Tampilkan postingan dengan label murid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label murid. Tampilkan semua postingan

28 Maret, 2022

,

Film Bocah, Memfasilitasi Sebuah Inisiatif


Jum'at kemarin, atau tepatnya tanggal 25 Maret 2022, anak-anak saya di Kelas V SDN Pandan II Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, membuat film bocah. Hal ini berawal, ketika saya menerangkan tentang jenis usaha yang ada di masyarakat. Salah satunya terkait tentang bidang kesenian. Dalam bidang tersebut terdapat banyak contohnya, termasuk film.

Saat saya menjelaskan tentang film, ada seorang anak yang berceletuk ingin membuat film dan teman-temannya juga menimpali dengan keinginan yang sama. Dan kebetulan saya pernah bermain di film pendek berjudul "Angel". Di sini tautannya: Film Angel. Film tersebut menceritakan tentang betapa susahnya pembelajaran jarak jauh atau disebut dengan PJJ. Anak-anak rupa-rupanya terinspirasi akan hal itu. 

Setelah selesai pemberian materi, saya setujui usulan mereka. Mereka saya ajak diskusi, tentang topik apa yang mereka akan angkat. Pertama-tama, ada yang mengusulkan tentang situasi saat berangkat ke sekolah. Semuanya setuju, namun setelah dipilih pemerannya, ada yang menolak. Akhirnya disepakati ganti tema. Tema kedua yang mau diusung adalah situasi saat menyelesaikan pekerjaan rumah. Dan secara mufakat, semua setuju. 

Sesudah membahas tema, ditentukan siapa yang akan menjadi pemeran utama. Kemudian anak-anak yang mendapat peran, mengajukan saran untuk tidak memakai nama asli. Karena dari sebelas siswa yang bermain hanya enam anak, maka yang lain membantu saya mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk memindahkan kursi dan meja kelas. Sebab pembuatan film ini mengacu pada konsep classroom-movie (film ruang kelas). Jadi semua adegan atau pengambilan gambarnya, dilakukan di dalam maupun di sekitar ruang kelas.

Selesai persiapan, dimulailah syutingnya. Karena aktor utama mempunyai porsi "berkata-kata" lebih banyak, menginginkan ada sedikit skenario. Hal ini pun saya turuti. Meskipun di saat diskusi disetujui untuk langsung berbicara tanpa script. Dan tiap peran sudah dibagikan jobdesk-nya. 

Dalam pelaksanaannya, film ini dibuat dengan menganut prinsip one shot movie. Yaitu dibuat tanpa pengulangan adegan, jadi hanya sekali ambil. Dan nyatanya sukses, walaupun kalau diperhatikan ada beberapa titik kekeliruan.  Dan saya rasa ini wajar, sebab baru pertama mereka bermain seperti ini dengan direkam. Di samping itu juga, karena menganut prinsip "sekali ambil" tadi. 

Lalu setelah usai pengambilan gambar, anak-anak bersepakat untuk membuat film mingguan. Dan hari yang dipilih adalah Sabtu, setelah pulang sekolah. Dengan pemainnya dibagi dua shift. Sehingga tiap anak hanya bermain dua kali dalam sebulan. 

Senang rasanya saya sebagai guru dengan inisiatif dan kreativitas mereka. Saya sadar bahwa tugas guru, salah satunya adalah untuk memfasilitasi beragam potensi yang ada di setiap anak. Sehingga potensi-potensi tersebut dapat berkembang. Dan membuat mereka dapat mengarungi lautan kedewasaan nantinya, tanpa rasa kecil hati. 

Penasaran dengan film bocah yang digarap anak-anak itu? Lihat di bawah ini!



15 Maret, 2022

,

Menepati Janji Juga Perlu Dipelajari


Dari lahir sampai ke liang lahat, kita selalu dikelilingi janji-janji. Baik itu janji yang kita bikin sendiri maupun orang lain. Dan janji ini, jika kita beber akan menjadi sangat panjang. Karena akan ada banyak item yang dapat dimasukkan. Mulai dari janji religius, profesi, sampai perkawinan. Dan tentu saja, setiap janji harus ditepati. Ini sesuai dengan pepatah kita, "Janji adalah hutang".

Karena janji adalah hutang, makanya harus dibayar. Dan ini perlu dipelajari sejak dini, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkup sekolah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mengingkarinya. Dan hal ini, bila ada kaitannya dengan hukum disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi merupakan istilah dari bahasa Belanda "wanprestatie" berarti tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Menurut KBBI, pengertiannya adalah salah satu pihak bersepakat dalam perjanjian memiliki prestasi buruk akibat dari kelalaiannya.

Agar tidak tumbuh menjadi pribadi yang ingkar janji, maka diperlukan sebuah ekosistem kejujuran yang dapat "memproteksi" anak. Ekosistem itu tentunya bermula dari pihak keluarga dan diperkuat oleh sistem persekolahan. Dan di bawah ini akan diulas dampak positif yang dapat diperoleh, apabila janji diajarkan secara terencana di lembaga pendidikan.
  • Memiliki nilai kejujuran dan keterbukaan yang tinggi.
  • Anak bisa mengukur kemampuan dirinya dalam menepati janji. Ia belajar untuk tidak mengobral janji.
  • Dipercaya oleh teman-teman dan lingkungannya.
  • Mudah untuk menerapkan nilai lain kepadanya, karena siswa mudah percaya pada apa yang guru katakan.
Lantas bagaimana cara membuat siswa mampu memahami arti pentingnya berjanji? Ada banyak cara, di bawah ini ditunjukkan beberapa yang mungkin bisa diadaptasi oleh sekolah.
1. Buat peraturan
Buat peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa. Ditempel di setiap kelas dan dibacakan setiap upacara bendera.
2. Penugasan ringan berulang
Buat penugasan atau piket untuk seluruh siswa, sesuai kelas. Dan tidak boleh diwakilkan atau digantikan.
3. Logika terbalik
Buat pemahaman tentang hal ini, secara rutin. Baik secara langsung maupun dalan bentuk cerita.
4. Konsisten
Guru dan pihak sekolah harus ketegasan, jika ada pelanggaran. Dan perlu memberikan reward, jika ada yang dinilai pantas, secara periodik.
5. Beri kesempatan kedua
Meskipun perlu ketegasan, namun perlu dilihat latar belakang terjadinya pelanggaran. Sanksi yang dijatuhkan tetap harus mendidik, dan membuat mereka insyaf.

Tentu setelah melihat hal-hal di atas, bisa timbul sebuah pertanyaan, "Apakah dampak negatif dari janji?" Tentu ada, jika janji itu tidak ditepati. Dan berikut ini, hal-hal yang mungkin terjadi akibat dari pengingkaran atau pelalaian janji. 
1. Siswa menjadi kecewa
2. Hilangnya kepercayaan pada guru
3. Siswa menjadi pelanggar janji
4. Siswa suka berbohong
5. Lunturnya kewibawaan guru
Hal-hal di atas karena sudah terang benderang, makanya tak perlu dipaparkan secara terperinci. 

