah. Tiba-tiba hujan deras. Jadi saya mampir sekalian berteduh."

Mbah Guru: "Nggak mau tanya-tanya sesuatu?"

Guru Muda: "La  mau tanya apa tho mbah?"

Mbah Guru: "Kan biasanya situ suka tanya-tanya kalau kesini."

Guru Muda: "Oalah iya-iya. Tapi maaf nggak ada bahan pertanyaan."

Mbah Guru: "Masak gitu aja butuh bahan? Mbok sing kreatif."

Guru Muda: "Bentar-bentar. Ya udah gini aja. Saya sebenarnya pengin kalau Sabtu itu libur. Biar sama dengan yang ngajar di SMA."

Mbah Guru: "Gunanya apa?"

Guru Muda: "Kan ada waktu rehat yang lebih panjang. Guru dimanapun sama. Punya beban tugas yang berat. Jadi kurang adillah, jika yang satunya dapat. Yang satunya tidak."

Mbah Guru: "Ya pindah saja ke SMA. Beres"

Guru Muda: "Mbah itu kok enak sekali jawabnya."

Mbah Guru: "Mau jawabannya yang kayak apa?"

Guru Muda: "Paling tidak ngasih solusi yang riil."

Mbah Guru: "Itu kan sudah riil. Mau riil gimana lagi coba?"

Guru Muda: "Iya yang ngedukung gitu lho. Bahwa semua guru kedudukannya sama. Karena sama, ya harus diperlakukan adil. Bukan emban cindhe emban siladan."

Mbah Guru: Wong libur saja dibikin resah. Yang perlu diresahkan itu, kalau mengajarnya itu lho nggak berdampak apa-apa. Tidak inovatif. Hanya cuma modal ceramah dan marah-marah."

Guru Muda: "Kok saya yang malah disemprot tho mbah?"

Mbah Guru: "Pean jelas salah. Namanya guru mengeluhkan begituan. Tak bermutu tau."

Guru Muda: "Wah salah lagi."

Mbah Guru: "Makanya besok-besok kalau kesini bawa bahan."

Guru Muda: "Siap."

Mbah Guru: "Terus masih ada kesalahan lagi. Bukan cuma satu."

Guru Muda: "Waduh,  apa itu mbah?"

Mbah Guru: "Tadi kan kamu belum mengajukan pertanyaan, baru pernyataan."

Guru Muda: " Terus satunya apa mbah?"

Mbah Guru: "Mestinya kamu itu tanyanya pada hari Sabtu, bukan Selasa gini. Jadi kurang terasa hubungannya."

Guru Muda: "Hmmm."

Sumber gambar: keepcalms.com
, ,

Guru Senior Juga Punya Sisi Keunggulan

Semakin lama semakin berkembang wacana yang mendiskreditkan guru senior atau biasa kita sebut guru sepuh. Dan anehnya sebagian daripada guru sepuh ini juga mengaminkan hal itu. Semestinya mereka kompak untuk melawan stigmatisasi ini. Sebab bagaimanapun juga, guru sepuh adalah "aset bangsa" yang terpenting saat ini. Tanpa keberadaan mereka, mana mungkin republik ini masih kokoh berdiri hingga sekarang? Jadi eksistensi mereka, jangan sampai dinihilkan. Apalagi oleh alasan remeh-temeh macam penguasaan teknologi. 

Dimanapun negara, yang diutamakan adalah sisi manusianya, bukan teknologinya. Karena teknologi sekadar "alat bantu". Yang namanya alat bantu adalah membantu proses berjalannya sesuatu dengan lebih cepat, mudah, atau baik. Meskipun begitu tidaklah urgen, tergantung dari kebutuhan. Ini sama halnya yang terjadi di ranah pendidikan. Teknologi hanya "memuluskan" pemahaman dengan cara yang lebih akseleratif dan menarik. Tapi tanpanya, proses pembelajaran tetap dapat berjalan sewajarnya. Bukannya malah nenjadi terseok-seok dan tertatih-tatih.

