Tampilkan postingan dengan label menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menulis. Tampilkan semua postingan

03 September, 2022

, ,

Akhirnya Bisa Meguru ke Mbah Ali Harsojo

Orang Indonesia, khususnya orang Jawa selalu menyematkan gelar "Mbah" kepada seseorang yang dianggap pintar atau pandai. Bahkan sebutan ini tidak saja diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada sesuatu. Contohnya saja adalah Google. Kita suka memanggilnya dengan sebutan Mbah Google. Padahal kita semua juga tahu, bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencari. Dan kita bisa mengira-ira dari suaranya, dia berkelamin perempuan. Dengan usia sekitaran 30-40an tahun. Jadi masih terbilang muda. Sehingga sebenarnya lebih layak, dipanggil Mbak Google daripada Mbah Google. Namun karena dia sudah waskita dibanding kita, jadi mungkin akan kualat bila dipanggil dengan sebutan Mbak.

Meskipun begitu, kita ini sebenarnya punya standar ganda soal panggilan ini. Kalaupun tak mau dicap seperti itu, minimal kita dapat disebut melakukan anomali. Mengapa demikian? Sebab kita sering menyebut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan sebutan Mas. Ini kan aneh. Mestinya itu ya Mbah Menteri. Secara beliau itu memang benar-benar pintar, tajir-melintir, dan pemegang kendali pendidikan di Indonesia. Walaupun beliaunya terbilang masih muda. Dan jelas umurnya sepantaran dengan Mbah Google tadi. Apa kita nggak takut kualat atau paling tidak disebut kurang ajar? Meskipun beliaunya ini yang minta atau merasa fine-fine saja dipanggil semacam itu.

Dengan dasar di atas, maka pantaslah saya menyebut Ali Harsojo (yang punya aleepenaku.com) dengan embel-embel Mbah di depannya. Di samping saya menyediakan waktu untuk belajar kepada beliaunya. Beliaunya memang betul-betul mumpuni di bidang per-bloggingan. Ibarat kata, beliaunya sudah apal-kecepal soal seluk beluk bikin blog. Dan bisa dipastikan tulisan ini, tidak direncanakan secara sistematis untuk mendapatkan template gratis dari beliaunya. Tapi lebih kepada ungkapan kejujuran. Walaupun kalau dikasih, ya saya nggak menolak. Wong diberi cuma-cuma oleh Mbahe. Hehehe.

NB: Jangan lupa klik tautan ini: Tempat Aneka Info

Bojonegoro, 3 September 2022

27 Maret, 2022

,

Writing-Hibernation


Mungkin istilah di atas, tidak akan Anda temukan dimanapun saja. Sebab ini rekaan saya saja. Writing-hibernation adalah sebutan dari saya untuk kondisi seseorang yang melakukan jeda penulisan dalam kurun waktu tertentu. Biasanya terjadi dalam beberapa bulan (paling lama satu sampai dua tahun saja). Faktor pencetus penjedaan ini bisa terjadi karena beberapa hal.

1. Kehilangan Gagasan
Gagasan, tetaplah jadi biang kerok dari semua persoalan kepenulisan. Seakan apapun kegagalan atau ketidakaktifan, selalu ditimpakan ke dirinya. Makanya ketika terjadi ketiadaan produktifitas menulis, sudah jelaslah "siapa" yang ditunjuk sebagai aktor utama.

2. Kesibukan Kerja
Kesibukan juga merupakan hal kedua yang turut dipersalahkan. Padahal kalau dipikir, sesibuk apa sih manusia-penulis itu, sehingga tak sempat meluangkan waktu barang 15 sampai 30 menit? Dalam hal ini, kesibukan telah menyerupai dengan gagasan tadi. Mungkin lebih tepatnya tangan kedua.

3. Kekurangan Motivasi
Motivasi sudah lama memantapkan diri untuk menjadi jawara ketiga soal penyebab redanya semangat menulis. Karena memang motivasi adalah salah satu "pelita" yang suka memberikan iming-iming. Baik itu popularitas maupun penghargaan (termasuk uang di dalamnya).