Melihat itu semua, kita sebagai guru harus mempunyai kesadaran bahwa berjanji itu penting. Dan tak mungkin hidup tanpa sebuah janji. Sebab bagaimanapun juga kehidupan adalah kumpulan janji-janji. Terlepas dari tingkah seseorang atau sekelompok orang yang suka mengobral janji manis nan palsu. Karena itu sebagai guru, kita harus mampu mengajarkan dampak positif dari sebuah janji. Ingat karakteristik anak-anak dimanapun sama, yaitu promise keeper (pengingat janji), suka menagih janji. Makanya jangan suka mengumbar janji, apalagi tidak menepatinya atau PHP. Sebab hal ini akan membuat mereka menjadi peniru ulung.

Sumber: 

14 Maret, 2022

,

Sudahkah Memuji Siswa di Hari Ini?


Diakui maupun tidak, pujian disukai setiap orang. Di semua lapisan usia dan ras bangsa. Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan, pujian sangatlah bermanfaat. Sebab pujian selalu erat kaitannya dengan bentuk apresiasi guru terhadap kinerja siswa. Pada usia anak-anak, pencapaian terhadap suatu hal dan "perayaan" terhadap keberhasilannya adalah segaris lurus. Jika anak-anak mendapatkan pujian, maka akan mendorong dirinya melakukan validasi positif itu berulang-ulang. Dan seperti yang kita ketahui, apapun yang dilakukan akan menjadikannya sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini lalu tumbuh menjadi kultur. Kemudian akhirnya menjadi "DNA".

Tentu sebelum guru melakukan sebuah pujian, harus paham situasi dan kondisi. Tdak boleh menggeneralisir dan berlebihan. Untuk itulah hal-hal awal yang patut diketahui sebelum melayangkan pujian, bisa dicermati terlebih dahulu, seperti di bawah ini.

1. Harga Diri
Melakukan sesuatu bagi siswa (khususnya di kelas rendah), bukanlah sesuatu yang mudah. Maka dengan adanya pujian, membangun harga diri atau  self esteem. Dengan harga diri ini, membuat mereka merasa diterima, dicintai, dan dilindungi. 

2. Perilaku Baik
Di samping itu, pujian dapat membantu mereka untuk membedakan antara tindakan yang baik dan yang buruk. Dan hal ini juga merupakan cara terbaik untuk mendisiplinkan anak .

3. Mendekatkan Hubungan 
Sehingga berdampak pada kedekatan antara guru dan siswa. Karena mereka merasa berhasil membuat guru bangga padanya. Selain itu, mereka menganggap pujian sebagai hadiah untuk dirinya. Yang akhirnya hal ini dapat membuat siswa semakin percaya diri, bertanggung jawab, dan tidak ingin berbuat hal-hal yang buruk.

Setelah memperhatikan manfaat-manfaat pujian, marilah kita menuju "cara melakukannya". Sebab kekurang-tepatan dalam menyampaikan pujian bisa menimbulkan efek samping yang tidak mengenakkan. Untuk itulah perhatikan hal-hal berikut ini.

1. Usia
Apapun pujian harus memperhatikan kelayakan atau kepantasan dalam penyampaian. Dan kelayakan ini tentunya dapat dilekatkan pada umur berapa siswa mampu menunjukkan performanya. Sebab bila tak memperhatikan, malah membuat mereka kurang bergairah dalam proses pembelajaran.

2. Momen
Lebih baik memberikan pujian pada hal-hal yang baru dapat dicapainya. Dan bukan pada hal yang sama. Karena itu dapat membuat mereka tidak mau beranjak untuk "berjuang". Atau biasa orang sebut sebagai zona nyaman.

3. Ketulusan
Hindari memuji sambil lalu, cobalah untuk memusatkan perhatian pada mereka. Guru harus memilih kata yang tepat, disertai dengan ekspresi dan gerakan tubuh yang pas. Sebab jika tidak, mereka akan menganggap hal itu basa-basi belaka. Apalagi usia-usia di antara Kelas 1 sampai 3, mereka mempunyai kepekaan tinggi mengenali sebuah ketulusan. 

4. Spesifik
Ungkapkan secara lugas, dan tidak terlalu umum. Contohnya, "Luar biasa, kamu dapat menyelesaikan perhitungan ini dengan cepat". Bukan seperti ini, "Luar biasa, kamu memang jago Matematika". 

5. Proses
Pujian tidak selalu berbicara tentang hasil yang dicapai yang telah dicapai siswa. Akan tetapi, pada proses dan usaha mereka untuk mendapatkannya. Dengan demikian, mereka merasa usaha yang telah dilakukan, juga dihargai tanpa bergantung pada hasil yang mungkin didapat. Jadi berhasil maupun gagal, tidak masalah.

Dari uraian di atas, sudah dapat digambarkan bukan? Tentang arti pentingnya pujian pada anak usia sekolah. Makanya kita sebagai guru tak boleh segan-segan dalam memuji siswa. Meskipun juga harus dikontrol porsinya. Sehingga tidak nampak berlebihan. Dan membuat mereka bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang mau siswanya ogah-ogahan dalam pembelajaran. Dan dengan memelintir pesan yang selalu diungkap oleh Pak Ilham, bahwa memuji itu mudah dan menyenangkan bukan? Iyaaaaah. 

13 Maret, 2022

,

Tes Otka-otki untuk Melihat Keberbakatan Siswa

Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, saya juga menggemari singkatan. Makanya tak salah dong saya, di dalam tulisan ini juga membuat singkatan. Apalagi ini hari Ahad, masak harus saling menyalahkan? Capek tau. Mending dibuat santai-santaian. Tapi ini bagi yang tak lagi gawe. Meskipun begitu jangan begitu terlalu ngoyo. Tetap selow saja. 

Baiklah di tulisan ini saya bikin singkatan untuk otak kanan dan kiri. Yang otak kanan saya pendekkan menjadi otka. Sedangkan otak kiri menjadi otki. Bagaimana? Rada-rada keren gitu ya? Akhirnya terjawab juga kan tentang judul tulisan yang pakai otka dan otki itu?

Sudah kita ketahui bersama, bahwa ada asumsi di masyarakat yang mengelompokkan kemampuan manusia berdasarkan otka dan otki. Orang yang termasuk otki dipercaya kemampuannya lebih kepada logis-akademik. Sedangkan yang otka, lebih ke arah kreatif-artistik. Kalau menurut bahasa saya sih, yang otka ini suka nyeniJika yang otki itu cenderung kepada nyeno.

Lantas bagaimana cara mengetahui bahwa kita termasuk ke otka atau otki? Klik saja tautan berikut ini: Tes Otka-otki 1. Di sana ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Dan nanti keluar hasilnya yang menentukan, bahwa kita ikut golongan mana. Apabila ketika memilih jawaban terjadi kegalauan, yang akhirnya mungkin menimbulkan kekeliruan, maka dapat memilih cara yang kedua. Cara kedua ini lebih simpel-pel-pel. Cukup menangkupkan kedua tangan. Jika jempol tangan kanan berada di atas, berarti otka. Begitu juga sebaliknya. Dan apabila lagi-lagi diterpa keresahan, maka tengoklah link ini: Tes Otka-otki 2. Tes kedua ini dapat diterapkan ke murid-murid kita, dan akan membuat mereka tertegun-tegun. Lalu berkata, "Kok iso yo?"