Di samping dianggap payah soal penguasaan teknologi, ada anggapan yang lebih "keji". Apakah itu? Ketidakmauan belajar alias tidak bersedia di-upgrade. Jikalau memang benar, tentu harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan utuh. Jangan parsial, jangan setengah-setengah. Dan apabila mau menengok lebih dalam, ada sisi-sisi yang harus dipahami pengambil kebijakan. Bagaimanapun juga guru adalah manusia. Yang namanya manusia, tentu mengalami penyusutan fungsi anatomik

Penyusutan fungsi anatomik adalah hal yang lumrah, dan sepantasnya terjadi pada diri manusia. Penyusutan yang terjadi salah satunya adalah pada daya ingat. Guru-guru sepuh tentu akan kesulitan, apabila "otaknya" dijejali pengetahuan-pengetahuan baru. Apalagi itu berbau asing, tentu sulit dikunyah oleh pemikiran mereka. Dan ini akan mendorong mereka mengalami keengganan untuk mempelajari. 

Padahal hal ini tetap bisa disiasati. Bisa diatasi dari segi aturan, yaitu membuat sebuah sistem yang ready for use, siap pakai. Jadi guru-guru sepuh itu tinggal plek-plek-plek, tanpa harus susah payah dalam mengingat dan menggunakan. Kalaupun ini belum bisa dilaksanakan, minimal dibuat kebijakan di tingkat lembaga pendidikan. Agar terjadi kolaborasi antar pendidik dalam pemanfaatan teknologi. Sehingga mereka ini merasa tidak asing dan terasingkan. Juga dapat mengalih-dayakan hal itu ke para siswa (yang tentunya sudah dibekali terlebih dahulu). Dengan itu semua, baik guru sepuh maupun guru muda tidak lagi iren-kemiren. Sebab mereka saling bersinergi dan membutuhkan satu sama lainnya.

Sumber gambar: elementarymatters.com

07 Maret, 2022

,

Guru Inspiratif, Sebuah Sensifitas yang Teramplifikasi

Guru inspiratif dapat muncul dimana saja. Namun persoalannya adalah kapan dia muncul di hadapan kita. Sebab kita merasa guru inspiratif seperti dongeng. Kayaknya terasa nyata, namun sulit kita pegang. Mereka seakan-akan hidup di Pulau Kapuk. Jadi kemungkinan kita temui, saat kita berada di alam impian.

Dan apabila ada yang mengetahui keadaan ini, kemungkinan akan berkata, "Ya jadi guru inspiratif itu sendiri dong". Kita pun akan membalas begini, "Tak semudah itu Bro". Selanjutnya terjadilah debat kusir yang tak berujung dan tak bermutu pula. Hanya menimbulkan luka di hati saja.

Begitulah kita, suka berangan-angan, suka mengawang-awang. Padahal lho tinggalnya di permukaan bumi. Sebagai makhluk yang hidup di muka bumi, mestinya memikirkan caranya bertahan hidup alias survival attack. Konsep bertahan hidup itu artinya mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perkembangan sekelilingnya. Dan yang tidak mampu bertahan hidup pastilah mengalami kepunahan. 

Masak kita sebagai guru menginginkan kepunahan diri, kan ya nggak tho? Tentu kita ingin eksis. Dan tak mau anak-anak kita nanti diajari humanoid, yang jelas tak punya sisi etika dan religiusitas. 

Makanya kita harus berubah, saling menginspirasi. Seperti yang tertulis pada gambar di atas. Teachers Inspiring Teachers. Sebab jika kita saling menunggu, tentu perubahan tidak akan terjadi. Harus ada yang bersedia menjadi pionir, bahkan kalau perlu menjadi martir. Ingat, setiap "yang mengawali" butuh effort yang luar biasa. Banyak hambatan yang menghalang maupun menerjang. Dan itu semua harus diterima. Karena itu resiko dari sebuah perjuangan.

Sumber gambar: amazon.com
,

Sanggupkah Guru "Mengauto-kritik" Dirinya?


Jujurly, kita tak sanggup kalau disuruh untuk otokritik. Jangankan otokritik, refleksi sebagai "kegiatan" yang harus dilakukan pun, sering kita kesampingkan keberadaannya. Padahal dengan refleksi, kita mengetahui seberapa tinggi nilai kekurangan. Sehingga kita bisa melakukan perbaikan-perbaikan, yang berdampak signifikan. 

