24 Januari, 2023

,

Bikin "Mobile-Library" dari Kardus Bekas

Bikin "Mobile-Library" dari Kardus Bekas
(Hari Kesembilan Belas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Hari kedelapan belas ini, penataan kelas hampir rampung. Tinggal menambahkan beberapa hal, seperti jam dinding, pot bunga, buku bacaan dan gambar para pahlawan. Kebetulan ada sebuah kardus bekas yang teronggok di kantor guru. Daripada teronggok sendirian, lebih baik dimanfaatkan. Dijadikan wadah buku bacaan. Maklum buku bacaannya tak punya tempat tersendiri, sehingga perlu dibuatkan. Karena tak ada pendanaan untuk itu, sesuai dengan peribahasa "Tak ada rotan, akar pun jadi". Makanya kardus itu menjadi sarangnya kini.

Ini hitung-hitung untuk mendaur-ulang kembali barang yang sudah tak terpakai. Digunakan untuk sarana pendukung literasi sekolah.  Meskipun terlihat ringkih, namun keberadaannya dapat menambal kebutuhan. Sebab jika buku bacaannya dihamparkan begitu saja di meja, kemungkinan besar akan bercampur dengan buku-buku lainnya. Sehingga akan terselip, dan bisa dipikir hilang keberadaannya. Apabila dimasukkan ke dalam lemari kayu, kemungkinan kecil akan dibaca. Karena lemari yang ada, begitu rapat. Dan kalau terlalu sering dibuka, nantinya akan rusak engselnya.

Jadi pemakaian kardus itu adalah win-win solution terhadap permasalahan di atas. Di samping itu, punya poin plus dibandingkan dengan rak buku. Kardus itu sifatnya mobile. Sehingga mudah dipindahkan. Dan juga buku-buku yang berada di dalamnya, tetap aman. Nilai tambah lainnya adalah, kardus ini dapat dihias dengan leluasa. Apabila sudah agak rusak, juga dapat cepat digantikan dengan yang lebih layak.

Agar lebih dapat membetot perhatian, kardus ini pun saya pikir harus diberi nama. Karena kemarin beberapa aktivitas pendukung pembelajaran mempunyai nama-nama hewan dalam Bahasa Jawa (yang ditingkahi pula dengan kegiatan yang menyertainya), kardus ini pun perlu juga untuk mengekorinya. Setelah ditimang-timang, nama yang cocok-terap adalah Kadal Baris. Ingat, ini juga singkatan seperti sebelumnya. Dan kepanjangannya adalah Kardusnya Literasi Baca Saat Beristarahat.

Bagaimana dengan Cecek Turu (Cerita-cerita Kekinian untuk Ditiru)? Kalau Cecek Turu itu, dibaca ketika sebelum pelajaran dimulai. Bisa dibilang semacam kegiatan dalam Gerakan Literasi Sekolah. Yang bahan bacaannya sudah disiapkan, dalam bentuk lembaran, bukan buku. Dan isinya menyesuaikan dengan materi pelajaran. Sedangkan yang Kadal Baris, sewaktu istirahat. Apa anak-anak tidak bosan, jika waktu bacanya sampai dua kali? Sepertinya tidak. Mereka terlihat enjoy-enjoy saja. Mungkin karena yang Kadal Baris ini tidak merupakan "keharusan", sehingga mau baca maupun tidak, terserah mereka.

Bojonegoro, 24 Januari 2023

21 Januari, 2023

, ,

Kontrol Diri dengan Terapi Menggambar

Kontrol Diri dengan Terapi Menggambar
(Hari Kedelapan Belas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Di hari kedelapan belas ini, saya baru menyadari bahwa Tema 6 ini "ditingkahi" banyak ulasan tentang poster. Mestinya kesadaran ini tak boleh datang terlambat, sebab sudah sampai Subtema 3 pada Pembelajaran 6. Tapi ya, saya maklumi sendiri. Dengan alasan, jadi guru kelas enamnya juga makbenduduk, mendadak begitu saja. Belum ada persiapan sebelumnya.

Adanya materi tadi, menimbulkan pemikiran kepada diri saya. Apakah memang ini dibikin karena ada kaitannya dengan apa yang dialami para siswa? Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa anak-anak di kelas enam, biasanya sudah memasuki masa pubertas. Dan seringkali di masa pubertas itu, kontrol diri belum bisa dilakukan sepenuhnya alias masih labil.

Lantas apa hubungannya masa pubertas dengan poster? Tentu ada, dan tak cuma digatuk-gatukkan alias cocoklogi. Coba dipikir! Mana mungkin pembuat kurikulum tidak memikirkan hal yang saling terkait? Pasti mereka sudah dengan amat sangat telitinya. Melakukan penjlimetan dengan tingkatan luar biasa.

Agar sidang pembaca, tidak terjebak kebingungan lebih dalam. Mari kita bahas apa itu kontrol diri? Menurut Tangney, Baumeister dan Boone, kontrol diri (self-control) merupakan kemampuan seseorang untuk melampaui atau merubah respon dalam diri juga untuk menghalangi perilaku yang tidak diinginkan, yang muncul sebagai bentuk respon dari sebuah situasi.

Rubin berpendapat, art therapy atau terapi seni merupakan cara untuk memahami dan membantu orang lain dengan proses terapi melalui seni. Sedangkan dari Malchiodi, proses pelaksanaan art therapy juga dapat menjadi sarana anak melepaskan emosi dan mengatasinya.

Dan salah satu terapi seni itu adalah menggambar. Seperti yang kita pahami, poster adalah bagian dari seni menggambar. Dengan adanya banyak bahasan tentang poster (yang disertai praktik pembuatannya), dapat membuat anak secara sadar maupun tak sadar belajar untuk mengendalikan diri. Apalagi saat membuat posternya, mereka terlihat lebih tenang. Berusaha menyelesaikan dengan baik. Meskipun jika dihitung, waktu yang dihabiskan--menurut perkiraan saya-setengah kali lebih banyak dibandingkan dengan kelas yang lebih bawah.

Bojonegoro, 21 Januari 2023

19 Januari, 2023

,

Mengerjakan di bawah atau atas?

