28 Februari, 2022

, , ,

Baby Repetition, Cara Terbaik Bagi yang Sulit Belajar


Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam  belajar. Dan banyak sekali pencetus kesulitan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan mudah memvonis seseorang sebagai pemalas atau kurang sungguh-sungguh dalam pembelajaran. Harus ada pendekatan dan penyelidikan tentang metode belajarnya. Bisa jadi selama ini, metode yang digunakan tidak sesuai dengan gaya belajarnya.

Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana manusia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Dan mereka membagi gaya belajar itu ke dalam tiga kelompok, yaitu Visual, Audiotori, dan Kinestetik. 

Guru dalam situasi keseharian seharusnya menjalankan pengajaran yang mewadahi ketiga kelompok gaya belajar ini. Sehingga jika dipolakan secara umum menjadi Audiotori-Visual-Kinestetik. Mengapa dimulai dengan Audiotori bukan yang lain? Sebab di awal pengajaran, biasanya dimulai dengan penjelasan. Dan ranah ini masuk ke Audiotori. Apakah dapat dimulai dengan yang lain? Tentu dapat, mengapa tidak? Walaupun rezim pembelajaran  pada umumnya berkutat pada pola itu. 

Generasi sekarang ini kebanyakan memiliki gaya belajar Kinestetik, namun sayangnya para pengajarnya, adalah "mantan" pembelajar Audiotori. Ini yang memjadi problem. Dan mungkin saja, menjadi penyebab rendahnya daya serap siswa saat ini terhadap pengetahuan yang telah disampaikan. 

Lantas bagaimana mengatasinya? Salah satu pihak harus "mengalah", dan pasti kita tahu siapa itu. Dan juga tetap melaksanakan metode mengajar yang memfasilitasi gaya belajar lainnya. Meskipun porsinya agak kurang sedikit. Lalu konkritnya seperti apa? Tentu menggunakan metode pengajaran yang berbasis pada praktik, misalnya Project Based Learning.

Dan konsep pelaksanaannya menggunakan apa yang saya sebut dengan istilah "baby-repetition" atau "perulangan-bayi". Seperti yang kita lihat, bayi suka mengulang-ulang hal yang sama (lebih dari lima kali). Ini tentu bisa kita terapkan secara kontekstual. Dan agar tidak mendapat kejenuhan, kontennya dibuat berbeda-beda. Sehingga pelekatan pengetahuan terjadi "persis" seperti yang kita inginkan. 

Sumber gambar: shutterstock.com 
,

Kenapa Guru Harus Menulis? Apakah Itu Jalan Ninjanya?

Bukan karena ingin mendapatkan angka kredit. Bukan karena mencari popularitas. Bukan karena mencari tambahan penghasilan. Bukan karena ingin ditulis dengan tinta emas kesejarahan. Dan bukan karena yang bukan-bukan.

Tapi karena guru adalah salah satu penjaga moralitas. Kita tahu hari ini, dunia dikuasai oleh teknologi informasi. Dan teknologi informasi ini menggaungkan adanya kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Jika semua guru diam, dan tidak ada yang menulis. Maka akan keruhlah dunia kita. Perkataan kotor dan tak senonoh berkeliaran dengan leluasa. Hoaks akan diproduksi seluas-luasnya, tanpa henti. 

Tentu kita sebagai guru, tidak mau hal itu terjadi dan terus berkelanjutan. Sebab bila berkelanjutan, manusia akan punah dengan cara yang tragis. Maka menulis adalah jalan ninja  yang harus ditempuh. Tak peduli ada onak dan duri, yang menghadang kaki-kaki kita. Agar kita menjadi kesakitan, dan mengakhiri perjalanan. Padahal tujuan belum tercapai.

Mulailah menulis dengan hal-hal yang dekat dan sederhana. Seperti bagaimana membuat alat peraga atau trik-trik memakai aplikasi perkantoran yang memudahkan administrasi pendidikan. Jika memungkinkan, bisa lebih jauh, dengan menambahkan unsur-unsur religiusitas di dalam tulisannya. Di samping itu dapat pula berkenaan dengan aktivitas pribadi, seperti hobi, berorganisasi, maupun kegiatan sosial. 

Dengan memberikan "suguhan" tersebut, paling tidak ada sentuhan warna yang berbeda, ada rasa kesegaran tersendiri. Jadi isinya dunia maya tidak melulu soal keluhan, celaan, dan pornografi. Oleh karena itu, jika menganggap diri sebagai guru, segera tentukan waktunya. Jangan lama-lama, kalau  bisa sekarang saja. Sebab seringkali waktu tidak berpihak pada kita.

Sumber gambar: imgbin.com

27 Februari, 2022

,

1001 Penyebab Guru Sulit Menulis

"Kok banyak banget sih?" mungkin ada yang bertanya begitu. 1001 ini hanyalah gambaran hiperbolik. Menurut perkiraan saya, tak sampai 100 bijilah. Dan penyebabnya itu ada yang bisa dimengerti sampai yang mengernyitkan dahi.

Karena ini bukan Matematika, sehingga tak perlulah berpanjang kata kali lebar kali tinggi. Kita cus werr lah

1. Takdir
Jawaban ini adalah jawaban yang manjur untuk mengklekepkan argumen ilmiah apapun. Jika sudah terkena ini, ya udahlah. Sebab itu, banyak yang bersembunyi di baliknya agar tidak dikejar.

2. Malas
Ini bukannya tak mau, tapi kurangnya motivasi dan inspirasi. Jika ada yang memotivasi dengan baik, dan ada inspirasi yang menonjol, pastilah ngikut.

3. Ide
Alasan klasik binti template. Sebab gagasan itu bertebaran dimana-mana. Di laut, di gunung, atau yang terdekat dengan hidung kita.

4. Capek
Kalau mengalami ini, iya istirahat dulu. Kecuali memang capeknya tak hilang-hilang. Itu urusan lain lagi.

5. Media
Menulis hal apapun, butuh yang namanya media. Bila tak ada, ya tak mungkin. Apalagi tak mau ngoyo untuk memfasilitasi.

6. Ekstrovert
Karakter ini adalah karakter "banyak tingkah, banyak polah". Sedangkan menulis perlu "diam tak bergerak". Jadi ya susah. 

7. Mindset
Ada yang bilang pikiran itu yang menentukan. Bila menganggap menulis itu mudah, maka akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Jadi terlihat kan siapa yang suka menganggap sulit?

8. Scriptophobia
Ini adalah kondisi dimana seseorang takut untuk mengemukakan gagasannya lewat tulisan, untuk dikonsumsi publik. Ingat jangan mengaku-aku mengidap ini.

9. Profesi
Ada banyak jenis pekerjaan yang "mengharamkan" menulis (dan guru tidak termasuk dalam hal itu). Sehingga ketika menulis  harus pandai colong-colong waktu.

10. Uang
Jika otak sudah dikuasai duit, maka menulis pun harus ada cuannya. Bila tidak, iya tak mau.

"Lho kok cuma sepuluh?" mungkin ada yang protes yang semacam ini. Jawabannya simpel sih, "Iya ditambahi sendiri, biar genap. Hitung-hitung mengeliminasi situ punya kesulitan menulis".

Sumber gambar: depositphotos.com
,

Mengapa Hybrid Learning Tidak Disebut Pembelajaran Gado-gado?

Minggu-minggu gini, enaknya makan gado-gado. Apalagi pas siang, yummy pasti rasanya. Didukung suasana alam yang sedang redup-redupnya. Memakan makanan ini, "menghangatkan," sekaligus menutrisi tubuh kita. Bagaimana tidak, begitu tinggi kandungan gizinya. Menurut data Kemenkes RI (TKPI), setiap 100 gram gado-gado mengandung 301 mg kalsium, 6,1 gram protein, 7,5 mg besi dan 135 mg fosfor.. Kandungan ini mempunyai manfaat seabreg bagi tubuh. Dari yang tak kelihatan seperti darah dan tulang, hingga yang terlihat di permukaan seperti kulit.

Dan ini nampaknya sama persis dengan hybrid learning. Pembelajaran ini digadang-gadang sebagai pembelajaran yang unggul di segala sisi. Sebab menggabungkan pembelajaran kelas tradisional dengan pembelajaran berbasis teknologi. Selain itu, pertemuan guru dan murid bisa opsional, tergantung kebutuhan. Sehingga jargon "belajar dimanapun dan kapanpun", menjadi nyata dan bukan omong kosong di pembelajaran ini.

Meskipun punya performa sehebat itu, tapi nyatanya masih punya kelemahan. Kelemahan yang paling terlihat di pelupuk mata, yaitu pembelajaran ini tak punya Bahasa Indonesia-nya. Jadi sampai detik ini belum ada padanan katanya. Padahal apapun kata dalam Bahasa Inggris, biasanya sudah diketemukan terjemahannya. Contoh bullying sudah punya perundungan. Meskipun kita sendiri, sampai hari ini belum tahu, dimana kata "perundungan" ini dipungut.

Jika kita mau jujur dan tidak malu-malu, mestinya bisa mengadopsi kata "gado-gado" sebagai pengganti kata "hybrid". Ini mengena dan pas soalnya. Karena arti gado-gado sendiri adalah campur-campur. Walaupun betul kata "gado-gado" bukan kosakata lokal, dan berasal dari Portugal. Tetapi ia sudah lama dipribumisasikan bangsa ini. Jadi sudah tidak berbau asing dan aseng lagi.

Sehingga nantinya hybrid learning dapat disebut dengan nama "pembelajaran gado-gado" atau disingkat PGG. Meskipun begitu kalau sudah dialih-bahasakan, kita jangan sekali-kali bersikap norak, ketika membahasa-inggriskan ulang. Macam gado-gado yang diberi padanan seperti ini: mixed vegetables with the peanut sauce. Kedawan bro-bro.

