09 Maret, 2022

,

Usia Kemasakan Intelektual yang Diabaikan


Jam dinding baru menunjukkan pukul 11.30, dan ada tiga ketukan di pintu dengan suara salam yang lirih. Buru-buru Mbah Guru membuka pintu sambil membalas salam. Melihat yang datang, Mbah Guru tertawa-tawa.

Guru Muda: "Mbah, kenapa tertawa? Apa ada yang salah dengan saya?"

Mbah Guru: "Ada. Bahkan dua."

Guru Muda: "Ini pasti kayak kemarin."

Mbah Guru: "Memang. Yang pertama, kamu datang nggak bawa oleh-oleh."

Guru Muda: "Lho kok simbah sekarang jadi matre sih."

Mbah Guru: "Malah nuduh matre segala. Apa kamu nggak nyadar? Sudah sering kesini. Sering bawa persoalan berat-berat. Hal itu sih nggak masalah. Yang jadi masalah, justru suka ngabisin jatahnya simbah. Kalau kamu sering kesini tanpa membawa oleh-oleh itu kan artinya menggizi-burukkan simbah."

Guru Muda: "Iya maaf mbah. Besok-besok kalau kesini, pasti bawa oleh-oleh."

Mbah Guru: "Oke. Yang kedua, jam segini kok sudah pulang? Korupsi waktu ya?

Guru Muda: "Nggak mbah. Ini tadi pagi, mendadak ada rapat. Dan sekarang sudah selesai."

Mbah Guru: "Kenapa nggak balik ke sekolah?"

Guru Muda: "Ya kalau dibuat balik, sekolah sudah tutup. Kan sekolahnya jauh tho mbah."

Mbah Guru: "Alesan aja. Iya sudah."

Guru Muda: "Mbah, saya mau tanya nih."

Mbah Guru: "Kok sudah punya bahan? Berarti kesini sudah niat."

Guru Muda: "Nggak sengaja mbah. Tadi pas mau pulang, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan. Dan ingat, katanya simbah harus mempersiapkan bahan kalau sambang."

Mbah Guru: "Tanya apa?"

Guru Muda: "Gini mbah, saya mau tahu soal usia berapa anak sudah mencapai usia kemasakan intelektual?"

Mbah Guru: "Maksudnya untuk masuk sekolah dasar gitu?"

Guru Muda: "Iya mbah."

Mbah Guru: "Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar."

Guru Muda: "Tapi mbah, banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya kurang dari usia tersebut. Alasannya sudah bisa calistung."

Mbah Guru: "Mestinya sekolah dan pemerintah harus tegas menolak. Kan sudah ada aturan, jika kurang usia harus menyertakan surat dari pihak kesehatan."

Guru Muda: "La itu masalahnya. Orang tua tidak mau tahu, dan sekolah takut nggak dapat murid."

Mbah Guru: "Makanya pendidikan kita tidak maju-maju sebab siswanya belum waktunya. Dan pihak terkait tidak tegas."

Guru Muda: "Kok bisa mbah?"

Mbah Guru: "Menurut menurut teori perkembangan dari Piaget, pada usia tujuh tahun, perkembangan kognitif anak berada pada level operasional konkret dan mulai menggunakan operasi mental serta berpikir untuk menyelesaikan suatu permasalahan."

Guru Muda: "Terus mbah!"

Mbah Guru: "Anak-anak yang berusia kurang dari tujuh tahun bisa saja sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung. Namun secara psikologis belum memenuhi aspek konsentrasi, daya tahan, regulasi emosi, serta kemandirian."

Guru Muda: "Bagaimana kalau sudah usia tujuh tahun, tapi belum mampu membaca, menulis, dan berhitung dasar?"

Mbah Guru: "Tentu harus dibawa ke psikolog anak, agar diketahui apa persoalan yang terjadi. Dan ini harus ada pembicaraan antara lembaga pendidikan dan pihak orang tua. Siapa tahu anaknya mengalami disleksia."

Guru Muda: "Mbah dengar-dengar, dulu ada metode yang cukup mudah untuk menentukan usia kemasakan intelektual."

Mbah Guru: "Ada. Cuma katanya ini peninggalan Belanda. Caranya cukup melingkarkan lengan kanan melewati kepala, jika ujung jari dapat menyentuh bagian bawah telinga kiri. Apa ini ilmiah atau nggak, simbah nggak tau."