Refleksi jika boleh dikatakan, adalah cara tercerdas, untuk menilai sejauhmana kinerja kita. Baik dalam pengajaran maupun kepegawaian. Dengan melakukan refleksi, artinya melakukan evaluasi terhadap segala pekerjaan yang telah dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan scoring. Dari hasil scoring tadi, kita dapat memutuskan "kebijakan diri". Tentu dengan melakukan hal itu, kita akan terbayang untuk menindaklanjutinya dalam perubahan cara pandang. Perubahan inilah yang dapat menciptakan guru yang unggul. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang menginginkan dirinya diselimuti kebebalan. Pasti kita mau tiap saat meningkat kapasitas kemampuan yang dimiliki. 

Apabila refleksi adalah cara tercerdas, maka otokritik adalah cara terpedas. Sebab fokus penilaian pada kekurangan yang dipunyai lebih tinggi, bahkan cenderung melewati batas. Makanya kita selalu "ketakutan" duluan, apabila disuruh melakukan otokritik. Sebab pasti akan terpampang "dosa-dosa besar" yang telah dilakukan. 

Dan ketika kita melihat itu, jadi jiper. Mau tobat kok gimana? Nggak tobat kok juga gimana? Padahal kita tahu, semua kesalahan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Dan seberapa kuat sih kita bisa lari dari itu semua? Sebab sebenarnya kita tak mungkin lari. Jadi jalan terbaik agar dibebaskan dari "hukuman" itu adalah memohon ampun, meminta maaf. 

Tentu permohonan dan permintaan itu, disertai perubahan perilaku. Dengan perubahan perilaku, akan dilihat sebagai ikhtiar penebusan dosa. Karena bagaimanapun juga, langkah kaki akan terasa ringan melenggang, apabila beban-beban kekeliruan sudah tercerabut dari pundak kita.

Namun persoalannya, kapan kita berani melakukannya? Sebab kita terlampau senang untuk menunda-nunda. Walaupun tahu, yang menuai rugi ya kita-kita sendiri. Kita masih suka berandai-andai. Meskipun tahu, hal itu tak akan tercapai. Mestinya kita tak perlu menunggu "besok". Karena bisa jadi, mentari esok pagi tak lagi mau bersua dengan kita. 

Sumber gambar: englishlib.org

06 Maret, 2022

,

Hal-hal yang Membahagiakan Guru


Sebenarnya apa saja sih yang membuat guru bahagia? Agar mempunyai persepsi yang sama tentang apa itu "bahagia", marilah kita menilik pengertiannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahagia menurut kamus itu, termasuk kata benda (nomina) dan kata sifat (adjektiva). Baik arti dari segi nomina maupun adjektiva, saling menyokong. Dan di bawah ini pengertiannya.
1. /nomina/ keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan): -- dunia akhirat; hidup penuh -
2. /adjektiva/ beruntung; berbahagia: saya betul-betul merasa -- karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga.

Agar lebih puas, bisa menengok sendiri pengertiannya secara lebih luas di KBBI dan di Wikipedia. Bagaimana? Saya anggap kita semua punya pendapat yang berbeda-beda tentang makna "bahagia". Namun jika meninjau pengertian secara mengkamus tadi, saya kira tidak jauh berbeda.

Karena sudah terang benderang soal pengertian bahagia, mari kita lanjutkan tentang topik kita, yaitu apa yang membuat guru bahagia. Pada umumnya guru bahagia ketika mendapatkan siswa yang rajin, patuh, sopan, antusias, dan berprestasi. Tapi faktanya berapa persen guru yang mengalami secara langsung pengalaman seperti itu? Apakah itu berlangsung terus menerus? Apakah itu terjadi di semua siswa?

Bagi guru yang sudah bertahun-tahun mengajar, di atas sepuluh tahun, tentu sepakat untuk menjawab "pernah". Akan tetapi "pernahnya" ini tidak terjadi di tiap tahun dan tidak untuk seluruh siswa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa karena penampilan guru kurang menarik secara fisik? Apa karena dalam penyampaian materi kurang atraktif? Apa karena kurangnya waktu guru dan siswa berinteraksi? Apa karena memang kualitas siswanya yang bermasalah? Apa karena kultur latar belakang siswa? Apa karena kebijakan sekolah? Ataukah hal ini bersumber dari kurang matangnya kurikulum kita saat ini? Apa ada yang bisa memaparkan jawaban yang pas dan kena di hati tentang soal-soal di atas?