Sumbar: antaranews.com dan andrafarm.com

26 Februari, 2022

, , ,

Inovasi Pembelajaran yang Ramah di Kantong, Bisa?


Ketika berbicara tentang inovasi pembelajaran, asosiasinya sebagian guru menuju ke UUD (ujung-ujungnya duit). Mengapa ke duit atau uang? Sebab guru-guru tersebut berpikir bahwa dalam konteks kekinian, inovasi pembelajaran sama dengan pemakaian information technology. Dan sudah terang benderang, bila menyangkut hal itu, aroma cuan yang merebak.

Apakah salah konsep berpikir semacam itu? Agak merepotkan jika harus menyalahkan pemikiran ini. Sebab ada banyak faktor yang menyelimuti pemikiran tadi. Jadi sangat sulit bersikap tegas dalam hal ini. 

Kondisi sekarang yang cenderung berbau teknologi, sedikit banyak mendorong pemikiran tadi. Hampir tak ada kehidupan kini, yang tak bersentuhan dengan dunia teknologi informasi. Bahkan saking ingin terkoneksi terus menerus, selalu update.  Maka manusia sekarang sampai rela "membopong" gawainya ke tempat tidurnya.

Apabila ada istilah babysitter, mungkin layak ada istilah gadgetsitter untuk hal ini. Karena kemana-mana momong si gawai. Dan betapa paniknya mereka ini, ketika ponsel baterainya habis, sinyalnya hilang, dan pulsanya kosong. Persis saat menghadapi bayi yang tak mau berhenti menangis.

Kondisi di ranah pendidikan pun tak jauh beda, apalagi sewaktu kondisi pandemi, dan murid tak boleh kemana-mana. Hampir dapat dipastikan semua proses pembelajaran membutuhkan yang namanya teknologi informasi. Sehingga jika ada upaya penihilan peran teknologi tersebut, langsung dibungkam dengan kata-kata, "Guru kok gaptek. Guru kok nggak mau melek teknologi". 

Ini adalah sebuah pernyataan yang merendahkan, tidak saja pada profesi guru, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Sebab diakui maupun tidak, guru adalah pengawal keberadaban. Tanpa guru, manusia akan hidup dalam keliaran proses berpikir. Dan tentu kita bisa menebak, bagaimana pola kehidupannya.

Makanya mau tak mau, asosiasi di atas itu menjadi sebuah hal yang tak dapat ditampik keberadaannya. Seakan-akan adanya teknologi informasi "membutakan" pemikiran. Padahal yang namanya inovasi pembelajaran tidak selalu berjalan sejajar dengan hal itu. Tanpa adanya teknologi informasi sekalipun, inovasi pembelajaran  tetap dapat hidup dan berkembang biak di dalam rahim pendidikan.

Sumber gambar: theodi.org
,

Dapatkah Budaya Antri Dimasukkan ke dalam Kurikulum?


Hari-hari ini keluhan tentang langkanya migor atau minyak goreng merebak dimana-mana. Dan sudah bisa ditebak, jika ada bazaar yang menyelenggarakan pengadaannya, langsung diserbu habis. Memang begitulah kita, setiap ada barang kebutuhan sehari-hari menghilang di pasaran, maka kita bergegas antri pagi-pagian menuju bazaar, agar mendapat jatah. 

Ini tidak terjadi di zaman sekarang saja, bahkan jauh sebelum itu. Bisa kita lihat dokumentasinya sejak zaman Bung Karno, tiap tahun selalu ada sembako yang harus diantrikan. Dan memang tidak selalu sama. Kadang beras, kadang telur ayam (dan termasuk penunjangnya, yaitu elpiji). 

Mengapa ini selalu terulang? Apa kerja badan statistik kita yang tak becus? Apa karena tata niaga perdagangan yang tak pernah dibenahi? Ataukah ada mafia sembako yang berkuasa? Jika pertanyaan terakhir ini yang menjadi muasalnya, kenapa tidak dibasmi? Mengapa kita tiap tahun mengulang-ulang hal yang sama, meskipun komoditinya berbeda? 

Terlepas dari hal itu, kelakuan kita dalam mengantri sembako, masih mengindikasikan kita sebagai negara berkembang. Dimanapun negara berkembang, selalu urusannya soal perut. Tentu berbeda dengan negara maju, antriannya sering berkisar pada hal sekunder bahkan tersier, semacam antri beli gawai terbaru. 

Dan tingkah laku dari warga negara berkembang saat mengantri itu, masih menjadi sorotan tajam. Tidak cuma Indonesia saja, yang di negara jiran sering diolok-olok. Setiap ada orang yang menyerobot baris antrian, pasti dituduh orang Indonesia. Seakan sudah menjadi mitos. Hal ini sebenarnya kebiasaan yang berlaku umum di negara berkembang. Tidak cuma di Indonesia.

Makanya kita sebagai bangsa yang besar, harus memupus mitos itu. Sehingga tak perlu ada aparat keamanan maupun penjaga, agar antrian berjalan tertib. Alangkah eloknya apabila kita mengantri dengan teratur. Tak perlu dorong-dorongan maupun ribut dengan sebelah. Apalagi nyelonong karena dapat bantuan orang dalam. 

Tentu kesadaran ini harus dipupuk sejak kecil. Melalui keluarga dan sekolah. Jika melalui sekolah, tidakkah perlu dipikirkan memasukkan budaya antri, sebagai sebuah entitas yang bisa menimbulkan bangsa lain yang melihat menjadi berdecak kagum? Jika iya, mestinya kurikulum kita segera mengadopsinya.

Sumber gambar: life.lk

25 Februari, 2022

,

Refleksi Pengajaran dari Buih Jadi Permadani


Di sini saya memposting ulang tulisan saya di tautan ini: http://guruajun.blogspot.com/2022/01/buih-jadi-bahan-refleksi.html. Sebab masih relevan untuk dijadikan bahan refleksi, bagi kita sebagai guru. Sehingga kita tidak menjadi abai, karena kebanggaan mendapat gelar "pahlawan tanda jasa". Dan beginilah isinya, yang saya ambil cuma pada bagian lirik lagunya.

Teriknya mentari siang ini, menyapa tubuhku.
Namun tidak dapat, lelehkan bodohnya, diriku ini.

Terasa terhempasnya, keinginanku ini, dengan sikapku.
Apakah karna aku, banyak kemauan, tanpa ada tindakan?

Oh mungkinkah diri ini, dapat mengubah siswa biasa, jadi berprestasi?
Seperti kata, yang aku ucap, dalam janji rasa.

Juga mustahil bagiku, mengajari para siswa.
Cuma berbekal buku, tanpa sebuah inovasi.
Semua itu, sungguh aku, sangat keliru.

Salah aku juga, karna jadi guru.
Yang tak bermutu, dan tiada profesional.
Seharusnya aku, siapkan ini-itu.
Sebelum mengajari, para siswa, di dalam kelasku.

Kalau ada guru yang membaca lirik cover lagu yang berjudul "Buih Jadi Permadani"  ini, dan bilang, "Aku nggak sebajindul itu kok". Ya gapapa sih. Itu sah-sah saja. 

Sumber gambar: goodreads.com

24 Februari, 2022

, ,

Jangan Paksa Google Jadi "Goeroe" Kita


Kita sebagai guru, semakin hari semakin tergantung pada Google, apa-apa sekethak searching di peramban itu. Seakan "hajat hidup" orang banyak mangkalnya di situ. Bahkan saking parahnya, berani berkata, "Apapun permasalahanmu, tuntas di situ". Ini kan lebay bingit. Dan anehnya juga, pendapat ini ditularkan ke siswa secara sistematik.

Apa kita nggak khawatir, apabila suatu saat murid kita bilang, "Ah pak guru katrok nih. Gitu aja nggak paham". Ini kan celaka? Mau ditaruh dimana harkat dan marwah kita sebagai guru? Mau menasihati, kok faktanya bener. Tak menasihati, kok jelas kurang beretika muridnya. Ini kan dilema.

Semestinya peran kita sebagai guru, punya peran yang setara kamus. Dan layak disematkan sebagai ensiklopedia berjalan. Tapi kita kan sekarang jauh dari kesan itu. Mengapa bisa? Tahu sendiri, berapa gelintir guru yang masih sudi membaca? Ini belum termasuk berpikir dan berkarya. Ini masih teramat langka. Jadi ya wajarlah, kalau pendidikan kita tidak beranjak kemana-mana.

Duduk manis sambil sesekali kesik-kesik, karena negara-negara di sebelah sudah berlari kencang. Dan kita hanya menggerutu dan diam-diam mengumpat. Serta mulai menyalahkan semua hal. Padahal yang salah itu kita, bukan yang lain. Namun karena kita hidup di bawah tempurung kelapa. Kebenaran apapun condong tertolak secara otomatis.

Dan apabila saatnya kita benar-benar digantikan sebuah robot multiguna, mungkin kita baru tersadar dari kemalasan dan kebebalan diri sendiri. Kemudian merutuk, "Kalau begini jadinya, mending tidak melakukannya. Menyesal rasanya."

