Tampilkan postingan dengan label pengajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengajaran. Tampilkan semua postingan

27 Februari, 2022

,

Mengapa Hybrid Learning Tidak Disebut Pembelajaran Gado-gado?

Minggu-minggu gini, enaknya makan gado-gado. Apalagi pas siang, yummy pasti rasanya. Didukung suasana alam yang sedang redup-redupnya. Memakan makanan ini, "menghangatkan," sekaligus menutrisi tubuh kita. Bagaimana tidak, begitu tinggi kandungan gizinya. Menurut data Kemenkes RI (TKPI), setiap 100 gram gado-gado mengandung 301 mg kalsium, 6,1 gram protein, 7,5 mg besi dan 135 mg fosfor.. Kandungan ini mempunyai manfaat seabreg bagi tubuh. Dari yang tak kelihatan seperti darah dan tulang, hingga yang terlihat di permukaan seperti kulit.

Dan ini nampaknya sama persis dengan hybrid learning. Pembelajaran ini digadang-gadang sebagai pembelajaran yang unggul di segala sisi. Sebab menggabungkan pembelajaran kelas tradisional dengan pembelajaran berbasis teknologi. Selain itu, pertemuan guru dan murid bisa opsional, tergantung kebutuhan. Sehingga jargon "belajar dimanapun dan kapanpun", menjadi nyata dan bukan omong kosong di pembelajaran ini.

Meskipun punya performa sehebat itu, tapi nyatanya masih punya kelemahan. Kelemahan yang paling terlihat di pelupuk mata, yaitu pembelajaran ini tak punya Bahasa Indonesia-nya. Jadi sampai detik ini belum ada padanan katanya. Padahal apapun kata dalam Bahasa Inggris, biasanya sudah diketemukan terjemahannya. Contoh bullying sudah punya perundungan. Meskipun kita sendiri, sampai hari ini belum tahu, dimana kata "perundungan" ini dipungut.

Jika kita mau jujur dan tidak malu-malu, mestinya bisa mengadopsi kata "gado-gado" sebagai pengganti kata "hybrid". Ini mengena dan pas soalnya. Karena arti gado-gado sendiri adalah campur-campur. Walaupun betul kata "gado-gado" bukan kosakata lokal, dan berasal dari Portugal. Tetapi ia sudah lama dipribumisasikan bangsa ini. Jadi sudah tidak berbau asing dan aseng lagi.

Sehingga nantinya hybrid learning dapat disebut dengan nama "pembelajaran gado-gado" atau disingkat PGG. Meskipun begitu kalau sudah dialih-bahasakan, kita jangan sekali-kali bersikap norak, ketika membahasa-inggriskan ulang. Macam gado-gado yang diberi padanan seperti ini: mixed vegetables with the peanut sauce. Kedawan bro-bro.

Sumbar: antaranews.com dan andrafarm.com

22 Februari, 2022

, ,

Menengok wikiHow, Gudangnya "Tutorial"

Apabila bapak dan ibu guru suka mengunjungi situs Wikipedia, alangkah eloknya juga menengok wikiHow. Sebab di sana digelar aneka "cara" membuat atau menyelesaikan sesuatu hal. Berbeda dengan Wikipedia yang bahasanya selalu ndakik-ndakik,  wikiHow lebih ke arah praktis. Dengan disertai gambar (kartun) yang menarik dan sewajarnya, membuat pembacanya lekas paham. Dan langsung bisa menerapkan.

Mungkin ada yang bertanya apakah kedua situs "bersaudara"? Mungkin saja. Meskipun disebutkan bahwa di dalam keluarga besar Wikipedia, tak ada secuil pun nama wikiHow. Begitu pula jika ada yang bertanya kaitannya dengan WikiLeaks, juga setali tiga uang. Walaupun disematkan nama "wiki' di depan masing-masing. 

Terlepas dari hal itu, mari kita kembali ke arah pemanfaatan wikiHow. Apakah situs itu bisa diakses anak-anak? Tentu saja bisa. Namun sebaiknya tetap didampingi orang tua, sebab kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dapat pula tercipta. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil terjadi. Jadi tetap waspadalah.

Lantas bagaimanakah memakai situs tersebut? Cukup cari ikon suryakanta, yang ada di sebelah kanan atas. Atau di tengah agak ke atas, dan di belakangnya terdapat tulisan "Cari cara...". Kemudian ketikkan apa yang diinginkan. Misalnya "Cara Membuat Kue Cucur". Langsung ketikkan saja, tanpa menaruh kata "cara". Bahkan langsung seperti tulisan "kue cucur" pun bisa. Dan segera ditampilkan sejumlah tata cara membuatnya.