Mengerjakan di bawah atau atas?
(Hari Keenambelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Alangkah hebohnya, jika anak-anak mendadak mendapatkan meja sekolah seperti pada gambar di atas. Sudah dapat dipastikan mereka gegas untuk merengek-rengek, agar tidak ada jam pulang sekolah. Bahkan saking enggannya pulang sekolah, mereka maunya nginap saja. "Bayar mahal gapapa pula", mungkin begitu pikiran mereka. Dan jangankan mereka, mungkin kita juga akan betah berlama-lama. Baik itu untuk sekadar searching hal-hal tak penting sampai untuk bikin konten usaha sampingan.

"Bolehkah mengerjakan di bawah (maksudnya di atas lantai)?" Kalimat ajaib seperti itu mustahil untuk menyeruak ke permukaan. Sebab semua hal, bisa dikerjakan di atas. Dan sudah terwujud dengan begitu nyamannya (paling tidak dari segi psikis). Lain halnya dengan keadaan pada umumnya sekarang ini. Meja sekolah cenderung kurang membuat mereka merasa comfort atau leluasa. Ini memang yang lumrah dan alamiah. 

Oleh karena itulah, terkadang terbit kepenatan fisik yang berimbas ke psikis juga. Sehingga "kalimat sakti" seperti di atas, sesekali muncul dalam proses pembelajaran sehari-hari. Ini tentu bukan salah mereka. Kalau bukan salah mereka? Lantas salah siapa? Yang jelas, tak perlu menyalahkan "mejanya". Jika ada yang patut disalahkan, tetaplah kita sebagai guru. Mengapa? Coba renungkan!

Kita kerapkali lupa. Mungkin salah satunya karena begitu "asyik" mengerjakan tugas-tugas administrasi. Dan memberi mereka pekerjaan "yang menggunung". Sehingga dampaknya, mereka duduk terpekur, dari jam tujuh pagi hingga teng-teng-teng jam pulang sekolah. Dan itu hanya sedikit diselingi dengan masa rehat yang tak seberapa mendorong otot-otot badan menjadi rileks.

Dengan melihat argumen tadi, maka di hari keenambelas ini saya menyodorkan kalimat sakti tadi, pasca istirahat sekolah. Sebab nampaknya dari mulai masuk, anak-anak sudah digelontor tugas oleh guru sebelumnya. Mendengar tawaran saya, ekspresi kegirangan terpampang nyata di muka-muka mereka. Dan mereka begitu cepatnya, menghamparkan diri di atas lantai--yang tentunya sudah dipel--dengan mode kelesotan.

Bojonegoro, 19 Januari 2023

18 Januari, 2023

,

Yang Penting "Paham", Bukan "Pernah"

Yang Penting "Paham", Bukan "Pernah"
(Hari Kelimabelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Menjelang siang, di hari kelimabelas, saatnya pelajaran Matematika. Ada seorang anak yang berkata, "Itu sudah pernah diterangkan pak". Ketika membuka materinya. Tentu saya merasa senang, jika materinya sudah pernah diterangkan. Pasti mereka akan cepat mengerti, itu pikir saya. Mungkin begitu juga, pikiran bapak dan ibu sekalian.

Namun saya juga teringat, bahwa pernyataan ini, adalah hal yang lumrah. Dan bisa dianggap sebagai pernyataan ketidaksukaan secara terselubung. Sebab anak-anak kerapkali tidak menyukai suatu materi yang diulang-ulang, padahal belum tentu paham. Maunya yang serba new, setiap ketemu.

Ini bukannya suuzan lho ya. Ini juga fakta dan bisa dibuktikan. Sebab biasanya reaksi ini muncul, ketika seorang guru menanyakannya terlebih dahulu. Bukannya secara "berani" terlebih dulu menyatakan pendapat. Dan sewaktu ditanya balik, pastilah jawabannya sudah sangat-sangat bisa ditebak. Yaitu "tidak bisa". Memang berlagaklah, tapi kita sebagai guru tak perlu ambil emosi.

Beda halnya, kalau respon awalnya begini, "Wah aku udah bisa." Jika pendapatnya begitu, jelas nampak memang menguasai. Meski begitu, tetap kita tes sampai seberapa besar derajat kepintarannya. Apakah memang valid dan perlu diacungi jempol? Ataukah semacam pendapat akon-akon belaka?

Dan karena jawaban anak tadi sudah terang benderang. Maka tentunya saya mengharuskan diri untuk menerangkan kembali dari awal secara utuh. Setelah menerangkan, kemudian saya susul dengan contoh. Lalu tibalah saya memberikan dua buah soal saja. Mengapa cuma dua buah saja? Karena saya lebih mementingkan anak menjadi paham. Bukan yang penting banyak. Sebenarnya secara substantif keduanya sama. Yang membedakan cuma, yang satu mengandung gambar, sedangkan lainnya tidak.

Ternyata soal yang saiprit itu, butuh waktu yang lama bagi mereka untuk menyelesaikan. Dan saat saya membahasnya, sebagian besar dari mereka berkata, "Jawabannya saya sama pak, tapi caranya berbeda". Tentu saya kaget dong. Dalam benak saya tak ada cara lain, sebab sesuai buku caranya cuma itu. Dan seperti itulah saya terangkan.

Untuk mengobati rasa kekagetannya saya, saya minta salah satunya menuliskan perhitungannya di depan. Dan caranya memang beda, tidak berasal dari buku. Melihat ini saya tersenyum dan berkata, "Matematika mengenal beragam cara dan rumusan. Dan cara yang kalian pakai itu tidak salah. Hanya tidak sama dengan yang diterangkan. Apakah itu boleh? Sebenarnya boleh. Tapi ingat, lebih baik menggunakan cara yang sudah diterangkan. Apalagi cara yang diterangkan ini lebih pendek dan mudah."

Bojonegoro, 18 Januari 2023

15 Januari, 2023

,

Bikin Peraga untuk Mapel Agama

Bikin Peraga untuk Mapel Agama
Oleh: Ajun Pujang Anom

Kemarin sore, Alhamdulillah saya berhasil menelurkan tiga konsep alat bantu pembelajaran dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Karena ini masih konsep yang tersimpan dalam benak, jadi masih bisa dibilang konsep yang mentah. Meskipun konsepnya masih mentah, namun ada yang sudah matang. Yaitu namanya. Namanya telah dibikin dan diyakini sudah tepat. Ini kok sama seperti ortu yang ngecek calon buah hatinya lewat USG, kemudian segera mencari nama yang cocok sesuai jenis kelamin. Padahal lho, belum tentu brojol dalam keadaan bagas-waras. Pokoknya, yang penting yaqin dan optimistic.