Sumber gambar: developers.google.com

23 Februari, 2022

, ,

aleepenaku.com, Tempatnya Aneka "Inpo" Maszzzeeeh

Bapak dan ibu guru yang sering ketinggalan informasi, dan suka berkata, "Kok geting aku". Kini bisa leha-leha bin santai-santai. Sebab apapun informasi terkait dengan pendidikan, aleepenaku.com, tempatnya. Ini bukan ngecap lho, atau saya dibayar dengan mahal. Tidak sama sekali. Saya menulisnya dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 

Pagi ini, owner dari situs itu berkomentar di sebuah grup WhatsApp, yang saya gabung di dalamnya. Terkejut dong saya. Karena saya duga  orangnya pasti segolongan manusia yang punya seabrek aktivitas. Selalu ngalor-ngidul setiap hari, ke berbagai tempat. Lebih mengagetkan lagi, ternyata pemiliknya seorang cowok. Saya kira dulunya cewek, sebab ditulis "alee". Bukannya saya seksis lho. Setahu saya, biasanya yang merubah huruf "i" menjadi dobel "e" itu kaum hawa.

Namun terlepas dari hal itu, apapun namanya nggak masalah. Seperti yang diungkap beliaunya di tautan ini: https://www.aleepenaku.com/2022/02/guru-blog-writer.html?m=1. Yang penting tidak melukai SARAJ (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan, dan Jenis Kelamin). Sebab kita tahu saat ini, bangsa kita, khususnya warganet, mudah meradang. Sedikit ada yang nyenggol, langsung ditangani tanpa ampun. Somasi dan klarifikasi sudah menjadi adab kekinian. Makanya harus hati-hati dalam penamaan sebuah situs. Kalau perlu, pakai bubur merah-putih

Dan ternyata pilihan nama "aleepenaku" memang benar-benar mbarokahi. Hampir bisa dipastikan, setiap warta yang terkait dengan pendidikan, tentulah situs tersebut jujugannya. Kita tahu di luar sana banyak blog yang serupa. Mungkin gegara kecepatan update dan isi penyampaiannya yang praktis, membuat situs tersebut mendapat limpahan atensi

Hal ini memang menjadi impian semua blogger, utamanya yang ingin me-monetize blognya. Agar blognya menjadi bercuan-cuan. Tentu itu adalah upaya yang tak mudah. Selain menampilkan materi sebaik mungkin (beserta trik-trik canggih), juga harus ikut ambyur  ke jejaring para blogger yang telah profesional. Tidak cuma main ser sana  ser situ. Beda bila niatnya hanya untuk sekadar nulis, untuk curhat, dan semua hal yang menjauhi fulus. Cukuplah bersikap yang wajar dan tidak neko-neko.

Sumber gambar: aleepenaku.com
,

Public Speaking dan Opening-nya yang "Ga Garing"

Bagi guru-guru yang baru belajar menjadi pemateri atawa narasumber dan termasuk ke dalam kaum mendang-mending, harus memahami dengan betul bagaimana caranya membuka sebuah presentasi. Sebab bagaimanapun juga, awalan akan menentukan segalanya. Apabila sudah terlihat kurang nendang, ke belakangnya kurang begitu diperhatikan. Jika begini ini yang terjadi, tentu respon peserta akan menjadi anyep nyep-nyep.

Makanya mereka ini harus mencari seorang role-model, biar bisa dijiplak habis. Dan tak perlu dihiraukan ketika ada yang berkata  "Ih kamu kayak si onoh, kalau ngomong". Sebab sebagai junior dalam blantika bla-bli-blu-ble-bo, dan belum tahu "kejamnya" rimba raya pembicaraan. Akan terlampau sulit untuk merebut perhatian para peserta, jika tak punya sebuah "pesona". Jadi dengan mengimitasi perilaku seseorang yang sudah terbukti manjur di lapangan, nantinya berdampak pada kemudahan mengelola emosi peserta dan diri pribadi. Sebab sudah ada template, bila begini harus begitu. Dan bila begono harus Bagito.

Soal nanti keterusan bergaya seperti itu bijimana? Tak perlu khawatir, sebab tak ada proses peniruan yang benar-benar murni. Pasti ada bengkok-bengkoknya dikit. Apakah itu bisa menjadi lebih ciamik atau lebih bobrok dari orinya, itu bisa saja terjadi. Tergantung opsi yang ingin dipilih. Namun bila ingin tenar, versi "sakitnya" itulah yang perlu di-gaskeun. Karena selain menghargai sang guru, juga mengakomodasi keinginan banyak orang. Sebab banyak orang cenderung suka yang nyleneh, meskipun secara umum cemen untuk melakukannya sendiri. Lebih suka menginginkan orang lain saja, yang menjadi tumbal.

Lantas bagaimana, jjka halnya tak melihat seseorang yang bisa dijadikan obyek percontohan? Tak perlu risau, galau, kacau, dan sebangsanya. Sebab ada beragam trik yang dapat diaplikasikan. Lebih terang benderangnya, ikuti ulikan berikut ini.

A. Berpantun
Ini sudah terbukti jas jes jos, sebagai pembuka. Apalagi dilanjutkan dengan kelakar tipis-tipis, ini menjadi tambah semangkin daripada. Contohnya bagaimana? 

Abang Raka makan tomat,
makannya campur terasi
Peserta yang terhormat,
yuk simak materi ini

Kemudian disusul dengan bertanya, "Ada yang namanya Raka, eh Pak Raka di sini?" Jika ada yang menjawab, "Iya". Berikan permintaan maaf, "Maaf pak, tadi main selonong aja, nggak pakai izin". Sambil mengatakannya dengan ekspresi senyum merendah. Kemudian berikan kesempatan bertanya duluan, atau langsung memberikan hadiah. Hal ini akan memicu timbulnya simpati peserta yang meluap-luap alias tumpeh-tumpeh. Bagaimana jika tidak ada? Bisa bilang begini, "Untung kagak ada Bang Raka, bisa-bisa dijewer nih kuping". 

B. Pamer
Pamer prestasi oke, pamer kesusahan masa kecil oke, pamer aktivitas seabrek juga oke. Sebab banyak orang itu "menggilai pameran". Karena ketika melihat "pameran" itu hatinya membuncah, dan ingin teriak, "Aku pengen kayak kamu." 

Dengan inginnya yang membara itu, tentu akan menimbulkan pemompaan semangat yang luar biasa. Sehingga walaupun kondisi mata sudah dalam keadaan satu watt, mendadak seterang sokle. Dan bisa ditebak lontaran-lontaran pertanyaan akan berdesingan. Namun perlu diingat porsi pamernya harus secukupnya, jangan kebanyakan, nanti "keasinan". 

C. Penampilan Fisik
Jika pantun tak bisa, mau pamer tak ada yang dapat dipamerkan. Makanya pilihannya jatuh pada penampilan fisik. Bisa tampil dengan wajah yang sangat teramat glowing atau memilih dandanan norak. Bisa memakai pakaian perlente, adat, atau kocak kayak badut. Kemudian tetiba berganti dengan tampilan yang menyesuaikan situasi. Ini saja sudah menimbulkan decak kagum, ckckck. 

Bagaimana jika tak mampu atau mau memilih salah satu dari ketiganya? Cukup berdoa lalu berkata seperti ini secara lirih, "Mantap, mantap, mantap". Kemudian berpresentasi seperti lajunya kereta api.

Selamat mencoba dan rasakan sensasinya!

Catatan: 
Gambar di atas sekadar ilustrasi belaka, sebab acaranya sudah selesai.

22 Februari, 2022

, ,

Menengok wikiHow, Gudangnya "Tutorial"

Apabila bapak dan ibu guru suka mengunjungi situs Wikipedia, alangkah eloknya juga menengok wikiHow. Sebab di sana digelar aneka "cara" membuat atau menyelesaikan sesuatu hal. Berbeda dengan Wikipedia yang bahasanya selalu ndakik-ndakik,  wikiHow lebih ke arah praktis. Dengan disertai gambar (kartun) yang menarik dan sewajarnya, membuat pembacanya lekas paham. Dan langsung bisa menerapkan.

Mungkin ada yang bertanya apakah kedua situs "bersaudara"? Mungkin saja. Meskipun disebutkan bahwa di dalam keluarga besar Wikipedia, tak ada secuil pun nama wikiHow. Begitu pula jika ada yang bertanya kaitannya dengan WikiLeaks, juga setali tiga uang. Walaupun disematkan nama "wiki' di depan masing-masing. 

Terlepas dari hal itu, mari kita kembali ke arah pemanfaatan wikiHow. Apakah situs itu bisa diakses anak-anak? Tentu saja bisa. Namun sebaiknya tetap didampingi orang tua, sebab kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dapat pula tercipta. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil terjadi. Jadi tetap waspadalah.

Lantas bagaimanakah memakai situs tersebut? Cukup cari ikon suryakanta, yang ada di sebelah kanan atas. Atau di tengah agak ke atas, dan di belakangnya terdapat tulisan "Cari cara...". Kemudian ketikkan apa yang diinginkan. Misalnya "Cara Membuat Kue Cucur". Langsung ketikkan saja, tanpa menaruh kata "cara". Bahkan langsung seperti tulisan "kue cucur" pun bisa. Dan segera ditampilkan sejumlah tata cara membuatnya.

Bagaimana? Mudah bukan? Masih bingung? Ragu karena ada kata "tepercaya", yang sebenarnya merupakan kata yang keliru? Kita tahu, yang tepat adalah kata "terpercaya". Tetapi soal ini janganlah diambil hati, karena kita kan juga tahu bahwa di dunia ini tak ada yang sempurna. Meskipun sudah berusaha tampil sesempurna mungkin.

Sumber gambar: id.wikihow.com

, , ,

Mengembalikan Tradisi Kuno di Kalangan Guru


Apa kebiasaan guru-guru tempo doeloe, sehingga menyebabkan mereka hidup sehat sampai lanjut usia? Mungkin dengan melihat kebiasaan tersebut, akan ditemukan rahasia di balik umur panjang mereka. Sebab guru-guru kita hari ini, banyak yang mati muda. Di samping itu juga menghasilkan output yang unggul.