Di depan tadi adalah hal yang menyangkut hubungan dengan diri siswa. Bagaimana dengan hal pribadi guru? Tentu semua guru, sangat-sangat setuju, apabila parameter kebahagiaan dari sisi pribadi adalah kenaikan gaji dan tunjangan. Mendengar hal ini, jangan buru-buru memvonis guru termasuk makhluk matre. Sebab bagaimanapun juga guru adalah manusia. Sebagai manusia, pasti butuh kepastian dalam mengarungi kehidupan yang tak pasti ini. Begitu juga, ketika guru menginginkan proses administrasi yang lebih ringan. Ini tidak berarti guru termasuk golongan pemalas. Ini adalah hal yang lumrah dan wajar. Sebab faktanya, administrasi pendidikan hari ini, sudah seperti gunung anakan dan datangnya bagaikan air bah. Apa Anda merasa sepakat dengan pernyataan barusan?

Sumber gambar: m.apkpure.com

03 Maret, 2022

,

Apa Sih Isinya Situs Pendidikan?

Bagi yang penasaran atau pengen saran, dapat membaca bahasan berikut ini. Namun jangan memasang target tinggi-tinggi lho ya, takutnya jatuh. Kalau jatuh sampai yang nolongin coba? Nggak ada. Sebab jatuhnya itu di dalam benak, jadi yang tahu ya Anda sendiri bukan orang lain. Kalaupun dicurhatkan ke orang lain, itu juga kadang kagak nolong. Sebab responsnya bisa saja cuma begini, "Gitu ya?" Bikin nyesek dua kali kan? Mending nggak usah. Nikmati saja. Termasuk menikmati intro tulisan yang mungkin bikin ilfil ini, dan mulut auto-ngomong, "Ih ini tulisan apaan sih?" 😁

Ya sudah, saya sudahi saja, biar tidak semakin enek perasaannya. Tapi sebenarnya jujur saja, ketika membaca judul tulisan ini, hawa agak-agak tidak serius sudah terasa. Baik yang peka maupun kurang peka perasaannya. Jadi tak mungkin, kalau "pembukaan" itu disangka cengengesan yang tak berguna alias unfaedah.

Baiklah saya mulai ulasannya, berbicara tentang situs pendidikan tentu berbicara tentang kebutuhan guru sehari-hari. Kebutuhan sehari-hari itu tidak jauh dari bahan ajar dan ditambah dengan administrasi yang melingkupi. Dengan melihat kebutuhan tersebut, pasti situs-situs pendidikan berusaha seoptimal mungkin menyediakan yang paling update. Dan yang paling update tentu saja mengalami lonjakan traffic setiap hari.

Agar pelayanan menjadi optimal, situs-situs itu menjadi spesialis di bidang tertentu. Hal ini tentu saja dalam rangka memudahkan dan mempercepat pencarian. Meskipun begitu, ada juga yang mengambil langkah untuk memberikan segalanya atau one stop shopping. Palugada, apa yang lu mau gue ada. Prinsip ini juga tidak salah. Sebab bisa jadi pengunjung, tidak ingin berpindah-pindah. Suka puas di satu situs saja.

Walaupun begitu, tetap pula melakukan pelabelan dan kategorisasi. Dan umumnya kategori yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Materi pelajaran 
2. Soal-soal
3. Administrasi kelas
4. Administrasi sekolah
5. Administrasi kepegawaian
6. Teknologi di bidang pendidikan
7. Warta pendidikan
8. Perlombaan

Selain kategori yang umum di atas, ada pula kategori lainnya. Namun seringkali terbatas pada kategori motivasi dan renungan. Hampir sulit menemukan situs maupun blog yang mengulas hal-hal pendidikan secara ringan, seperti di blog ini. 😄

Sumber gambar: colorlib.com
,

Masak Ada Guru yang Tak Ngoyo Ngopeni Muridnya?

Jika ada guru yang bilang,"Nggak usah ngoyo-ngoyo. Lha wong anaknya orang". Bisa dipastikan platform berpikirnya sudah keluar jalur. Bagaimana tidak keluar jalur? Sebab pekerjaannya guru adalah mengurusi anaknya orang lain. Kalau tidak mengurusi anaknya orang lain, lantas pekerjaannya apa? Ghibah gitu? Kan nggak tho?