Sumber: pinterest.com

08 Maret, 2022

,

Ketika Guru Merindukan Libur di Hari Sabtu


Siang ini hujan turun begitu deras, sehingga terpaksalah Guru Muda mampir ke pondoknya Mbah Guru. Sebab rumah beliaunya yang paling dekat dengan jalan dan mudah dijangkau. Setelah sampai dan dipersilakan duduk, maka terjadilah percakapan seperti ini.

Mbah Guru: "Kadingaren siang-siang begini ke rumahnya simbah."

Guru Muda: "Maaf ini tadi saya pulang dari sekolah. Tiba-tiba hujan deras. Jadi saya mampir sekalian berteduh."

Mbah Guru: "Nggak mau tanya-tanya sesuatu?"

Guru Muda: "La  mau tanya apa tho mbah?"

Mbah Guru: "Kan biasanya situ suka tanya-tanya kalau kesini."

Guru Muda: "Oalah iya-iya. Tapi maaf nggak ada bahan pertanyaan."

Mbah Guru: "Masak gitu aja butuh bahan? Mbok sing kreatif."

Guru Muda: "Bentar-bentar. Ya udah gini aja. Saya sebenarnya pengin kalau Sabtu itu libur. Biar sama dengan yang ngajar di SMA."

Mbah Guru: "Gunanya apa?"

Guru Muda: "Kan ada waktu rehat yang lebih panjang. Guru dimanapun sama. Punya beban tugas yang berat. Jadi kurang adillah, jika yang satunya dapat. Yang satunya tidak."

Mbah Guru: "Ya pindah saja ke SMA. Beres"

Guru Muda: "Mbah itu kok enak sekali jawabnya."

Mbah Guru: "Mau jawabannya yang kayak apa?"

Guru Muda: "Paling tidak ngasih solusi yang riil."

Mbah Guru: "Itu kan sudah riil. Mau riil gimana lagi coba?"

Guru Muda: "Iya yang ngedukung gitu lho. Bahwa semua guru kedudukannya sama. Karena sama, ya harus diperlakukan adil. Bukan emban cindhe emban siladan."

Mbah Guru: Wong libur saja dibikin resah. Yang perlu diresahkan itu, kalau mengajarnya itu lho nggak berdampak apa-apa. Tidak inovatif. Hanya cuma modal ceramah dan marah-marah."

Guru Muda: "Kok saya yang malah disemprot tho mbah?"

Mbah Guru: "Pean jelas salah. Namanya guru mengeluhkan begituan. Tak bermutu tau."

Guru Muda: "Wah salah lagi."

Mbah Guru: "Makanya besok-besok kalau kesini bawa bahan."

Guru Muda: "Siap."

Mbah Guru: "Terus masih ada kesalahan lagi. Bukan cuma satu."

Guru Muda: "Waduh,  apa itu mbah?"

Mbah Guru: "Tadi kan kamu belum mengajukan pertanyaan, baru pernyataan."

Guru Muda: " Terus satunya apa mbah?"

Mbah Guru: "Mestinya kamu itu tanyanya pada hari Sabtu, bukan Selasa gini. Jadi kurang terasa hubungannya."

Guru Muda: "Hmmm."

Sumber gambar: keepcalms.com
, ,

Guru Senior Juga Punya Sisi Keunggulan

Semakin lama semakin berkembang wacana yang mendiskreditkan guru senior atau biasa kita sebut guru sepuh. Dan anehnya sebagian daripada guru sepuh ini juga mengaminkan hal itu. Semestinya mereka kompak untuk melawan stigmatisasi ini. Sebab bagaimanapun juga, guru sepuh adalah "aset bangsa" yang terpenting saat ini. Tanpa keberadaan mereka, mana mungkin republik ini masih kokoh berdiri hingga sekarang? Jadi eksistensi mereka, jangan sampai dinihilkan. Apalagi oleh alasan remeh-temeh macam penguasaan teknologi. 

Dimanapun negara, yang diutamakan adalah sisi manusianya, bukan teknologinya. Karena teknologi sekadar "alat bantu". Yang namanya alat bantu adalah membantu proses berjalannya sesuatu dengan lebih cepat, mudah, atau baik. Meskipun begitu tidaklah urgen, tergantung dari kebutuhan. Ini sama halnya yang terjadi di ranah pendidikan. Teknologi hanya "memuluskan" pemahaman dengan cara yang lebih akseleratif dan menarik. Tapi tanpanya, proses pembelajaran tetap dapat berjalan sewajarnya. Bukannya malah nenjadi terseok-seok dan tertatih-tatih.