A. Minum Teh
Dekade 90 adalah dekade terakhir guru-guru mendapatkan "layanan" minum teh di tiap meja guru di kelas ataupun di ruang guru. Mengapa guru-guru tersebut mendapatkan layanan itu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sampai detik ini, belum ketemu dalih dan dalilnya. Namun jika dipikir-pikir, ada banyak khasiat di dalam aktivitas minum teh ini. 

Khasiat tersebut antara lain adalah meningkatkan metabolisme. Kandungan yang ada di dalam teh dapat membakar kalori dan mengurangi lemak tubuh. Manfaat berikutnya adalah mencegah peradangan. Peradangan telah dikaitkan dengan segala hal mulai dari diabetes hingga penurunan kognitif. Faktanya, peradangan telah diimplikasikan sebagai akar dari hampir semua penyakit kronis. Sehingga teh berpotensi membantu mengurangi risiko kematian akibat penyakit tertentu (penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker).

Manfaat minum teh selanjutnya yaitu membantu meningkatkan kesehatan otak (mencegah Alzheimer dan penyakit neurodegeneratif lainnya). Di samping itu, teh bisa meningkatkan kesehatan mulut (mengurangi risiko penyakit periodontal, gigi berlubang, dan bahkan mungkin kanker mulut). Juga membantu meningkatkan kesuburan, berkurangnya penyerapan karbohidrat, peningkatan kadar gula darah, dan penurunan berat badan.

Melihat kegunaannya yang luar biasa, mungkin tradisi ini harus dikembalikan lagi keberadaannya. Sehingga guru dapat terjaga raganya dengan baik. Bila fisiknya sehat, tentu akan mengajar dengan senang. Ingat pepatah dari Eropa, "Men sana corpore sano". Di dalam badan yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.

B. Tirakatan
Tirakatan di sini dapat diartikan macam-macam. Dari mencegah diri untuk tidak berkorupsi hingga makan-minum (berpuasa). Mungkin dari semua tindakan pencegahan itu, korupsi adalah hal yang mudah dihindari. Sebab apa yang mau dikorupsi? Kapur? Spidol boardmarker?

Yang menjadi pertanyaan penting di sini, masih adakah guru yang tirakatan? Misalnya puasa? Ada? Saya yakin akan kesulitan ketemu guru seperti itu. Jika masih ada, boleh berkabar ke saya.

Guru dulu berpuasa demi muridnya, berpuasa demi kelancaran tugas mendidiknya adalah hal yang lumrah. Namun sekarang, paling banter hanya mendoakan. Itu pun tidak setiap hari. Kalau sudah begini, iya jangan berharap muridnya pandai-pandai plus beretika. Oleh karena itu, mengapa hal ini tidak dibudayakan lagi? Sebab bagaimanapun juga, kemajuan suatu bangsa melekat di tiap punggung guru.

Sumber: id.lovepik.com dan merdeka.com
, ,

Usia Harapan Hidup Guru yang Semakin Rendah


Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, namun sebuah perenungan. Bahwa hidup manusia di dunia ini penuh misteri. Apa yang disangka dan diperkirakan, belum tentu apa yang didapatkan. Dan di sinilah bukti bahwa Tuhan itu Maha Ada dan Maha Kuasa. Meskipun begitu, manusia tetap diwajibkan berikhtiar Oleh-Nya, bukan sekadar berpangku tangan. Menunggu bintang jatuh di tangan. Sebab manusia yang berusaha dengan tak kenal lelah adalah manusia yang sebenar-benarnya. Dan guru adalah salah satu sosok manusia tersebut.

Kita bisa lihat betapa besar perjuangan guru untuk kita. Beliau-beliaunya berela-rela berangkat pagi-pagi dan seringkali pulang menjelang petang. Demi memastikan kita mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan seringkali terpaksa mengabaikan kebutuhan pribadinya, agar anak didik tetap memperoleh pengajaran sebaik-baiknya.

Namun dibalik keluarbiasaan perjuangan tersebut, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kita lihat di berbagai tempat saat ini, angka harapan hidup guru semakin menipis. Hal ini memang tidaklah berasal dari sebuah data yang sungguh-sungguh valid. Namun hanya berdasarkan pada pengamatan dan berbagai informasi yang berseliweran.

Hampir setiap hari, kabar duka singgah di timeline kita. Guru-guru dalam kisaran usia 40 - 50 tahun, bahkan lebih muda dari itu, meninggalkan dunia fana ini. Penyebabnya dapat bermacam-macam. Tetapi yang terlihat kebanyakan, karena sebuah penyakit. Jika ini di-cross check-kan dengan keadaan guru-guru, khususnya sebelum era reformasi agak berbeda.

Guru-guru senior (kalau boleh dikatakan begitu), terbilang sehat bugar sampai lanjut usia. Hampir-hampir tak ada yang berpenyakit berat. Kekurangan yang biasanya ditemui pada usia tua, semacam pegal linu atau katarak, tak begitu berpengaruh pada mereka. Mereka aman dan nyaman saat "menyantap" makanan yang seharusnya cuma cocok untuk anak muda. Pokoknya tak ada keluhan berarti.

Tentu ini menimbulkan tanda tanya, apa ada yang salah dengan "kehidupan" guru kita saat ini? Padahal guru dulu, serba kekurangan dan jauh dari nutrisi. Berbeda dengan sekarang. Sudah banyak yang dapat menikmati hidup lebih dari layak dan dapat mengkonsumsi makanan yang sarat gizi. Dengan hal itu saja bermakna, bahwa kehidupan guru saat ini lebih baik. Beda betul dengan yang dulu, seorang guru negeri hidupnya banyak yang ngenes. Padahal tidak ada keneko-nekoan dalam hidupnya ini. Intinya hidup dalam serba keingiritan. Namun faktanya, nampak sehat dan bahagia sampai lanjut usia.

Apa yang sebenarnya terjadi? Karena kisaran besarnya mengenai guru yang PNS, jadi soal isu kesejahteraan jelas tak mungkin. Apa gegara beban kerja? Kalau masalah ini, harus diusut tuntas. Sebab tugas guru adalah mengajar. Jika tentang ini tentu persoalannya ringan binti sepele. Tapi bila menyangkut tugas tambahan atau tugas yang mengiringi, seperti administrasi sekolah, harus diselesaikan secara sistemik. Karena urusan itu adalah urusan para penggede. 

Meskipun hal itu urusan mereka, guru-guru juga tetap harus dilibatkan dalam ekosistem kebijakannya. Sebab bagaimanapun juga, guru adalah garda terdepan pendidikan kita. Yang setia mengawal tumbuh-kembang tunas-tunas bangsa.  Sehingga mereka dapat beraktualisasi, seperti apa yang diharapkan. Dan solusi bergizinya tidak boleh ditunda, untuk diketemukan. 

Sumber gambar: smiledeliveryonline.com

21 Februari, 2022

,

Benarkah Hari Ini Kita Semakin Cerdas?


Saya sering mendengar perkataan seperti ini, "Sekarang ini banyak orang pandai, tapi sedikit orang yang mengerti." Namun di lain pihak ada yang berkata, "Anak-anak sekarang ini, sampai kelas dua belas saja, masih ada yang belum bisa perkalian, tidak hafal nama provinsi di Jawa, dan masih banyak lagi. Mereka belajar nggak sih?"

Mendengar kedua perkataan tadi, saya jadi bingung, yang benar yang mana? Sebab keduanya bertolak belakang. Kalau memang benar pandai, tentu pelajaran yang ada di sekolah dapat terserap dong. Minimal yang paling dasar. La ini tidak. Jadi yang mengatakan perkataan pertama, itu jelas salah kan? 

Terus soal mengerti itu datangnya darimana? Dari pandai bukan? Jika tidak pandai, mana mungkin bisa mengerti? Ataukah dibalik, bagaimana mungkin pandai, kalau tidak mengerti? Hayo yang mana duluan?

Semua hal ada parameternya. Termasuk tentang kecerdasan. Kita bertahun-tahun termasuk di urutan bawah PISA (Programme for International Student Assessment) atau Program Penilaian Pelajar Internasional. Dari sini saja sudah jelas, bangsa kita saat ini belum termasuk bangsa yang pintar.

Mau data apa lagi? Apabila kita melihat hasil Sakernas (Survey Angkatan Kerja Nasional) pada tahun 2021, jumlah sarjana kita 8,31% dari jumlah penduduk keseluruhan. Dan mayoritas penduduk kita adalah berpendidikan setara sekolah dasar.

Dari situ saja, sudah terpampang nyata bahwa orang-orang Indonesia sekarang ini masih jauh dari kata cerdas, pandai, pintar, cerdik, atau apapun namanya. Karena kalau memang cerdas, ada buktinya dong. Mana? Sebab jika sudah, pasti kita sudah menjadi bangsa yang maju.

Sumber gambar: towardsdatascience.com

19 Februari, 2022

, ,

Jika Robot Punya Karakter, Bisakah Menjadi Guru Kita?


Jika Anda mau searching dengan kata kunci "robot menjadi guru", maka kemungkinan bertemu sebuah warta tentang pemakaian robot sebagai pengganti guru manusia di kedua Korea. Korea Selatan yang kita ketahui sebagai negara yang bebas dan terbuka, telah menerapkan pemakaian robot sebagai guru di tingkat TK dan SD, sejak 2010. Dengan alasan efisiensi anggaran. Sebab guru manusia sebagian harus "diimpor" dari luar. Sehingga pembiayaan di sektor pendidikan meninggi. Dan ini bisa diatasi, dengan menggantikan tenaga manusia dengan robot.