Bagaimana? Mudah bukan? Masih bingung? Ragu karena ada kata "tepercaya", yang sebenarnya merupakan kata yang keliru? Kita tahu, yang tepat adalah kata "terpercaya". Tetapi soal ini janganlah diambil hati, karena kita kan juga tahu bahwa di dunia ini tak ada yang sempurna. Meskipun sudah berusaha tampil sesempurna mungkin.

Sumber gambar: id.wikihow.com

13 Februari, 2022

, , ,

Sudah Seasyik Apakah Kita dalam Mengajar?

Berikut ini ada dua orang guru. Sebut saja, yang pertama bernama Bu Dina. Sedangkan yang kedua, bernama Bu Dini. Bu Dina dan Bu Dini adalah guru Matematika. Mereka sama-sama mendapatkan tiga rombel, di sekolah yang berbeda. Dan beginilah keseharian cara mengajar mereka.

A. Bu Dina

Di awal hari, beliau mendapatkan jam pertama di Kelas A. Materi pelajarannya adalah bangun ruang balok. Dan beliaunya membawa dua jenis alat pengukur, yaitu penggaris dan meteran. Setelah mengucapkan salam, beliau meminta murid-murid untuk membuat kelompok dan memberi tiap kelompok itu berupa penggaris atau meteran. Beliau meminta murid-murid mencari benda serupa dengan gambar di papan tulis, kemudian mengukurnya.

Di jam berikutnya, Bu Dina berpindah ke Kelas B. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya pada siswa, apakah bahan-bahan untuk membuat bangun ruang balok sudah disiapkan. Selanjutnya beliau memberikan petunjuk dan contoh cara membuat bangun ruang balok dari berbagai bahan yang dibawa siswa.

Saat anak-anak di Kelas B sedang membuat bangun ruang balok itu, Bu Dina berkata akan ke ruang Kelas C sebentar. Sesudah itu beliaunya memasuki Kelas C, memberi salam, lalu menjelaskan keperluannya pada guru yang ada di kelas tersebut. Lalu Bu Dina mengatakan pada anak-anak Kelas C, nanti saat istirahat, mengamati benda-benda yang berbentuk seperti bangun ruang balok. Sesudah istirahat, beliau meminta anak-anak itu menjelaskan pengamatannya secara lisan.

B. Bu Dini

Bu Dini, juga mendapat jatah jam yang sama. Dan berurutan pula ruang kelasnya seperti Bu Dina. Bu Dini, dari ruang Kelas A sampai B, cara mengajarnya sama. Beliau pertama-tama menerangkan apa itu ruang balok. Kemudian melanjutkan tentang rumus yang menyertainya. Setelah itu memberikan soal, dan meminta anak-anak menjawab soal seperti contoh yang ada di buku.

Kedua kegiatan mereka direkam. Dan di hari yang berbeda, keduanya di ruangan berbeda mendapat pertanyaan semacam ini.
1. Apakah cara mengajarnya seperti itu setiap hari?
2. Mengapa memilih cara mengajar seperti itu?

Bu Dina menjawab seperti ini.
1. Iya.
2. Sebab setiap kelas mempunyai karakteristik kelas berbeda. Hal ini saya ketahui, setelah saya melakukan tes psikologi (sederhana), pengamatan, dan bertanya pada rekan sesama guru. Makanya saya memberikan pendekatan yang berbeda di tiap kelas. Selain itu, saya lebih mengutamakan aspek psikomotorik. Sebab anak-anak jaman sekarang, lebih suka praktik daripada teori. Jika kebanyakan teori, mereka cepat bosan. Sehingga pelajaran tidak masuk ke diri mereka. Akhirnya pekerjaan mereka tidak cepat selesai, dan cenderung kelas menjadi ramai atau senyap (bila terlihat galak). Sedangkan untuk pemakaian teknologi, juga saya gunakan. Namun tetap sebatas alat bantu penambah, bukan yang utama. Menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekolah. Tentu berbeda, jika saya mengajar di tempat yang mengutamakan teknologi tinggi.

Sedangkan jawaban Bu Dini seperti ini.
1. Iya.
2. Sebab dengan cara seperti itu. anak-anak mudah memahami. Terkadang, saya juga memakai peraga fisik atau menampilkan gambar dan animasi lewat proyektor. Khususnya, jika mereka belum benar-benar memahami.

Dari kedua cara mengajar tersebut, mana yang menjadi keseharian kita? Apakah cara mengajarnya itu membuat siswa lebih paham? Apakah cara mengajar tersebut juga ditularkan ke guru lain (jika memang merasa itu berbeda), atau dipendam, atau kalau ada kesempatan diikutkan lomba (bila dianggap itu penemuan baru)? 

Sumber gambar: lovepik.com