17 Maret, 2022

,

Jadi Guru Jangan Insekyur


Kira-kira ada nggak ya guru yang berani mengacungkan jari ketika diberi pertanyaan seperti ini, "Sudahkah bapak dan ibu guru menjadi pribadi yang inovatif dan kreatif, dinamis, responsif, manfaat tinggi bagi sejawat, produktif, dan memiliki resiliensi yang tinggi?" Sebelum buru-buru mengacungkan jari atau tidak, alangkah eloknya apabila membaca terlebih dahulu pengertian-pengertian dari istilah tersebut.

◇ Kreatif merupakan kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru untuk memandang masalah menjadi peluang. Sedang inovatif merupakan kemampuan untuk menerapkan solusi-solusi kreatif terhadap masalah dan peluang guna menumbuhkan usaha (Zimmerer dan Scrborough).

◇ Dinamis adalah penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya (KBBI).

◇ Responsif adalah cepat merespon bersifat menanggapi, tegugah hati, bersifat memberi tanggapan  atau tidak masa bodoh (KBBI).

◇ Manfaat adalah suatu hal yang memiliki nilai guna yang dapat memberikan faedah (brainly.co.id).

◇ Produktif adalah sebuah bentuk dari sikap yang dimana ingin akan selalu untuk dapat terus berkarya, menciptakan sebuah yang akan memiliki nilai manfaat baik terhadap dirinya sendiri serta dari orang lain (brainly.co.id).

◇ Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (Adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich dan Shatte).

Bagaimana? Menjadi galau berat setelah membaca pengertian mereka? Merasa, "Aku kok nggak kayak gitu". Sebagai guru, saya jujur juga mengalami hal yang sama. Seakan-akan seperti jauh panggang daripada api, perilaku kita dengan hal itu. 

Apakah aspek mental yang dirilis oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar (GTK Dikdas) ini memang "maunya" ataukah baru sekadar wacana? Kalau memang "maunya", maka kebanyakan pihak akan menganggap itu hal yang musykil atau utopis. Dan pihak GTK Dikdas, tak boleh kebakaran jenggot, jika mendengar anggapan ini. Sebab apa yang diutarakan, sama sekali tidak membumi. Kalaupun kemudian membantah hal itu seharusnya sudah melekat pada tiap guru. Hal ini dapat disergah dengan pernyataan, "Mau dikemanakan guru-guru kita, jika memang belum memilikinya? Dipensiunkan dini ataukah diberikan pelatihan secara terstruktur, sistematis, dan masif?"

Mungkin akan kelabakan juga jika mendapatkan sanggahan tersebut.  Berbeda apabila hal itu baru dalam tataran diskursus,  orang akan ngeh kalau ini pilihannya. Sebab apabila menginginkan sebuah idealisme, haruslah benar-benar diukur dengan realitas yang ada. Janganlah asal mangap, janganlah asal jeplak. Mana-mana yang terlebih dahulu harus dibenahi, harus punya skala prioritas dan fokus, serta tidak berlebihan. Bagaimanapun juga, guru adalah seperti manusia pada umumnya, yang mempunyai titik lemah dan titik jenuh.

4 komentar:

  1. Setuju...pake skala prioritas...like

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang seharusnya apapun yang kita kerjakan, harus ada skala prioritas, agar apa yang kita inginkan berjalan dengan baik dan tidak tumpang tindih.

      Hapus