10 Februari, 2022

Puisi Xerox Alias Puisi Fotokopi

Sejak mengenalnya puluhan tahun silam, saya langsung menggemarinya tanpa proses babibu. Katanya puisi aliran ini, marak di era 70an. Puisi jenis ini dianggap bukan puisi sebenarnya. Karena sesuatu yang sepele, menurut saya. Cuma gegara tidak ada "pengendapan". Sebab katanya, puisi yang baik itu harus terlahir dari sebuah endapan yang deep. Bukan sesuatu yang makpecungul atawa makbedunduk begitu saja.

Namun persoalannya berapa lama harus diendapkan? Apakah seminggu, sebulan, setahun, ataukah sampai seabad? Saya pernah bikin puisi sekitar tahun 96-97, dan sampai sekarang belum selesai. Apa ini juga bisa dibilang masuk dalam kriteria tersebut? Kalau mau tahu, beginilah puisi saya itu.

Di dalam sinar yang redup,
kucari makna hidup

Bagaimana? Itu sudah terendapkan belum?

Kalaupun belum dianggap terendapkan, ya nggak papa. Saya malah senang, itu artinya puisi saya masih kategori puisi yang asal main comot dan spontan. Dan ini artinya saya masih fans berat dari puisi xerox. Loyalitas tanpa negoisasi. Pokoknya madep manteb tanpa melar-mengkerut.

Dan malam ini, kembali saya buktikan keabsahan sebagai penganut setia puisi xerox. Lihatlah puisi di bawah ini, yang tercipta saat menyusuri jalanan yang mulai lengang. Dan tak sengaja, mengambil rintik hujan sebagai teman seperjalanan.

Menenun pantun
Menenun sukma

Hanya bagi yang berkelimpahan waktu dan rasa

Jika tak, 
JAUHI!
Sebab bila memaksa
Akan merusuhi indahnya peradaban

Sumber gambar: shutterstock.com

0 komentar:

Posting Komentar