Yang namanya mengurusi anak orang tak boleh setengah-setengah, harus sengoyo mungkin. Sebab kelak mereka yang mewarisi peradaban saat ini. Kita pasti tak mau peradaban kita mendadak ambyar berantakan ketika di tangan mereka. Karena mereka tak punya bekal dan bingung harus melakukan apa.

"Ngapain mikir terlalu jauh?" Kalau ada yang menyergah pendapat itu. Oke, baiklah ini ada pendapat yang lebih masuk akal dan pasti menohok. Apa kita mau anak-anak kita dibimbing oleh guru-guru yang maunya santai saja? Yang kerjaannya nyuruh murid mengerjakan tugas seabreg dari buku, sedikit ngasih penjelasan, dan hobinya marah-marah melulu. Tentu tak mau bukan? 

Jika tak mau, tentu kita harus menengok diri kita di cermin masing-masing. Sudah seberapa pantas kita menjadi guru? Sudahkah menghiasi diri dengan ilmu yang mumpuni? Sudahkah belajar setiap hari untuk meng-update pengetahuan? Sudahkah menggelar pengajaran yang menyenangkan dan bermakna? Sudahkah berkeringat-keringat untuk menggali potensi siswa? 

Apabila belum, berani nggak menunjuk ke jidat sendiri? Lalu bilang, "Benarkah saya ini guru?" Kemudian lekas-lekas resign, menyerahkan surat pengunduran diri. Saya kok haqqul yaqin nggak ada yang berani, meski kita belum melakukan itu semua. Coba kenapa?

Sumber gambar: pinterest.com

02 Maret, 2022

,

Public Speaking-nya Guru

Alhamdulillah, akhirnya saya bisa menulis di blog ini tentang webinar yang diadakan Kelas Berbicara atau lebih suka menahbiskan diri sebagai Kelas Public Speaking. Di Kelas Public Speaking yang sekarang sudah sampai gelombang 5 ini, saya diminta menjadi anggota Tim Horrreee. Saya sebenarnya nggak tahu kapasitas saya, sehingga sampai "tega" dimasukkan ke dalamnya. Katanya saya ini, begini dan begitu. Dan mungkin juga "begono". Karena dasarnya saya orangnya mauan, iya saya mau. Mungkin ini yang disebut dengan begono tadi. Gitu Maszzzeeeh.

Di pertemuan kelima, atau tepatnya tadi malam, saya mengikuti sampai tuntas. Ini berbeda dengan pertemuan sebelum-sebelumnya, hanya secuil. Alasannya klasik saja, dan ini tentu dengan mudah ditebak. Jadi tak perlu dibahas dengan dalam. Hanya di pertemuan pertama saya ngikut. Bukan karena tak ada kendala, tapi ya kebetulan jadi pembicara pengganti. Jadi mau tak mau, apapun kendala harus dikendalikan.

Sedangkan di pertemuan kelima, tak ada kendala. Pokoknya lancar-car-car. Senang dong. Apalagi materinya yang luar biasa, tentang hubungan guru dan murid. Guru harus mampu memahami karakter dan juga memfasilitasi potensi-potensi yang dimiliki para siswanya. Sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai generasi hebat. 

Agar dapat lebih menangkap maksud saya tadi, bacalah resume-resume yang saya cuplik dari beberapa blog peserta. 

1. https://leniguruuhuy.blogspot.com/2022/03/gurunya-manusia.html?m=1

Tak dipungkiri saat ini segala aspek sudah menggunakan sistem elektronik, termasuk dalam aspek pendidikan yang biasa kita kenal dengan istilah e-learning. Kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat sangat membantu proses pembelajaran saat masa pandemi ini, namun juga memiliki  dampak pada perkembangan anak didik kita.

Beliau menuturkan dari hasil penelitian yang dilakukan, masalah anak didik kita saat ini 20% adalah masalah akademis dan 80% adalah masalah non akademis. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua, termasuk para guru. Dari 80% ditemukan empat masalah yang paling utama : adiktif gadget, adiktif pornografi, abuse, dan anti sosial

2. https://guruuningabersamabulieze.blogspot.com/2022/03/guru-manusia-di-masa-pandemi.html?m=1

Saat seorang guru tidak bisa menjadi guru manusia, maka perannya akan digantikan oleh gadget. Oleh karena itu, solusi cerdasnya adalah menjadi the inspired teacher.