Meskipun begitu, jangan pongah bin jumawa, apabila termasuk otka dan otki. Sebab banyak pakar syaraf yang mengatakan hal itu hanya mitos belaka. Sebab otak kita bekerja secara koordinatif. Hal ini juga diwartakan oleh detik.com, dengan mengutip dari Scientific American. Sebuah penelitian yang telah berjalan selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa “kognisi [kreatif] dihasilkan dari interaksi dinamis dari sejumlah area otak yang beroperasi di sebuah jaingan skala besar." Proses kreatif yang satu berbeda dengan yang lain, begitu juga bagian otak yang dibutuhkan dalam kerja kolektifnya. Inovasi, penciptaan baru, bukan monopoli salah satu bagian otak kita. Seperti sebuah kantor, proses perekrutan dari masing-masing departemen sesuai dengan proyek dan tugas yang datang. Bagaimanapun juga, meski berasal dari bagian-bagian yang berbeda, otak manusia mirip dengan kodratnya sebagai makhluk sosial: mesti bekerja secara kolektif agar mampu menghasilkan sesuatu yang berguna.

Lantas buat apa tes-tesan tadi? Iya sekadar untuk mengenali ke arah dominan mana kita dalam berperilaku. Meskipun itu tidak berlaku atau terjadi terus-menerus. Contohnya saya. Saya tiap hari rajin menulis. Menulis ini adalah kemampuan otak kiri (otki). Padahal jika dites, saya termasuk ke dalam kualifikasi otak kanan (otka).

Sumber gambar: verywellmind.com


12 Maret, 2022

, ,

Memasukkan Permainan Tradisional Menjadi Inkul atau Ekskul

Kita selama ini suka berbicara dalam tataran idealisme, namun selalu megap-megap dalam tataran operasional. Mengapa demikian? Ya karena kita sering halu gaes. Jadi apa yang ada di benak kita, ya kita semaikan di sana saja. Tidak mau mencobanya di alam nyata. Sebab selalu ketakutan akan kegagalan. Padahal kegagalan adalah bagian dari resiko hidup. Jika tak mau resiko, ya hidup kita akan stagnan. Dan lama-lama "punah sendiri". 

Ini pun terjadi pada hal-hal yang berbau tradisional. Kita suka berkoar-koar, suka menghamburkan kata-kata. Akan inilah, akan itulah. Intinya ingin melestarikan kebudayaan. Namun saat ditanya, kapan pelaksanaan. Tetiba bersembunyi di balik finansial, religiusitas, legal-formal, dan lain sebagainya. Ini kalau orang Jawa bilangnya  "Ora sumbut".

Contoh tentang tradisional ini adalah permainan tradisional. Sebagian besar peralatannya mudah didapat dan dibuat. Jadi tidak ada alasan, dapat menggerogoti anggaran. Jika berkaitan dengan faktor agama, juga jauh. Apabila diselidiki, tidak ada permainan tradisional yang umum dilakukan sejalan dengan kepercayaan tertentu atau sebuah kesesatan beragama. Semua permainan tradisional tadi bebas dari hal itu. Terkait dengan perundangan, permainan tradisional sudah dimasukkan ke dalam objek pemajuan kebudayaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Jadi alasan apalagi yang mau dipakai?

Makanya sekolah atau lembaga pendidikan yang telah memasukkan permainan tradisional sebagai mulok (muatan lokal), perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Ini artinya mereka tidak lagi berada di "omong besar" belaka. Namun sudah dalam aplikasi nyata. Dan jujur saja, sudah banyak daerah yang membuat pergub, perbup, dan perkot, terkait dengan mulok adat istiadat. Jadi ini hanya soal kemauan keras dari pihak sekolah saja.

Makanya untuk menguatkan hati lagi dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan, mungkin bisa membaca dua pendapat tentang pengertian permainan tradisional di bawah ini.

1. Novi Mulyani 
Dalam bukunya yang berjudul "Super Asyik Permainan Tradisional Anak" mengungkapkan, permainan tradisional adalah permainan warisan dari nenek moyang yang wajib dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal. 

2. Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
Dalam bukunya yang berjudul "Permainan Tradisional dan Perannya Dalam Mengembangkan" mengungkapkan, permainan tradisional merupakan suatu aktivitas permainan yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat dan diajarkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sumber gambar: liputan6.com

10 Maret, 2022

,

Hands on Experience, Belajar Secara Faktual


Kemarin siang, tiga rekan guru saya berbincang-bincang. Salah satunya yang menjadi guru Kelas 2 berkata, "Tadi saya lewat ruang Kelas 1, harum sekali ruangannya". Bu guru Kelas 1 pun membalas, "Iya, tadi anak-anak saya suruh belajar mengepel. Mereka bersemangat sekali. Bahkan saling berebutan mengambil alatnya, saat dijelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan." Mendengar ini, bu guru Kelas 3 ikutan nimbrung, "Ooo... gitu ya? Makanya semerbak mewangi kemana-mana." Bu guru Kelas 1 berujar, "Iya ini sesuai dengan materi yang ada di buku. Kan memang mintanya Kurikulum 2013 begitu".

Yang dilakukan oleh bu guru Kelas 1 inilah yang disebut dengan Hands on Experience. Hands on Experience dalam pelaksanaannya benar-benar melibatkan siswa dalam kegiatan tertentu, tidak cuma secara teoritis. Makanya secara terminologi, Hands on Experience diartikan sebagai suatu rancangan pembelajaran yang bertujuan untuk melibatkan anak dimulai dari menggali informasi, bertanya, beraktivitas, menemukan sampai menyimpulkan. Sehingga pembelajaran ini juga disebut dengan istilah Authentic Learning atau dikenal juga dengan nama Experiental Education. Dan ini setara dengan konsep learning by doing. Sebuah konsep belajar dengan mengerjakan sesuatu secara aktif dan mempunyai dampak dalam perubahan perilaku pelajar. 

Namun persoalannya, seringkali sulit sekali dilaksanakan di dalam pembelajaran. Ada dua sebab utama yang menjadikannya sulit. Pertama, soal waktu. Bagaimanapun juga alokasi waktu untuk praktik siswa, cenderung tidak bisa diperkirakan. Lebih banyak kurangnya dibandingkan dengan lebihnya. Karena saat pelaksanaan, sebagian anak tidak mau berhenti, dan sebagian lain tidak tuntas-tuntas dalam pengerjaannya. Dan guru lebih terdorong untuk membantu yang tidak bisa, dan memberikan keleluasaan pada yang sudah berhasil (yang mereka ini suka mengulangi lagi percobaannya). Padahal secara "kurikulum" ada batas waktu yang telah ditentukan. 

Yang kedua, soal administrasi. Persoalan administrasi ini juga sama dengan yang tadi. Sulit dicari solusinya. Karena selain sebagai guru, adalah juga seorang pegawai. Sebagai seorang pegawai tentu harus menuntaskan hal-hal yang terkait dengan administrasi. Dan ini tidak bisa dihindari maupun diabaikan. 

Akhirnya memang dilematis peran guru ini. Di satu pihak dituntut mengajar dengan inovatif. Di sisi lain ada tuntutan profesionalisme yang terkait dengan birokrasi kepegawaian. Jadi mau tidak mau, harus memeras otak dan memerah tenaga, agar semuanya berjalan dengan lancar. 

Makanya perundangan tentang pendidikan yang sekarang sedang digodok di tingkat kementerian, moga-moga mampu memberikan secercah asa tentang bagaimana guru seharusnya mengajar dengan baik. Tanpa diganggu keruwetan-keruwetan, yang sebenarnya bisa dialih-dayakan ke pihak lain. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar, dan tentunya berkemajuan.

