28 Maret, 2022

,

Film Bocah, Memfasilitasi Sebuah Inisiatif


Jum'at kemarin, atau tepatnya tanggal 25 Maret 2022, anak-anak saya di Kelas V SDN Pandan II Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, membuat film bocah. Hal ini berawal, ketika saya menerangkan tentang jenis usaha yang ada di masyarakat. Salah satunya terkait tentang bidang kesenian. Dalam bidang tersebut terdapat banyak contohnya, termasuk film.

Saat saya menjelaskan tentang film, ada seorang anak yang berceletuk ingin membuat film dan teman-temannya juga menimpali dengan keinginan yang sama. Dan kebetulan saya pernah bermain di film pendek berjudul "Angel". Di sini tautannya: Film Angel. Film tersebut menceritakan tentang betapa susahnya pembelajaran jarak jauh atau disebut dengan PJJ. Anak-anak rupa-rupanya terinspirasi akan hal itu. 

Setelah selesai pemberian materi, saya setujui usulan mereka. Mereka saya ajak diskusi, tentang topik apa yang mereka akan angkat. Pertama-tama, ada yang mengusulkan tentang situasi saat berangkat ke sekolah. Semuanya setuju, namun setelah dipilih pemerannya, ada yang menolak. Akhirnya disepakati ganti tema. Tema kedua yang mau diusung adalah situasi saat menyelesaikan pekerjaan rumah. Dan secara mufakat, semua setuju. 

Sesudah membahas tema, ditentukan siapa yang akan menjadi pemeran utama. Kemudian anak-anak yang mendapat peran, mengajukan saran untuk tidak memakai nama asli. Karena dari sebelas siswa yang bermain hanya enam anak, maka yang lain membantu saya mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk memindahkan kursi dan meja kelas. Sebab pembuatan film ini mengacu pada konsep classroom-movie (film ruang kelas). Jadi semua adegan atau pengambilan gambarnya, dilakukan di dalam maupun di sekitar ruang kelas.

Selesai persiapan, dimulailah syutingnya. Karena aktor utama mempunyai porsi "berkata-kata" lebih banyak, menginginkan ada sedikit skenario. Hal ini pun saya turuti. Meskipun di saat diskusi disetujui untuk langsung berbicara tanpa script. Dan tiap peran sudah dibagikan jobdesk-nya. 

Dalam pelaksanaannya, film ini dibuat dengan menganut prinsip one shot movie. Yaitu dibuat tanpa pengulangan adegan, jadi hanya sekali ambil. Dan nyatanya sukses, walaupun kalau diperhatikan ada beberapa titik kekeliruan.  Dan saya rasa ini wajar, sebab baru pertama mereka bermain seperti ini dengan direkam. Di samping itu juga, karena menganut prinsip "sekali ambil" tadi. 

Lalu setelah usai pengambilan gambar, anak-anak bersepakat untuk membuat film mingguan. Dan hari yang dipilih adalah Sabtu, setelah pulang sekolah. Dengan pemainnya dibagi dua shift. Sehingga tiap anak hanya bermain dua kali dalam sebulan. 

Senang rasanya saya sebagai guru dengan inisiatif dan kreativitas mereka. Saya sadar bahwa tugas guru, salah satunya adalah untuk memfasilitasi beragam potensi yang ada di setiap anak. Sehingga potensi-potensi tersebut dapat berkembang. Dan membuat mereka dapat mengarungi lautan kedewasaan nantinya, tanpa rasa kecil hati. 

Penasaran dengan film bocah yang digarap anak-anak itu? Lihat di bawah ini!



27 Maret, 2022

,

Writing-Hibernation


Mungkin istilah di atas, tidak akan Anda temukan dimanapun saja. Sebab ini rekaan saya saja. Writing-hibernation adalah sebutan dari saya untuk kondisi seseorang yang melakukan jeda penulisan dalam kurun waktu tertentu. Biasanya terjadi dalam beberapa bulan (paling lama satu sampai dua tahun saja). Faktor pencetus penjedaan ini bisa terjadi karena beberapa hal.

1. Kehilangan Gagasan
Gagasan, tetaplah jadi biang kerok dari semua persoalan kepenulisan. Seakan apapun kegagalan atau ketidakaktifan, selalu ditimpakan ke dirinya. Makanya ketika terjadi ketiadaan produktifitas menulis, sudah jelaslah "siapa" yang ditunjuk sebagai aktor utama.

2. Kesibukan Kerja
Kesibukan juga merupakan hal kedua yang turut dipersalahkan. Padahal kalau dipikir, sesibuk apa sih manusia-penulis itu, sehingga tak sempat meluangkan waktu barang 15 sampai 30 menit? Dalam hal ini, kesibukan telah menyerupai dengan gagasan tadi. Mungkin lebih tepatnya tangan kedua.

3. Kekurangan Motivasi
Motivasi sudah lama memantapkan diri untuk menjadi jawara ketiga soal penyebab redanya semangat menulis. Karena memang motivasi adalah salah satu "pelita" yang suka memberikan iming-iming. Baik itu popularitas maupun penghargaan (termasuk uang di dalamnya).

4. Kejenuhan Pikiran
"Kok cuma gini-gini aja", adalah pikiran gelap yang sering menyelusup. Dan jika dibiarkan seperti api yang membakar kertas kering. Hal ini awalnya, bisa bermula dari poin ketiga. Apabila dibiarkan berlarut tentu akan menimbulkan kebencian terhadap hal apapun yang berbau kepengarangan.

Empat hal tadi adalah sesuatu yang biasa. Namun tidak lagi menjadi biasa, kalau empat hal itu bergabung. Sebab tak banyak penulis, apalagi yang masih amatiran kuat menahan rongrongan anarkisme mereka. Kemungkinan besar mereka akan tumbang. Akhirnya menggantungkan penanya untuk selamanya.

Sehingga writing-hibernation tak lagi berlaku. Karena sudah dalam tahap writing-elimination. Yang kelak selalu mereka rindukan dan ceritakan, kemanapun mereka melangkah. Sebuah kebanggaan semu yang menyilaukan. 

26 Maret, 2022

,

Pengajaran Multikelas, Efisiensi yang Melesatkan (Sebuah Rangkuman)

Pengajaran Multikelas atau disebut Multigrade Teaching (MGT) dan di Indonesia sendiri disebut dengan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR), sudah jamak dilakukan dimana-mana. Cuma di Indonesia, PKR ini umumnya diterapkan di tingkat sekolah dasar. Makanya di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) diadakan mata kuliah PKR.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah eloknya, apabila kita menengok terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud  dengan PKR. PKR dimaknai sebagai satu bentuk pembelajaran yang mempersyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih, dalam saat yang sama dan menghadapi dua atau lebih dalam saat yang sama dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda.

Alasan-alasan penerapan PKR adalah karena beberapa faktor berikut ini, 1) sulitnya transportasi peserta didik karena bermukim jauh dari sekolah, 2) banyaknya sekolah yang mempunyai jumlah siswa terlalu kecil, 3) secara keseluruhan, terjadi kekurangan jumlah guru, sebagian disebabkan oleh penyebaran tidak merata, 4) kekurangan ruang kelas, 5) kemungkinan ada guru tidak hadir, padahal tidak ada guru cadangan.

Dengan adanya PKR, dimungkinkan terjadinya efisiensi pendidikan. Misalnya jika di kelas 1 hanya ada 9 siswa dan kelas 2 hanya ada 10 siswa maka tidak perlu masing-masing kelas diajar oleh seorang guru. Sebab PKR ini merupakan model pembelajaran yang dapat mencampur beberapa siswa yang terdiri dari dua atau tiga tingkatan kelas dalam satu kelas dan pembelajaran bisa diberikan oleh satu guru saja untuk beberapa waktu.

Dengan demikian tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan keberadaan guru dan kemampuan siswa dalam memahami lingkungannya. Juga meningkatkan sikap dan pengalaman dalam kelompok-kelompok umur yang berbeda. Sehingga dalam pelaksanaannya guru harus menguasai beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1) Keserempakan kegiatan belajar-mengajar, 2) Kadar tinggi waktu keaktifan akademik (WKA), 3) Kontak psikologis guru dan murid yang berkelanjutan, 4) Pemanfaatan sumber secara efisien, dan 5) Kebiasaan untuk mandiri.

Selain lima  prinsip tadi, guru juga harus menguasai keterampilan-keterampilan di bawah ini, khususnya saat dalam diskusi atau kerja kelompok kecil. Sebab memang bentukan dari pelaksanaannya cenderung ke arah tersebut. 
  1. Memusatkan perhatian murid.
  2. Memperjelas masalah yang menjadi pusat perhatian.
  3. Menganalisis pendapat murid.
  4. Memberi kesempatan kepada murid untuk mengeluarkan pendapat.
  5. Memeratakan kesempatan untuk berbicara.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi, PKR dapat ditingkatkan lebih jauh. Menjadi model pembelajaran yang dapat menjangkau lintas negara (dan tidak cuma di tingkat sekolah dasar). Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan co-teaching. Dimana seorang guru, baik dengan murid-muridnya maupun sendirian, mengadakan live streaming. Termasuk di dalamnya disepakati memakai sesi interaktif atau tidak. Sedangkan di negeri seberangnya, guru yang asli bisa sekadar bertugas sebagai "pemandu" (menjadi host dan moderator, sekaligus penerjemah). Dengan cukup bermodalkan sebuah proyektor.

Dampak dari pemakaian model pembelajaran ini, siswa dapat mengalami berbagai kebaruan pembelajaran, dan juga mengenal beragam bahasa sekaligus budaya. Sehingga hal ini memunculkan kesadaran di dalam diri siswa tentang pentingnya kerukunan dan menghargai bermacam perbedaan. Sesuatu yang sungguh-sungguh dibutuhkan saat ini.

