Cecek Turu
(Hari Kesepuluh Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom
Tak ada afdol rasanya, apabila kegiatan Sarapan Pagi tak ada geliat bacanya. Makanya untuk itu, saya bikin pula aktivitas pendampingnya bernama Cecek Turu. Kok masih pakai nama hewan? Iya biar nyambung aja. Apalagi Cecek Turu ini merupakan kependekan dari Cerita-cerita Kekinian untuk Ditiru. "Ditiru" di sini maksudnya adalah agar anak-anak menjumput nilai-nilai positif yang dimunculkan. Dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, bukan sekadar slogan semata.
Untuk kegiatan Cecek Turu ini, sengaja saya buat setiap hari berdasarkan bahan ajar yang ada. Dan dicetak terbatas, cukup dua eksemplar saja. Alasannya simpel, hemat dan melatih anak-anak bergantian membaca. Agar nantinya terbiasa mengembangkan sikap sabar dalam menunggu antrian, tidak suka main menyerobot. Dan dampak lainnya, anak-anak dapat memupuk jiwa syukur secara tidak langsung.
Materi yang disuguhkan di lembar cerita tersebut, hanya mengambil dari satu bidang studi saja. Tidak semuanya. Hal ini bertujuan, agar anak lebih fokus dan gampang memahami. Untuk itu, kali ini materi yang diusung seputar pubertas. Tentu sudah bisa ditebak, bahwa materi ini berasal dari pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Semua tokoh cerita yang dihadirkan di sini berpusar pada keluarga Pak Rangga dan Bu Isti, beserta kedua anak kembarnya. Yaitu Haidar dan Yuna. Kedua anak ini berada di kelas enam. Sedangkan setting latarnya, kebanyakan berkisar di rumah dan tempat mereka bersekolah.
Untuk cerita awal, yang diangkat berkisah tentang pemanfaatan aplikasi pengubah wajah. Dan bagaimana riuhnya saat kedua anak itu mengetahuinya pertama kali. Mereka berdua, tidak saja menyimpan hasil dari "rekayasa" muka mereka di gawai. Namun juga mempostingnya ke dalam akun sosial masing-masing. Selain itu, dicetak dan ditempel di dinding kamar mereka. Dan beginilah cuplikan kisahnya.
"Bun, bun, ini mau aku tanya?, kata Yuna kepada ibunya. Ibunya pun membalas, "Mau tanya apa?"
"Ini kan pak guru ngasih PR. Ada satu soal yang aku tak mengerti", tukas Yuna.
"Gimana soalnya?" tanya ibunya.
"Begini lho soalnya, Apa sebutan lain dari menstruasi?" ujar Yuna. Ibunya mengernyitkan dahinya lalu membalas, "Ada pilihannya nggak?"
"Ada, Bun?" ujar Yuna.
"Ini lho pilihannya, a. Datang bulan, b. Datang tak diundang, c. Datang terlambat, dan d. Datang lebih awal", lanjutnya.
"Wah, wah, gurumu lucu juga ya? Pertanyaannya kok kayak gitu", kata ibunya.
"Iya sih pak guru, emang orangnya humoris. Tapi ini beneran kan soalnya?" tanya Yuna sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ibu pun membalas dengan tersenyum, lalu menjawab, "Iya dong. Itu jawabnya mudah. Jawabnya adalah datang bulan".
Yuna agak terkejut mendengarnya, kemudian bertanya, "Kok bisa datang bulan, Bun?"
"Karena memang datangnya, seringkali tiap bulan. Makanya disebut datang bulan", ulas ibu dengan bijak.
Demikianlah sekilas ceritanya. Dan ceritanya ini memang "diusahakan" seperti keadaan riil sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang tentu tak formal. Namun tetap mudah dimengerti.
Bojonegoro, 12 Januari 2023