Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana manusia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Dan mereka membagi gaya belajar itu ke dalam tiga kelompok, yaitu Visual, Audiotori, dan Kinestetik.
Guru dalam situasi keseharian seharusnya menjalankan pengajaran yang mewadahi ketiga kelompok gaya belajar ini. Sehingga jika dipolakan secara umum menjadi Audiotori-Visual-Kinestetik. Mengapa dimulai dengan Audiotori bukan yang lain? Sebab di awal pengajaran, biasanya dimulai dengan penjelasan. Dan ranah ini masuk ke Audiotori. Apakah dapat dimulai dengan yang lain? Tentu dapat, mengapa tidak? Walaupun rezim pembelajaran pada umumnya berkutat pada pola itu.
Generasi sekarang ini kebanyakan memiliki gaya belajar Kinestetik, namun sayangnya para pengajarnya, adalah "mantan" pembelajar Audiotori. Ini yang memjadi problem. Dan mungkin saja, menjadi penyebab rendahnya daya serap siswa saat ini terhadap pengetahuan yang telah disampaikan.
Lantas bagaimana mengatasinya? Salah satu pihak harus "mengalah", dan pasti kita tahu siapa itu. Dan juga tetap melaksanakan metode mengajar yang memfasilitasi gaya belajar lainnya. Meskipun porsinya agak kurang sedikit. Lalu konkritnya seperti apa? Tentu menggunakan metode pengajaran yang berbasis pada praktik, misalnya Project Based Learning.
Dan konsep pelaksanaannya menggunakan apa yang saya sebut dengan istilah "baby-repetition" atau "perulangan-bayi". Seperti yang kita lihat, bayi suka mengulang-ulang hal yang sama (lebih dari lima kali). Ini tentu bisa kita terapkan secara kontekstual. Dan agar tidak mendapat kejenuhan, kontennya dibuat berbeda-beda. Sehingga pelekatan pengetahuan terjadi "persis" seperti yang kita inginkan.