Orang-orang di atas itu gimana tho pikirannya? Saya kok ndak mudeng. Bikin kebijakan itu lho kok suka yang menyengserasakan guru. Mbokyao sekali-kali berpihak pada guru. Hidup kami itu sudah kembang kempis. Bisa dibilang kami ini mengidap tekanan dana rendah. Dan obatnya sebenarnya mudah. Naikkan gaji dan tunjangan.
Jangan berkata tunjangan itu sudah cukup besar buat kami. Sebab besar apanya? Wong buat nambal cicilan kami tidak cukup. Sudah gitu, turunnya suka tersendat-sendat. Plus harus fotokopi yang ini dan yang ono. Itu belum termasuk dengan meterai. Ini ngasihnya ikhlas nggak sih? Sederhana ngapa?
Situ sih enak, kerjanya cuma tiduran. Dapat dana kenakalan, eh kenyantaian pula. Kalau melek mainnya Zuma dan hanya iya-iya aja bila menyangkut urusan yang tidak menyenggol periuknya. Coba saja turun ke bawah, ikutan ngajar. Nggak usah lama-lama, cukup satu-dua minggu. Pasti teriak sambat, dan nanti nanges. Karena itu biarkan kami yang menyangga beban berat itu. Kalian nggak mungkin kuat.
Di samping itu, dan ini yang penting. Soalnya tunjangan bukanlah hal yang terpenting. Apa kami ini tipe orang yang mata duitan? Kalau memang mata duitan, pasti ya nggak jadi guru. Mending olsop-olsopan, lebih bercuan. Yang kami minta cuma pengurangan bahkan penghilangan administrasi. Sebab kami bukan makhluk multitasking. Atau amoeba, yang bisa membelah diri.
Jangan menganggap kerjaan kami hanya modal mulut. Please, stop. Itu pelecehan besar bagi kami. Ingat maju dan mundurnya bangsa ada di pundak guru. Makanya jangan sekate-kate. Apalagi bilang, "La wong tinggal copas atau ngeprint". Kedua hal tadi juga butuh keringat, tau.
Demikianlah kisah dari Bu Kirain. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, itu hanya sekadar kebetulan yang tidak disengaja.
Sumber gambar: pngtree.com
Mesti koncku Ki Bu kirain 😀
BalasHapusLho lho lho
HapusBu Kirain yang sabar ya, jadi guru emang berat
BalasHapusHmmm
HapusTa kirain opo toh, tornyoto Bu kirain
BalasHapus