Tak jauh beda dengan Korea Selatan, Korea Utara meski terlihat sebagai negara tertutup dan jauh mutu pendidikannya dengan saudaranya itu, juga mulai ikut-ikutan. Demi mereformasi pendidikan di sana, menggelontorkan sejumlah dana untuk penggantian guru manusia dengan robot. Di jenjang pendidikan yang sama. Baru-baru ini, di tahun lalu, 2021. 

Itu baru terjadi di dua negara. Belum negara lainnya, khususnya yang sudah lebih maju dibandingkan kedua negara tadi. Mungkin bisa dipastikan sudah menerapkan hal serupa. Dan hal ini tentu dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Akankah kita kelak sebagai guru "dieliminasi" keberadaannya?

Walaupun dalam waktu dekat, kemungkinan itu musykil terlaksana. Karena kecerdasan buatan pada robot saat ini baru tahapan untuk menyamai atau menstimulasi kecerdasan manusia. Belum sampailah pada tahapan keterampilan sosial dan emosional. Bagaimana jika sepuluh atau dua puluhan tahun lagi, hal itu tercapai? 

Guru-guru kita nanti dikemanakan? Sebab pemerintah berencana ke depannya, peran ASN sebagian besar akan disandang oleh "mesin", termasuk robot di dalamnya. Kita lihat jumlah guru kita yang negeri (belum termasuk honorer, dan swasta) masih begitu besar jumlahnya. Jika mereka dianggap tidak lagi efektif serta efisien dalam bekerja, bisa jadi kemungkinan terburuknya akan dirumahkan. Atau dialihdayakan ke sektor lain. 

Mungkin renungan di atas, sekarang ini masih dianggap mengada-ada dan ngelantur. Namun bagaimana halnya jika itu menjadi terwujud, sudah siapkah kita? Ataukah kita masih berlindung kepada pesona para pakar yang berkata, "Kekurangan robot saat ini adalah tidak mampu mengajarkan karakter yang berbudi luhur"? Padahal kita sampai hari ini saja, masih susah mengajarkan etika pada siswa. Dan terus terang kita sebagai guru belum juga punya watak seperti yang diamanatkan perundangan. Lantas masih layakkah kita ... ...?

Sumber gambar: newsroom.cisco.com

18 Februari, 2022

, ,

Sekolah Harus Berani "Berganti Kulit"


Keluhan klasik yang terjadi setiap tahun di hampir semua sekolah adalah kekurangan murid. Dan banyak cara dilakukan untuk mengatasinya. Dari sekian itu ada sebuah cara yang seragam, yaitu membuat brosur dan pasang banner segede Gaban, di area atau gerbang sekolah. Yang agak melek internet, di-posting di media sosial. 

Apakah cara itu benar-benar efektif? Sebab banyak sekolah yang tidak menerapkan cara serupa, namun laris manis. Dan semua bangkunya terisi, bahkan sampai menolak-nolak calon siswanya. 

Apakah metode spanduk ini sudah seperti macam ompong? Bisa jadi. Sebab metode tersebut itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah murid. Meskipun di situ dipampang raihan medali dan piala. Juga beragam aktivitas, baik intra maupun ekstra. 

Jika memang demikian, apa yang harus dilakukan oleh sekolah, di samping mengandalkan metode itu? Yaitu melakukan pengamatan dan survey kebutuhan orang tua. Karena bisa jadi wali murid menginginkan sekolah yang tidak membebani siswanya dengan kegiatan padat, dari pagi sampai sore. Selain itu, menguntungkan secara finansial (biasanya ini terjadi di sekolah yang berada di lingkungan berpendapatan rendah). 

Dengan melihat hasil dari pengamatan dan survey tadi, akan menghasilkan pendekatan yang sesuai. Walaupun ini juga tidak menjamin seratus persen. Namun ini dapat menjadi lebih efektif daripada sekadar sebar-tempel brosur. Terlepas brosurnya menjanjikan iming-iming yang menggiurkan sukma.

Apakah ada cara lain? Tentu ada, dan banyak. Misalnya melakukan metode lomba. Orang selalu membayangkan budget-nya besar. Padahal tidak selalu, dan bisa mencari sponsor atau urunan dari orang tua wali murid. 

Selain itu bisa menggunakan metode bina lingkungan. Metode ini lebih cocok dilaksanakan di lingkungan sekitar sekolah. Metode ini mengacu pada pendekatan saat kegiatan atau hajat pribadi dan lingkungan. Contohnya pernikahan, khitanan, agustusan, qurban, dan lain-lain. Di sini sekolah dapat menurunkan guru-gurunya (dapat pula dengan murid) menjadi bagian dari semacam event organizer dari kegiatan warga itu. 

Metode lain adalah metode buzzer. Metode ini memanfaatkan kemampuan pihak lain untuk mewacanakan kehebatan dari sekolah. Pihak lain itu bisa dari walmur, murid, guru, atau orang yang dibayar, untuk terus menerus "memberondong" ruang udara pergaulan dengan statemen yang luar biasa dari sekolah tersebut. 

Bagaimana? Mau mencoba? Atau punya metode lain yang lebih cocok-terap? Sebenarnya metode apapun bisa diterapkan, asalkan sekolahnya punya nyali dan melepaskan diri dari ikatan "andaikan". Karena hanya sekolah yang "mencintai" perubahan, yang akan adaptif sepanjang masa. Bukan soal dia disokong negara atau swasta.

Sumber gambar: cartoonstock.com
, ,

Dark Jokes ala Siswa


Di hari Jum'at yang cerah, di sebuah taman-taman kanak-kanak, seorang ibu guru meminta seorang anak didik menyanyikan sebuah lagu. 

"Nina, ayo nyanyikan lagu kesukaanmu," pinta bu guru. Dan Nina berdiri lalu menyanyikan lagu kesukaannya, "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."

Setelah mengulangi dua kali lirik di atas, Nina pun duduk di kursinya lagi. Kemudian bu guru meminta anak-anak bertepuk tangan. Setelah anak-anak bertepuk tangan, bu guru berkata, "Andi, sekarang giliran kamu menyanyikan lagu kesukaannmu." 

Andi lalu menjawab, "Bu, aku tidak punya lagu kesukaan." 

Lalu bu guru membalas begini, "Ya sudah kamu bisa menyanyilan lagu yang dinyanyikan Nina."

Kemudian Andi menyanyikan lagu "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok bukanlah Nina."

Mendengar liriknya seperti itu, teman-temannya tertawa sambil bertepuk tangan. Dan bu guru pun menjadi bertanya, "Liriknya kok jadi gitu?"

Andi menjawab dengan santainya, "Kan aku bukan Nina. Aku kan Andi." 

Mendengar ini, bu guru menjadi diam terpaku

Beberapa bulan kemudian, Nina dan Andi sudah berada di sekolah dasar, di ruang kelas yang sama. Kini Andi mendapatkan giliran pertama menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima." 

"Balonku ada lima, meletus semunya. Dor, habis."

Mendengar seperti ini, teman-temannya tertawa termasuk juga Nina. Bu guru buru-buru bertanya, "Mengapa jadi gitu lagunya?"

Andi menjawab, "Iya gapapa, kan bu. Nanti bisa beli lagi balonnya".

Bu guru lalu menasihatinya, "Kalau begitu terus uangnya habis dong. Mending uangnya ditabung ya nak. Karena itu, jika sudah ada yang meletus, yang lain dijaga biar tidak meletus."

"Nggak ah bu. Kan orang tuaku kaya", ujar Andi.

Bu guru lalu menimpali jawaban Andi, "Gini Andi, kita sejak kecil harus belajar hemat."

Andi pun menyergah, "Kalau hemat, mengapa harus beli lima? Hayo?"

Bu gurunya menjadi diam "terpalu".

Sumber gambar: youtube.com

17 Februari, 2022

, , , ,

Guru dan Kegemaran "Berdiskusi" Tanpa Solusi

Pada suatu minggu di sebuah ruang guru, terjadilah diskusi non formal tentang berbagai hal yang terjadi di sekolah.

Senin
Setelah upacara bendera selesai, guru-guru mengobrol tentang perilaku siswa yang tidak tertib. Mulai dari tidak memakai atribut yang tidak lengkap sampai datang terlambat (padahal rumah dekat). Ketika ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau bangun kesiangan. 

Pembicaraan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Soalnya mendisiplinkan lewat jalur disetrap atau membiarkan di luar pagar, kok seakan melukai hati mereka. Mereka berpikir lembaga pendidikan berlabel "Sekolah Ramah Anak", tak mungkin melakukan hal itu. Dan pembicaraan itu berakhir #krikkrikkrik.

Selasa
Di hari selanjutnya terjadi dialog tentang sikap siswa yang suka tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau kalau mengerjakan asal jawab saja, padahal tinggal cari di buku. Kalau ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau langsung dijawab tanpa melihat buku. 

Mau mendisplinkan dengan menyuruh mereka untuk menulis seratus kalimat berisi "Aku akan mengerjakan PR dengan baik". Kok pernah diprotes wali murid dengan ungkapan, "Hukumannya nggak kreatif, seperti itu melulu". Dan dialognya lagi-lagi berakhir dengan  #krikkrikkrik.

Rabu
Di hari ini mengeluhkan beberapa anak yang suka tidak membawa peralatan menulis. Kerjaannya hanya pinjam dari temannya. Saat ditanya jawabnya ya sama terus. Kalau tidak lupa ya barangnya sudah habis. Dinasihati agar selalu mengecek peralatan tulisnya setiap mau berangkat sekolah, juga tak pernah dijalankan. Bila dibilang ya beli, katanya belum punya uang, padahal jajannya kayak orang habis kondangan. Dan keluhan itu juga berakhir #krikkrikkrik.