Dan ngomong-ngomong soal pemberian nama ini, butuh waktu yang tak sedikit. Ada yang sudah ketemu beberapa detik, ketika konsep peraganya sudah diperoleh. Ada yang memerlukan waktu belasan jam, dan menguras pikiran. Walaupun akhirnya menghasilkan nama yang bisa dibilang, "Yah, begitu saja." Memang betul, menciptakan sebuah nama bukanlah perkara mudah. Sebab dia penanda, dan sebagai penanda harus memicu ketertarikan. Apalagi ini nama sebuah alat bantu, tentu kudu yang bisa membetot perhatian. Tetapi tidak mengabaikan fungsionalitasnya.

Tiga buah peraga tadi, berasal dari tiga buah bahan ajar yang berbeda. Tiga buah materi tersebut adalah Tajwid, Asmaul Husna, dan Wudlu. Untuk peraga dari Tajwid, diberi nama Beta Manise. Nama ini kependekan dari Bendera Tajwid - Media Alternatif Sederhana). Yang kedua adalah Pahala Besar. Disingkat dari Peraga Asmaul Husna dalam Benda Saling Terkait). Dan yang terakhir, bernama Perwira Gema. Nama yang diambil dari Peraga Wudlu Informatif Gerak Maju.

Untuk peraga Beta Manise, merupakan modifikasi dari media pembelajaran yang telah saya buat dulu untuk materi Aksara Jawa, yaitu Gelatin (Gendhera Latih Hanacaraka). Sengaja saya comot dari sini, karena kesamaan substansi. Sedangkan peraga Pahala Besar, berasal dari pengembangan puzzle. Kita sudah ketahui bersama, bahwa puzzle bisa menjadi sarana yang bisa menyalurkan seluruh gagasan dalam hampir semua materi pelajaran. Khusus untuk Perwira Gema, berasal dari modifikasi alat peraga yang umum dijual di olshop, namun biasanya dibuat terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan. Dalam media ini, tidak benar-benar terpisah. Atau lebih tepatnya bergantian.

Semua peraga di sini, menggunakan bahan utama dari kertas (dapat diganti dengan bahan lain, sesuai keadaan). Dan juga bisa diwujudkan dalam animasi sederhana menggunakan aplikasi Microsoft PowerPoint (dapat juga dengan aplikasi lainnya, sesuai kebutuhan). Ini artinya ketiga peraga tadi bisa dikemas dengan beragam bentuk, sesuai dengan inovasi dan kreativitas guru. Jadi tidak zakelijk, monoton pakai satu bahan saja. Dan menurut saya, sebuah peraga harus mampu ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk, sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman.

Bojonegoro, 15 Januari 2023

14 Januari, 2023

Macan Luwe

Macan Luwe
(Hari Keduabelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Selain Gerakan Jum'at Bersih, ada satu lagi kegiatan yang bisa dimodifikasi, yaitu Mading atau kepanjangannya adalah Majalah Dinding. Kalau biasanya majalah dinding itu "wadahnya" dipaku di dinding, untuk kali ini digantung alias dicantol. Makanya dinamakan "Majalah Cantol", disingkat Macan. Kalau Macan saja, rasanya kurang nendang. Perlu diimbuhi kata-kata yang melaparkan. Dan ketemulah kata "Luwe". Luwe ini singkatan dari Luwapkan Ekspresi. Sehingga jadilah istilah Macan Luwe.

"Wah, wah, maksa nih singkatannya", apabila Anda berpikir demikian. Maka pendapat saya pun tak jauh beda. Namun akhirnya saya tak ambil pusing. Sebab setelah saya otak-atik pikiran, kagak ketemu yang sesuai. Jadi terpaksalah pakai itu. Dan jika dirasa-rasa, itu tidaklah terlalu buruk. Malah mengesankan kepada siswa untuk bergegas menggelontorkan gagasan-gagasan hebat. Bahkan yang out of the box sekalipun.

Sebab apapun penemuan atau inovasi, selalu dikira nganeh-anehi. Terlalu beyond. Tidak membumi dan "apalah-apalah" lainnya. Namun setelah dirasa ada guna dan manfaatnya, langsung dicomot, serta dieksploitasi berlebihan. Begitulah sifat manusia dimanapun tempatnya. Jadi sulit untuk menafikkan fenomena ini.

Karena berprinsip pada kepraktisan dan hemat biaya, maka dipilihlah media yang menjadi "inang" dari si majalah itu. Karena posisinya dicantol, maka yang layak menjadi opsi tidak lain dan tidak bukan adalah kalender bekas. Tentu dengan menggunakan punggung polosnya sebagai tempat menempel.

Dengan menggunakan kalender bekas, posisi gantungannya bisa bergerak secara mobile. Berbeda dengan mading konvensional yang harus teronggok pasrah di tempat tertentu. Walaupun begitu, tetap ada kelemahannya. Karena pergerakannya bisa pindah kemana-mana, memungkinkan kerusakannya lebih tinggi. Ditambah pula, dengan tidak adanya pengaman berupa kaca atau plastik, yang biasanya menjadi pelindung sekaligus pemisah jarak.

Dan mulai hari Sabtu ini atau hari keduabelas masuk sekolah, kita buat bersama-sama. Nanti diagendakan dibikin seminggu sekali. Tentunya dengan tema yang beragam dan tidak melenceng dari materi pelajaran yang ada. Dan tema kali ini, yang kita usung adalah Pubertas.

Bojonegoro, 14 Januari 2023

13 Januari, 2023

,

Bebek Dolan

Bebek Dolan
(Hari Kesebelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Mungkin ada yang mulai bosan baca tulisan ini. Karena tiap hari bahasannya "hewan" melulu. Oleh karena itu, saya minta maaf. Namun saya rasa harus tetap melanjutkan. Sebab eksperimentasi pembelajaran, lewat kegiatan ini masih berlangsung. Dan membutuhkan akronim-akronim yang dapat menggugah selera kreativitas. Kalau tanpa disingkat maupun disingkat secara "biasa" saja, kesannya kurang mengena. Perlu keunikan yang menyegarkan benak.