Disarikan dari Berbagai Sumber

24 Maret, 2022

,

Mendaku Guru Penulis, Tapi Jarang Menulis

Ada pertanyaan yang cukup menyengat bagi guru yang mempunyai "sampingan" sebagai penulis. Yaitu, "Katanya jadi penulis? Tapi kok jarang menulis. Beneran nggak nih jadi penulisnya?"

Mereka yang hobi ngurusi hidup orang lain pasti suka menimpuk guru penulis, dengan pertanyaan dan pernyataan yang nyelekit. Dan salah satunya seperti di atas tadi. Mereka menganggap kerja menulis adalah sesuatu yang mudah dan ringan. Sehingga mereka begitu menyelepekan. Padahal kalau mereka disuruh, paling ya plonga-plongo pah-poh. 

Lantas upaya apa yang harus diupayakan untuk mengeliminasi ejekan itu? Jawabannya sangat mudah dan sudah terukur, yaitu rutin menulis atau bisa dibilang setiap hari menulis. Baik itu di media sosial, media massa, buku maupun publikasi ilmiah. 

Namun persoalannya tidak semudah itu. Sebab dalam menulis, selain dibutuhkan kayanya kosakata dan melimpahnya gagasan, juga diperlukan adanya referensi. Meskipun betul tidak semua tulisan memerlukan adanya hal itu. Tetapi dengan adanya pijakan pustaka, akan menguatkan serta membuat tulisan itu lebih berkarakter.

Dan pijakan pustaka atau referensi itu juga tidak mudah dijangkau. Seringkali harus ada usaha yang sangat keras. Tidak cukup menjumput warta atau file e-book dari dunia maya. Harus ada yang benar-benar riil secara fisik. 

Hal ini pun juga menghadirkan beberapa pertanyaan, "Berapa banyak sih guru penulis yang mempunyai perpustakaan mini di rumah? Berapa jumlah buku yang dimiliki? Berapa frekuensinya ke perpustakaan tiap minggunya? Berapa kali membeli buku setiap bulannya?"

Jika prosentase dari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas mendekati angka di bawah 50%, iya haruslah sadar diri. Sebab konsekuensi menjadi seorang penulis, walaupun itu sebutannya guru penulis, tetaplah sama. Mempunyai perbekalan yang cukup dalam menulis. Bagaimanapun juga buku adalah amunisi dalam kepenulisan. Ibaratnya sebuah senjata tanpa peluru, tidak mempunyai fungsi. 

Dan hal ini berdampak pada karya. Sehingga jika dinvestigasi, maka akan nampak sekali. Ada korelasi yang tinggi antara kepemilikan buku dengan karya tulis yang dihasilkan. Bagaimana dapat menghasilkan tulisan yang ajeg setiap hari, apabila tiada terdapat buku? Sebab datangnya kemampuan menulis itu berasal dari tingginya minat membaca.

Sumber gambar: weareteachers.com

23 Maret, 2022

, , ,

Benarkah GLS Salah Arah?


Sejak pemerintah menggulirkan Gerakan Literasi Sekolah atau disingkat GLS, penulisan buku yang dilakukan oleh guru menjadi semakin marak. Seakan-akan ini seperti api membakar kayu kering, wuuuuk. 🔥

Namun lama kelamaan gerakan ini ada yang menganggapnya bergerak ke arah yang salah. ↩ Sebabnya antara lain, buku yang dihasilkan kebanyakan berupa keroyokan atau bahasa kerennya adalah antologi. Ditambah pula jenis tulisannya punya kecenderungan, kalau tidak cerpen, pasti puisi. Ini tidak terlepas dari tema yang diangkat, yang kebanyakan berisi ihwal awal menjadi guru dan hal-hal di luar tugas guru.

Sehingga menimbulkan nyinyiran seperti ini, "Mestinya buku 📚 yang dihasilkan terkait dengan bidang yang diampu. Masak guru Matematika berkarya tentang puisi melulu? Lagian puisinya juga nggak ada hubungannya sama sekali dengan dunia berhitung. Dan mutunya jauh dari nilai sastra." 

Akhirnya mereka menganggap hal ini menjadikan dunia perbukuan menjadi sesak oleh "sampah literasi" 📦. Di samping itu juga, mereka mensinyalir ada yang bermain membengkakkan sampah itu menjadi semakin membukit. Sebab ada tumpukan cuan bin fulus yang menanti. Dan temuan ini, semakin menumbuh-suburkan praduga tadi.

Yang menjadi pertanyaan, "Apakah salah jika seorang guru hanya mampu melebur dalam penerbitan buku antologi?" 

Jawaban tentang hal ini sangat debatable. Tergantung dari sisi mana yang mau dipijak. Ada yang melihat dari idealisme kepenulisan ✍ secara picik. Mereka berpendapat kelakuan seperti itu dianggap keliru. Mereka juga mengimbuhkan pernyataan seperti ini, "Bila belum mampu, mending mengumpulkan dulu tulisannya, baru kemudian dibukukan. Sebab untuk apa kegunaannya? Menginspirasi? Sebuah motivasi palsu yang sering dihembuskan para penerbit. Banyak penulis senior, yang setia bertahun-tahun menggeluti dunia penulisan, jarang yang menerbitkan buku tunggal. Bahkan jarang yang bermain dalam model pembuatan buku berombongan. Mereka menempuh jalan panjang dan berliku, sebelum mampu menerbitkan sebuah buku."

Memang demikian, pendapat mereka yang berpegang teguh pada tafsir idealisme sempit itu. Mereka tidak mau meluaskan cakrawala berpikirnya. Mestinya mereka, kalau bisa merendahkan ekspektasi. Sebab dengan semangat guru yang begitu tinggi dalam penulisan, paling tidak menggairahkan semangat untuk membaca, semangat untuk mencintai buku. Sebab kita tahu, buku adalah jendelanya dunia. Dengan adanya buku yang terus tercetak, akan melajukan gagasan-gagasan. Dan gagasan-gagasan itu akan berdampak pada perubahan. Jikalau ada buku yang tak bermutu, nanti pun akan terseleksi secara alamiah. Tak perlulah berkecil hati. 💝

Sumber gambar: spitjournal.com

22 Maret, 2022

,

Guru Inovatif "Sering" Dilihat dengan Tatapan Negatif

Semua guru mengharapkan adanya kemajuan dalam bidang pendidikan, namun sedikit yang benar-benar mau bergerak untuk mewujudkannya. Jadi bukan sekadar dalam rasan-rasan, apalagi hanya dalam angan. Dan dari yang sedikit itu pun, akhirnya banyak yang mrotol. Karena datangnya cibiran dan halangan yang dilakukan oleh rekan guru tersebut. Ini memang terdengar aneh, namun begitulah fakta yang terjadi di lapangan. 

Mengapa mereka begitu tega melakukannya pada teman seprofesi ini? Bukankah mereka juga sama-sama guru, sama-sama ingin melihat Indonesia berubah? Dua pertanyaan tajam ini menghasilkan beberapa jawaban yang bisa melukai hati. Dan semua itu adalah hal yang remeh temeh. 

1. Cap Sombong
Ini adalah jawaban yang paling umum disorongkan. Mereka mengira guru inovatif sudah tak mau berkawan lagi dengan mereka. Dalam pikiran mereka, guru inovatif ini selalu sibuk dengan solusi dan solusi. 

2. Ahli Bolos
Akibat aktivitas yang padat menjadi peserta, panitia, pemateri, atau bahkan pengurus organisasi pendidikan, sehingga guru inovatif diduga kerjaannya hanya bolos dan mengabaikan tugas mengajar siswa.

3. Tukang Pencitraan
Guru inovatif dituduh tidak tulus ikhlas dalam berbuat. Sebab menganggap tingkah polah guru inovatif hanyalah untuk aksi pamer belaka. Biar terkenal, biar dapat penghargaan. 

4. Kurang Kerjaan
Ini adalah jawaban yang terparah. Mereka  menyangka hal-hal yang dilakukan oleh guru inovatif adalah sesuatu yang sia-sia. Dan sungguh tak berguna, membuang-buang waktu saja.

Empat jawaban "tidak beradab" yang mereka layangkan ini, jika ditelisik secara dalam, memang kebanyakan murni karena salah paham. Sebab disadari maupun tidak, guru yang sudah kadung digelari guru inovatif, cenderung kurang dalam berkomunikasi. Sehingga dianggap menjaga jarak. Selain itu, terlihat terlampau serius dalam memandang sesuatu. Kurang woles

Mungkin guru inovatif juga harus membuka diri dan tak henti-hentinya dalam mewartakan, bahwa apa yang dilakukan itu untuk kebajikan bersama. Bukan untuk tampil gagah-gagahan dan mengejar piagam penghargaan. Apabila hal ini sudah dilakukan, dan tetap diperlakukan "tidak senonoh", tetaplah bersabar. Dan kalau bisa mendoakan orang yang telah berbuat itu, agar mendapatkan pencerahan. Cepat mendapatkan hidayah. Sehingga tak lagi "merundung" dan menjadi calon guru inovatif berikutnya. 

Jika hal ini dilakukan, tentu persoalan luka hati tidak lagi muncul di benak. Semua hal yang terjadi akan nampak baik-baik saja. Meskipun ada masalah maupun tidak, tetap rileks dalam menjalani. Sebab dunia tempatnya permasalahan. Apalagi setiap permasalahan memang gunanya untuk menempa diri, agar mempunyai sikap yang lebih baik lagi.