Di samping dianggap payah soal penguasaan teknologi, ada anggapan yang lebih "keji". Apakah itu? Ketidakmauan belajar alias tidak bersedia di-upgrade. Jikalau memang benar, tentu harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan utuh. Jangan parsial, jangan setengah-setengah. Dan apabila mau menengok lebih dalam, ada sisi-sisi yang harus dipahami pengambil kebijakan. Bagaimanapun juga guru adalah manusia. Yang namanya manusia, tentu mengalami penyusutan fungsi anatomik

Penyusutan fungsi anatomik adalah hal yang lumrah, dan sepantasnya terjadi pada diri manusia. Penyusutan yang terjadi salah satunya adalah pada daya ingat. Guru-guru sepuh tentu akan kesulitan, apabila "otaknya" dijejali pengetahuan-pengetahuan baru. Apalagi itu berbau asing, tentu sulit dikunyah oleh pemikiran mereka. Dan ini akan mendorong mereka mengalami keengganan untuk mempelajari. 

Padahal hal ini tetap bisa disiasati. Bisa diatasi dari segi aturan, yaitu membuat sebuah sistem yang ready for use, siap pakai. Jadi guru-guru sepuh itu tinggal plek-plek-plek, tanpa harus susah payah dalam mengingat dan menggunakan. Kalaupun ini belum bisa dilaksanakan, minimal dibuat kebijakan di tingkat lembaga pendidikan. Agar terjadi kolaborasi antar pendidik dalam pemanfaatan teknologi. Sehingga mereka ini merasa tidak asing dan terasingkan. Juga dapat mengalih-dayakan hal itu ke para siswa (yang tentunya sudah dibekali terlebih dahulu). Dengan itu semua, baik guru sepuh maupun guru muda tidak lagi iren-kemiren. Sebab mereka saling bersinergi dan membutuhkan satu sama lainnya.

Sumber gambar: elementarymatters.com

07 Maret, 2022

,

Guru Inspiratif, Sebuah Sensifitas yang Teramplifikasi

Guru inspiratif dapat muncul dimana saja. Namun persoalannya adalah kapan dia muncul di hadapan kita. Sebab kita merasa guru inspiratif seperti dongeng. Kayaknya terasa nyata, namun sulit kita pegang. Mereka seakan-akan hidup di Pulau Kapuk. Jadi kemungkinan kita temui, saat kita berada di alam impian.

Dan apabila ada yang mengetahui keadaan ini, kemungkinan akan berkata, "Ya jadi guru inspiratif itu sendiri dong". Kita pun akan membalas begini, "Tak semudah itu Bro". Selanjutnya terjadilah debat kusir yang tak berujung dan tak bermutu pula. Hanya menimbulkan luka di hati saja.

Begitulah kita, suka berangan-angan, suka mengawang-awang. Padahal lho tinggalnya di permukaan bumi. Sebagai makhluk yang hidup di muka bumi, mestinya memikirkan caranya bertahan hidup alias survival attack. Konsep bertahan hidup itu artinya mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perkembangan sekelilingnya. Dan yang tidak mampu bertahan hidup pastilah mengalami kepunahan. 

Masak kita sebagai guru menginginkan kepunahan diri, kan ya nggak tho? Tentu kita ingin eksis. Dan tak mau anak-anak kita nanti diajari humanoid, yang jelas tak punya sisi etika dan religiusitas. 

Makanya kita harus berubah, saling menginspirasi. Seperti yang tertulis pada gambar di atas. Teachers Inspiring Teachers. Sebab jika kita saling menunggu, tentu perubahan tidak akan terjadi. Harus ada yang bersedia menjadi pionir, bahkan kalau perlu menjadi martir. Ingat, setiap "yang mengawali" butuh effort yang luar biasa. Banyak hambatan yang menghalang maupun menerjang. Dan itu semua harus diterima. Karena itu resiko dari sebuah perjuangan.

Sumber gambar: amazon.com
,

Sanggupkah Guru "Mengauto-kritik" Dirinya?