Dan di hari kesebelas ini, saya memakai istilah Bebek Dolan alias Bersih-bersih Kelas dan Halaman Sekolahan. Ini adalah sebutan lain daripada Gerakan Jum'at Bersih, yang sudah lama digemakan. Tidak ada kebaruan dalam rutinitasnya. Hanya sekadar mengenalkan terminologi baru. Kalaupun nanti dikembangkan agar tidak monoton, bisa dengan menambahkan yel-yel ataupun lagu. Dengan adanya hal itu, memungkinkan semangat bersih-bersihnya jadi meninggi.

Di samping itu, juga dapat dibuatkan maskot atau kostum. Namun ini tentu butuh modal, yang tidak dapat dikatakan sedikit. Meskipun bisa diakali, dengan bahan pembuatannya dari kertas, plastik, dan barang-barang tak terpakai di sekitar kita. Dengan ini, malah membikin jadi nilai plus. Benar-benar mengurangi sampah, juga membuat keadaan menjadi lebih hidup serta indah.

Dan semakin menyenangkan pula, jika sekali-kali di akhir kegiatan, diadakan makan besar dengan bahan dasarnya adalah bebek. Jadi kegiatannya betul-betul bebek detected. Apabila dikonsepkan dengan matang, bisa menjadi trade mark sekolahan. School branding yang murah, namun bertenaga.

Mungkin gagasan yang serba murah-meriah semacam ini diterapkan di berbagai level pendidikan, akan tercipta lingkungan pembelajaran yang mempunyai ciri khas dan berdaya saing tinggi. Tak perlu harus selalu mencanangkan aktivitas yang serba menguras kocek dan berbau teknologi tinggi. Karena pendidikan tidak melulu soal kecanggihan, namun lebih ke arah tingginya moralitas dan kreativitas.

Bojonegoro, 13 Januari 2023

12 Januari, 2023

,

Cecek Turu

Cecek Turu
(Hari Kesepuluh Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Tak ada afdol rasanya, apabila kegiatan Sarapan Pagi tak ada geliat bacanya. Makanya untuk itu, saya bikin pula aktivitas pendampingnya bernama Cecek Turu. Kok masih pakai nama hewan? Iya biar nyambung aja. Apalagi Cecek Turu ini merupakan kependekan dari Cerita-cerita Kekinian untuk Ditiru. "Ditiru" di sini maksudnya adalah agar anak-anak menjumput nilai-nilai positif yang dimunculkan. Dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, bukan sekadar slogan semata.

Untuk kegiatan Cecek Turu ini, sengaja saya buat setiap hari berdasarkan bahan ajar yang ada. Dan dicetak terbatas, cukup dua eksemplar saja. Alasannya simpel, hemat dan melatih anak-anak bergantian membaca. Agar nantinya terbiasa mengembangkan sikap sabar dalam menunggu antrian, tidak suka main menyerobot. Dan dampak lainnya, anak-anak dapat memupuk jiwa syukur secara tidak langsung.

Materi yang disuguhkan di lembar cerita tersebut, hanya mengambil dari satu bidang studi saja. Tidak semuanya. Hal ini bertujuan, agar anak lebih fokus dan gampang memahami. Untuk itu, kali ini materi yang diusung seputar pubertas. Tentu sudah bisa ditebak, bahwa materi ini berasal dari pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.

Semua tokoh cerita yang dihadirkan di sini berpusar pada keluarga Pak Rangga dan Bu Isti, beserta kedua anak kembarnya. Yaitu Haidar dan Yuna. Kedua anak ini berada di kelas enam. Sedangkan setting latarnya, kebanyakan berkisar di rumah dan tempat mereka bersekolah.

Untuk cerita awal, yang diangkat berkisah tentang pemanfaatan aplikasi pengubah wajah. Dan bagaimana riuhnya saat kedua anak itu mengetahuinya pertama kali. Mereka berdua, tidak saja menyimpan hasil dari "rekayasa" muka mereka di gawai. Namun juga mempostingnya ke dalam akun sosial masing-masing. Selain itu, dicetak dan ditempel di dinding kamar mereka. Dan beginilah cuplikan kisahnya.

"Bun, bun, ini mau aku tanya?, kata Yuna kepada ibunya. Ibunya pun membalas, "Mau tanya apa?"

"Ini kan pak guru ngasih PR. Ada satu soal yang aku tak mengerti", tukas Yuna.

"Gimana soalnya?" tanya ibunya.

"Begini lho soalnya, Apa sebutan lain dari menstruasi?" ujar Yuna. Ibunya mengernyitkan dahinya lalu membalas, "Ada pilihannya nggak?"

"Ada, Bun?" ujar Yuna.

"Ini lho pilihannya, a. Datang bulan, b. Datang tak diundang, c. Datang terlambat, dan d. Datang lebih awal", lanjutnya.

"Wah, wah, gurumu lucu juga ya? Pertanyaannya kok kayak gitu", kata ibunya.

"Iya sih pak guru, emang orangnya humoris. Tapi ini beneran kan soalnya?" tanya Yuna sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ibu pun membalas dengan tersenyum, lalu menjawab, "Iya dong. Itu jawabnya mudah. Jawabnya adalah datang bulan".

Yuna agak terkejut mendengarnya, kemudian bertanya, "Kok bisa datang bulan, Bun?"

"Karena memang datangnya, seringkali tiap bulan. Makanya disebut datang bulan", ulas ibu dengan bijak.

Demikianlah sekilas ceritanya. Dan ceritanya ini memang "diusahakan" seperti keadaan riil sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang tentu tak formal. Namun tetap mudah dimengerti.

Bojonegoro, 12 Januari 2023

11 Januari, 2023

,

Sapi Lemu

Sapi Lemu
(Hari Kesembilan Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Kemarin siang, setelah menuliskan soal untuk Sarapan Pagi, saya berpikir untuk membuat singkatan untuk kegiatan ini biar lebih menarik. Dan kebetulan anak-anak baru belajar tentang Cangkriman Wantah. Sebuah materi pada mupel Basa Jawa, yang mengulik tebakan berdasarkan akronim. Dengan begitu saya pikir, kalau dibuat jadi nge-match. Akhirnya ketemu istilah Sapi Lemu. Sapi Lemu ini dipendekkan dari Sarapan Pagi dengan Lembar Uraian.