Sumber gambar: dreamstime.com

09 Maret, 2022

,

Usia Kemasakan Intelektual yang Diabaikan


Jam dinding baru menunjukkan pukul 11.30, dan ada tiga ketukan di pintu dengan suara salam yang lirih. Buru-buru Mbah Guru membuka pintu sambil membalas salam. Melihat yang datang, Mbah Guru tertawa-tawa.

Guru Muda: "Mbah, kenapa tertawa? Apa ada yang salah dengan saya?"

Mbah Guru: "Ada. Bahkan dua."

Guru Muda: "Ini pasti kayak kemarin."

Mbah Guru: "Memang. Yang pertama, kamu datang nggak bawa oleh-oleh."

Guru Muda: "Lho kok simbah sekarang jadi matre sih."

Mbah Guru: "Malah nuduh matre segala. Apa kamu nggak nyadar? Sudah sering kesini. Sering bawa persoalan berat-berat. Hal itu sih nggak masalah. Yang jadi masalah, justru suka ngabisin jatahnya simbah. Kalau kamu sering kesini tanpa membawa oleh-oleh itu kan artinya menggizi-burukkan simbah."

Guru Muda: "Iya maaf mbah. Besok-besok kalau kesini, pasti bawa oleh-oleh."

Mbah Guru: "Oke. Yang kedua, jam segini kok sudah pulang? Korupsi waktu ya?

Guru Muda: "Nggak mbah. Ini tadi pagi, mendadak ada rapat. Dan sekarang sudah selesai."

Mbah Guru: "Kenapa nggak balik ke sekolah?"

Guru Muda: "Ya kalau dibuat balik, sekolah sudah tutup. Kan sekolahnya jauh tho mbah."

Mbah Guru: "Alesan aja. Iya sudah."

Guru Muda: "Mbah, saya mau tanya nih."

Mbah Guru: "Kok sudah punya bahan? Berarti kesini sudah niat."

Guru Muda: "Nggak sengaja mbah. Tadi pas mau pulang, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan. Dan ingat, katanya simbah harus mempersiapkan bahan kalau sambang."

Mbah Guru: "Tanya apa?"

Guru Muda: "Gini mbah, saya mau tahu soal usia berapa anak sudah mencapai usia kemasakan intelektual?"

Mbah Guru: "Maksudnya untuk masuk sekolah dasar gitu?"

Guru Muda: "Iya mbah."

Mbah Guru: "Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar."

Guru Muda: "Tapi mbah, banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya kurang dari usia tersebut. Alasannya sudah bisa calistung."

Mbah Guru: "Mestinya sekolah dan pemerintah harus tegas menolak. Kan sudah ada aturan, jika kurang usia harus menyertakan surat dari pihak kesehatan."

Guru Muda: "La itu masalahnya. Orang tua tidak mau tahu, dan sekolah takut nggak dapat murid."

Mbah Guru: "Makanya pendidikan kita tidak maju-maju sebab siswanya belum waktunya. Dan pihak terkait tidak tegas."

Guru Muda: "Kok bisa mbah?"

Mbah Guru: "Menurut menurut teori perkembangan dari Piaget, pada usia tujuh tahun, perkembangan kognitif anak berada pada level operasional konkret dan mulai menggunakan operasi mental serta berpikir untuk menyelesaikan suatu permasalahan."

Guru Muda: "Terus mbah!"

Mbah Guru: "Anak-anak yang berusia kurang dari tujuh tahun bisa saja sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung. Namun secara psikologis belum memenuhi aspek konsentrasi, daya tahan, regulasi emosi, serta kemandirian."

Guru Muda: "Bagaimana kalau sudah usia tujuh tahun, tapi belum mampu membaca, menulis, dan berhitung dasar?"

Mbah Guru: "Tentu harus dibawa ke psikolog anak, agar diketahui apa persoalan yang terjadi. Dan ini harus ada pembicaraan antara lembaga pendidikan dan pihak orang tua. Siapa tahu anaknya mengalami disleksia."

Guru Muda: "Mbah dengar-dengar, dulu ada metode yang cukup mudah untuk menentukan usia kemasakan intelektual."

Mbah Guru: "Ada. Cuma katanya ini peninggalan Belanda. Caranya cukup melingkarkan lengan kanan melewati kepala, jika ujung jari dapat menyentuh bagian bawah telinga kiri. Apa ini ilmiah atau nggak, simbah nggak tau."

Sumber: pinterest.com

28 Februari, 2022

, , ,

Baby Repetition, Cara Terbaik Bagi yang Sulit Belajar


Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam  belajar. Dan banyak sekali pencetus kesulitan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan mudah memvonis seseorang sebagai pemalas atau kurang sungguh-sungguh dalam pembelajaran. Harus ada pendekatan dan penyelidikan tentang metode belajarnya. Bisa jadi selama ini, metode yang digunakan tidak sesuai dengan gaya belajarnya.

Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana manusia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Dan mereka membagi gaya belajar itu ke dalam tiga kelompok, yaitu Visual, Audiotori, dan Kinestetik. 

Guru dalam situasi keseharian seharusnya menjalankan pengajaran yang mewadahi ketiga kelompok gaya belajar ini. Sehingga jika dipolakan secara umum menjadi Audiotori-Visual-Kinestetik. Mengapa dimulai dengan Audiotori bukan yang lain? Sebab di awal pengajaran, biasanya dimulai dengan penjelasan. Dan ranah ini masuk ke Audiotori. Apakah dapat dimulai dengan yang lain? Tentu dapat, mengapa tidak? Walaupun rezim pembelajaran  pada umumnya berkutat pada pola itu. 

Generasi sekarang ini kebanyakan memiliki gaya belajar Kinestetik, namun sayangnya para pengajarnya, adalah "mantan" pembelajar Audiotori. Ini yang memjadi problem. Dan mungkin saja, menjadi penyebab rendahnya daya serap siswa saat ini terhadap pengetahuan yang telah disampaikan. 

Lantas bagaimana mengatasinya? Salah satu pihak harus "mengalah", dan pasti kita tahu siapa itu. Dan juga tetap melaksanakan metode mengajar yang memfasilitasi gaya belajar lainnya. Meskipun porsinya agak kurang sedikit. Lalu konkritnya seperti apa? Tentu menggunakan metode pengajaran yang berbasis pada praktik, misalnya Project Based Learning.

Dan konsep pelaksanaannya menggunakan apa yang saya sebut dengan istilah "baby-repetition" atau "perulangan-bayi". Seperti yang kita lihat, bayi suka mengulang-ulang hal yang sama (lebih dari lima kali). Ini tentu bisa kita terapkan secara kontekstual. Dan agar tidak mendapat kejenuhan, kontennya dibuat berbeda-beda. Sehingga pelekatan pengetahuan terjadi "persis" seperti yang kita inginkan. 

Sumber gambar: shutterstock.com 

24 Februari, 2022

, ,

Jangan Paksa Google Jadi "Goeroe" Kita


Kita sebagai guru, semakin hari semakin tergantung pada Google, apa-apa sekethak searching di peramban itu. Seakan "hajat hidup" orang banyak mangkalnya di situ. Bahkan saking parahnya, berani berkata, "Apapun permasalahanmu, tuntas di situ". Ini kan lebay bingit. Dan anehnya juga, pendapat ini ditularkan ke siswa secara sistematik.