4. Kejenuhan Pikiran
"Kok cuma gini-gini aja", adalah pikiran gelap yang sering menyelusup. Dan jika dibiarkan seperti api yang membakar kertas kering. Hal ini awalnya, bisa bermula dari poin ketiga. Apabila dibiarkan berlarut tentu akan menimbulkan kebencian terhadap hal apapun yang berbau kepengarangan.

Empat hal tadi adalah sesuatu yang biasa. Namun tidak lagi menjadi biasa, kalau empat hal itu bergabung. Sebab tak banyak penulis, apalagi yang masih amatiran kuat menahan rongrongan anarkisme mereka. Kemungkinan besar mereka akan tumbang. Akhirnya menggantungkan penanya untuk selamanya.

Sehingga writing-hibernation tak lagi berlaku. Karena sudah dalam tahap writing-elimination. Yang kelak selalu mereka rindukan dan ceritakan, kemanapun mereka melangkah. Sebuah kebanggaan semu yang menyilaukan. 

24 Maret, 2022

,

Mendaku Guru Penulis, Tapi Jarang Menulis

Ada pertanyaan yang cukup menyengat bagi guru yang mempunyai "sampingan" sebagai penulis. Yaitu, "Katanya jadi penulis? Tapi kok jarang menulis. Beneran nggak nih jadi penulisnya?"

Mereka yang hobi ngurusi hidup orang lain pasti suka menimpuk guru penulis, dengan pertanyaan dan pernyataan yang nyelekit. Dan salah satunya seperti di atas tadi. Mereka menganggap kerja menulis adalah sesuatu yang mudah dan ringan. Sehingga mereka begitu menyelepekan. Padahal kalau mereka disuruh, paling ya plonga-plongo pah-poh. 

Lantas upaya apa yang harus diupayakan untuk mengeliminasi ejekan itu? Jawabannya sangat mudah dan sudah terukur, yaitu rutin menulis atau bisa dibilang setiap hari menulis. Baik itu di media sosial, media massa, buku maupun publikasi ilmiah. 

Namun persoalannya tidak semudah itu. Sebab dalam menulis, selain dibutuhkan kayanya kosakata dan melimpahnya gagasan, juga diperlukan adanya referensi. Meskipun betul tidak semua tulisan memerlukan adanya hal itu. Tetapi dengan adanya pijakan pustaka, akan menguatkan serta membuat tulisan itu lebih berkarakter.

Dan pijakan pustaka atau referensi itu juga tidak mudah dijangkau. Seringkali harus ada usaha yang sangat keras. Tidak cukup menjumput warta atau file e-book dari dunia maya. Harus ada yang benar-benar riil secara fisik. 

Hal ini pun juga menghadirkan beberapa pertanyaan, "Berapa banyak sih guru penulis yang mempunyai perpustakaan mini di rumah? Berapa jumlah buku yang dimiliki? Berapa frekuensinya ke perpustakaan tiap minggunya? Berapa kali membeli buku setiap bulannya?"

Jika prosentase dari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas mendekati angka di bawah 50%, iya haruslah sadar diri. Sebab konsekuensi menjadi seorang penulis, walaupun itu sebutannya guru penulis, tetaplah sama. Mempunyai perbekalan yang cukup dalam menulis. Bagaimanapun juga buku adalah amunisi dalam kepenulisan. Ibaratnya sebuah senjata tanpa peluru, tidak mempunyai fungsi. 

Dan hal ini berdampak pada karya. Sehingga jika dinvestigasi, maka akan nampak sekali. Ada korelasi yang tinggi antara kepemilikan buku dengan karya tulis yang dihasilkan. Bagaimana dapat menghasilkan tulisan yang ajeg setiap hari, apabila tiada terdapat buku? Sebab datangnya kemampuan menulis itu berasal dari tingginya minat membaca.

Sumber gambar: weareteachers.com

23 Maret, 2022

, , ,

Benarkah GLS Salah Arah?