Ciri-ciri the inspired teacher adalah :

1. Kita harus berperan sebagai orangtua yang memberi nasehat

2. Guru yang memiliki pengetahuan lebih

3. Sahabat yang mau diajak berbagi

Kalau tidak bisa seperti itu, maka kita bisa tergantikan oleh robot. Bahkan dengan hologram, satu guru dapat terlihat di beberapa kelas (sampai luar negara pun bisa). Tentu dengan penyesuaian bahasa.

3. https://swulandarigawaikucoretankugmld21.blogspot.com/2022/03/guru-manusia-dimasa-pandemi-menjadi.html?m=1

Dalam masa e-learning ini diperlukan kemampuan khusus, agar kita tidak tergantikan oleh tenaga robot yang sudah dikembangkan di negara maju. Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai solusi atas masalah ini? Tentu dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Sikap guru teladan
2. Semua anak didik  dilahirkan  adalah seorang bintang
3,  Kemampuan yang sifatnya seluas samudra
4. Anak cerdas dengan multiple  intelligence
5. Masa Revolusi 4.0, guru dituntut harus  memiliki kemampuan di bidang teknologi multimedia

Untuk penjelasannya lebih dalam, tontonlah materinya di tautan berikut ini: https://youtu.be/DrpP716k7Fs

01 Maret, 2022

,

Menyibak Karakter Guru Inovatif


Saya yakin semua guru saat ini, adalah guru yang inovatif. Cuma yang membedakan adalah tingkatan keinovatifan. Sehingga wajar, ada yang nampak di permukaan. Ada pula yang "terendus" pun tidak. Ini bukan karena soal koneksi, bisa jadi cuma nasib belaka. 

Dan seringkali keinovatifannya itu tidak selalu dirasa sebagai sebuah inovasi. Dianggap hal yang normal-normal saja. Ini menjadi problem tersendiri. Sebab bisa jadi inovasinya tadi mampu mengubah wajah pendidikan kita yang sudah bopeng menjadi glowing

Makanya ketika guru menemukan sebuah gagasan yang inovatif, harus di-support benar-benar. Baik dana, do'a, maupun dukungan kebijakan. Tidak cuma perkataan, "Loe hebat Bro." Harus ada langkah-langkah taktis dan teknis yang mengawal. Agar inovasi itu tidak "terjerembab" di tengah jalan. 

Dengan demikian juga menginspirasi tumbuhnya inovasi-inovasi di berbagai tempat dan bidang. Karena pendidikan adalah induknya peradaban. Jika pendidikannya maju, maka peradabannya menjadi gilang-gemilang. Dan ini tentu hal yang kita idam-idamkan. 

Untuk itu setiap guru harus mengenali maqom keinovatifannya, agar bisa diberdayakan secara sistematis, masif, dan terencana. Dan di bawah ini, bisa dilihat dengan mata telanjang, kedudukan keinovatifan yang bercokol di diri tiap guru.

1. Andaikan
Pada tataran awal ini, keinginan berinovasi masih dalam angan-angan. Belum tergugah secara internal. Ada semacam ketakutan fobik di dalam dadanya.

2. Ashiap
Ini adalah level kedua, dimana keinovatifan mulai diejawantahkan, direncanakan untuk diterapkan. Harapan baru oase dalam pengajaran keseharian, menjadi nampak secara lamat-lamat.

3. Asoy
Di tingkatan ini, keinovatifan sudah melalui tahapan "evaluasi". Sudah dikenali sisi keunggulannya. Dan sudah layak disebut dengan istilah kekinian, yaitu pengampu best practice.

4. Amplifikasi
Ini adalah maqom puncak, dimana inovasinya disebarluaskan. Tidak cuma dipendam dan diperam di kelas dan sekolahnya. Tapi sudah mengglobal. 

Demikian keempat tingkatan keinovatifan. Dan setiap guru, pasti tahu dimana tingkatannya sekarang. Jangan sampai ada guru  yang level awal pun belum ada di benaknya. 

Sumber gambar: pamercourses.com