Apa kita nggak khawatir, apabila suatu saat murid kita bilang, "Ah pak guru katrok nih. Gitu aja nggak paham". Ini kan celaka? Mau ditaruh dimana harkat dan marwah kita sebagai guru? Mau menasihati, kok faktanya bener. Tak menasihati, kok jelas kurang beretika muridnya. Ini kan dilema.

Semestinya peran kita sebagai guru, punya peran yang setara kamus. Dan layak disematkan sebagai ensiklopedia berjalan. Tapi kita kan sekarang jauh dari kesan itu. Mengapa bisa? Tahu sendiri, berapa gelintir guru yang masih sudi membaca? Ini belum termasuk berpikir dan berkarya. Ini masih teramat langka. Jadi ya wajarlah, kalau pendidikan kita tidak beranjak kemana-mana.

Duduk manis sambil sesekali kesik-kesik, karena negara-negara di sebelah sudah berlari kencang. Dan kita hanya menggerutu dan diam-diam mengumpat. Serta mulai menyalahkan semua hal. Padahal yang salah itu kita, bukan yang lain. Namun karena kita hidup di bawah tempurung kelapa. Kebenaran apapun condong tertolak secara otomatis.

Dan apabila saatnya kita benar-benar digantikan sebuah robot multiguna, mungkin kita baru tersadar dari kemalasan dan kebebalan diri sendiri. Kemudian merutuk, "Kalau begini jadinya, mending tidak melakukannya. Menyesal rasanya."

Sumber gambar: developers.google.com

21 Februari, 2022

,

Benarkah Hari Ini Kita Semakin Cerdas?


Saya sering mendengar perkataan seperti ini, "Sekarang ini banyak orang pandai, tapi sedikit orang yang mengerti." Namun di lain pihak ada yang berkata, "Anak-anak sekarang ini, sampai kelas dua belas saja, masih ada yang belum bisa perkalian, tidak hafal nama provinsi di Jawa, dan masih banyak lagi. Mereka belajar nggak sih?"

Mendengar kedua perkataan tadi, saya jadi bingung, yang benar yang mana? Sebab keduanya bertolak belakang. Kalau memang benar pandai, tentu pelajaran yang ada di sekolah dapat terserap dong. Minimal yang paling dasar. La ini tidak. Jadi yang mengatakan perkataan pertama, itu jelas salah kan? 

Terus soal mengerti itu datangnya darimana? Dari pandai bukan? Jika tidak pandai, mana mungkin bisa mengerti? Ataukah dibalik, bagaimana mungkin pandai, kalau tidak mengerti? Hayo yang mana duluan?

Semua hal ada parameternya. Termasuk tentang kecerdasan. Kita bertahun-tahun termasuk di urutan bawah PISA (Programme for International Student Assessment) atau Program Penilaian Pelajar Internasional. Dari sini saja sudah jelas, bangsa kita saat ini belum termasuk bangsa yang pintar.

Mau data apa lagi? Apabila kita melihat hasil Sakernas (Survey Angkatan Kerja Nasional) pada tahun 2021, jumlah sarjana kita 8,31% dari jumlah penduduk keseluruhan. Dan mayoritas penduduk kita adalah berpendidikan setara sekolah dasar.

Dari situ saja, sudah terpampang nyata bahwa orang-orang Indonesia sekarang ini masih jauh dari kata cerdas, pandai, pintar, cerdik, atau apapun namanya. Karena kalau memang cerdas, ada buktinya dong. Mana? Sebab jika sudah, pasti kita sudah menjadi bangsa yang maju.

Sumber gambar: towardsdatascience.com

18 Februari, 2022

, ,

Sekolah Harus Berani "Berganti Kulit"


Keluhan klasik yang terjadi setiap tahun di hampir semua sekolah adalah kekurangan murid. Dan banyak cara dilakukan untuk mengatasinya. Dari sekian itu ada sebuah cara yang seragam, yaitu membuat brosur dan pasang banner segede Gaban, di area atau gerbang sekolah. Yang agak melek internet, di-posting di media sosial. 

Apakah cara itu benar-benar efektif? Sebab banyak sekolah yang tidak menerapkan cara serupa, namun laris manis. Dan semua bangkunya terisi, bahkan sampai menolak-nolak calon siswanya. 

Apakah metode spanduk ini sudah seperti macam ompong? Bisa jadi. Sebab metode tersebut itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah murid. Meskipun di situ dipampang raihan medali dan piala. Juga beragam aktivitas, baik intra maupun ekstra. 

Jika memang demikian, apa yang harus dilakukan oleh sekolah, di samping mengandalkan metode itu? Yaitu melakukan pengamatan dan survey kebutuhan orang tua. Karena bisa jadi wali murid menginginkan sekolah yang tidak membebani siswanya dengan kegiatan padat, dari pagi sampai sore. Selain itu, menguntungkan secara finansial (biasanya ini terjadi di sekolah yang berada di lingkungan berpendapatan rendah). 

Dengan melihat hasil dari pengamatan dan survey tadi, akan menghasilkan pendekatan yang sesuai. Walaupun ini juga tidak menjamin seratus persen. Namun ini dapat menjadi lebih efektif daripada sekadar sebar-tempel brosur. Terlepas brosurnya menjanjikan iming-iming yang menggiurkan sukma.

Apakah ada cara lain? Tentu ada, dan banyak. Misalnya melakukan metode lomba. Orang selalu membayangkan budget-nya besar. Padahal tidak selalu, dan bisa mencari sponsor atau urunan dari orang tua wali murid. 

Selain itu bisa menggunakan metode bina lingkungan. Metode ini lebih cocok dilaksanakan di lingkungan sekitar sekolah. Metode ini mengacu pada pendekatan saat kegiatan atau hajat pribadi dan lingkungan. Contohnya pernikahan, khitanan, agustusan, qurban, dan lain-lain. Di sini sekolah dapat menurunkan guru-gurunya (dapat pula dengan murid) menjadi bagian dari semacam event organizer dari kegiatan warga itu. 

Metode lain adalah metode buzzer. Metode ini memanfaatkan kemampuan pihak lain untuk mewacanakan kehebatan dari sekolah. Pihak lain itu bisa dari walmur, murid, guru, atau orang yang dibayar, untuk terus menerus "memberondong" ruang udara pergaulan dengan statemen yang luar biasa dari sekolah tersebut. 

Bagaimana? Mau mencoba? Atau punya metode lain yang lebih cocok-terap? Sebenarnya metode apapun bisa diterapkan, asalkan sekolahnya punya nyali dan melepaskan diri dari ikatan "andaikan". Karena hanya sekolah yang "mencintai" perubahan, yang akan adaptif sepanjang masa. Bukan soal dia disokong negara atau swasta.

Sumber gambar: cartoonstock.com
, ,

Dark Jokes ala Siswa


Di hari Jum'at yang cerah, di sebuah taman-taman kanak-kanak, seorang ibu guru meminta seorang anak didik menyanyikan sebuah lagu. 

"Nina, ayo nyanyikan lagu kesukaanmu," pinta bu guru. Dan Nina berdiri lalu menyanyikan lagu kesukaannya, "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."

Setelah mengulangi dua kali lirik di atas, Nina pun duduk di kursinya lagi. Kemudian bu guru meminta anak-anak bertepuk tangan. Setelah anak-anak bertepuk tangan, bu guru berkata, "Andi, sekarang giliran kamu menyanyikan lagu kesukaannmu." 