Sejak pemerintah menggulirkan Gerakan Literasi Sekolah atau disingkat GLS, penulisan buku yang dilakukan oleh guru menjadi semakin marak. Seakan-akan ini seperti api membakar kayu kering, wuuuuk. 🔥

Namun lama kelamaan gerakan ini ada yang menganggapnya bergerak ke arah yang salah. ↩ Sebabnya antara lain, buku yang dihasilkan kebanyakan berupa keroyokan atau bahasa kerennya adalah antologi. Ditambah pula jenis tulisannya punya kecenderungan, kalau tidak cerpen, pasti puisi. Ini tidak terlepas dari tema yang diangkat, yang kebanyakan berisi ihwal awal menjadi guru dan hal-hal di luar tugas guru.

Sehingga menimbulkan nyinyiran seperti ini, "Mestinya buku 📚 yang dihasilkan terkait dengan bidang yang diampu. Masak guru Matematika berkarya tentang puisi melulu? Lagian puisinya juga nggak ada hubungannya sama sekali dengan dunia berhitung. Dan mutunya jauh dari nilai sastra." 

Akhirnya mereka menganggap hal ini menjadikan dunia perbukuan menjadi sesak oleh "sampah literasi" 📦. Di samping itu juga, mereka mensinyalir ada yang bermain membengkakkan sampah itu menjadi semakin membukit. Sebab ada tumpukan cuan bin fulus yang menanti. Dan temuan ini, semakin menumbuh-suburkan praduga tadi.

Yang menjadi pertanyaan, "Apakah salah jika seorang guru hanya mampu melebur dalam penerbitan buku antologi?" 

Jawaban tentang hal ini sangat debatable. Tergantung dari sisi mana yang mau dipijak. Ada yang melihat dari idealisme kepenulisan ✍ secara picik. Mereka berpendapat kelakuan seperti itu dianggap keliru. Mereka juga mengimbuhkan pernyataan seperti ini, "Bila belum mampu, mending mengumpulkan dulu tulisannya, baru kemudian dibukukan. Sebab untuk apa kegunaannya? Menginspirasi? Sebuah motivasi palsu yang sering dihembuskan para penerbit. Banyak penulis senior, yang setia bertahun-tahun menggeluti dunia penulisan, jarang yang menerbitkan buku tunggal. Bahkan jarang yang bermain dalam model pembuatan buku berombongan. Mereka menempuh jalan panjang dan berliku, sebelum mampu menerbitkan sebuah buku."

Memang demikian, pendapat mereka yang berpegang teguh pada tafsir idealisme sempit itu. Mereka tidak mau meluaskan cakrawala berpikirnya. Mestinya mereka, kalau bisa merendahkan ekspektasi. Sebab dengan semangat guru yang begitu tinggi dalam penulisan, paling tidak menggairahkan semangat untuk membaca, semangat untuk mencintai buku. Sebab kita tahu, buku adalah jendelanya dunia. Dengan adanya buku yang terus tercetak, akan melajukan gagasan-gagasan. Dan gagasan-gagasan itu akan berdampak pada perubahan. Jikalau ada buku yang tak bermutu, nanti pun akan terseleksi secara alamiah. Tak perlulah berkecil hati. 💝

Sumber gambar: spitjournal.com

28 Februari, 2022

,

Kenapa Guru Harus Menulis? Apakah Itu Jalan Ninjanya?

Bukan karena ingin mendapatkan angka kredit. Bukan karena mencari popularitas. Bukan karena mencari tambahan penghasilan. Bukan karena ingin ditulis dengan tinta emas kesejarahan. Dan bukan karena yang bukan-bukan.

Tapi karena guru adalah salah satu penjaga moralitas. Kita tahu hari ini, dunia dikuasai oleh teknologi informasi. Dan teknologi informasi ini menggaungkan adanya kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Jika semua guru diam, dan tidak ada yang menulis. Maka akan keruhlah dunia kita. Perkataan kotor dan tak senonoh berkeliaran dengan leluasa. Hoaks akan diproduksi seluas-luasnya, tanpa henti. 

Tentu kita sebagai guru, tidak mau hal itu terjadi dan terus berkelanjutan. Sebab bila berkelanjutan, manusia akan punah dengan cara yang tragis. Maka menulis adalah jalan ninja  yang harus ditempuh. Tak peduli ada onak dan duri, yang menghadang kaki-kaki kita. Agar kita menjadi kesakitan, dan mengakhiri perjalanan. Padahal tujuan belum tercapai.