Sumber gambar: malangtimes.com

20 Maret, 2022

, ,

Guru Negeri dan Mitos Hutangnya


Ada sebuah mitos yang berkembang cukup lama di masyarakat, yaitu apabila ingin bisa berhutang dengan "elegan", maka jadilah pegawai negeri sipil. Dan hal ini dicoba dikonfrontir oleh Guru Muda (Gurmud) ke Mbah Guru (Mbahgur)

Gurmud: "Mbah denger-denger nih, ada mitos yang bilang, guru-guru kita pasca terima SK langsung SK-nya itu "disekolahkan?"

Mbahgur: "Wkwkwk."

Gurmud: "Kenapa ketawa mbah?"

Mbahgur: "Kok kayak kamu nggak aja."

Gurmud: "Ya nggak dong mbah. Ngapain?"

Mbahgur: "La situ mungkin belum butuh."

Gurmud: "Iya sih, mungkin belum butuh. Tapi saya jadi sedih mbah. Masak temen-temen baru diangkat PNS, kok langsung pinjam ke bank? Seakan-akan guru itu pendapatannya begitu kecil. Padahal kalau dilihat-lihat nggak kecil amat. Di tempat kita, paling nggak dua kali lipat dari upah minimum regional. Di banyak tempat, meskipun ada yang di bawah UMR, tapi langsung ditambal dengan tunjangan daerah. Atau kalau nggak gitu, kan dapat juga dana sergu."

Mbahgur: "Ngapain juga ngurusi hidup orang."

Gurmud: "Ini bukan bermaksud ngurusi hidup orang mbah, tapi ini bisa menjadi preseden buruk. Sebab saya beberapa kali ngisi kegiatan yang pesertanya siswa, ketika ditanya soal apa cita-citanya. Jarang sekali yang berminat jadi guru. Alasannya sederhana, gaji guru kecil. Kenapa mereka bisa berbicara seperti ini? Karena mereka melihat hobinya guru-guru mereka suka utang kesana-kemari."

Mbahgur: "Berarti ini muridnya pinter-pinter."

Gurmud: "Kok simbah malah ngedukung sih? Apa nggak khawatir, jika nanti tidak ada yang mau jadi guru, generasi besok akan diajar oleh robot?"

Mbahgur: "Apa jeleknya diajar robot?"

Gurmud: "Robot ini kan nggak bisa mengajarkan etika."

Mbahgur: "Apa guru-guru sekarang benar-benar tahu etika?"

Gurmud: "No comment mbah. Kok malah ngebahas robot."

Mbahgur: "Hehehe."

Sumber gambar: maucash.id
,

Prokrastinasi Mengancam Jiwa Guru

Percayalah tulisan ini tidak seseram judulnya. Lantas jika tidak seram, mengapa mengambil judul ini? Apakah ingin menipu pembaca? Dalam konteks pemberitaan, judul yang bombastis atau clickbait  adalah sesuatu biasa. Kenapa? Karena judul seperti itu menggoda secara psikologis. Penasaran akan membuncah. Dan bisa ditebak, pembacanya akan "gegap gempita" untuk membacanya.

"Jangan mengikuti kebiasaan buruk", mungkin ada yang menasihati seperti ini. Sebenarnya, ini bukan ngeles lho, judul ini memang disengaja sebab ada hubungannya dengan topik yang akan kita bahas. Karena topik yang akan kita bahas, memanglah sikap yang "berlebihan" dalam menunda suatu tugas atau pekerjaan. Dan cenderung untuk menipu diri sendiri.

Topik tersebut tiada lain adalah prokrastinasi (seperti yang sudah ada di judul). Prokrastinasi seperti yang diungkap Wikipedia, diserap dari bahasa Inggris. Kata ini sebenarnya diserap oleh bahasa Inggris dari dua kata dalam bahasa Latin, yaitu pro- yang berarti depan dan juga -crastinus yang berarti hari berikutnya. Imbuhan -crastinus sendiri juga gabungan dari dua kata, yaitu cras yang berarti besok serta -tinus yang merupakan imbuhan dalam bahasa Proto Indo-Eropa yang berfungsi sebagai untuk membentuk kata sifat yang berhubungan dengan waktu.

Secara sederhana, prokrastinasi berarti tindakan untuk menunda sebuah pekerjaan. Dan biasanya, baru dikerjakan di detik-detik terakhir. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita ulik alasannya.

1. Meremehkan 
Menganggap pekerjaan itu hal yang mudah dalam penyeselesaiannya, sehingga memicu dirinya untuk mengabaikan. Dan memilih tarsok-tarsok.

2. Kesulitan
Jika tadi pekerjaannya dianggap mudah, kali ini pekerjaannya dikira sulit. Hal ini membuat dirinya merasa harus belajar dulu. 

3. Tenggat
Merasa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masih lama. Maka membiarkan diri untuk tidak segera menyelesaikan. 

4. Kekinian
Waktu tenggat yang lama, juga memicu diri untuk merasa harus mementingkan hal-hal yang sekarang.

5. Prioritas
Karena merasa pekerjaan itu mudah diselesaikan. Pekerjaan itu tidak dianggap penting. Dan bisa nanti-nanti.

6. Perfeksionis
Memandang tiap sesuatu harus dikerjakan dengan sempurna, maka merasa tidak boleh ada kegagalan maupun kecacatan dalam hasilnya.

7. Kultur
Bisa saja hal ini terjadi, karena orang-orang di sekitarnya sering mempraktekkannya. Sehingga sudah seperti budaya yang harus dikerjakan.

Memang dalam kondisi tertentu, normal-normal saja prokrastinasi dilakukan. Namun menjadi sesuatu yang kurang baik, apabila hal itu sering atau bahkan dibiasakan. Apalagi itu dianggap sebagai sebuah kultur, hal itu akan membuat diri merasa termaafkan. Padahal dengan kebiasaan menunda sesuatu, banyak hal buruk akan terjadi. Dan mungkin bisa saja benar-benar mengancam keselamatan sebuah nyawa. Karena memang kebiasaan prokrastinasi ini mempunyai efek kelabakan dan hanya menabung kesengsaraan, seperti yang diungkap di situs mojok.co ini.

Sumber gambar: potential.com

19 Maret, 2022

,

Adakah "Crazy Teacher" Indonesia?

Akhir-akhir ini ramai di media massa dan sosial tentang adanya crazy rich yang telah melakukan penipuan lewat binary option. Menurut suara.com, julukan crazy rich dialamatkan pada orang-orang dengan kekayaan berlimpah yang memiliki berbagai bisnis, rumah dan mobil mewah, hingga mereka yang sering memamerkan gaya hidup khas kalangan kelas atas. Sedangkan binary option menurut kompas.com adalah instrumen trading online yang cara kerjanya adalah dengan mengharuskan trader untuk memprediksi atau menebak harga suatu aset akan bergerak naik atau turun dalam jangka waktu tertentu.

Tapi di tulisan ini, tidak akan mengulas lebih dalam tentang oknum crazy rich yang telah melakukan tindakan kriminal itu. Namun akan "menyoroti" polah tingkahnya untuk dijadikan kajian. Tingkah polahnya itu tiada lain adalah flexing. Flexing menurut Cambridge Dictionary adalah menunjukkan sesuatu yang Anda miliki atau raih, tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. 

Apakah flexing ini juga terjadi di dunia pendidikan di Indonesia? Sebab flexing dalam pengertiannya, selain menyangkut kekayaan, juga kecerdasan, bentuk fisik, dan segala hal yang mempunyai nilai lebih. Saya rasa hal ini bisa terjadi, karena pada dasarnya manusia terlepas apapun profesinya berpotensi untuk memamerkan apa yang telah berhasil dicapainya. 

Jadi apakah flexing ini keliru? Keliru maupun tidak, tergantung dari niatan si pelaku. Kalau dia menganggap hal itu sebagai upaya untuk menginspirasi dan memotivasi, tidaklah mengapa. Karena tuduhan bahwa orang itu pamer, memang berasal dari pihak lain. Belum tentu si pelaku ini mengakuinya sebagai bentuk pamer. 

Dan sebagaimana halnya pelaku flexing dalam ranah harta-benda, yang disebut dengan crazy rich. Maka pelaku flexing dalam ranah pendidikan, dapat saja disebut dengan crazy teacher. Karena memang prestasi mereka luar biasa, dan seakan-akan musykil untuk diraih guru biasa. Sehingga jika crazy rich diartikan sebagai super kaya, maka crazy teacher sebagai guru super. Alih-alih disebut sebagai guru gila.

Sumber gambar: 123rf.com

17 Maret, 2022

,

Jadi Guru Jangan Insekyur


Kira-kira ada nggak ya guru yang berani mengacungkan jari ketika diberi pertanyaan seperti ini, "Sudahkah bapak dan ibu guru menjadi pribadi yang inovatif dan kreatif, dinamis, responsif, manfaat tinggi bagi sejawat, produktif, dan memiliki resiliensi yang tinggi?" Sebelum buru-buru mengacungkan jari atau tidak, alangkah eloknya apabila membaca terlebih dahulu pengertian-pengertian dari istilah tersebut.

◇ Kreatif merupakan kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru untuk memandang masalah menjadi peluang. Sedang inovatif merupakan kemampuan untuk menerapkan solusi-solusi kreatif terhadap masalah dan peluang guna menumbuhkan usaha (Zimmerer dan Scrborough).

◇ Dinamis adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya (KBBI).

◇ Responsif adalah cepat merespon bersifat menanggapi, tegugah hati, bersifat memberi tanggapan  atau tidak masa bodoh (KBBI).

◇ Manfaat adalah suatu hal yang memiliki nilai guna yang dapat memberikan faedah (brainly.co.id).