Andi lalu menjawab, "Bu, aku tidak punya lagu kesukaan." 

Lalu bu guru membalas begini, "Ya sudah kamu bisa menyanyilan lagu yang dinyanyikan Nina."

Kemudian Andi menyanyikan lagu "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok bukanlah Nina."

Mendengar liriknya seperti itu, teman-temannya tertawa sambil bertepuk tangan. Dan bu guru pun menjadi bertanya, "Liriknya kok jadi gitu?"

Andi menjawab dengan santainya, "Kan aku bukan Nina. Aku kan Andi." 

Mendengar ini, bu guru menjadi diam terpaku

Beberapa bulan kemudian, Nina dan Andi sudah berada di sekolah dasar, di ruang kelas yang sama. Kini Andi mendapatkan giliran pertama menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima." 

"Balonku ada lima, meletus semunya. Dor, habis."

Mendengar seperti ini, teman-temannya tertawa termasuk juga Nina. Bu guru buru-buru bertanya, "Mengapa jadi gitu lagunya?"

Andi menjawab, "Iya gapapa, kan bu. Nanti bisa beli lagi balonnya".

Bu guru lalu menasihatinya, "Kalau begitu terus uangnya habis dong. Mending uangnya ditabung ya nak. Karena itu, jika sudah ada yang meletus, yang lain dijaga biar tidak meletus."

"Nggak ah bu. Kan orang tuaku kaya", ujar Andi.

Bu guru lalu menimpali jawaban Andi, "Gini Andi, kita sejak kecil harus belajar hemat."

Andi pun menyergah, "Kalau hemat, mengapa harus beli lima? Hayo?"

Bu gurunya menjadi diam "terpalu".

Sumber gambar: youtube.com

17 Februari, 2022

, , , ,

Guru dan Kegemaran "Berdiskusi" Tanpa Solusi

Pada suatu minggu di sebuah ruang guru, terjadilah diskusi non formal tentang berbagai hal yang terjadi di sekolah.

Senin
Setelah upacara bendera selesai, guru-guru mengobrol tentang perilaku siswa yang tidak tertib. Mulai dari tidak memakai atribut yang tidak lengkap sampai datang terlambat (padahal rumah dekat). Ketika ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau bangun kesiangan. 

Pembicaraan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Soalnya mendisiplinkan lewat jalur disetrap atau membiarkan di luar pagar, kok seakan melukai hati mereka. Mereka berpikir lembaga pendidikan berlabel "Sekolah Ramah Anak", tak mungkin melakukan hal itu. Dan pembicaraan itu berakhir #krikkrikkrik.

Selasa
Di hari selanjutnya terjadi dialog tentang sikap siswa yang suka tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau kalau mengerjakan asal jawab saja, padahal tinggal cari di buku. Kalau ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau langsung dijawab tanpa melihat buku. 

Mau mendisplinkan dengan menyuruh mereka untuk menulis seratus kalimat berisi "Aku akan mengerjakan PR dengan baik". Kok pernah diprotes wali murid dengan ungkapan, "Hukumannya nggak kreatif, seperti itu melulu". Dan dialognya lagi-lagi berakhir dengan  #krikkrikkrik.

Rabu
Di hari ini mengeluhkan beberapa anak yang suka tidak membawa peralatan menulis. Kerjaannya hanya pinjam dari temannya. Saat ditanya jawabnya ya sama terus. Kalau tidak lupa ya barangnya sudah habis. Dinasihati agar selalu mengecek peralatan tulisnya setiap mau berangkat sekolah, juga tak pernah dijalankan. Bila dibilang ya beli, katanya belum punya uang, padahal jajannya kayak orang habis kondangan. Dan keluhan itu juga berakhir #krikkrikkrik.

Kamis
Di hari keempat, ada yang ingin siswanya berprestasi. Semua ber-bla-bla mengeluarkan pendapatnya. Ya harus inilah, ya haruslah itulah. Namun ujung-ujungnya mentok soal dana. Dan sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari perbincangan itu, cuma menghasilkan #krikkrikkrik.

Jumat
Guru-guru berkumpul seperti biasa dan berkata, bahwa anak-anak sekarang tidak punya etika. Dan membandingkan sikap mereka yang santun pada guru, di masa saat mereka masih bersekolah. Pokoknya siswa-siswi saat ini, dianggap kurang bermoral. Tidak lagi mau menghormati guru. 

Mereka memandang ini salahnya kurikulum, salahnya lingkungan, salahnya pemerintah, dan salahnya orang tua sendiri. Tidak ingat, bahwa mereka punya peran juga. Dan obrolan ini pun berakhir #krikkrikkrik.

Sabtu
Di akhir pekan, guru-guru kehabisan bahan diskusi. Karena itu mengobrol ngalor-ngidul. Setelah capek, mereka pun memutuskan pulang. Baru kali ini, ada keputusan dan hasilnya muncul dengan "bijaksana". Tidak seperti biasanya, selalu berakhir dengan #krikkrikkrik.

Begitu di minggu depannya, pembicaraan itu berlangsung terus menerus. Hanya bergeser saja topik pembicaraan setiap harinya. Apakah mereka tidak bosan melakukan hal itu? Terkadang iya, tapi mau bagaimana lagi. Mereka merasa tidak punya kemampuan untuk merubah. 

Sumber gambar: cleanpng.com



 

14 Februari, 2022

, ,

Mandi dan Cebok Pun Diurusi Guru

Jangan mengira, urusan guru cuma ngajari cara menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima" hingga Trigonometri. Lebih daripada itu. Bahkan jika pernah mengampu di kelas bawah atau rendah (istilah yang diperkenalkan Kurikulum 2013 untuk menyebut kelas 1-3), maka akan lebih luas. Jadi call-center, penitipan anak sementara, sampai urusan yang seharusnya hak seratus persen ortu. Seperti cebok dan mandi.

Kok sampai urusan cebok dan mandi segala? Betul urusan domestik seperti ini terkadang, guru punya peran yang besar. Siapa bilang, anak yang sudah memasuki usia sekolah terus punya kecakapan "mengeluarkan hajat hidup pribadi"? Banyak terjadi di lapangan, meskipun tidak terjadi tiap tahun, anak tidak berani buang hajat di kamar mandi lalu nggembol di celananya. Atau yang lebih baik sedikit daripada ini, yaitu minta dicebokin

Ini mengandung dilema lho. Tidak menjamin bu gurunya yang notabenenya perempuan, terkadang jijik jika harus menceboki siswinya. Padahal dia juga mempunyai seorang putri. Kalau minta tolongnya, ke rekan guru perempuan sih nggak masalah. Tapi bila ke rekan guru yang lelaki, bahkan penjaga sekolah yang laki-laki, ini kan jelas kurang etis. Dan malah lebih sadis,  minta anak itu pulang tanpa diantar, dengan membawa "buah yang tidak diinginkan itu". 

Mau menyalahkan kelakuan tercela ini, murni karena ketidakempatian guru belaka, kok kebangetan. Sebab guru juga manusia. Ada juga rasa yang terkadang terlihat kurang baik. Namun bila diselidiki lebih dalam, bisa jadi karena kekhawatiran. Tahu sendiri kan jaman sekarang, perbuatan menceboki bisa dianggap perbuatan yang melanggar privacy dan susila? Jika begini halnya, perbuatan guru tersebut tidaklah salah seratus persen. Dan mungkin nanti, bila ada kelas parenting, bolehlah materi tentang potty training alias toilet training ini juga disisipkan.
,

Murid Taat, Mungkinkah "Diciptakan"?

