10 Maret, 2022

,

Hands on Experience, Belajar Secara Faktual


Kemarin siang, tiga rekan guru saya berbincang-bincang. Salah satunya yang menjadi guru Kelas 2 berkata, "Tadi saya lewat ruang Kelas 1, harum sekali ruangannya". Bu guru Kelas 1 pun membalas, "Iya, tadi anak-anak saya suruh belajar mengepel. Mereka bersemangat sekali. Bahkan saling berebutan mengambil alatnya, saat dijelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan." Mendengar ini, bu guru Kelas 3 ikutan nimbrung, "Ooo... gitu ya? Makanya semerbak mewangi kemana-mana." Bu guru Kelas 1 berujar, "Iya ini sesuai dengan materi yang ada di buku. Kan memang mintanya Kurikulum 2013 begitu".

Yang dilakukan oleh bu guru Kelas 1 inilah yang disebut dengan Hands on Experience. Hands on Experience dalam pelaksanaannya benar-benar melibatkan siswa dalam kegiatan tertentu, tidak cuma secara teoritis. Makanya secara terminologi, Hands on Experience diartikan sebagai suatu rancangan pembelajaran yang bertujuan untuk melibatkan anak dimulai dari menggali informasi, bertanya, beraktivitas, menemukan sampai menyimpulkan. Sehingga pembelajaran ini juga disebut dengan istilah Authentic Learning atau dikenal juga dengan nama Experiental Education. Dan ini setara dengan konsep learning by doing. Sebuah konsep belajar dengan mengerjakan sesuatu secara aktif dan mempunyai dampak dalam perubahan perilaku pelajar. 

Namun persoalannya, seringkali sulit sekali dilaksanakan di dalam pembelajaran. Ada dua sebab utama yang menjadikannya sulit. Pertama, soal waktu. Bagaimanapun juga alokasi waktu untuk praktik siswa, cenderung tidak bisa diperkirakan. Lebih banyak kurangnya dibandingkan dengan lebihnya. Karena saat pelaksanaan, sebagian anak tidak mau berhenti, dan sebagian lain tidak tuntas-tuntas dalam pengerjaannya. Dan guru lebih terdorong untuk membantu yang tidak bisa, dan memberikan keleluasaan pada yang sudah berhasil (yang mereka ini suka mengulangi lagi percobaannya). Padahal secara "kurikulum" ada batas waktu yang telah ditentukan. 

Yang kedua, soal administrasi. Persoalan administrasi ini juga sama dengan yang tadi. Sulit dicari solusinya. Karena selain sebagai guru, adalah juga seorang pegawai. Sebagai seorang pegawai tentu harus menuntaskan hal-hal yang terkait dengan administrasi. Dan ini tidak bisa dihindari maupun diabaikan. 

Akhirnya memang dilematis peran guru ini. Di satu pihak dituntut mengajar dengan inovatif. Di sisi lain ada tuntutan profesionalisme yang terkait dengan birokrasi kepegawaian. Jadi mau tidak mau, harus memeras otak dan memerah tenaga, agar semuanya berjalan dengan lancar. 

Makanya perundangan tentang pendidikan yang sekarang sedang digodok di tingkat kementerian, moga-moga mampu memberikan secercah asa tentang bagaimana guru seharusnya mengajar dengan baik. Tanpa diganggu keruwetan-keruwetan, yang sebenarnya bisa dialih-dayakan ke pihak lain. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar, dan tentunya berkemajuan.

Sumber gambar: dreamstime.com

0 komentar:

Posting Komentar