Kamis
Di hari keempat, ada yang ingin siswanya berprestasi. Semua ber-bla-bla mengeluarkan pendapatnya. Ya harus inilah, ya haruslah itulah. Namun ujung-ujungnya mentok soal dana. Dan sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari perbincangan itu, cuma menghasilkan #krikkrikkrik.

Jumat
Guru-guru berkumpul seperti biasa dan berkata, bahwa anak-anak sekarang tidak punya etika. Dan membandingkan sikap mereka yang santun pada guru, di masa saat mereka masih bersekolah. Pokoknya siswa-siswi saat ini, dianggap kurang bermoral. Tidak lagi mau menghormati guru. 

Mereka memandang ini salahnya kurikulum, salahnya lingkungan, salahnya pemerintah, dan salahnya orang tua sendiri. Tidak ingat, bahwa mereka punya peran juga. Dan obrolan ini pun berakhir #krikkrikkrik.

Sabtu
Di akhir pekan, guru-guru kehabisan bahan diskusi. Karena itu mengobrol ngalor-ngidul. Setelah capek, mereka pun memutuskan pulang. Baru kali ini, ada keputusan dan hasilnya muncul dengan "bijaksana". Tidak seperti biasanya, selalu berakhir dengan #krikkrikkrik.

Begitu di minggu depannya, pembicaraan itu berlangsung terus menerus. Hanya bergeser saja topik pembicaraan setiap harinya. Apakah mereka tidak bosan melakukan hal itu? Terkadang iya, tapi mau bagaimana lagi. Mereka merasa tidak punya kemampuan untuk merubah. 

Sumber gambar: cleanpng.com



 

16 Februari, 2022

,

Kebetulan Ini Kisah Kepsek Imajiner

Kata orang, termasuk mungkin guru-guru saya, posisi saya enak betul. Tinggal perintah ini, tinggal perintah itu. Dan harus dilaksanakan dengan betul. Pendapat ini tidaklah betul seratus persen. Tukang nyuruh-nyuruh, itu cuma kelihatannya. Yang betul adalah apa yang saya perintahkan berdasar pada kajian saya. Kajian ini merupakan hasil penjabaran dari kebijakan yang di atas. Saya harus mampu melihat betul, mana yang disegerakan, mana yang dikerjakan bertahap. Jadi tidak sekadar main perintah, betul-betul ada dasar hukumnya. 

Oleh karena itu, jangan menganggap saya serba betul. Lebih tepatnya malah serba salah. Sebab saya juga paham sepaham-pahamnya. Kan pernah jadi guru "yang betulan". Jadi tahu betul akan kepahitannya. Makanya saya bukanlah kacang yang lupa kulitnya. Tapi ya itu tadi, saya punya atasan yang juga wajib didengar segala arahannya. Mau tidak mau, ya harus sendika dawuh. Siap terus, pantang bersurut. Itu pula yang saya minta ke rekan-rekan guru saya. Berarti tindakan saya  betul kan?

Coba dimana letak tidak betulnya? Tak mungkin ketemu. Hanya jiwa-jiwa pemalas yang mencoba menolak hal yang betul tadi. Bagi yang taat aturan, pasti patuh dan bersemangat melaksanakan. Bukan mencari-cari dalih pembenar dari perilaku yang tidak betul. Meskipun begitu, saya tetap paham. Tiap oramg pasti punya pemikiran dan keinginan berbeda-beda dalam meninjau suatu hal. Walaupun terkadang tinjauannya lebih cenderung ke ego pribadi. Tidak mau mempertimbangkan konsekuensi logis dari tingkah lakunya. Maunya yang enak-enak betul. Kalau sudah begini, apa saya tidak boleh sedikit keras? 

Pasti mereka yang mengira sikap saya ini kurang betul, pada akhirnya membetulkan juga ketika mereka sudah seperti saya. Jadi pimpinan. Kenapa saya bisa tahu? Sebab dulunya, saya juga begitu. Suka menyalah-nyalahkan atasan. Pendeknya hampir semua perilaku beliaunya tidak ada yang betul. Berarti karma dong? Mungkin betul pendapat ini.

Sumber gambar: dribbble.com

15 Februari, 2022

,

No Administration is My Dream Maszzzeeeh

Ini adalah sebuah kisah di negeri Antah Berantah. Kisah dari seorang bugucan (ibu guru cantik) yang bernama Kirain. Kisah tersebut berasal dari isi benak beliaunya. Dan beginilah kisahnya.

Orang-orang di atas itu gimana tho pikirannya? Saya kok ndak mudeng. Bikin kebijakan itu lho kok suka yang menyengserasakan guru. Mbokyao sekali-kali berpihak pada guru. Hidup kami itu sudah kembang kempis. Bisa dibilang kami ini mengidap tekanan dana rendah. Dan obatnya sebenarnya mudah. Naikkan gaji dan tunjangan. 

Jangan berkata tunjangan itu sudah cukup besar buat kami. Sebab besar apanya? Wong buat nambal cicilan kami tidak cukup. Sudah gitu, turunnya suka tersendat-sendat. Plus harus fotokopi yang ini dan yang ono. Itu belum termasuk dengan meterai. Ini ngasihnya ikhlas nggak sih? Sederhana ngapa?

Situ sih enak, kerjanya cuma tiduran. Dapat dana kenakalan, eh kenyantaian pula. Kalau melek mainnya Zuma dan hanya iya-iya aja bila menyangkut urusan yang tidak menyenggol periuknya. Coba saja turun ke bawah, ikutan ngajar. Nggak usah lama-lama, cukup satu-dua minggu. Pasti teriak sambat, dan nanti nangesKarena itu biarkan kami yang menyangga beban berat itu. Kalian nggak mungkin kuat. 

Di samping itu, dan ini yang penting. Soalnya tunjangan bukanlah hal yang terpenting. Apa kami ini tipe orang yang mata duitan? Kalau memang mata duitan, pasti ya nggak jadi guru. Mending olsop-olsopan, lebih bercuan. Yang kami minta cuma pengurangan bahkan penghilangan administrasi. Sebab kami bukan makhluk multitasking. Atau amoeba, yang bisa membelah diri. 

Jangan menganggap kerjaan kami hanya modal mulut. Please, stop. Itu pelecehan besar bagi kami. Ingat maju dan mundurnya bangsa ada di pundak guru. Makanya jangan sekate-kate. Apalagi bilang, "La wong tinggal copas atau ngeprint". Kedua hal tadi juga butuh keringat, tau.

Demikianlah kisah dari Bu Kirain. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, itu hanya sekadar kebetulan yang tidak disengaja.

Sumber gambar: pngtree.com

14 Februari, 2022

, ,

Mandi dan Cebok Pun Diurusi Guru

Jangan mengira, urusan guru cuma ngajari cara menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima" hingga Trigonometri. Lebih daripada itu. Bahkan jika pernah mengampu di kelas bawah atau rendah (istilah yang diperkenalkan Kurikulum 2013 untuk menyebut kelas 1-3), maka akan lebih luas. Jadi call-center, penitipan anak sementara, sampai urusan yang seharusnya hak seratus persen ortu. Seperti cebok dan mandi.

Kok sampai urusan cebok dan mandi segala? Betul urusan domestik seperti ini terkadang, guru punya peran yang besar. Siapa bilang, anak yang sudah memasuki usia sekolah terus punya kecakapan "mengeluarkan hajat hidup pribadi"? Banyak terjadi di lapangan, meskipun tidak terjadi tiap tahun, anak tidak berani buang hajat di kamar mandi lalu nggembol di celananya. Atau yang lebih baik sedikit daripada ini, yaitu minta dicebokin

Ini mengandung dilema lho. Tidak menjamin bu gurunya yang notabenenya perempuan, terkadang jijik jika harus menceboki siswinya. Padahal dia juga mempunyai seorang putri. Kalau minta tolongnya, ke rekan guru perempuan sih nggak masalah. Tapi bila ke rekan guru yang lelaki, bahkan penjaga sekolah yang laki-laki, ini kan jelas kurang etis. Dan malah lebih sadis,  minta anak itu pulang tanpa diantar, dengan membawa "buah yang tidak diinginkan itu". 

Mau menyalahkan kelakuan tercela ini, murni karena ketidakempatian guru belaka, kok kebangetan. Sebab guru juga manusia. Ada juga rasa yang terkadang terlihat kurang baik. Namun bila diselidiki lebih dalam, bisa jadi karena kekhawatiran. Tahu sendiri kan jaman sekarang, perbuatan menceboki bisa dianggap perbuatan yang melanggar privacy dan susila? Jika begini halnya, perbuatan guru tersebut tidaklah salah seratus persen. Dan mungkin nanti, bila ada kelas parenting, bolehlah materi tentang potty training alias toilet training ini juga disisipkan.
,

Murid Taat, Mungkinkah "Diciptakan"?

Mempunyai murid yang taat di era sekarang ini, merupakan idaman semua guru. Bagaimana tidak melihat polah tingkah dari siswa-siswi sekarang ini, yang menunjukkan perilaku kepatuhan itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Butuh effort yang tinggi dan hasil nihil adalah sebuah keniscayaan. Mengapa bisa demikian? Apa ada yang salah dengan sistem pengajaran kita saat ini? Bukankah dari dulu sudah digembar-gemborkan tentang pentingnya etika?