Mempunyai murid yang taat di era sekarang ini, merupakan idaman semua guru. Bagaimana tidak melihat polah tingkah dari siswa-siswi sekarang ini, yang menunjukkan perilaku kepatuhan itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Butuh effort yang tinggi dan hasil nihil adalah sebuah keniscayaan. Mengapa bisa demikian? Apa ada yang salah dengan sistem pengajaran kita saat ini? Bukankah dari dulu sudah digembar-gemborkan tentang pentingnya etika?

Darimana untuk memulai penyelesaiannya, karena hal ini bagaikan mengurai benang kusut? Jika dimulai dari siswanya itu sendiri, apa pendekatan yang digunakan? Kelemahlembutan seratus persen? Apabila ini digunakan, tahu sendiri kan perilaku siswa-siswi kita, pasti ngelamak? Mereka malah menjadi besar kepala, dan tingkah buruknya semakin menjadi-jadi.

Dimulai dari guru, bagaimana caranya? Pendisiplinan ala finger print? Kita di lihat di lapangan, apakah manjur? Sebab faktanya instruktur di bidang perlistrikan kita belum baik. Jangankan di luar Jawa, di Jawa sendiripun, byar-pet masih fenomena lumrah. Ini belum menginjak soal internet, yang juga sebelas-dua belas dengan yang listrik tadi. 

Dari sekolah? Apakah memang personil di sekolah sudah mencukupi, khususnya di sekolah dasar negeri? Sudah mulai banyak guru yang rangkapan dua kelas, bahkan lebih untuk mengajar. Itu pun yang guru negeri juga terbilang sudah mulai "punah" keberadaannya. Bagaimana bisa minta mereka berdisiplin, bila untuk hidup saja kekurangan? Harus pontang-panting setiap hari, agar asap dapur mengebul.

Harapan terakhir tentu datangnya dari pemerintah. Tetapi apakah mungkin? Pendekatan kebijakan kita selama ini, masih top-down, belum sejajar antara semua stake-holder. Pemerintah "masih merasa" tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk duduk bersama, mengajak semua elemen terkait, termasuk masyarakat. 

Akhirnya idaman mempunyai murid yang taat masih jauh panggang daripada api. Masih hanya di dalam angan, utopis. Kerinduan yang musykil terobati, jika semua yang ada tidak memulai sebuah kesadaran baru akan pentingnya hal itu. Dan lebih suka menyerah kepada kenyataan. Serta berteman dengan keluhkesahan.

Sumber gambar: istock.com

13 Februari, 2022

, ,

Student-Centered, Apakah Masih Layak Digunakan?


Sudah lama Guru Muda (Gurmud) tak menyambangi Mbah Guru (Mbahru). Oleh karena itu, sore ini meski ada rintik hujan tetap berkunjung ke rumah beliaunya. Dan langsung ditohok dengan pertanyaan.

Mbahru: 
"Ada apa gerangan kemari?"

Gurmud: 
"Pertanyaannya simbah ini lho, kok seakan nggak kenal saya."

Mbahru: 
"Ooo... keliru ya? He he he."

Gurmud: 
"Ya nggak juga sih. Cuma rasanya gimana gitu lho?"

Mbahru: 
"Ngomong aja, nggak sah belibet. Nanti pasti tanyanya juga gitu."

Gurmud: 
"Iya sih mbah, kira-kira begitu. Maaf."

Mbahru: 
"Nggak usah minta maaf. Kan kebiasaannya gitu. Udah cuss werr, apa yang mau ditanyakan?"

Gurmud: 
"Gini mbah, saya mau tanya soal Student Centered. Tentang pengertiannya maksud saya."

Mbahru: 
"Kalau males cari di buku, bisa searching di Google tho?"

Gurmud: 
"Nggak marem, kalau nggak tanya simbah."

Mbahru: 
"Halah, alesan saja. Student Centered kan sudah jelas ketebak dari namanya."

Gurmud: 
"Ketebak gimana?"

Mbahru: 
"Hadeuh. Student kan murid. Centered berarti berpusat. Jadi Student Centered ini adalah pembelajaran yang mendudukkan murid sebagai aktor utama dalam prosesnya."

Gurmud: 
"Masak sih mbah? Bukankah pada kenyataannya gurulah yang menjadi aktor utamanya?"

Mbahru: 
"Jangan bicara soal kenyataannya. Yang mbah bilang tadi adalah tentang pengertiannya. Seperti yang kau minta."

Gurmud: 
"Oke, oke."

Mbahru: 
"Mau tanya apa lagi?"

Gurmud: 
"Ya masih seputar itu. Sekarang mau tanya, apakah memang pembelajaran berpusat pada murid ini, hanya terjadi di Kurikulum 2013 dan Prototipe 2022?"

Mbahru: 
"Kalau lihat sejarah pendidikan kita, sebenarnya pembelajaran itu sudah ada. Contohnya di Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Dari namanya saja sudah tertera, gaya pembelajaran itu mau diterapkan dengan gagahnya."

Gurmud: 
"Berarti klam itu salah ya mbah?"

Mbahru: 
"Situ mau njebak simbah ya?"

Gurmud: 
"Hanya minta penegasan saja."

Mbahru: 
"Jelas klaim yang tidak melihat fakta atau buta sejarah."

Gurmud: 
"Apakah pada waktu CBSA itu diterapkan, ada keberhasilan?"

Mbahru: 
"Tentu setiap kurikulum punya keunggulan dan kekurangan yang tak bisa disembunyikan. Dan semakin kentara, ketika kurikulum itu tidak dipergunakan lagi."

Gurmud: 
"Kalau boleh tahu gimana sih mbah ceritanya?"

Mbahru: 
"Mbah cuma ingat sedikit-sedikit. Waktu itu, terjadi pergolakan luar biasa. Banyak praktisi pendidikan yang menolak pelaksanaannya. Mereka memandang, kurikulum itu memberikan cek kosong pada anak-anak. Hanya anak yang pandai saja  yang memanfaatkan peluang itu, sebaik-baiknya. Sehingga mereka memplesetkan kurikulum ini menjadi Cah Bodo Saya Akeh (Anak Bodoh Tambah Banyak)."

Gurmud: 
"Ngeri kali mbah plesetannya."

Mbahru: 
"Karena desakan dari banyak pihak, kurikulum itu diturunkan dari panggung. Dan diganti dengan yang baru. Bertahun-tahun kemudian, kurikulum itu diacungi jempol. Karena membuat anak menguasai berbagai pengetahuan secara terperinci, dan mampu melekat di otak sampai akhir hayat. Jauhkan dengan kurikulum sekarang, baru sehari bisa, besok sudah lenyap tak berbekas?"

Gurmud: 
"Ooo... gitu ya mbah? Boleh tanya lagi?"

Mbahru: 
"Tonya-tanya? Perutnya juga dipikir no maszzzeeeh?"

Gurmud: 
"Ini mbah sampai lupa, martabak kesukaannya."

Mbahru: 
"Sudah dingin. Mirip dengan yang kita bicarakan."

Sumber gambar: dreamstime.com
, , ,

Sudah Seasyik Apakah Kita dalam Mengajar?