Namun sayangnya belum kesampaian dilaksanakan di hari ini, sebab Lembar Uraiannya belum kebuat. Jadi akhirnya ditulis di buku tulis saja. Tapi tak masalah kan? Yang esensi dari program ini mampu berjalan. Dan dapat mengukur sejauhmana pemahaman materi yang akan diajarkan. Dari hasil yang ada, skor rata-rata mencapai 80. Sebuah pencapaian yang lumayan bagus, bukan?

Kelar jam sekolah, saya kepikiran soal pemakaian lembar uraian tadi. Apakah cocok diterapkan? Karena jika dilakukan, jelas butuh kertas yang banyak. Dan itu jauh dari kata hemat. Mau pakai kertas bekas, yang sisi sebelahnya masih kosong kelompong, kok nggak asyik kelihatannya. Kalau tidak memakai lembar uraian, singkatannya tak mungkin jadi Sapi Lemu. Harus diketemukan singkatan lainnya yang lebih pas dan punya daya dukung terhadap "realitas".

Alhamdulillah, akhirnya nemu kata Sapi Udik. Kependekan dari Sarapan Pagi untuk ditulis di Buku. Agak maksa ya? Tapi saya rasa tak apalah. Daripada tak ada yang unik dan sesuai dengan yang diinginkan. Tentu tak cuma Sapi Udik dong, kudu ada teman seiringnya. Sebab ke depan, kemasan Sarapan Pagi mempunyai konsep yang berbeda-beda.

Kemudian nongol Sapi Ilang atawa Sarapan Pagi secara Lisan dan Langsung. Yang mana terlihat dalam lakuannya menjauhi perbuatan tulis-menulis. Dan ini bukannya tidak baik. Ini justru menguatkan kemampuan tulis. Jika anak sudah terbiasa dengan komunikasi secara verbal. Lalu di-back up oleh kemampuan secara tekstual. Tentu akan berdampak pada kondisi masa depannya. Anak tersebut akan mudah beradaptasi dan menaklukkan tantangan yang ada. Dan bukankah tujuan pendidikan secara mendasar adalah hal itu?

Bojonegoro, 11 Januari 2023

10 Januari, 2023

,

Guru Nanyeaa?

Guru Nanyeaa?
(Hari Kedelapan Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom)

Akhirnya di hari kedelapan, pertanyaan "Apakah kalian belajar tadi malam?", muncul. Tentu setiap guru paham akan situasi dimana pertanyaan bertuah ini dihadirkan. Dan jika jawaban dari pertanyaan ini adalah "tidak", maka pertanyaan lanjutannya hanya berubah waktunya saja. Dari waktu malam ke sore hari. Dan lagi-lagi, bila balasannya adalah "tidak". Pasti harus ada tindakan yang solutif. Bukan menerbitkan kemarahan yang tercetak di muka dan suara.

Dan saya sebagai guru, sangat-sangat terkejut, dari dua jawaban di atas, sama-sama terjawab "tidak" oleh seluruh kelas. Seperti yang sudah-sudah, biasanya ada satu-dua siswa yang masih punya kesadaran sebagai siswa, untuk belajar. Lha ini tidak lho. Apa ini sebuah prestasi? Sebab seluruh murid memiliki *semangat kebersaman*. Punya rasa kesetia-kawanan sosial yang tinggi.

Efek dari terkejut ini adalah bikin saya tenger-tenger. Dan bertanya dalam benak, "Kok bisa gini ya murid-murid?" Namun saya tak dapat terjerembab dalam kalimat tanya seperti ini. Saya harus secepatnya mencari akal untuk memicu mereka berminat di malam sebelumnya untuk--minimal--baca-baca sekilas bukunya.

Tetiba mengemuka gagasan untuk merilis aktivitas Sarapan Pagi. Sebuah kegiatan di awal pembelajaran yang dapat menyegarkan pikiran. Untuk awal-awal, akan saya berikan setiap pagi lima buah pertanyaan yang berasal dari materi yang akan dipelajari di hari itu. Lima buah pertanyaan ini, sedapat mungkin mengadopsi pertanyaan berpola ADIKSIMBA (Apa, Dimana, Kapan, Siapa, Mengapa, Bagaimana, dan Berapa).

Jika hal ini telah berjalan dua minggu, maka formatnya akan dirubah. Bisa datang dari saya ataupun dari mereka. Termasuk membuat kemasannya menjadi serupa edugame. Saya rasa dengan nuansa permainan yang edukatif, kegairahan belajar akan meningkat pesat. Semoga saja demikian.

Bojonegoro, 10 Januari 2023

09 Januari, 2023

Responsif Bukan Reaktif

Responsif Bukan Reaktif
(Hari Ketujuh Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Memasuki hari ketujuh masuk sekolah, atmosfir kemalasan tiba-tiba melingkupi diri saya. Apa ini efek dari sekolah yang teramat jauh, ditambah dengan gaji yang belum nampak hilalnya sampai sekarang? Apabila ini dianggap "iya", tentu sebagai guru harus lekas-lekas menepisnya. Sebab jika membiarkannya, akan berdampak pada proses pembelajaran. Karena bagaimanapun, guru adalah yang menjadi pelaku utama dalam situasi pendidikan. Setiap gerak langkahnya akan dilihat dan diikuti. Kalau hatinya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Maka aura ruangan kelasnya akan terasa gundah gulana.

Sehingga output pembelajaran yang nantinya diharapkan takkan terbit. Tentu ini hal yang tidak diinginkan bukan? Makanya tak cuma saya saja, setiap guru pasti suatu saat akan mengalami kondisi yang serupa. Walaupun berbeda asal musababnya. Namun kudu bersegera melakukan tanggapan yang tepat dan terukur. Walaupun ini juga tak mudah. Yang namanya hati seringkali sulit dikompromikan untuk di balik kembali keadaannya menjadi normal-sewajarnya. 