Darimana untuk memulai penyelesaiannya, karena hal ini bagaikan mengurai benang kusut? Jika dimulai dari siswanya itu sendiri, apa pendekatan yang digunakan? Kelemahlembutan seratus persen? Apabila ini digunakan, tahu sendiri kan perilaku siswa-siswi kita, pasti ngelamak? Mereka malah menjadi besar kepala, dan tingkah buruknya semakin menjadi-jadi.

Dimulai dari guru, bagaimana caranya? Pendisiplinan ala finger print? Kita di lihat di lapangan, apakah manjur? Sebab faktanya instruktur di bidang perlistrikan kita belum baik. Jangankan di luar Jawa, di Jawa sendiripun, byar-pet masih fenomena lumrah. Ini belum menginjak soal internet, yang juga sebelas-dua belas dengan yang listrik tadi. 

Dari sekolah? Apakah memang personil di sekolah sudah mencukupi, khususnya di sekolah dasar negeri? Sudah mulai banyak guru yang rangkapan dua kelas, bahkan lebih untuk mengajar. Itu pun yang guru negeri juga terbilang sudah mulai "punah" keberadaannya. Bagaimana bisa minta mereka berdisiplin, bila untuk hidup saja kekurangan? Harus pontang-panting setiap hari, agar asap dapur mengebul.

Harapan terakhir tentu datangnya dari pemerintah. Tetapi apakah mungkin? Pendekatan kebijakan kita selama ini, masih top-down, belum sejajar antara semua stake-holder. Pemerintah "masih merasa" tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk duduk bersama, mengajak semua elemen terkait, termasuk masyarakat. 

Akhirnya idaman mempunyai murid yang taat masih jauh panggang daripada api. Masih hanya di dalam angan, utopis. Kerinduan yang musykil terobati, jika semua yang ada tidak memulai sebuah kesadaran baru akan pentingnya hal itu. Dan lebih suka menyerah kepada kenyataan. Serta berteman dengan keluhkesahan.

Sumber gambar: istock.com

13 Februari, 2022

, ,

Student-Centered, Apakah Masih Layak Digunakan?


Sudah lama Guru Muda (Gurmud) tak menyambangi Mbah Guru (Mbahru). Oleh karena itu, sore ini meski ada rintik hujan tetap berkunjung ke rumah beliaunya. Dan langsung ditohok dengan pertanyaan.

Mbahru: 
"Ada apa gerangan kemari?"

Gurmud: 
"Pertanyaannya simbah ini lho, kok seakan nggak kenal saya."

Mbahru: 
"Ooo... keliru ya? He he he."

Gurmud: 
"Ya nggak juga sih. Cuma rasanya gimana gitu lho?"

Mbahru: 
"Ngomong aja, nggak sah belibet. Nanti pasti tanyanya juga gitu."

Gurmud: 
"Iya sih mbah, kira-kira begitu. Maaf."

Mbahru: 
"Nggak usah minta maaf. Kan kebiasaannya gitu. Udah cuss werr, apa yang mau ditanyakan?"

Gurmud: 
"Gini mbah, saya mau tanya soal Student Centered. Tentang pengertiannya maksud saya."

Mbahru: 
"Kalau males cari di buku, bisa searching di Google tho?"

Gurmud: 
"Nggak marem, kalau nggak tanya simbah."

Mbahru: 
"Halah, alesan saja. Student Centered kan sudah jelas ketebak dari namanya."

Gurmud: 
"Ketebak gimana?"

Mbahru: 
"Hadeuh. Student kan murid. Centered berarti berpusat. Jadi Student Centered ini adalah pembelajaran yang mendudukkan murid sebagai aktor utama dalam prosesnya."

Gurmud: 
"Masak sih mbah? Bukankah pada kenyataannya gurulah yang menjadi aktor utamanya?"

Mbahru: 
"Jangan bicara soal kenyataannya. Yang mbah bilang tadi adalah tentang pengertiannya. Seperti yang kau minta."

Gurmud: 
"Oke, oke."

Mbahru: 
"Mau tanya apa lagi?"

Gurmud: 
"Ya masih seputar itu. Sekarang mau tanya, apakah memang pembelajaran berpusat pada murid ini, hanya terjadi di Kurikulum 2013 dan Prototipe 2022?"

Mbahru: 
"Kalau lihat sejarah pendidikan kita, sebenarnya pembelajaran itu sudah ada. Contohnya di Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Dari namanya saja sudah tertera, gaya pembelajaran itu mau diterapkan dengan gagahnya."

Gurmud: 
"Berarti klam itu salah ya mbah?"

Mbahru: 
"Situ mau njebak simbah ya?"

Gurmud: 
"Hanya minta penegasan saja."

Mbahru: 
"Jelas klaim yang tidak melihat fakta atau buta sejarah."

Gurmud: 
"Apakah pada waktu CBSA itu diterapkan, ada keberhasilan?"

Mbahru: 
"Tentu setiap kurikulum punya keunggulan dan kekurangan yang tak bisa disembunyikan. Dan semakin kentara, ketika kurikulum itu tidak dipergunakan lagi."

Gurmud: 
"Kalau boleh tahu gimana sih mbah ceritanya?"

Mbahru: 
"Mbah cuma ingat sedikit-sedikit. Waktu itu, terjadi pergolakan luar biasa. Banyak praktisi pendidikan yang menolak pelaksanaannya. Mereka memandang, kurikulum itu memberikan cek kosong pada anak-anak. Hanya anak yang pandai saja  yang memanfaatkan peluang itu, sebaik-baiknya. Sehingga mereka memplesetkan kurikulum ini menjadi Cah Bodo Saya Akeh (Anak Bodoh Tambah Banyak)."

Gurmud: 
"Ngeri kali mbah plesetannya."

Mbahru: 
"Karena desakan dari banyak pihak, kurikulum itu diturunkan dari panggung. Dan diganti dengan yang baru. Bertahun-tahun kemudian, kurikulum itu diacungi jempol. Karena membuat anak menguasai berbagai pengetahuan secara terperinci, dan mampu melekat di otak sampai akhir hayat. Jauhkan dengan kurikulum sekarang, baru sehari bisa, besok sudah lenyap tak berbekas?"

Gurmud: 
"Ooo... gitu ya mbah? Boleh tanya lagi?"

Mbahru: 
"Tonya-tanya? Perutnya juga dipikir no maszzzeeeh?"

Gurmud: 
"Ini mbah sampai lupa, martabak kesukaannya."

Mbahru: 
"Sudah dingin. Mirip dengan yang kita bicarakan."

Sumber gambar: dreamstime.com
, , ,

Sudah Seasyik Apakah Kita dalam Mengajar?

Berikut ini ada dua orang guru. Sebut saja, yang pertama bernama Bu Dina. Sedangkan yang kedua, bernama Bu Dini. Bu Dina dan Bu Dini adalah guru Matematika. Mereka sama-sama mendapatkan tiga rombel, di sekolah yang berbeda. Dan beginilah keseharian cara mengajar mereka.

A. Bu Dina

Di awal hari, beliau mendapatkan jam pertama di Kelas A. Materi pelajarannya adalah bangun ruang balok. Dan beliaunya membawa dua jenis alat pengukur, yaitu penggaris dan meteran. Setelah mengucapkan salam, beliau meminta murid-murid untuk membuat kelompok dan memberi tiap kelompok itu berupa penggaris atau meteran. Beliau meminta murid-murid mencari benda serupa dengan gambar di papan tulis, kemudian mengukurnya.

Di jam berikutnya, Bu Dina berpindah ke Kelas B. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya pada siswa, apakah bahan-bahan untuk membuat bangun ruang balok sudah disiapkan. Selanjutnya beliau memberikan petunjuk dan contoh cara membuat bangun ruang balok dari berbagai bahan yang dibawa siswa.

Saat anak-anak di Kelas B sedang membuat bangun ruang balok itu, Bu Dina berkata akan ke ruang Kelas C sebentar. Sesudah itu beliaunya memasuki Kelas C, memberi salam, lalu menjelaskan keperluannya pada guru yang ada di kelas tersebut. Lalu Bu Dina mengatakan pada anak-anak Kelas C, nanti saat istirahat, mengamati benda-benda yang berbentuk seperti bangun ruang balok. Sesudah istirahat, beliau meminta anak-anak itu menjelaskan pengamatannya secara lisan.

B. Bu Dini

Bu Dini, juga mendapat jatah jam yang sama. Dan berurutan pula ruang kelasnya seperti Bu Dina. Bu Dini, dari ruang Kelas A sampai B, cara mengajarnya sama. Beliau pertama-tama menerangkan apa itu ruang balok. Kemudian melanjutkan tentang rumus yang menyertainya. Setelah itu memberikan soal, dan meminta anak-anak menjawab soal seperti contoh yang ada di buku.

Kedua kegiatan mereka direkam. Dan di hari yang berbeda, keduanya di ruangan berbeda mendapat pertanyaan semacam ini.
1. Apakah cara mengajarnya seperti itu setiap hari?
2. Mengapa memilih cara mengajar seperti itu?

Bu Dina menjawab seperti ini.
1. Iya.
2. Sebab setiap kelas mempunyai karakteristik kelas berbeda. Hal ini saya ketahui, setelah saya melakukan tes psikologi (sederhana), pengamatan, dan bertanya pada rekan sesama guru. Makanya saya memberikan pendekatan yang berbeda di tiap kelas. Selain itu, saya lebih mengutamakan aspek psikomotorik. Sebab anak-anak jaman sekarang, lebih suka praktik daripada teori. Jika kebanyakan teori, mereka cepat bosan. Sehingga pelajaran tidak masuk ke diri mereka. Akhirnya pekerjaan mereka tidak cepat selesai, dan cenderung kelas menjadi ramai atau senyap (bila terlihat galak). Sedangkan untuk pemakaian teknologi, juga saya gunakan. Namun tetap sebatas alat bantu penambah, bukan yang utama. Menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah. Tentu berbeda, jika saya mengajar di tempat yang mengutamakan teknologi tinggi.