◇ Produktif adalah sebuah bentuk dari sikap yang dimana ingin akan selalu untuk dapat terus berkarya, menciptakan sebuah yang akan memiliki nilai manfaat baik terhadap dirinya sendiri serta dari orang lain (brainly.co.id).

◇ Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (Adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich dan Shatte).

Bagaimana? Menjadi galau berat setelah membaca pengertian mereka? Merasa, "Aku kok nggak kayak gitu". Sebagai guru, saya jujur juga mengalami hal yang sama. Seakan-akan seperti jauh panggang daripada api, perilaku kita dengan hal itu. 

Apakah aspek mental yang dirilis oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar (GTK Dikdas) ini memang "maunya" ataukah baru sekadar wacana? Kalau memang "maunya", maka kebanyakan pihak akan menganggap itu hal yang musykil atau utopis. Dan pihak GTK Dikdas, tak boleh kebakaran jenggot, jika mendengar anggapan ini. Sebab apa yang diutarakan, sama sekali tidak membumi. Kalaupun kemudian membantah hal itu seharusnya sudah melekat pada tiap guru. Hal ini dapat disergah dengan pernyataan, "Mau dikemanakan guru-guru kita, jika memang belum memilikinya? Dipensiunkan dini ataukah diberikan pelatihan secara terstruktur, sistematis, dan masif?"

Mungkin akan kelabakan juga jika mendapatkan sanggahan tersebut.  Berbeda apabila hal itu baru dalam tataran diskursus,  orang akan ngeh kalau ini pilihannya. Sebab apabila menginginkan sebuah idealisme, haruslah benar-benar diukur dengan realitas yang ada. Janganlah asal mangap, janganlah asal jeplak. Mana-mana yang terlebih dahulu harus dibenahi, harus punya skala prioritas dan fokus, serta tidak berlebihan. Bagaimanapun juga, guru adalah seperti manusia pada umumnya, yang mempunyai titik lemah dan titik jenuh.

16 Maret, 2022

,

Mengapa Kita Bisa "Mendredag" Saat Public Speaking?

Kegiatan kemarin malam dan kejadian sore tadi yang saya alami, mensahihkan pendapat bahwa tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik. Lebih-lebih pada komunikasi massa. Bahkan pada orang yang notabene sehari-hari menghadapi publik, yaitu guru. Meskipun yang dihadapi itu masih terbilang anak-anak. 

Mengapa demikian? Mengapa bisa terjadi? Padahal kalau dipikir-pikir secara sekilas, guru sudah terbiasa. Artinya mereka ini mempunyai jam terbang yang tinggi. Dan tidak banyak profesi yang mampu menandinginya. Tapi jika dinalar secara dalam-dalam akan "ketahuan belangnya".

Kok ketahuan belangnya sih? Kagak sopan. Memang istilah itu terdengar kurang menghormati guru, namun jika mau menyelidik lebih dalam, istilah itu sudahlah tepat untuk dipakai. Sebab disadari maupun tidak, seorang guru akan cenderung "menyelepekan" kedudukan siswa. Sehingga dia dengan leluasa ngomong apa saja tanpa beban. Berbeda jika berbicara di hadapan umum atau disebut public speaking. Nyalinya ciut-mengkerut, karena dalam pikirannya orang-orang akan menggibahnya atau lebih dari segala hal dibanding dirinya.

Padahal itu adalah manifestasi dari gelapnya pemikiran. Terlalu berlebihan dalam memandang pendapat orang yang belum tentu juga ada wujudnya. Dan kalau dirangkaikan dalam kalimat tanya, bisa segerbong gini.

1. Apa mereka akan menertawakan saya?

2. Apa mereka paham dengan perkataan saya?

3. Apa mereka sedang menggunjing saya?

4. Apa yang saya sampaikan salah?

5. Apa mereka tidak menyukai saya?

Dan masih banyak "apa-apaan" lainnya. Ini hanya sebagian kecil saja. Namun mampu memotret fakta yang terjadi.

Akibatnya hal ini dapat menimbulkan peristiwa yang disebut dengan tongue-tied atau ilat mblundeti alias lidah tercekat. Sehingga kesulitan untuk melanjutkan pembicaraan. Dan ending-nya jelas tertebak. Bikin kisruh.

Tentu kita semua tidak ingin hal itu terjadi pada kita. Makanya sebelum melakukan public speaking, kita wajib melakukan latihan. Dan ini juga tetap berlaku pada orang yang sudah mahir dan terbiasa. Sebab bagaimanapun juga, dengan berlatih akan menguatkan hasil.

Latihan apa saja yang perlu dilakukan? Ada dua yang umum dilakukan, yaitu bantuan-cermin dan rekam-video. Keduanya dapat dilakukan sendiri maupun dibantu pihak lain. Selain itu juga di-back up dengan mempelajari bahasa tubuh, ekspresi wajah, kejelasan, intonasi, diksi, dan aksen. 

Apakah masih ada persiapan lainnya? Masih. Yaitu membuat daftar perkiraan pertanyaan. Dengan membuat ini, kita menjadi dengan mudah menjawab. Dan ini tentu saja, dapat meningkatkan kepercayaan diri. Sebab memang ujung-ujungnya bahasan artikel ini tiada lain adalah rasa percaya diri. Makanya untuk meningkatkan hal itu, haruslah mampu menghafal materi (jika susah menghafal, buatlah tulisan garis besar) dan mengingat pendukung materi (humor, lagu, dalil agama  quotes, dan dance). 

NB: Mendredag ini adalah kosakata gaul Bahasa Jawa untuk kata "ndredeg"  yang berpadanan kata dengan gemetar, grogi, atau gugup.

Referensi:

• info.populix co

• peoplematters.in

15 Maret, 2022

,

Menepati Janji Juga Perlu Dipelajari


Dari lahir sampai ke liang lahat, kita selalu dikelilingi janji-janji. Baik itu janji yang kita bikin sendiri maupun orang lain. Dan janji ini, jika kita beber akan menjadi sangat panjang. Karena akan ada banyak item yang dapat dimasukkan. Mulai dari janji religius, profesi, sampai perkawinan. Dan tentu saja, setiap janji harus ditepati. Ini sesuai dengan pepatah kita, "Janji adalah hutang".

Karena janji adalah hutang, makanya harus dibayar. Dan ini perlu dipelajari sejak dini, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkup sekolah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mengingkarinya. Dan hal ini, bila ada kaitannya dengan hukum disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi merupakan istilah dari bahasa Belanda "wanprestatie" berarti tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Menurut KBBI, pengertiannya adalah salah satu pihak bersepakat dalam perjanjian memiliki prestasi buruk akibat dari kelalaiannya.

Agar tidak tumbuh menjadi pribadi yang ingkar janji, maka diperlukan sebuah ekosistem kejujuran yang dapat "memproteksi" anak. Ekosistem itu tentunya bermula dari pihak keluarga dan diperkuat oleh sistem persekolahan. Dan di bawah ini akan diulas dampak positif yang dapat diperoleh, apabila janji diajarkan secara terencana di lembaga pendidikan.
  • Memiliki nilai kejujuran dan keterbukaan yang tinggi.
  • Anak bisa mengukur kemampuan dirinya dalam menepati janji. Ia belajar untuk tidak mengobral janji.
  • Dipercaya oleh teman-teman dan lingkungannya.
  • Mudah untuk menerapkan nilai lain kepadanya, karena siswa mudah percaya pada apa yang guru katakan.
Lantas bagaimana cara membuat siswa mampu memahami arti pentingnya berjanji? Ada banyak cara, di bawah ini ditunjukkan beberapa yang mungkin bisa diadaptasi oleh sekolah.
1. Buat peraturan
Buat peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa. Ditempel di setiap kelas dan dibacakan setiap upacara bendera.
2. Penugasan ringan berulang
Buat penugasan atau piket untuk seluruh siswa, sesuai kelas. Dan tidak boleh diwakilkan atau digantikan.
3. Logika terbalik
Buat pemahaman tentang hal ini, secara rutin. Baik secara langsung maupun dalan bentuk cerita.
4. Konsisten
Guru dan pihak sekolah harus ketegasan, jika ada pelanggaran. Dan perlu memberikan reward, jika ada yang dinilai pantas, secara periodik.
5. Beri kesempatan kedua
Meskipun perlu ketegasan, namun perlu dilihat latar belakang terjadinya pelanggaran. Sanksi yang dijatuhkan tetap harus mendidik, dan membuat mereka insyaf.

Tentu setelah melihat hal-hal di atas, bisa timbul sebuah pertanyaan, "Apakah dampak negatif dari janji?" Tentu ada, jika janji itu tidak ditepati. Dan berikut ini, hal-hal yang mungkin terjadi akibat dari pengingkaran atau pelalaian janji. 
1. Siswa menjadi kecewa
2. Hilangnya kepercayaan pada guru
3. Siswa menjadi pelanggar janji
4. Siswa suka berbohong
5. Lunturnya kewibawaan guru
Hal-hal di atas karena sudah terang benderang, makanya tak perlu dipaparkan secara terperinci. 

Melihat itu semua, kita sebagai guru harus mempunyai kesadaran bahwa berjanji itu penting. Dan tak mungkin hidup tanpa sebuah janji. Sebab bagaimanapun juga kehidupan adalah kumpulan janji-janji. Terlepas dari tingkah seseorang atau sekelompok orang yang suka mengobral janji manis nan palsu. Karena itu sebagai guru, kita harus mampu mengajarkan dampak positif dari sebuah janji. Ingat karakteristik anak-anak dimanapun sama, yaitu promise keeper (pengingat janji), suka menagih janji. Makanya jangan suka mengumbar janji, apalagi tidak menepatinya atau PHP. Sebab hal ini akan membuat mereka menjadi peniru ulung.