Mulailah menulis dengan hal-hal yang dekat dan sederhana. Seperti bagaimana membuat alat peraga atau trik-trik memakai aplikasi perkantoran yang memudahkan administrasi pendidikan. Jika memungkinkan, bisa lebih jauh, dengan menambahkan unsur-unsur religiusitas di dalam tulisannya. Di samping itu dapat pula berkenaan dengan aktivitas pribadi, seperti hobi, berorganisasi, maupun kegiatan sosial. 

Dengan memberikan "suguhan" tersebut, paling tidak ada sentuhan warna yang berbeda, ada rasa kesegaran tersendiri. Jadi isinya dunia maya tidak melulu soal keluhan, celaan, dan pornografi. Oleh karena itu, jika menganggap diri sebagai guru, segera tentukan waktunya. Jangan lama-lama, kalau  bisa sekarang saja. Sebab seringkali waktu tidak berpihak pada kita.

Sumber gambar: imgbin.com

27 Februari, 2022

,

1001 Penyebab Guru Sulit Menulis

"Kok banyak banget sih?" mungkin ada yang bertanya begitu. 1001 ini hanyalah gambaran hiperbolik. Menurut perkiraan saya, tak sampai 100 bijilah. Dan penyebabnya itu ada yang bisa dimengerti sampai yang mengernyitkan dahi.

Karena ini bukan Matematika, sehingga tak perlulah berpanjang kata kali lebar kali tinggi. Kita cus werr lah

1. Takdir
Jawaban ini adalah jawaban yang manjur untuk mengklekepkan argumen ilmiah apapun. Jika sudah terkena ini, ya udahlah. Sebab itu, banyak yang bersembunyi di baliknya agar tidak dikejar.

2. Malas
Ini bukannya tak mau, tapi kurangnya motivasi dan inspirasi. Jika ada yang memotivasi dengan baik, dan ada inspirasi yang menonjol, pastilah ngikut.

3. Ide
Alasan klasik binti template. Sebab gagasan itu bertebaran dimana-mana. Di laut, di gunung, atau yang terdekat dengan hidung kita.

4. Capek
Kalau mengalami ini, iya istirahat dulu. Kecuali memang capeknya tak hilang-hilang. Itu urusan lain lagi.

5. Media
Menulis hal apapun, butuh yang namanya media. Bila tak ada, ya tak mungkin. Apalagi tak mau ngoyo untuk memfasilitasi.

6. Ekstrovert
Karakter ini adalah karakter "banyak tingkah, banyak polah". Sedangkan menulis perlu "diam tak bergerak". Jadi ya susah. 

7. Mindset
Ada yang bilang pikiran itu yang menentukan. Bila menganggap menulis itu mudah, maka akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Jadi terlihat kan siapa yang suka menganggap sulit?

8. Scriptophobia
Ini adalah kondisi dimana seseorang takut untuk mengemukakan gagasannya lewat tulisan, untuk dikonsumsi publik. Ingat jangan mengaku-aku mengidap ini.

9. Profesi
Ada banyak jenis pekerjaan yang "mengharamkan" menulis (dan guru tidak termasuk dalam hal itu). Sehingga ketika menulis  harus pandai colong-colong waktu.

10. Uang
Jika otak sudah dikuasai duit, maka menulis pun harus ada cuannya. Bila tidak, iya tak mau.

"Lho kok cuma sepuluh?" mungkin ada yang protes yang semacam ini. Jawabannya simpel sih, "Iya ditambahi sendiri, biar genap. Hitung-hitung mengeliminasi situ punya kesulitan menulis".