Berikut ini ada dua orang guru. Sebut saja, yang pertama bernama Bu Dina. Sedangkan yang kedua, bernama Bu Dini. Bu Dina dan Bu Dini adalah guru Matematika. Mereka sama-sama mendapatkan tiga rombel, di sekolah yang berbeda. Dan beginilah keseharian cara mengajar mereka.

A. Bu Dina

Di awal hari, beliau mendapatkan jam pertama di Kelas A. Materi pelajarannya adalah bangun ruang balok. Dan beliaunya membawa dua jenis alat pengukur, yaitu penggaris dan meteran. Setelah mengucapkan salam, beliau meminta murid-murid untuk membuat kelompok dan memberi tiap kelompok itu berupa penggaris atau meteran. Beliau meminta murid-murid mencari benda serupa dengan gambar di papan tulis, kemudian mengukurnya.

Di jam berikutnya, Bu Dina berpindah ke Kelas B. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya pada siswa, apakah bahan-bahan untuk membuat bangun ruang balok sudah disiapkan. Selanjutnya beliau memberikan petunjuk dan contoh cara membuat bangun ruang balok dari berbagai bahan yang dibawa siswa.

Saat anak-anak di Kelas B sedang membuat bangun ruang balok itu, Bu Dina berkata akan ke ruang Kelas C sebentar. Sesudah itu beliaunya memasuki Kelas C, memberi salam, lalu menjelaskan keperluannya pada guru yang ada di kelas tersebut. Lalu Bu Dina mengatakan pada anak-anak Kelas C, nanti saat istirahat, mengamati benda-benda yang berbentuk seperti bangun ruang balok. Sesudah istirahat, beliau meminta anak-anak itu menjelaskan pengamatannya secara lisan.

B. Bu Dini

Bu Dini, juga mendapat jatah jam yang sama. Dan berurutan pula ruang kelasnya seperti Bu Dina. Bu Dini, dari ruang Kelas A sampai B, cara mengajarnya sama. Beliau pertama-tama menerangkan apa itu ruang balok. Kemudian melanjutkan tentang rumus yang menyertainya. Setelah itu memberikan soal, dan meminta anak-anak menjawab soal seperti contoh yang ada di buku.

Kedua kegiatan mereka direkam. Dan di hari yang berbeda, keduanya di ruangan berbeda mendapat pertanyaan semacam ini.
1. Apakah cara mengajarnya seperti itu setiap hari?
2. Mengapa memilih cara mengajar seperti itu?

Bu Dina menjawab seperti ini.
1. Iya.
2. Sebab setiap kelas mempunyai karakteristik kelas berbeda. Hal ini saya ketahui, setelah saya melakukan tes psikologi (sederhana), pengamatan, dan bertanya pada rekan sesama guru. Makanya saya memberikan pendekatan yang berbeda di tiap kelas. Selain itu, saya lebih mengutamakan aspek psikomotorik. Sebab anak-anak jaman sekarang, lebih suka praktik daripada teori. Jika kebanyakan teori, mereka cepat bosan. Sehingga pelajaran tidak masuk ke diri mereka. Akhirnya pekerjaan mereka tidak cepat selesai, dan cenderung kelas menjadi ramai atau senyap (bila terlihat galak). Sedangkan untuk pemakaian teknologi, juga saya gunakan. Namun tetap sebatas alat bantu penambah, bukan yang utama. Menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah. Tentu berbeda, jika saya mengajar di tempat yang mengutamakan teknologi tinggi.

Sedangkan jawaban Bu Dini seperti ini.
1. Iya.
2. Sebab dengan cara seperti itu. anak-anak mudah memahami. Terkadang, saya juga memakai peraga fisik atau menampilkan gambar dan animasi lewat proyektor. Khususnya, jika mereka belum benar-benar memahami.

Dari kedua cara mengajar tersebut, mana yang menjadi keseharian kita? Apakah cara mengajarnya itu membuat siswa lebih paham? Apakah cara mengajar tersebut juga ditularkan ke guru lain (jika memang merasa itu berbeda), atau dipendam, atau kalau ada kesempatan diikutkan lomba (bila dianggap itu penemuan baru)? 

Sumber gambar: lovepik.com

10 Februari, 2022

,

Akhirnya Buku Pantunnya Jadi, Cakep

Akhirnya buku berjudul "111 Pantun untuk Guru" jadi jua. Setelah penantian berminggu-minggu. Buku tersebut dibuat anak-anak saya, Kelas V SDN Pandan II Kec. Ngraho Kab. Bojonegoro Prov. Jawa Timur. Pas peringatan Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2021 dan HUT PGRI Ke-76. Di tanggal 25 November 2021. Dalam waktu yang relatif singkat, sekitar dua jam. Mulai dari menulis hingga membuat cover bukunya. Dan kebetulan, saya hanya menaruh sebuah pantun. Sebagai genap-genapan sekaligus penyemangat mereka. 😁

Buku itu adalah buku ketiga dari murid-murid saya di Kelas V, bertepatan dengan tiga tahun saya mengampu kelas tersebut. Untuk dijadikan periksa, buku pertama dan kedua mengulas tentang pandemi Covid-19. Dan ini disuguhkan dalam bilingual (dwibahasa), Basa Jawa dan Bahasa Indonesia. Adapun judulnya adalah "Caramana Corona Ora Ana" dan "Sinau liwat Hape". Mengapa buku yang ketiga ini tidak berdwibahasa? Memang sengaja dibuat demikian. Karena rencananya, di tahun pelajaran ini akan rilis dua buah buku. Buku pertama yaitu buku pantun itu, yang berbahasa Indonesia dan  yang berikutnya memakai Basa Jawa.

Apakah anak sekolah dasar mampu membuat buku? Sebenarnya berangkat dari pertanyaan semacam inilah, buku berjudul "111 Pantun untuk Guru" dan buku sebelumnya tersebut lahir. Pertanyaan itu dapat dianggap sebagai pemicu maupun ungkapan ketidakpercayaan terhadap kemampuan anak sekolah dalam membuat buku, khususnya di jenjang sekolah dasar. Sebab pada umumnya dipandang, anak-anak seumuran itu. Jangankan membuat buku, diajak membaca buku saja, sulitnya minta ampun. Ini kok mau diajak bikin buku. Cari-cari kerepotan yang tak berguna.

Bagi yang tak percaya, tak masalah. Sebab faktanya buku-buku yang dibuat oleh anak-anak di jenjang serupa, bejibun banyaknya. Bahkan anak-anak yang masih duduk di bangku prasekolah pun sudah banyak yang buat. Jadi umur tidak dapat dijadikan patokan untuk menunjukkan minat dan kemampuan seseorang dalam menulis. Biarpun batang usianya sudah tinggi, tidak menjamin dapat menulis, apalagi membuat buku.

Memang membuat buku butuh ketekunan. Dan bukan persoalan mudah bagi seorang guru untuk membimbing siswa dan siswinya untuk manut. Butuh effort yang luar biasa. Meskipun begitu, jika dijalankan akan berbuah manis pula. Seperti buku pantun di atas. Dan apabila Anda tertarik untuk mengagumi "kemanisannya", tak perlu merogoh saku dalam-dalam. Cukup 35 ribu Rupiah saja (belum ongkir) per bukunya. Maaf, siapa cepat dia dapat, sebab buku ini dicetak terbatas. Monggo. 👍