Sumber: 

14 Maret, 2022

,

Sudahkah Memuji Siswa di Hari Ini?


Diakui maupun tidak, pujian disukai setiap orang. Di semua lapisan usia dan ras bangsa. Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan, pujian sangatlah bermanfaat. Sebab pujian selalu erat kaitannya dengan bentuk apresiasi guru terhadap kinerja siswa. Pada usia anak-anak, pencapaian terhadap suatu hal dan "perayaan" terhadap keberhasilannya adalah segaris lurus. Jika anak-anak mendapatkan pujian, maka akan mendorong dirinya melakukan validasi positif itu berulang-ulang. Dan seperti yang kita ketahui, apapun yang dilakukan akan menjadikannya sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini lalu tumbuh menjadi kultur. Kemudian akhirnya menjadi "DNA".

Tentu sebelum guru melakukan sebuah pujian, harus paham situasi dan kondisi. Tdak boleh menggeneralisir dan berlebihan. Untuk itulah hal-hal awal yang patut diketahui sebelum melayangkan pujian, bisa dicermati terlebih dahulu, seperti di bawah ini.

1. Harga Diri
Melakukan sesuatu bagi siswa (khususnya di kelas rendah), bukanlah sesuatu yang mudah. Maka dengan adanya pujian, membangun harga diri atau  self esteem. Dengan harga diri ini, membuat mereka merasa diterima, dicintai, dan dilindungi. 

2. Perilaku Baik
Di samping itu, pujian dapat membantu mereka untuk membedakan antara tindakan yang baik dan yang buruk. Dan hal ini juga merupakan cara terbaik untuk mendisiplinkan anak .

3. Mendekatkan Hubungan 
Sehingga berdampak pada kedekatan antara guru dan siswa. Karena mereka merasa berhasil membuat guru bangga padanya. Selain itu, mereka menganggap pujian sebagai hadiah untuk dirinya. Yang akhirnya hal ini dapat membuat siswa semakin percaya diri, bertanggung jawab, dan tidak ingin berbuat hal-hal yang buruk.

Setelah memperhatikan manfaat-manfaat pujian, marilah kita menuju "cara melakukannya". Sebab kekurang-tepatan dalam menyampaikan pujian bisa menimbulkan efek samping yang tidak mengenakkan. Untuk itulah perhatikan hal-hal berikut ini.

1. Usia
Apapun pujian harus memperhatikan kelayakan atau kepantasan dalam penyampaian. Dan kelayakan ini tentunya dapat dilekatkan pada umur berapa siswa mampu menunjukkan performanya. Sebab bila tak memperhatikan, malah membuat mereka kurang bergairah dalam proses pembelajaran.

2. Momen
Lebih baik memberikan pujian pada hal-hal yang baru dapat dicapainya. Dan bukan pada hal yang sama. Karena itu dapat membuat mereka tidak mau beranjak untuk "berjuang". Atau biasa orang sebut sebagai zona nyaman.

3. Ketulusan
Hindari memuji sambil lalu, cobalah untuk memusatkan perhatian pada mereka. Guru harus memilih kata yang tepat, disertai dengan ekspresi dan gerakan tubuh yang pas. Sebab jika tidak, mereka akan menganggap hal itu basa-basi belaka. Apalagi usia-usia di antara Kelas 1 sampai 3, mereka mempunyai kepekaan tinggi mengenali sebuah ketulusan. 

4. Spesifik
Ungkapkan secara lugas, dan tidak terlalu umum. Contohnya, "Luar biasa, kamu dapat menyelesaikan perhitungan ini dengan cepat". Bukan seperti ini, "Luar biasa, kamu memang jago Matematika". 

5. Proses
Pujian tidak selalu berbicara tentang hasil yang dicapai yang telah dicapai siswa. Akan tetapi, pada proses dan usaha mereka untuk mendapatkannya. Dengan demikian, mereka merasa usaha yang telah dilakukan, juga dihargai tanpa bergantung pada hasil yang mungkin didapat. Jadi berhasil maupun gagal, tidak masalah.

Dari uraian di atas, sudah dapat digambarkan bukan? Tentang arti pentingnya pujian pada anak usia sekolah. Makanya kita sebagai guru tak boleh segan-segan dalam memuji siswa. Meskipun juga harus dikontrol porsinya. Sehingga tidak nampak berlebihan. Dan membuat mereka bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang mau siswanya ogah-ogahan dalam pembelajaran. Dan dengan memelintir pesan yang selalu diungkap oleh Pak Ilham, bahwa memuji itu mudah dan menyenangkan bukan? Iyaaaaah. 

13 Maret, 2022

,

Tes Otka-otki untuk Melihat Keberbakatan Siswa

Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, saya juga menggemari singkatan. Makanya tak salah dong saya, di dalam tulisan ini juga membuat singkatan. Apalagi ini hari Ahad, masak harus saling menyalahkan? Capek tau. Mending dibuat santai-santaian. Tapi ini bagi yang tak lagi gawe. Meskipun begitu jangan begitu terlalu ngoyo. Tetap selow saja. 

Baiklah di tulisan ini saya bikin singkatan untuk otak kanan dan kiri. Yang otak kanan saya pendekkan menjadi otka. Sedangkan otak kiri menjadi otki. Bagaimana? Rada-rada keren gitu ya? Akhirnya terjawab juga kan tentang judul tulisan yang pakai otka dan otki itu?

Sudah kita ketahui bersama, bahwa ada asumsi di masyarakat yang mengelompokkan kemampuan manusia berdasarkan otka dan otki. Orang yang termasuk otki dipercaya kemampuannya lebih kepada logis-akademik. Sedangkan yang otka, lebih ke arah kreatif-artistik. Kalau menurut bahasa saya sih, yang otka ini suka nyeniJika yang otki itu cenderung kepada nyeno.

Lantas bagaimana cara mengetahui bahwa kita termasuk ke otka atau otki? Klik saja tautan berikut ini: Tes Otka-otki 1. Di sana ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Dan nanti keluar hasilnya yang menentukan, bahwa kita ikut golongan mana. Apabila ketika memilih jawaban terjadi kegalauan, yang akhirnya mungkin menimbulkan kekeliruan, maka dapat memilih cara yang kedua. Cara kedua ini lebih simpel-pel-pel. Cukup menangkupkan kedua tangan. Jika jempol tangan kanan berada di atas, berarti otka. Begitu juga sebaliknya. Dan apabila lagi-lagi diterpa keresahan, maka tengoklah link ini: Tes Otka-otki 2. Tes kedua ini dapat diterapkan ke murid-murid kita, dan akan membuat mereka tertegun-tegun. Lalu berkata, "Kok iso yo?"

Meskipun begitu, jangan pongah bin jumawa, apabila termasuk otka dan otki. Sebab banyak pakar syaraf yang mengatakan hal itu hanya mitos belaka. Sebab otak kita bekerja secara koordinatif. Hal ini juga diwartakan oleh detik.com, dengan mengutip dari Scientific American. Sebuah penelitian yang telah berjalan selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa “kognisi [kreatif] dihasilkan dari interaksi dinamis dari sejumlah area otak yang beroperasi di sebuah jaingan skala besar." Proses kreatif yang satu berbeda dengan yang lain, begitu juga bagian otak yang dibutuhkan dalam kerja kolektifnya. Inovasi, penciptaan baru, bukan monopoli salah satu bagian otak kita. Seperti sebuah kantor, proses perekrutan dari masing-masing departemen sesuai dengan proyek dan tugas yang datang. Bagaimanapun juga, meski berasal dari bagian-bagian yang berbeda, otak manusia mirip dengan kodratnya sebagai makhluk sosial: mesti bekerja secara kolektif agar mampu menghasilkan sesuatu yang berguna.

Lantas buat apa tes-tesan tadi? Iya sekadar untuk mengenali ke arah dominan mana kita dalam berperilaku. Meskipun itu tidak berlaku atau terjadi terus-menerus. Contohnya saya. Saya tiap hari rajin menulis. Menulis ini adalah kemampuan otak kiri (otki). Padahal jika dites, saya termasuk ke dalam kualifikasi otak kanan (otka).

Sumber gambar: verywellmind.com


12 Maret, 2022

, ,

Memasukkan Permainan Tradisional Menjadi Inkul atau Ekskul

Kita selama ini suka berbicara dalam tataran idealisme, namun selalu megap-megap dalam tataran operasional. Mengapa demikian? Ya karena kita sering halu gaes. Jadi apa yang ada di benak kita, ya kita semaikan di sana saja. Tidak mau mencobanya di alam nyata. Sebab selalu ketakutan akan kegagalan. Padahal kegagalan adalah bagian dari resiko hidup. Jika tak mau resiko, ya hidup kita akan stagnan. Dan lama-lama "punah sendiri". 

Ini pun terjadi pada hal-hal yang berbau tradisional. Kita suka berkoar-koar, suka menghamburkan kata-kata. Akan inilah, akan itulah. Intinya ingin melestarikan kebudayaan. Namun saat ditanya, kapan pelaksanaan. Tetiba bersembunyi di balik finansial, religiusitas, legal-formal, dan lain sebagainya. Ini kalau orang Jawa bilangnya  "Ora sumbut".

Contoh tentang tradisional ini adalah permainan tradisional. Sebagian besar peralatannya mudah didapat dan dibuat. Jadi tidak ada alasan, dapat menggerogoti anggaran. Jika berkaitan dengan faktor agama, juga jauh. Apabila diselidiki, tidak ada permainan tradisional yang umum dilakukan sejalan dengan kepercayaan tertentu atau sebuah kesesatan beragama. Semua permainan tradisional tadi bebas dari hal itu. Terkait dengan perundangan, permainan tradisional sudah dimasukkan ke dalam objek pemajuan kebudayaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Jadi alasan apalagi yang mau dipakai?