Jujurly, kita tak sanggup kalau disuruh untuk otokritik. Jangankan otokritik, refleksi sebagai "kegiatan" yang harus dilakukan pun, sering kita kesampingkan keberadaannya. Padahal dengan refleksi, kita mengetahui seberapa tinggi nilai kekurangan. Sehingga kita bisa melakukan perbaikan-perbaikan, yang berdampak signifikan. 

Refleksi jika boleh dikatakan, adalah cara tercerdas, untuk menilai sejauhmana kinerja kita. Baik dalam pengajaran maupun kepegawaian. Dengan melakukan refleksi, artinya melakukan evaluasi terhadap segala pekerjaan yang telah dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan scoring. Dari hasil scoring tadi, kita dapat memutuskan "kebijakan diri". Tentu dengan melakukan hal itu, kita akan terbayang untuk menindaklanjutinya dalam perubahan cara pandang. Perubahan inilah yang dapat menciptakan guru yang unggul. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang menginginkan dirinya diselimuti kebebalan. Pasti kita mau tiap saat meningkat kapasitas kemampuan yang dimiliki. 

Apabila refleksi adalah cara tercerdas, maka otokritik adalah cara terpedas. Sebab fokus penilaian pada kekurangan yang dipunyai lebih tinggi, bahkan cenderung melewati batas. Makanya kita selalu "ketakutan" duluan, apabila disuruh melakukan otokritik. Sebab pasti akan terpampang "dosa-dosa besar" yang telah dilakukan. 

Dan ketika kita melihat itu, jadi jiper. Mau tobat kok gimana? Nggak tobat kok juga gimana? Padahal kita tahu, semua kesalahan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Dan seberapa kuat sih kita bisa lari dari itu semua? Sebab sebenarnya kita tak mungkin lari. Jadi jalan terbaik agar dibebaskan dari "hukuman" itu adalah memohon ampun, meminta maaf. 

Tentu permohonan dan permintaan itu, disertai perubahan perilaku. Dengan perubahan perilaku, akan dilihat sebagai ikhtiar penebusan dosa. Karena bagaimanapun juga, langkah kaki akan terasa ringan melenggang, apabila beban-beban kekeliruan sudah tercerabut dari pundak kita.

Namun persoalannya, kapan kita berani melakukannya? Sebab kita terlampau senang untuk menunda-nunda. Walaupun tahu, yang menuai rugi ya kita-kita sendiri. Kita masih suka berandai-andai. Meskipun tahu, hal itu tak akan tercapai. Mestinya kita tak perlu menunggu "besok". Karena bisa jadi, mentari esok pagi tak lagi mau bersua dengan kita. 

Sumber gambar: englishlib.org

06 Maret, 2022

,

Hal-hal yang Membahagiakan Guru


Sebenarnya apa saja sih yang membuat guru bahagia? Agar mempunyai persepsi yang sama tentang apa itu "bahagia", marilah kita menilik pengertiannya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahagia menurut kamus itu, termasuk kata benda (nomina) dan kata sifat (adjektiva). Baik arti dari segi nomina maupun adjektiva, saling menyokong. Dan di bawah ini pengertiannya.
1. /nomina/ keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan): -- dunia akhirat; hidup penuh -
2. /adjektiva/ beruntung; berbahagia: saya betul-betul merasa -- karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga.

Agar lebih puas, bisa menengok sendiri pengertiannya secara lebih luas di KBBI dan di Wikipedia. Bagaimana? Saya anggap kita semua punya pendapat yang berbeda-beda tentang makna "bahagia". Namun jika meninjau pengertian secara mengkamus tadi, saya kira tidak jauh berbeda.

Karena sudah terang benderang soal pengertian bahagia, mari kita lanjutkan tentang topik kita, yaitu apa yang membuat guru bahagia. Pada umumnya guru bahagia ketika mendapatkan siswa yang rajin, patuh, sopan, antusias, dan berprestasi. Tapi faktanya berapa persen guru yang mengalami secara langsung pengalaman seperti itu? Apakah itu berlangsung terus menerus? Apakah itu terjadi di semua siswa?

