Tampilkan postingan dengan label usia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label usia. Tampilkan semua postingan

21 Januari, 2023

, ,

Kontrol Diri dengan Terapi Menggambar

Kontrol Diri dengan Terapi Menggambar
(Hari Kedelapan Belas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Di hari kedelapan belas ini, saya baru menyadari bahwa Tema 6 ini "ditingkahi" banyak ulasan tentang poster. Mestinya kesadaran ini tak boleh datang terlambat, sebab sudah sampai Subtema 3 pada Pembelajaran 6. Tapi ya, saya maklumi sendiri. Dengan alasan, jadi guru kelas enamnya juga makbenduduk, mendadak begitu saja. Belum ada persiapan sebelumnya.

Adanya materi tadi, menimbulkan pemikiran kepada diri saya. Apakah memang ini dibikin karena ada kaitannya dengan apa yang dialami para siswa? Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa anak-anak di kelas enam, biasanya sudah memasuki masa pubertas. Dan seringkali di masa pubertas itu, kontrol diri belum bisa dilakukan sepenuhnya alias masih labil.

Lantas apa hubungannya masa pubertas dengan poster? Tentu ada, dan tak cuma digatuk-gatukkan alias cocoklogi. Coba dipikir! Mana mungkin pembuat kurikulum tidak memikirkan hal yang saling terkait? Pasti mereka sudah dengan amat sangat telitinya. Melakukan penjlimetan dengan tingkatan luar biasa.

Agar sidang pembaca, tidak terjebak kebingungan lebih dalam. Mari kita bahas apa itu kontrol diri? Menurut Tangney, Baumeister dan Boone, kontrol diri (self-control) merupakan kemampuan seseorang untuk melampaui atau merubah respon dalam diri juga untuk menghalangi perilaku yang tidak diinginkan, yang muncul sebagai bentuk respon dari sebuah situasi.

Rubin berpendapat, art therapy atau terapi seni merupakan cara untuk memahami dan membantu orang lain dengan proses terapi melalui seni. Sedangkan dari Malchiodi, proses pelaksanaan art therapy juga dapat menjadi sarana anak melepaskan emosi dan mengatasinya.

Dan salah satu terapi seni itu adalah menggambar. Seperti yang kita pahami, poster adalah bagian dari seni menggambar. Dengan adanya banyak bahasan tentang poster (yang disertai praktik pembuatannya), dapat membuat anak secara sadar maupun tak sadar belajar untuk mengendalikan diri. Apalagi saat membuat posternya, mereka terlihat lebih tenang. Berusaha menyelesaikan dengan baik. Meskipun jika dihitung, waktu yang dihabiskan--menurut perkiraan saya-setengah kali lebih banyak dibandingkan dengan kelas yang lebih bawah.

Bojonegoro, 21 Januari 2023

22 Februari, 2022

, ,

Usia Harapan Hidup Guru yang Semakin Rendah


Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, namun sebuah perenungan. Bahwa hidup manusia di dunia ini penuh misteri. Apa yang disangka dan diperkirakan, belum tentu apa yang didapatkan. Dan di sinilah bukti bahwa Tuhan itu Maha Ada dan Maha Kuasa. Meskipun begitu, manusia tetap diwajibkan berikhtiar Oleh-Nya, bukan sekadar berpangku tangan. Menunggu bintang jatuh di tangan. Sebab manusia yang berusaha dengan tak kenal lelah adalah manusia yang sebenar-benarnya. Dan guru adalah salah satu sosok manusia tersebut.

Kita bisa lihat betapa besar perjuangan guru untuk kita. Beliau-beliaunya berela-rela berangkat pagi-pagi dan seringkali pulang menjelang petang. Demi memastikan kita mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan seringkali terpaksa mengabaikan kebutuhan pribadinya, agar anak didik tetap memperoleh pengajaran sebaik-baiknya.

Namun dibalik keluarbiasaan perjuangan tersebut, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kita lihat di berbagai tempat saat ini, angka harapan hidup guru semakin menipis. Hal ini memang tidaklah berasal dari sebuah data yang sungguh-sungguh valid. Namun hanya berdasarkan pada pengamatan dan berbagai informasi yang berseliweran.

Hampir setiap hari, kabar duka singgah di timeline kita. Guru-guru dalam kisaran usia 40 - 50 tahun, bahkan lebih muda dari itu, meninggalkan dunia fana ini. Penyebabnya dapat bermacam-macam. Tetapi yang terlihat kebanyakan, karena sebuah penyakit. Jika ini di-cross check-kan dengan keadaan guru-guru, khususnya sebelum era reformasi agak berbeda.

Guru-guru senior (kalau boleh dikatakan begitu), terbilang sehat bugar sampai lanjut usia. Hampir-hampir tak ada yang berpenyakit berat. Kekurangan yang biasanya ditemui pada usia tua, semacam pegal linu atau katarak, tak begitu berpengaruh pada mereka. Mereka aman dan nyaman saat "menyantap" makanan yang seharusnya cuma cocok untuk anak muda. Pokoknya tak ada keluhan berarti.

Tentu ini menimbulkan tanda tanya, apa ada yang salah dengan "kehidupan" guru kita saat ini? Padahal guru dulu, serba kekurangan dan jauh dari nutrisi. Berbeda dengan sekarang. Sudah banyak yang dapat menikmati hidup lebih dari layak dan dapat mengkonsumsi makanan yang sarat gizi. Dengan hal itu saja bermakna, bahwa kehidupan guru saat ini lebih baik. Beda betul dengan yang dulu, seorang guru negeri hidupnya banyak yang ngenes. Padahal tidak ada keneko-nekoan dalam hidupnya ini. Intinya hidup dalam serba keingiritan. Namun faktanya, nampak sehat dan bahagia sampai lanjut usia.

Apa yang sebenarnya terjadi? Karena kisaran besarnya mengenai guru yang PNS, jadi soal isu kesejahteraan jelas tak mungkin. Apa gegara beban kerja? Kalau masalah ini, harus diusut tuntas. Sebab tugas guru adalah mengajar. Jika tentang ini tentu persoalannya ringan binti sepele. Tapi bila menyangkut tugas tambahan atau tugas yang mengiringi, seperti administrasi sekolah, harus diselesaikan secara sistemik. Karena urusan itu adalah urusan para penggede. 

Meskipun hal itu urusan mereka, guru-guru juga tetap harus dilibatkan dalam ekosistem kebijakannya. Sebab bagaimanapun juga, guru adalah garda terdepan pendidikan kita. Yang setia mengawal tumbuh-kembang tunas-tunas bangsa.  Sehingga mereka dapat beraktualisasi, seperti apa yang diharapkan. Dan solusi bergizinya tidak boleh ditunda, untuk diketemukan. 

Sumber gambar: smiledeliveryonline.com