Makanya sekolah atau lembaga pendidikan yang telah memasukkan permainan tradisional sebagai mulok (muatan lokal), perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Ini artinya mereka tidak lagi berada di "omong besar" belaka. Namun sudah dalam aplikasi nyata. Dan jujur saja, sudah banyak daerah yang membuat pergub, perbup, dan perkot, terkait dengan mulok adat istiadat. Jadi ini hanya soal kemauan keras dari pihak sekolah saja.

Makanya untuk menguatkan hati lagi dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan, mungkin bisa membaca dua pendapat tentang pengertian permainan tradisional di bawah ini.

1. Novi Mulyani 
Dalam bukunya yang berjudul "Super Asyik Permainan Tradisional Anak" mengungkapkan, permainan tradisional adalah permainan warisan dari nenek moyang yang wajib dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal. 

2. Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
Dalam bukunya yang berjudul "Permainan Tradisional dan Perannya Dalam Mengembangkan" mengungkapkan, permainan tradisional merupakan suatu aktivitas permainan yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat dan diajarkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sumber gambar: liputan6.com

11 Maret, 2022

,

Menyalahkan Guru di Kelas Rendah


Selama ini kasus bullying di pendidikan, selalu dikira terjadi antara siswa dengan siswa. Padahal bullying atau mempunyai padanan kata dengan penindasan, perisakan, dan perundungan, ini juga terjadi antara guru dengan guru. Tentu mendengar hal ini, janganlah kaget. Memang benar guru secara ideal adalah manusia yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang etika. 

Tetapi yang namanya manusia juga mempunyai khilaf. Jadi melihat ini, perisakan bisa juga guru yang melakukannya. Dan jangan menganggap penindasan ini menjurus ke hal-hal yang cenderung fisik. Sebab faktanya lebih banyak ke arah psikis. Ini sesuai dengan pengertian bullying itu sendiri, yaitu tindakan atau perilaku yang dilakukan untuk menyakiti baik dalam bentuk verbal maupun ragawi.

Apa saja verbal-bullying yang umumnya terjadi antar guru, namun tidak disadari keberadaannya? Di sini hanya diberikan sebuah contoh saja. Perundungan itu adalah menyalahkan ketidakmampuan siswanya gegara guru sebelumnya dianggap tidak mengajari. Jika diredaksionalkan ungkapannya seperti ini, "Apa saat di kelas itu, kamu tidak diajari gurumu?" Hal ini jika dilontarkan langsung kepada siswanya. Apabila di antara sesama rekan guru, bisa saja jadi semacam ini, "Apa guru di kelas sebelumnya tidak bisa mengajar ya?" Padahal ini dikatakan di saat rapat, yang guru disentil itu ada. Dan ini tidak cuma sekali dua kali, namun terus menerus.

Padahal guru yang suka menyalahkan ini, belum tentu juga mempunyai kemampuan dan keberhasilan, jika ditempatkan di kelas atau sekolah yang lebih rendah jenjangnya. Mereka ini hanya mau menang-menangan saja, mau enak sendiri. Lupa bahwa tugas guru adalah "mencerdaskan" siswanya. Sebab seperti pemeo, kalau sudah cerdas kenapa harus sekolah?

Mereka tidak mau melihat secara luas, bahwa setiap siswa di setiap jenjang itu mempunyai persoalan yang unik dan khas. "Keistimewaan" ini dapat timbul karena faktor usia atau hal lain seperti keluarga, pertemanan, jarak sekolah, dan lain sebagainya. Jadi tidak boleh digebyah uyah. Kalau usia sudah sekian, atau sudah kelas sekian, pasti telah menguasai kemampuan yang dipersyaratkan. Jika memang sudah mampu, tentu tidak dilaksanakan adanya perbaikan. Padahal perbaikan ini salah satu muaranya dapat menentukan terjadinya penelitian tindakan kelas (PTK). Hal yang sangat dibutuhkan guru, untuk naik pangkat (di negeri).

Dan seringkali ketidakmampuan siswa itu, memacu guru menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam merancang konsep pembelajaran yang akan dilakukan. Sehingga menciptakan penemuan-penemuan baru di dalam perbaikan mutu pendidikan. Yang dalam hal ini dapat mewujud ke arah best practice (praktik terbaik). Sesuatu yang sungguh dibutuhkan pendidikan saat ini.

Sumber gambar: facebook.com

10 Maret, 2022

,

Hands on Experience, Belajar Secara Faktual


Kemarin siang, tiga rekan guru saya berbincang-bincang. Salah satunya yang menjadi guru Kelas 2 berkata, "Tadi saya lewat ruang Kelas 1, harum sekali ruangannya". Bu guru Kelas 1 pun membalas, "Iya, tadi anak-anak saya suruh belajar mengepel. Mereka bersemangat sekali. Bahkan saling berebutan mengambil alatnya, saat dijelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan." Mendengar ini, bu guru Kelas 3 ikutan nimbrung, "Ooo... gitu ya? Makanya semerbak mewangi kemana-mana." Bu guru Kelas 1 berujar, "Iya ini sesuai dengan materi yang ada di buku. Kan memang mintanya Kurikulum 2013 begitu".

Yang dilakukan oleh bu guru Kelas 1 inilah yang disebut dengan Hands on Experience. Hands on Experience dalam pelaksanaannya benar-benar melibatkan siswa dalam kegiatan tertentu, tidak cuma secara teoritis. Makanya secara terminologi, Hands on Experience diartikan sebagai suatu rancangan pembelajaran yang bertujuan untuk melibatkan anak dimulai dari menggali informasi, bertanya, beraktivitas, menemukan sampai menyimpulkan. Sehingga pembelajaran ini juga disebut dengan istilah Authentic Learning atau dikenal juga dengan nama Experiental Education. Dan ini setara dengan konsep learning by doing. Sebuah konsep belajar dengan mengerjakan sesuatu secara aktif dan mempunyai dampak dalam perubahan perilaku pelajar. 

Namun persoalannya, seringkali sulit sekali dilaksanakan di dalam pembelajaran. Ada dua sebab utama yang menjadikannya sulit. Pertama, soal waktu. Bagaimanapun juga alokasi waktu untuk praktik siswa, cenderung tidak bisa diperkirakan. Lebih banyak kurangnya dibandingkan dengan lebihnya. Karena saat pelaksanaan, sebagian anak tidak mau berhenti, dan sebagian lain tidak tuntas-tuntas dalam pengerjaannya. Dan guru lebih terdorong untuk membantu yang tidak bisa, dan memberikan keleluasaan pada yang sudah berhasil (yang mereka ini suka mengulangi lagi percobaannya). Padahal secara "kurikulum" ada batas waktu yang telah ditentukan. 

Yang kedua, soal administrasi. Persoalan administrasi ini juga sama dengan yang tadi. Sulit dicari solusinya. Karena selain sebagai guru, adalah juga seorang pegawai. Sebagai seorang pegawai tentu harus menuntaskan hal-hal yang terkait dengan administrasi. Dan ini tidak bisa dihindari maupun diabaikan. 

Akhirnya memang dilematis peran guru ini. Di satu pihak dituntut mengajar dengan inovatif. Di sisi lain ada tuntutan profesionalisme yang terkait dengan birokrasi kepegawaian. Jadi mau tidak mau, harus memeras otak dan memerah tenaga, agar semuanya berjalan dengan lancar. 

Makanya perundangan tentang pendidikan yang sekarang sedang digodok di tingkat kementerian, moga-moga mampu memberikan secercah asa tentang bagaimana guru seharusnya mengajar dengan baik. Tanpa diganggu keruwetan-keruwetan, yang sebenarnya bisa dialih-dayakan ke pihak lain. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar, dan tentunya berkemajuan.

Sumber gambar: dreamstime.com

09 Maret, 2022

,

Usia Kemasakan Intelektual yang Diabaikan


Jam dinding baru menunjukkan pukul 11.30, dan ada tiga ketukan di pintu dengan suara salam yang lirih. Buru-buru Mbah Guru membuka pintu sambil membalas salam. Melihat yang datang, Mbah Guru tertawa-tawa.

Guru Muda: "Mbah, kenapa tertawa? Apa ada yang salah dengan saya?"

Mbah Guru: "Ada. Bahkan dua."

Guru Muda: "Ini pasti kayak kemarin."

Mbah Guru: "Memang. Yang pertama, kamu datang nggak bawa oleh-oleh."

Guru Muda: "Lho kok simbah sekarang jadi matre sih."

Mbah Guru: "Malah nuduh matre segala. Apa kamu nggak nyadar? Sudah sering kesini. Sering bawa persoalan berat-berat. Hal itu sih nggak masalah. Yang jadi masalah, justru suka ngabisin jatahnya simbah. Kalau kamu sering kesini tanpa membawa oleh-oleh itu kan artinya menggizi-burukkan simbah."

Guru Muda: "Iya maaf mbah. Besok-besok kalau kesini, pasti bawa oleh-oleh."

Mbah Guru: "Oke. Yang kedua, jam segini kok sudah pulang? Korupsi waktu ya?

Guru Muda: "Nggak mbah. Ini tadi pagi, mendadak ada rapat. Dan sekarang sudah selesai."

Mbah Guru: "Kenapa nggak balik ke sekolah?"

Guru Muda: "Ya kalau dibuat balik, sekolah sudah tutup. Kan sekolahnya jauh tho mbah."

Mbah Guru: "Alesan aja. Iya sudah."

Guru Muda: "Mbah, saya mau tanya nih."

Mbah Guru: "Kok sudah punya bahan? Berarti kesini sudah niat."