Bagi guru yang sudah bertahun-tahun mengajar, di atas sepuluh tahun, tentu sepakat untuk menjawab "pernah". Akan tetapi "pernahnya" ini tidak terjadi di tiap tahun dan tidak untuk seluruh siswa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa karena penampilan guru kurang menarik secara fisik? Apa karena dalam penyampaian materi kurang atraktif? Apa karena kurangnya waktu guru dan siswa berinteraksi? Apa karena memang kualitas siswanya yang bermasalah? Apa karena kultur latar belakang siswa? Apa karena kebijakan sekolah? Ataukah hal ini bersumber dari kurang matangnya kurikulum kita saat ini? Apa ada yang bisa memaparkan jawaban yang pas dan kena di hati tentang soal-soal di atas?

Di depan tadi adalah hal yang menyangkut hubungan dengan diri siswa. Bagaimana dengan hal pribadi guru? Tentu semua guru, sangat-sangat setuju, apabila parameter kebahagiaan dari sisi pribadi adalah kenaikan gaji dan tunjangan. Mendengar hal ini, jangan buru-buru memvonis guru termasuk makhluk matre. Sebab bagaimanapun juga guru adalah manusia. Sebagai manusia, pasti butuh kepastian dalam mengarungi kehidupan yang tak pasti ini. Begitu juga, ketika guru menginginkan proses administrasi yang lebih ringan. Ini tidak berarti guru termasuk golongan pemalas. Ini adalah hal yang lumrah dan wajar. Sebab faktanya, administrasi pendidikan hari ini, sudah seperti gunung anakan dan datangnya bagaikan air bah. Apa Anda merasa sepakat dengan pernyataan barusan?

Sumber gambar: m.apkpure.com

05 Maret, 2022

s.id, Shortener-nya Shortener


Ternyata saya kaget juga ketika ada "situs penyingkat url" bikinan anak negeri. Semestinya kekagetan ini tak boleh ada, sebab ada embel-embel "id" di belakangnya. Embel-embel ini jelas menunjukkan bahwa situs ini adalah produk nasional Indonesia. Tak mungkin dari asing. Meskipun orang-orang yang diracuni pikiran syak wasangka, pasti bilang bisa saja kemungkinan itu terjadi. Namun melihat aturan .id diperuntukkan bagi Warga Negara Republik Indonesia dan/atau Badan Usaha/entitas/sejenisnya. Maka sulit kiranya.

Kekagetan ini juga seharusnya tak boleh ada. Karena menurut selentingan, Indonesia menempati pengangguran programer nomor dua setelah India. Meskipun ini tidak membanggakan. Namun paling tidak menyiratkan, bahwa kita punya stok yang banyak. Cuma sayangnya ya itu tadi, tidak terserap pasar. 

Jika tak percaya kabar tersebut, bisa merunut pada hasil tes yang dilakukan oleh HackerRank. HackerRank merupakan sebuah platform untuk menentukan rangking para programmer berdasarkan skill coding yang dimilikinya. HackerRank sering mengadakan tantangan (challenges) untuk meningkatkan kemampuan para programmer. Ribuan programmer dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia ikut berpartisipasi dalam tantangan tersebut. Kemampuan programmer dinilai berdasarkan kombinasi akurasi dan kecepatannya. 

Berdasarkan hasil tantangan yang dirilis di bulan Februari 2022 ini, Indonesia menempati urutan ke-40. Urutan yang tak jelek-jelek amat. Sebab Indonesia di hal-hal yang berbau akademis, selalu berada di urutan buncit. Mentok 100, itu sudah bagus. La ini peringkat 40 je. Apalagi di atas negara Selandia Baru dan Afrika Selatan, yang tergolong lebih maju daripada kita soal teknologi.

Dan boleh dicoba, layanan s.id benar-benar penyingkat web yang sesungguhnya. Karena cuma empat-lima buah karakter saja, yang dimunculkan. Bandingkan dengan layanan sejenis yang masih setara dengan gerbongnya Thomas. Ditambah kecepatan memperpendek juga lebih tinggi. Di samping itu, untuk pendaftarannya juga tidak ribet. Simpel-pel-pel. Bahkan bisa pakai menaut dengan email, jika memang ingin mengutak-atik nama yang semau gue atau pas di hati.

Bagaimana? Tertarik mencobanya? Cus wer saja. Hitung-hitung juga turut membanggakan dan mencuankan kreativitas anak bangsa. Sebab siapa lagi, kalau bukan kita?

Sumber: s.id, id.m.wikipedia.org  dan petanikode.com