Untuk itu diperlukan perenungan yang mendalam, akan tetapi juga secepatnya menemukan hasil. Walaupun juga tak boleh gegabah. Berusaha jangan merugikan siapapun, termasuk diri sendiri. Sebab jika terbiasa mengalah, namun diiringi ketidak-tulusan tak akan ada guna dan manfaatnya. Hanya menimbulkan bom waktu yang kapanpun bisa meledak, tanpa ada yang tahu sebelumnya.

Perenungan diri sebagai pihak yang telah diamanahi ilmu sekaligus anak didik. Dengan amanah tersebut tentu saja ada tanggung jawab di baliknya. Berbicara tanggung jawab, artinya berkesungguhan segenap jiwa untuk melaksanakan sebaik-baiknya. Menomor-satukan sikap dan tindakan yang profesional. Tapi tidak berlebihan, lebih-lebih menepikan kebutuhan pribadi sama sekali. Yang apabila ditarik ujungnya adalah mampu menyuguhkan win-win solution terhadap apapun akar permasalahan. Agar kelak di kemudian hari, tidak terjadi gejolak hati dan keluhan yang berlarut-larut.

Jika ini mampu dilakukan, hasil torehannya akan mudah ditebak. Proses pembelajaran, baik yang sedang, telah, dan nantinya dilaksanakan, berdampak seperti apa yang dicita-citakan. Sehingga tak ada tuh yang namanya "kegalauan". Enjoy-enjoy saja melihat semuanya. Apalagi ruangan kelasnya seperti pada gambar. Baru dan bercat hijau. Terasa adem dan menyegarkan.

Bojonegoro, 9 Januari 2023

07 Januari, 2023

,

Refleksi dan Review

Refleksi dan Review
(Hari Keenam Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Tanggal 7 atau hari keenam telah tiba. Pasti kedatangannya tetap membuncahkan sejumlah angan. Dari sisi murid, hari Sabtu adalah hari menjelang libur. Hari dimana bisa "mengumbar" kebebasan, sebab di hari-hari biasa merasa terkungkung dan terbebani. Apakah pemikiran tersebut salah? Tentu saja tidak, sebab sebagian besar berpendapat semacam itu. Mungkin hanya segelintir, yang merasa nikmat jika hidupnya dipenuhi dengan berbagai tugas dan kerjaan.

Oleh karena itu, tidak ada tugas tambahan yang perlu dibebankan kepada siswa, saat di rumah alias pekerjaan rumah (PR). Bagi sebagian guru, opini itu tidaklah tepat. Alasannya antara lain, membuat siswa agar selalu ingat belajar kapanpun dan dimanapun. Membikin mereka tidak bermalas-malasan. Menurut saya argumen ini dapat dikatakan tepat, dapat pula dikelirukan. Tergantung apa hal yang menjadi tugas rumahan. Kalau tugasnya cuma berupa soal-soal belaka, yang lebih banyak menguras energi. Ini tidaklah tepat.

Namun saya yakin pendapat saya ini, tidaklah seratus persen bisa dijadikan pegangan. Sebab tiap guru punya idealisme tersendiri, terkait bagaimana memanfaatkan hari libur bagi siswa. Dan juga, bisa jadi tugas tambahan itu merupakan faktor penentu keberhasilan siswanya kelak. Who knows? Meskipun begitu, tiap guru harus mampu memaknai, bahwa setiap aktivitas pembelajaran yang dihadirkan berpusat pada kebutuhan siswa (student centered). Bukan upaya terselubung dari guru untuk membalaskan dendamnya di masa lalu, dimana dia dihajar oleh bejibun pekerjaan dari gurunya.

Setiap guru hendaknya pula menginsyafi, bahwa para siswa yang diemongnya tidaklah punya karakter seperti dirinya. Tiap anak punya keunikan tersendiri. Oleh karena itu mereka punya gaya belajar yang berbeda. Dalam situasi klasikal, memang teramat sulit untuk menyajikan suatu pembelajaran yang memenuhi kebutuhan secara personal. Akan tetapi bisa diupayakan kondisi pembelajaran berdasarkan kelompok gaya belajar tertentu (yang mungkin dapat dilaksanakan secara bergantian, dalam satu kurun waktu).

Seperti yang kita ketahui, gaya belajar ada tiga hal. Yaitu audiotori, visual, dan kinestetik. Audiotori sangat cocok untuk metode ceramah. Sebab bagi mereka yang suka mendengar, metode ceramah memungkinkan lebih cepat diserap dibandingkan lainnya. Berbeda dengan audiotori, anak-anak dengan gaya belajar visual, lebih termanjakan dengan metode-metode yang berbasis grafis (gambar). Sedangkan gaya belajar terakhir, yaitu kinestetik, meluapkan waktu belajarnya dengan metode yang dekat dengan gerak-gerak dinamis. Tidak cuma duduk diam manis, mendengarkan, dan melihat saja.

Bagi guru yang terbiasa merenung dan bertukar gagasan dengan guru-guru lainnya, bukanlah persoalan yang sukar mengemas strategi pembelajaran yang mampu melegakan semua gaya belajar siswa. Untuk itulah seharusnya semua stake holder pendidikan juga punya kesadaran yang sama. Dan bersama-sama mendorong guru untuk selalu melakukan perbaikan dalam pengajarannya. Tentunya dengan menjalankan hal-hal yang jauh dari ancaman dan sanksi. Sebab kedua hal ini, secara psikologis membikin guru malah ketakutan dan tertekan. Jika ini yang terjadi, pendidikan kita semakin "jauh panggang daripada api".

Bojonegoro, 7 Januari 2023

06 Januari, 2023

,

Mendulang Imajinasi dan Kreativitas

Mendulang Imajinasi dan Kreativitas
(Hari Kelima Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Hari kelima, saatnya mengamati para peserta didik dalam memancing hasrat imajinasi dan kreativitas dari lubuk hati dan pikiran mereka. Apakah mereka mampu memunculkan dan menuangkannya dalam sebuah produk yang dapat tersentuh oleh tangan dan dilihat oleh mata? Apakah dalam prosesnya juga mampu mengikhtiari tanpa petunjuk terperinci dari guru?