Sumber gambar: depositphotos.com

23 Februari, 2022

, ,

aleepenaku.com, Tempatnya Aneka "Inpo" Maszzzeeeh

Bapak dan ibu guru yang sering ketinggalan informasi, dan suka berkata, "Kok geting aku". Kini bisa leha-leha bin santai-santai. Sebab apapun informasi terkait dengan pendidikan, aleepenaku.com, tempatnya. Ini bukan ngecap lho, atau saya dibayar dengan mahal. Tidak sama sekali. Saya menulisnya dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 

Pagi ini, owner dari situs itu berkomentar di sebuah grup WhatsApp, yang saya gabung di dalamnya. Terkejut dong saya. Karena saya duga  orangnya pasti segolongan manusia yang punya seabrek aktivitas. Selalu ngalor-ngidul setiap hari, ke berbagai tempat. Lebih mengagetkan lagi, ternyata pemiliknya seorang cowok. Saya kira dulunya cewek, sebab ditulis "alee". Bukannya saya seksis lho. Setahu saya, biasanya yang merubah huruf "i" menjadi dobel "e" itu kaum hawa.

Namun terlepas dari hal itu, apapun namanya nggak masalah. Seperti yang diungkap beliaunya di tautan ini: https://www.aleepenaku.com/2022/02/guru-blog-writer.html?m=1. Yang penting tidak melukai SARAJ (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan, dan Jenis Kelamin). Sebab kita tahu saat ini, bangsa kita, khususnya warganet, mudah meradang. Sedikit ada yang nyenggol, langsung ditangani tanpa ampun. Somasi dan klarifikasi sudah menjadi adab kekinian. Makanya harus hati-hati dalam penamaan sebuah situs. Kalau perlu, pakai bubur merah-putih

Dan ternyata pilihan nama "aleepenaku" memang benar-benar mbarokahi. Hampir bisa dipastikan, setiap warta yang terkait dengan pendidikan, tentulah situs tersebut jujugannya. Kita tahu di luar sana banyak blog yang serupa. Mungkin gegara kecepatan update dan isi penyampaiannya yang praktis, membuat situs tersebut mendapat limpahan atensi

Hal ini memang menjadi impian semua blogger, utamanya yang ingin me-monetize blognya. Agar blognya menjadi bercuan-cuan. Tentu itu adalah upaya yang tak mudah. Selain menampilkan materi sebaik mungkin (beserta trik-trik canggih), juga harus ikut ambyur  ke jejaring para blogger yang telah profesional. Tidak cuma main ser sana  ser situ. Beda bila niatnya hanya untuk sekadar nulis, untuk curhat, dan semua hal yang menjauhi fulus. Cukuplah bersikap yang wajar dan tidak neko-neko.

Sumber gambar: aleepenaku.com

11 Februari, 2022

, , ,

Menulis dan Potret Buram Pendidikan

Kemampuan menulis bagi seorang guru, sesungguhnya harus di-install jauh-jauh hari sebelum menjalani peran sebagai guru. Sebab pekerjaan guru memang bertalian erat dengan penulisan. Dari membikin administrasi kelas macam rencana pengajaran beserta konco-konconya sampai mengurusi administrasi sekolah (sebagai tugas tambahan).

Jadi ketika ada seorang guru merengek ke temannya, minta dibuatkan soal atau lebih parahnya minta kiriman file jadinya, sepintas memang terdengar aneh. Namun begitulah fakta pendidikan di Indonesia. Dan ini janganlah buru-buru dianggap sebagai potret buram pendidikan. Perlu pisau kajian yang mampu membelah sampai ke urat-urat terkecil dari problema pendidikan tersebut.

Dan hal itu seharusnya menjadi konsen utama bagi semua pemangku kebijakan di setiap levelnya. Bukan diserahkan kepada kesadaran internal para guru semata. Sebab guru kita sudah berdarah-darah dalam membimbing tunas-tunas bangsa. Jika beban itu dilimpahkan sepenuhnya ke pundak mereka. Tentu kelelahan ekstrim akan mendera. Dan akibatnya bisa ditebak. Yaitu timbulnya "kemalasan berjamaah", yang terkomandoi secara gaib.

Apabila sudah begini, percayalah kutukan "education-treadmill" tercipta. Kelihatannya gegas perkasa, namun tak kemana-mana. Tentu hal seperti ini, tak sudi kita alami bukan?  Makanya diperlukan penumbuhan kesadaran kolektif, agar menemukan win-win solution di antara semua pihak. Tidak cuma satu pihak yang berada di situasi "asu gedhe menang kerahe".

Sumber gambar: dreamstime.com