07 Maret, 2022

,

Sanggupkah Guru "Mengauto-kritik" Dirinya?


Jujurly, kita tak sanggup kalau disuruh untuk otokritik. Jangankan otokritik, refleksi sebagai "kegiatan" yang harus dilakukan pun, sering kita kesampingkan keberadaannya. Padahal dengan refleksi, kita mengetahui seberapa tinggi nilai kekurangan. Sehingga kita bisa melakukan perbaikan-perbaikan, yang berdampak signifikan. 

Refleksi jika boleh dikatakan, adalah cara tercerdas, untuk menilai sejauhmana kinerja kita. Baik dalam pengajaran maupun kepegawaian. Dengan melakukan refleksi, artinya melakukan evaluasi terhadap segala pekerjaan yang telah dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan scoring. Dari hasil scoring tadi, kita dapat memutuskan "kebijakan diri". Tentu dengan melakukan hal itu, kita akan terbayang untuk menindaklanjutinya dalam perubahan cara pandang. Perubahan inilah yang dapat menciptakan guru yang unggul. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang menginginkan dirinya diselimuti kebebalan. Pasti kita mau tiap saat meningkat kapasitas kemampuan yang dimiliki. 

Apabila refleksi adalah cara tercerdas, maka otokritik adalah cara terpedas. Sebab fokus penilaian pada kekurangan yang dipunyai lebih tinggi, bahkan cenderung melewati batas. Makanya kita selalu "ketakutan" duluan, apabila disuruh melakukan otokritik. Sebab pasti akan terpampang "dosa-dosa besar" yang telah dilakukan. 

Dan ketika kita melihat itu, jadi jiper. Mau tobat kok gimana? Nggak tobat kok juga gimana? Padahal kita tahu, semua kesalahan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Dan seberapa kuat sih kita bisa lari dari itu semua? Sebab sebenarnya kita tak mungkin lari. Jadi jalan terbaik agar dibebaskan dari "hukuman" itu adalah memohon ampun, meminta maaf. 

Tentu permohonan dan permintaan itu, disertai perubahan perilaku. Dengan perubahan perilaku, akan dilihat sebagai ikhtiar penebusan dosa. Karena bagaimanapun juga, langkah kaki akan terasa ringan melenggang, apabila beban-beban kekeliruan sudah tercerabut dari pundak kita.

Namun persoalannya, kapan kita berani melakukannya? Sebab kita terlampau senang untuk menunda-nunda. Walaupun tahu, yang menuai rugi ya kita-kita sendiri. Kita masih suka berandai-andai. Meskipun tahu, hal itu tak akan tercapai. Mestinya kita tak perlu menunggu "besok". Karena bisa jadi, mentari esok pagi tak lagi mau bersua dengan kita. 

Sumber gambar: englishlib.org

4 komentar:

  1. lakukan mulai dari sekarang, kritik dan refleksi itu penting untuk membangun diri lebih baik/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Karena jika ditunda, berakibat buruk pada kondisi pendidikan.

      Hapus
  2. Mantull Mas Ajun Refleksi dan otokritik sbg cara tercerdas dan terpedas menjadi guru 👍👏😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul pak.

      Ini dalam rangka saling mengingatkan.

      Hapus