Guru Muda: "Nggak sengaja mbah. Tadi pas mau pulang, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan. Dan ingat, katanya simbah harus mempersiapkan bahan kalau sambang."

Mbah Guru: "Tanya apa?"

Guru Muda: "Gini mbah, saya mau tahu soal usia berapa anak sudah mencapai usia kemasakan intelektual?"

Mbah Guru: "Maksudnya untuk masuk sekolah dasar gitu?"

Guru Muda: "Iya mbah."

Mbah Guru: "Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar."

Guru Muda: "Tapi mbah, banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya kurang dari usia tersebut. Alasannya sudah bisa calistung."

Mbah Guru: "Mestinya sekolah dan pemerintah harus tegas menolak. Kan sudah ada aturan, jika kurang usia harus menyertakan surat dari pihak kesehatan."

Guru Muda: "La itu masalahnya. Orang tua tidak mau tahu, dan sekolah takut nggak dapat murid."

Mbah Guru: "Makanya pendidikan kita tidak maju-maju sebab siswanya belum waktunya. Dan pihak terkait tidak tegas."

Guru Muda: "Kok bisa mbah?"

Mbah Guru: "Menurut menurut teori perkembangan dari Piaget, pada usia tujuh tahun, perkembangan kognitif anak berada pada level operasional konkret dan mulai menggunakan operasi mental serta berpikir untuk menyelesaikan suatu permasalahan."

Guru Muda: "Terus mbah!"

Mbah Guru: "Anak-anak yang berusia kurang dari tujuh tahun bisa saja sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung. Namun secara psikologis belum memenuhi aspek konsentrasi, daya tahan, regulasi emosi, serta kemandirian."

Guru Muda: "Bagaimana kalau sudah usia tujuh tahun, tapi belum mampu membaca, menulis, dan berhitung dasar?"

Mbah Guru: "Tentu harus dibawa ke psikolog anak, agar diketahui apa persoalan yang terjadi. Dan ini harus ada pembicaraan antara lembaga pendidikan dan pihak orang tua. Siapa tahu anaknya mengalami disleksia."

Guru Muda: "Mbah dengar-dengar, dulu ada metode yang cukup mudah untuk menentukan usia kemasakan intelektual."

Mbah Guru: "Ada. Cuma katanya ini peninggalan Belanda. Caranya cukup melingkarkan lengan kanan melewati kepala, jika ujung jari dapat menyentuh bagian bawah telinga kiri. Apa ini ilmiah atau nggak, simbah nggak tau."

Sumber: pinterest.com

08 Maret, 2022

,

Ketika Guru Merindukan Libur di Hari Sabtu


Siang ini hujan turun begitu deras, sehingga terpaksalah Guru Muda mampir ke pondoknya Mbah Guru. Sebab rumah beliaunya yang paling dekat dengan jalan dan mudah dijangkau. Setelah sampai dan dipersilakan duduk, maka terjadilah percakapan seperti ini.

Mbah Guru: "Kadingaren siang-siang begini ke rumahnya simbah."

Guru Muda: "Maaf ini tadi saya pulang dari sekolah. Tiba-tiba hujan deras. Jadi saya mampir sekalian berteduh."

Mbah Guru: "Nggak mau tanya-tanya sesuatu?"

Guru Muda: "La  mau tanya apa tho mbah?"

Mbah Guru: "Kan biasanya situ suka tanya-tanya kalau kesini."

Guru Muda: "Oalah iya-iya. Tapi maaf nggak ada bahan pertanyaan."

Mbah Guru: "Masak gitu aja butuh bahan? Mbok sing kreatif."

Guru Muda: "Bentar-bentar. Ya udah gini aja. Saya sebenarnya pengin kalau Sabtu itu libur. Biar sama dengan yang ngajar di SMA."

Mbah Guru: "Gunanya apa?"

Guru Muda: "Kan ada waktu rehat yang lebih panjang. Guru dimanapun sama. Punya beban tugas yang berat. Jadi kurang adillah, jika yang satunya dapat. Yang satunya tidak."

Mbah Guru: "Ya pindah saja ke SMA. Beres"

Guru Muda: "Mbah itu kok enak sekali jawabnya."

Mbah Guru: "Mau jawabannya yang kayak apa?"

Guru Muda: "Paling tidak ngasih solusi yang riil."

Mbah Guru: "Itu kan sudah riil. Mau riil gimana lagi coba?"

Guru Muda: "Iya yang ngedukung gitu lho. Bahwa semua guru kedudukannya sama. Karena sama, ya harus diperlakukan adil. Bukan emban cindhe emban siladan."

Mbah Guru: Wong libur saja dibikin resah. Yang perlu diresahkan itu, kalau mengajarnya itu lho nggak berdampak apa-apa. Tidak inovatif. Hanya cuma modal ceramah dan marah-marah."

Guru Muda: "Kok saya yang malah disemprot tho mbah?"

Mbah Guru: "Pean jelas salah. Namanya guru mengeluhkan begituan. Tak bermutu tau."

Guru Muda: "Wah salah lagi."

Mbah Guru: "Makanya besok-besok kalau kesini bawa bahan."

Guru Muda: "Siap."

Mbah Guru: "Terus masih ada kesalahan lagi. Bukan cuma satu."

Guru Muda: "Waduh,  apa itu mbah?"

Mbah Guru: "Tadi kan kamu belum mengajukan pertanyaan, baru pernyataan."

Guru Muda: " Terus satunya apa mbah?"

Mbah Guru: "Mestinya kamu itu tanyanya pada hari Sabtu, bukan Selasa gini. Jadi kurang terasa hubungannya."

Guru Muda: "Hmmm."

Sumber gambar: keepcalms.com
, ,

Guru Senior Juga Punya Sisi Keunggulan

Semakin lama semakin berkembang wacana yang mendiskreditkan guru senior atau biasa kita sebut guru sepuh. Dan anehnya sebagian daripada guru sepuh ini juga mengaminkan hal itu. Semestinya mereka kompak untuk melawan stigmatisasi ini. Sebab bagaimanapun juga, guru sepuh adalah "aset bangsa" yang terpenting saat ini. Tanpa keberadaan mereka, mana mungkin republik ini masih kokoh berdiri hingga sekarang? Jadi eksistensi mereka, jangan sampai dinihilkan. Apalagi oleh alasan remeh-temeh macam penguasaan teknologi. 

Dimanapun negara, yang diutamakan adalah sisi manusianya, bukan teknologinya. Karena teknologi sekadar "alat bantu". Yang namanya alat bantu adalah membantu proses berjalannya sesuatu dengan lebih cepat, mudah, atau baik. Meskipun begitu tidaklah urgen, tergantung dari kebutuhan. Ini sama halnya yang terjadi di ranah pendidikan. Teknologi hanya "memuluskan" pemahaman dengan cara yang lebih akseleratif dan menarik. Tapi tanpanya, proses pembelajaran tetap dapat berjalan sewajarnya. Bukannya malah nenjadi terseok-seok dan tertatih-tatih.

Di samping dianggap payah soal penguasaan teknologi, ada anggapan yang lebih "keji". Apakah itu? Ketidakmauan belajar alias tidak bersedia di-upgrade. Jikalau memang benar, tentu harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan utuh. Jangan parsial, jangan setengah-setengah. Dan apabila mau menengok lebih dalam, ada sisi-sisi yang harus dipahami pengambil kebijakan. Bagaimanapun juga guru adalah manusia. Yang namanya manusia, tentu mengalami penyusutan fungsi anatomik

Penyusutan fungsi anatomik adalah hal yang lumrah, dan sepantasnya terjadi pada diri manusia. Penyusutan yang terjadi salah satunya adalah pada daya ingat. Guru-guru sepuh tentu akan kesulitan, apabila "otaknya" dijejali pengetahuan-pengetahuan baru. Apalagi itu berbau asing, tentu sulit dikunyah oleh pemikiran mereka. Dan ini akan mendorong mereka mengalami keengganan untuk mempelajari. 

Padahal hal ini tetap bisa disiasati. Bisa diatasi dari segi aturan, yaitu membuat sebuah sistem yang ready for use, siap pakai. Jadi guru-guru sepuh itu tinggal plek-plek-plek, tanpa harus susah payah dalam mengingat dan menggunakan. Kalaupun ini belum bisa dilaksanakan, minimal dibuat kebijakan di tingkat lembaga pendidikan. Agar terjadi kolaborasi antar pendidik dalam pemanfaatan teknologi. Sehingga mereka ini merasa tidak asing dan terasingkan. Juga dapat mengalih-dayakan hal itu ke para siswa (yang tentunya sudah dibekali terlebih dahulu). Dengan itu semua, baik guru sepuh maupun guru muda tidak lagi iren-kemiren. Sebab mereka saling bersinergi dan membutuhkan satu sama lainnya.

Sumber gambar: elementarymatters.com

07 Maret, 2022

,

Guru Inspiratif, Sebuah Sensifitas yang Teramplifikasi

Guru inspiratif dapat muncul dimana saja. Namun persoalannya adalah kapan dia muncul di hadapan kita. Sebab kita merasa guru inspiratif seperti dongeng. Kayaknya terasa nyata, namun sulit kita pegang. Mereka seakan-akan hidup di Pulau Kapuk. Jadi kemungkinan kita temui, saat kita berada di alam impian.

Dan apabila ada yang mengetahui keadaan ini, kemungkinan akan berkata, "Ya jadi guru inspiratif itu sendiri dong". Kita pun akan membalas begini, "Tak semudah itu Bro". Selanjutnya terjadilah debat kusir yang tak berujung dan tak bermutu pula. Hanya menimbulkan luka di hati saja.