Sedangkan jawaban Bu Dini seperti ini.
1. Iya.
2. Sebab dengan cara seperti itu. anak-anak mudah memahami. Terkadang, saya juga memakai peraga fisik atau menampilkan gambar dan animasi lewat proyektor. Khususnya, jika mereka belum benar-benar memahami.

Dari kedua cara mengajar tersebut, mana yang menjadi keseharian kita? Apakah cara mengajarnya itu membuat siswa lebih paham? Apakah cara mengajar tersebut juga ditularkan ke guru lain (jika memang merasa itu berbeda), atau dipendam, atau kalau ada kesempatan diikutkan lomba (bila dianggap itu penemuan baru)? 

Sumber gambar: lovepik.com

12 Februari, 2022

, , ,

Guru Hebat Itu, Kayak Apa Sih?

Apa yang selalu berada di atas angka satu di podium kejuaraan? Apa yang muridnya bisa bersalaman dengan bapak presiden, sambil senyam-senyum, dengan berkalungkan medali emas? Ataukah sekolahnya tiap tahun bertengger di top puncak sekolah tingkat nasional? Kalau itu yang menjadi kriteria, pasti banyak guru yang mundur alon-alon. Bahkan mungkin berlari menjauh. Sambil meratapi nasibnya yang jauh dari hal itu.

Apa guru hebat yang dimaksud, bukan itu? Tapi guru yang mampu melakukan perubahan. Tidak saja bagi dirinya, juga siswa dan institusi pendidikan dimana dia bernaung. Persoalannya berapa orang guru yang mampu seperti itu? Satu, dua, sebelas, seratus, seribu, sejuta? Saya kira, kalau ada sejuta tak mungkinlah. Sebab jika sudah sampai bilangan sejuta, kecepatan kemajuan pendidikan di Indonesia pasti akan melebihi kecepatan cahaya.

Apa yang hobi bikin buku keroyokan (antologi)? Suka ngeyoutube, ngetiktok, nginstagram, atau ngefacebook? Jika ini yang masuk klasifikasi, semua guru pasti bisa. Namun persoalannya, guru-guru yang masuk ke dunia itu, tentunya punya waktu. Atau bisa menyempat-nyempatkan waktu. Bagaimana jika tak punya waktu, sebab dikejar cicilan kredit dan deadline kerjaan yang datangnya seperti jailangkung?

Apa guru yang selalu berusaha "memantaskan diri" sebagai guru? Dengan tiap hari, berangkat lebih pagi. Administrasi dijalankan dengan tertib. Anak-anak di sekolah dibimbingnya agar selalu mengutamakan adab dan etika. Juga tak lelah mencari informasi dan inovasi untuk mengembangkan potensi diri, pelajar, dan lembaga pendidikannya.

Saya kira hanya guru yang terus menerus "memantasksn diri" sebagai guru adalah sebenar-benarnya "guru hebat". Meskipun dirinya tak pandai-pandai amat. Ikut lomba tak pernah. Muridnya juga bukan tipikal langganan juara. Namun punya semangat untuk maju, maju, dan maju.

Sumber gambar: graphicmama.com
, ,

Minta Sumbangan Jempol dan Subscribe-nya Dong Kakak

"Nggak sekalian comment-nya?" Mungkin begitu sebagian dari kita merespon kiriman pesan lewat jalur pesan pribadi. Dan apakah balasan ini salah? Tentu tidak dong. Sama juga tidak bersalahnya, bila yang dikirimi itu mendiamkan saja. Soalnya bisa jadi bingung, bagaimana menjawabnya. Mau bilang nggak mau, kok kelihatannya pelit kuota. Mau meluncur ke yang diminta, kok ya rasanya bukan sesuatu yang dibutuhkan. Dilematis bukan?

Kalau masih terbilang teman sih nggak masalah, meluncur ke tempat itu. Terlepas dari soal enak nggak enak sama teman. Tapi ini bukan teman lho, menurut arti sebenarnya. Hanya kebetulan, sama-sama member di suatu grup. Tak pernah bertegur sapa di dunia maya maupun nyata, eh tiba-tiba nge-DM. Minta dibegituin. Berkali-kali pula. Dongkol bukan?

Mbokyao ada basa-basinya dikit sebelumnya. Chit-chat ngalor ngidul-lah sekali-kali. Biar kalau sedang butuh, nggak ketahuan minta tolong. Ya bisa disebut teknik ini adalah masuk kategori "hidden agenda". Namun ya tak apalah, daripada main nyelonong bukan?

Hidup kan seperti itu. Apa yang dilihat, belum tentu hal sebenarnya. Bisa jadi, itu hal yang manipulatif, atau dirancang dengan teramat apik serta canggih di dalamnya. Who knows? Sehingga persepsi penilaian kerapkali tertipu oleh penampilan yang nampak. Dan itu dapat menimpa siapa saja. Tak memandang usia, gender, tingkat pendidikan, maupun ras. Bukan begitu?

Sumber gambar: freepik.com
,

Lingkaran Setan, Siapa yang Membuatnya?

Mengapa persoalan buruk yang menimpa kita, ogah-ogahan untuk pergi? Mungkin jawabnya adalah, karena kita tak mau bersungguh-sungguh mencari siapa yang bersalah. Kita kadang-kadang lebih suka menyalahkan semuanya. Di lain waktu, menyalahkan pihak lain. Namun sekejap pula, ingin tampil sebagai pahlawan, menyalah-nyalahkan diri sendiri. Di sini terlihat, bahwa kita begitu tumpul dalam menganalisa keadaan.

Pendidikan yang tinggi dan luasnya pengetahuan ternyata juga tak mampu menelisik apa yang sesungguhnya terjadi. Kita begitu membiasakan diri, berputar-putar pada suatu titik. Dan bila ada yang mencoba memberi saran, tetiba telinga kita tersumpal kapas tebal. Lalu pikiran kita, seperti katak dalam tempurung. Merelakan diri untuk terjebak pada stigma tertentu.

Meski begitu kita kemana-mana selalu memanggul idealisme. Dan berkoar-koar dimana-mana, sedang membutuhkan pembaharuan. Namun ketika ada yang mengulurkan tangan untuk membantu, kita justru memilih berleha-leha. Berdalih belum siaplah, belum waktunyalah, dan belum-belum lainnya.

Kalau begitu, apa sih maunya kita? Mau enak, tapi kok masih malas-malasan berusaha? Mau nyaman, tapi kok diam mematung sambil melamun saja? Apa kita memamg termasuk jenis orang yang hobi menunggu durian jatuh dari langit?

Jika memang begitu, berarti jiwa kita masih kerdil, atau masih kekanak-kanakan. Belum mampu memilah dan memilih mana yang patut dijadikan pijakan, dijadikan pedoman. Jauh dari nilai-nilai kedewasaan. Dan itu bisa menjadi bukti, bahwa usia  seringkali tidak dapat dijadikan patokan untuk menunjukkan bijaknya pemikiran.

Sumber gambar: pinterest.com

11 Februari, 2022

,

Maunya "Diloloh" Terus

Bagaimana jika suatu hari, hidup kita mengalami situasi seperti Si B ini (saat itu belum ada layanan ojol)?

A: "Aku mau dong yang kau ceritakan itu."

B: "Siap."

A: "Tapi, jangan bilang ke yang lain lho ya, kalau aku minta."

B: "Oke."

A: "Beneran lho? Janji?"

B: "Iya, ya."

A: "Kapan ngasihnya?"

B: "Sekarang juga boleh."

A: "Sip. Gratis kan?"

B: "Iya, pasti. Dan ambil sendiri."

A: "Ambil sendiri? Kok nggak dianterin?"

B: "Di sini nggak ada kendaraan."

A: "Kan bisa nyuruh orang."

B: "Nyuruh siapa? Di sini saya orang baru. Belum begitu akrab sama orang-orang di sini."

A: "Alesan saja."

B: "Terserah apa katamu. Mau ambil nggak? Situ kan ada kendaraan. Tinggal cus werrr tho?"

A: "Iya, tapi jauh. Masak kamu nggak nganterin? Katanya temen. Ikhlas nggak sih ngasihnya?"

B: "Ikhlas dong. Kalau emang kamu anggap aku temen, ya kemari. Seorang temen tak mungkin nyusahin temennya. Bener kan perkataanku?"

A: "Bilang aja kalau nggak ikhlas. Nggak usah muter-muter. Sok nasihatin segala."

Dan pembicaraan via telepon itu diputus oleh Si A.

Tentu melihat kelakuan tak senonoh dari Si A itu, pastilah kita jadi gregetan. Jika diijinkan ngejitak, tentunya kita akan ngejitak tuh kepalanya. Namun sayangnya, dalam situasi nyata Si B malah membela. Dan tetap bilang bahwa Si A itu bestienya. Dan hubungan seperti inilah yang disebut "toxic relationship". Dimana satu pihak seenak udelnya memperlakukan pihak lain. Seakan dia yang harus diutamakan, tanpa mempedulikan perasaan dan keadaan pihak lainnya.

"Hubungan beracun" ini bisa terjadi di manapun. Dan memang sungguh tak layak dipertahankan. Meskipun dalam berhubungan ada nuansa kebahagiaan. Tapi percayalah, itu ilusi. Bukan sebenar-benarnya hubungan yang baik. Jika kita membiarkan diri untuk tetap bersama, maka bersiap-siaplah menuju jurang kenestapaan abadi.

Sumber gambar: vectorstock.com