Jawaban dari pertanyaan kedua ini tentu saja masih jauh dari harapan. Sebab ketika dalam pelaksanaan tugasnya, mereka masih menyibukkan untuk bertanya ini dan itu, secara detail. Padahal sudah diterangkan di awal dan diulang beberapa kali, untuk berani mengeksplor bahan-bahan yang sudah diberikan. Dan dikerjakan secara bersama-sama. Karena ini adalah tugas kelompok.

Dalam tugas kelompok, tentunya harus ada sharing pembagian peran. Tidak boleh ada pihak yang berdiam diri, sedangkan pihak yang lain heboh dan ribet sendiri. Kegotong-royongan adalah kunci dalam aktivitas seperti ini. Tiap anak punya potensi atau kelebihan yang saling melengkapi. Jadi tidak ada yang boleh menjalani sendirian. Tiap anak harus mempunyai semangat untuk menunaikan tugasnya sesebisa mungkin, dan mengoptimalkan apa yang dimiliki.

Namun pada kenyataannya, ada sebagian siswa yang kurang mempunyai inisiatif untuk menyelesaikan tugas. Mereka cenderung untuk mengamati dan lebih banyak diam. Sehingga hal ini tentunya berdampak pada waktu yang telah ditentukan. Yang mestinya waktu pengerjaan cukup dilakukan di hari ini, akhirnya molor ke hari esok. Dan ini pastinya bisa dijadikan umpan balik bagi mereka dalam memandang fenomena ini.

Mereka akan sama-sama melihat dan mengerti, bahwa tidak mengenakkan jika menemui situasi, dimana ada yang berleha-leha saja, sedangkan pihak lainnya bekerja dengan keras. Padahal apa yang diusahakan nantinya, akan dinikmati bersama-sama. Dalam kondisi normal di masyarakat, keadaan ini dapat memunculkan hujatan dan kecaman. Selain itu, dalam bentuk ekstrimnya, orang-orang yang melakukan tindakan bermalas-malasan, dikenai sanksi pengucilan.

Nasihat di atas, memungkinkan mereka meresapi lebih kuat. Sebab dipraktikan secara realistik, tidak cuma keluar secara verbalistik. Sehingga jika timbul pertanyaan semacam ini, "Maukah kalian menjadi pihak yang tidak mau turut serta dalam sebuah kegiatan sosial?" Tentu saja, jawabannya adalah tidak. Karena kita adalah makhluk sosial. Yang di dalam diri, ada kesadaran untuk berbuat bersama-sama, untuk mencapai sebuah tujuan yang sama.

NB: Anak-anak sedang membuat poster.

Bojonegoro, 6 Januari 2023

05 Januari, 2023

, ,

Ngobrol Panjang

Ngobrol Panjang
(Hari Keempat Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Masa remaja awal kira-kira masuk pada usia 10 hingga 10 tahun. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas anak sangat menonjol. Hal ini disarikan dari pernyataan Fadli, SE.. Dan dikutip dari Buku Tema 6 Kelas VI.

Melihat hal ini interaksi yang timbul antara guru dan murid, sudah sepantasnya bernuansa demokratis dan tidak dogmatis. Sehingga dalam prosesnya tidak terjadi ujaran-ujaran yang menggemakan sesuatu yang _top-down_. Tapi justru memfasilitasi upaya-upaya yang mendorong tumbuhnya inisiatif aktif-partisipatif dari diri siswa dalam sistem pengelolaan belajar di ruang kelas maupun tempat-tempat yang memungkinkan untuk belajar.

Maka untuk itu, saya sebagai guru perlu mengembangkan kondisi ruang belajar yang kondusif dan kontributif terhadap tumbuhnya potensi-potensi siswa, baik secara personal dan klasikal. Kebetulan sekali di hari keempat ini, memberikan celah kepada saya untuk mengajak para murid untuk berbicara "dari hati ke hati" tentang keadaan yang mereka alami saat ini (kejiwaan). Sebab materi ajar yang ada cukup ringkas. Sehingga memungkinkan untuk memberikan di sela-selanya, sebuah dialog hangat. Yang tentu saja sesuai dengan kebutuhan umur mereka.

Dari hasil pembicaraan tersebut, saya mendapatkan beberapa poin positif terkait dengan keinginan mereka untuk lebih mengembangkan potensi mereka. Di samping itu juga, muncul beberapa pemasalahan. Namun jika disimpulkan permasalahan tadi, lebih ke arah kepercayaan diri dan kurangnya fasilitas untuk tumbuh-kembangnya minat dan bakat mereka. 

Pastinya kedua hal tadi butuh jalan keluar atau solusi bergizi. Dan itu tidak melulu pula muncul keluar dari pemikiran siswa. Namun bisa saja dari mereka sendiri, dengan memberikan ke depannya space untuk berdiskusi secara intens. Sehingga mereka bisa saling mengisi dan mampu belajar sejak dini untuk memahami dampak dari suatu perilaku. Dan bagaimana cara mengatasinya seelegan mungkin.

Bojonegoro, 5 Januari 2023

04 Januari, 2023

,

Tekstualisasi Permainan

Tekstualisasi Permainan
(Hari Ketiga Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Tak terasa sudah tiga hari masuk sekolah, dan anak-anak mulai terbiasa kembali belajar. Maklumlah setelah liburan, mereka masih punya kecenderungan aras-arasan dalam beraktivitas. Untuk itulah guru harus pandai-pandai membaca situasi yang ada, jangan langsung ngegas memberi materi maupun soal yang berat-berat.

Oleh karena itulah, saya memberikan evaluasi "bergaya" AKM dengan pendekatan soal bermodel pernyataan benar atau salah. Dengan soal ini, anak-anak diharap tergerak untuk membaca dengan penuh perhatian. Sehingga nantinya mereka mampu memahami isi bacaan dengan baik. Jika mampu memahami isi bacaan dengan baik, tentunya hasil pekerjaannya akan memperoleh skor sempurna.

Agar ekspektasi dapat tercapai, bacaan yang dijadikan acuan untuk menjawab haruslah menarik. Sebab seperti yang kita tahu, minat baca murid-murid masihlah rendah. Tentunya hal itu akan sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran. Makanya perlu dicari jalan keluar terdekat, yang memungkinkan tumbuh kesenangan dalam membaca di diri mereka. Untuk itu perlu dihadirkan bacaan yang sesuai materi pelajaran, namun dikemas dengan konten yang memikat hati.