Begitulah kita, suka berangan-angan, suka mengawang-awang. Padahal lho tinggalnya di permukaan bumi. Sebagai makhluk yang hidup di muka bumi, mestinya memikirkan caranya bertahan hidup alias survival attack. Konsep bertahan hidup itu artinya mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perkembangan sekelilingnya. Dan yang tidak mampu bertahan hidup pastilah mengalami kepunahan. 

Masak kita sebagai guru menginginkan kepunahan diri, kan ya nggak tho? Tentu kita ingin eksis. Dan tak mau anak-anak kita nanti diajari humanoid, yang jelas tak punya sisi etika dan religiusitas. 

Makanya kita harus berubah, saling menginspirasi. Seperti yang tertulis pada gambar di atas. Teachers Inspiring Teachers. Sebab jika kita saling menunggu, tentu perubahan tidak akan terjadi. Harus ada yang bersedia menjadi pionir, bahkan kalau perlu menjadi martir. Ingat, setiap "yang mengawali" butuh effort yang luar biasa. Banyak hambatan yang menghalang maupun menerjang. Dan itu semua harus diterima. Karena itu resiko dari sebuah perjuangan.

Sumber gambar: amazon.com
,

Sanggupkah Guru "Mengauto-kritik" Dirinya?


Jujurly, kita tak sanggup kalau disuruh untuk otokritik. Jangankan otokritik, refleksi sebagai "kegiatan" yang harus dilakukan pun, sering kita kesampingkan keberadaannya. Padahal dengan refleksi, kita mengetahui seberapa tinggi nilai kekurangan. Sehingga kita bisa melakukan perbaikan-perbaikan, yang berdampak signifikan. 

Refleksi jika boleh dikatakan, adalah cara tercerdas, untuk menilai sejauhmana kinerja kita. Baik dalam pengajaran maupun kepegawaian. Dengan melakukan refleksi, artinya melakukan evaluasi terhadap segala pekerjaan yang telah dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan scoring. Dari hasil scoring tadi, kita dapat memutuskan "kebijakan diri". Tentu dengan melakukan hal itu, kita akan terbayang untuk menindaklanjutinya dalam perubahan cara pandang. Perubahan inilah yang dapat menciptakan guru yang unggul. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang menginginkan dirinya diselimuti kebebalan. Pasti kita mau tiap saat meningkat kapasitas kemampuan yang dimiliki. 

Apabila refleksi adalah cara tercerdas, maka otokritik adalah cara terpedas. Sebab fokus penilaian pada kekurangan yang dipunyai lebih tinggi, bahkan cenderung melewati batas. Makanya kita selalu "ketakutan" duluan, apabila disuruh melakukan otokritik. Sebab pasti akan terpampang "dosa-dosa besar" yang telah dilakukan. 

Dan ketika kita melihat itu, jadi jiper. Mau tobat kok gimana? Nggak tobat kok juga gimana? Padahal kita tahu, semua kesalahan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Dan seberapa kuat sih kita bisa lari dari itu semua? Sebab sebenarnya kita tak mungkin lari. Jadi jalan terbaik agar dibebaskan dari "hukuman" itu adalah memohon ampun, meminta maaf. 

Tentu permohonan dan permintaan itu, disertai perubahan perilaku. Dengan perubahan perilaku, akan dilihat sebagai ikhtiar penebusan dosa. Karena bagaimanapun juga, langkah kaki akan terasa ringan melenggang, apabila beban-beban kekeliruan sudah tercerabut dari pundak kita.

Namun persoalannya, kapan kita berani melakukannya? Sebab kita terlampau senang untuk menunda-nunda. Walaupun tahu, yang menuai rugi ya kita-kita sendiri. Kita masih suka berandai-andai. Meskipun tahu, hal itu tak akan tercapai. Mestinya kita tak perlu menunggu "besok". Karena bisa jadi, mentari esok pagi tak lagi mau bersua dengan kita. 

Sumber gambar: englishlib.org

06 Maret, 2022

,

Hal-hal yang Membahagiakan Guru


Sebenarnya apa saja sih yang membuat guru bahagia? Agar mempunyai persepsi yang sama tentang apa itu "bahagia", marilah kita menilik pengertiannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahagia menurut kamus itu, termasuk kata benda (nomina) dan kata sifat (adjektiva). Baik arti dari segi nomina maupun adjektiva, saling menyokong. Dan di bawah ini pengertiannya.
1. /nomina/ keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan): -- dunia akhirat; hidup penuh -
2. /adjektiva/ beruntung; berbahagia: saya betul-betul merasa -- karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga.

Agar lebih puas, bisa menengok sendiri pengertiannya secara lebih luas di KBBI dan di Wikipedia. Bagaimana? Saya anggap kita semua punya pendapat yang berbeda-beda tentang makna "bahagia". Namun jika meninjau pengertian secara mengkamus tadi, saya kira tidak jauh berbeda.

Karena sudah terang benderang soal pengertian bahagia, mari kita lanjutkan tentang topik kita, yaitu apa yang membuat guru bahagia. Pada umumnya guru bahagia ketika mendapatkan siswa yang rajin, patuh, sopan, antusias, dan berprestasi. Tapi faktanya berapa persen guru yang mengalami secara langsung pengalaman seperti itu? Apakah itu berlangsung terus menerus? Apakah itu terjadi di semua siswa?

Bagi guru yang sudah bertahun-tahun mengajar, di atas sepuluh tahun, tentu sepakat untuk menjawab "pernah". Akan tetapi "pernahnya" ini tidak terjadi di tiap tahun dan tidak untuk seluruh siswa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa karena penampilan guru kurang menarik secara fisik? Apa karena dalam penyampaian materi kurang atraktif? Apa karena kurangnya waktu guru dan siswa berinteraksi? Apa karena memang kualitas siswanya yang bermasalah? Apa karena kultur latar belakang siswa? Apa karena kebijakan sekolah? Ataukah hal ini bersumber dari kurang matangnya kurikulum kita saat ini? Apa ada yang bisa memaparkan jawaban yang pas dan kena di hati tentang soal-soal di atas?

Di depan tadi adalah hal yang menyangkut hubungan dengan diri siswa. Bagaimana dengan hal pribadi guru? Tentu semua guru, sangat-sangat setuju, apabila parameter kebahagiaan dari sisi pribadi adalah kenaikan gaji dan tunjangan. Mendengar hal ini, jangan buru-buru memvonis guru termasuk makhluk matre. Sebab bagaimanapun juga guru adalah manusia. Sebagai manusia, pasti butuh kepastian dalam mengarungi kehidupan yang tak pasti ini. Begitu juga, ketika guru menginginkan proses administrasi yang lebih ringan. Ini tidak berarti guru termasuk golongan pemalas. Ini adalah hal yang lumrah dan wajar. Sebab faktanya, administrasi pendidikan hari ini, sudah seperti gunung anakan dan datangnya bagaikan air bah. Apa Anda merasa sepakat dengan pernyataan barusan?

Sumber gambar: m.apkpure.com

05 Maret, 2022

s.id, Shortener-nya Shortener


Ternyata saya kaget juga ketika ada "situs penyingkat url" bikinan anak negeri. Semestinya kekagetan ini tak boleh ada, sebab ada embel-embel "id" di belakangnya. Embel-embel ini jelas menunjukkan bahwa situs ini adalah produk nasional Indonesia. Tak mungkin dari asing. Meskipun orang-orang yang diracuni pikiran syak wasangka, pasti bilang bisa saja kemungkinan itu terjadi. Namun melihat aturan .id diperuntukkan bagi Warga Negara Republik Indonesia dan/atau Badan Usaha/entitas/sejenisnya. Maka sulit kiranya.

Kekagetan ini juga seharusnya tak boleh ada. Karena menurut selentingan, Indonesia menempati pengangguran programer nomor dua setelah India. Meskipun ini tidak membanggakan. Namun paling tidak menyiratkan, bahwa kita punya stok yang banyak. Cuma sayangnya ya itu tadi, tidak terserap pasar. 

Jika tak percaya kabar tersebut, bisa merunut pada hasil tes yang dilakukan oleh HackerRank. HackerRank merupakan sebuah platform untuk menentukan rangking para programmer berdasarkan skill coding yang dimilikinya. HackerRank sering mengadakan tantangan (challenges) untuk meningkatkan kemampuan para programmer. Ribuan programmer dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia ikut berpartisipasi dalam tantangan tersebut. Kemampuan programmer dinilai berdasarkan kombinasi akurasi dan kecepatannya. 

Berdasarkan hasil tantangan yang dirilis di bulan Februari 2022 ini, Indonesia menempati urutan ke-40. Urutan yang tak jelek-jelek amat. Sebab Indonesia di hal-hal yang berbau akademis, selalu berada di urutan buncit. Mentok 100, itu sudah bagus. La ini peringkat 40 je. Apalagi di atas negara Selandia Baru dan Afrika Selatan, yang tergolong lebih maju daripada kita soal teknologi.

Dan boleh dicoba, layanan s.id benar-benar penyingkat web yang sesungguhnya. Karena cuma empat-lima buah karakter saja, yang dimunculkan. Bandingkan dengan layanan sejenis yang masih setara dengan gerbongnya Thomas. Ditambah kecepatan memperpendek juga lebih tinggi. Di samping itu, untuk pendaftarannya juga tidak ribet. Simpel-pel-pel. Bahkan bisa pakai menaut dengan email, jika memang ingin mengutak-atik nama yang semau gue atau pas di hati.

Bagaimana? Tertarik mencobanya? Cus wer saja. Hitung-hitung juga turut membanggakan dan mencuankan kreativitas anak bangsa. Sebab siapa lagi, kalau bukan kita?

Sumber: s.id, id.m.wikipedia.org  dan petanikode.com