Seperti saat ini, anak-anak begitu menyukai permainan lato-lato alias bola tek-tek. Terlepas dari sebagian kita kurang menyukai, dan menganggap permainan itu bikin berisik saja. Kesukaan akan permainan ini bisa kita kemas dalam bentuk tekstual. Serta memberikan bubuhan cikal bakal, dan bumbu-bumbu cerita yang menyedapkan. Dengan hal ini, ternyata dapat memancing perhatian mereka, agar intens dan khusyuk dalam membaca.

Dan sesuai dengan harapan, 80% siswa memperoleh nilai 100. Sedangkan 20% meraih nilai 80. Ketika siswa-siswi yang mendapatkan poin 80 ini ditanya alasan dibalik kekeliruan mereka dalam menjawab, mereka mengatakan hanya kurang teliti saja dalam membaca. Saya rasa ini adalah dalih yang logis. Dikarenakan ketika mendapat soal lagi secara lisan terkait bacaan tersebut, mereka mampu memberikan jawaban-jawaban yang tepat.

Bojonegoro, 4 Januari 2023

03 Januari, 2023

,

Boling Hanacaraka

Boling Hanacaraka
(Hari Kedua Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Kemarin atau tepatnya tanggal 3 Januari 2022, saya memperkenalkan pembelajaran Aksara Jawa menggunakan peraga. Peraga tersebut saya namai "Boling Hanacaraka". Peraga ini terinspirasi dari permainan boling mini yang saya lihat sewaktu jalan-jalan ke Pasar Wisata Bojonegoro, tiga malam sebelumnya.

Peraga yang masih konsep atawa ngendon di awang-awang ini, langsung saya eksekusi bersama para siswa. Yang sehari sebelumnya, mereka saya minta membawa sebuah botol minuman bekas berukuran sedang. Dan untuk membuatnya tak memerlukan banyak bahan. Selain botol tadi, cuma membutuhkan kertas buffalo dua warna dua dan bola. Untuk alatnya hanya perlu gunting, staples, dan spidol papan tulis.

Sebenarnya tujuan utama saya memanfaatkan peraga ini, untuk menguji sejauhmana tingkat penguasaan materi Layang Hanacaraka. Dan hasilnya ternyata keseluruhan siswa tidak hafal. Ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri bagi saya. Sebab mereka ini adalah murid saya di kelas sebelumnya, yang baru lepas enam bulan lalu. Padahal saat mereka masih dalam genggaman, mereka belajar Aksara Jawa tiga kali dalam sepekan (sesudah jam sekolah, selama 30 menit). Dan mereka telah ngelotok di masa itu. Makanya saya merasa aneh, masak dalam waktu singkat hafalan itu menjadi lenyap.

Dengan menggunakan peraga tadi hasilnya cukup lumayan, dalam waktu singkat anak-anak mampu mengingat kembali Layang Hanacaraka, meski bisa dikatakan belum seratus persen. Apakah ini merupakan dampak dari pemanfaatan media dalam pembelajaran? Selama ini, saya jarang memakai media dalam pembelajaran bahasa. Saya cenderung terus menerus menggunakan prinsip verbalisme, baik itu untuk Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa. Mungkin ini akibat dari "mitos" tentang pembelajaran bahasa yang monoton medianya, yang saya terjebak di dalamnya. Yang menguarkan pernyataan, semakin tinggi jenjang kelasnya, semakin tidak ada. Dan meninggalkan flashcard sebagai satu-satunya yang tersisa.

Dan karena hasilnya tadi belum seratus persen, maka minggu depan mereka akan saya perlihatkan alat peraga edukatif bernama Gendhera Hanacaraka. Mungkin dengan peraga ini, anak-anak lebih cepat melakukan memorizing Aksara Jawa dengan lebih cepat dan melekat. Dan poin melekat inilah yang lebih wajib. Sebab tak ada gunanya, jika cepat bisa, tapi juga cepat hilang. Selain daripada itu, mengajak para murid untuk mampu berkreasi memanfaatkan benda-benda yang sudah tak layak pakai, untuk dijadikan media pembelajaran. Sehingga kelak mereka, mampu adaptif dan inovatif terhadap perkembangan jaman, tanpa mengesampingkan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Serta mampu melejitkan kesejahteraan diri dan tidak larut dalam gaya hidup hedonisme.

Bojonegoro, 3 Januari 2023



02 Januari, 2023

,

Serba Pertama

Serba Pertama
(Hari Pertama Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Hari ini, tanggal 2 Januari 2023, bisa dikatakan serba pertama bagi saya. Menjadi pengajar di kelas 6, untuk yang pertama kali. Sebab selama lebih dari 20 tahun mengajar, belum pernah namanya menjadi guru kelas di kelas itu. Kemudian pertama kali pula, memberi tugas menggambar di hari pertama masuk sekolah. Tepatnya tugas membuat poster dengan tema lingkungan hidup, sesuai dengan materi pelajaran. Biasanya bertahun-tahun, memberi tugas menuliskan tentang kegiatan liburan.

Di hari pertama ini juga, ruangan kelas saya berbagi dengan kantor guru. Karena kantor guru sedang direhab. Jadilah kantor guru ikut nebeng. Sehingga ruangan kelas menjadi penuh sesak. Lemari-lemari administrasi berjajar di kedua sisi kelas. Sedangkan meja guru di belakang kelas. Meskipun begitu, anak-anak terlihat enjoy saja. Tapi tidak dengan saya. 

Terlepas dari itu, saya tetap senang. Sebab sudah menjadi hal yang wajib di hari pertama, selalu pulang lebih awal. Walaupun selisihnya tak banyak, cuma 30 menit. Namun minimal bikin hati riang. Dan kegembiraan ini, kalau dipikir-pikir kok tak perlu ada. Tetapi kita semua tetap menyukainya.

Karena ini tulisan pertama kali di awal semester kedua, makanya dibuat pendek-pendek saja. Plus di awal tahun pula. Biar tak bikin mata capek melihatnya. Selain daripada, isinya juga biasa-biasa saja. Tak ada yang menonjol. Dan kalau Anda seorang guru, pastilah melakukan hal yang tak jauh beda.

NB: Gambar di atas merupakan karya salah satu murid saya.

Bojonegoro, 2 Januari 2023