Tampilkan postingan dengan label perilaku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perilaku. Tampilkan semua postingan

01 Maret, 2022

,

Menyibak Karakter Guru Inovatif


Saya yakin semua guru saat ini, adalah guru yang inovatif. Cuma yang membedakan adalah tingkatan keinovatifan. Sehingga wajar, ada yang nampak di permukaan. Ada pula yang "terendus" pun tidak. Ini bukan karena soal koneksi, bisa jadi cuma nasib belaka. 

Dan seringkali keinovatifannya itu tidak selalu dirasa sebagai sebuah inovasi. Dianggap hal yang normal-normal saja. Ini menjadi problem tersendiri. Sebab bisa jadi inovasinya tadi mampu mengubah wajah pendidikan kita yang sudah bopeng menjadi glowing

Makanya ketika guru menemukan sebuah gagasan yang inovatif, harus di-support benar-benar. Baik dana, do'a, maupun dukungan kebijakan. Tidak cuma perkataan, "Loe hebat Bro." Harus ada langkah-langkah taktis dan teknis yang mengawal. Agar inovasi itu tidak "terjerembab" di tengah jalan. 

Dengan demikian juga menginspirasi tumbuhnya inovasi-inovasi di berbagai tempat dan bidang. Karena pendidikan adalah induknya peradaban. Jika pendidikannya maju, maka peradabannya menjadi gilang-gemilang. Dan ini tentu hal yang kita idam-idamkan. 

Untuk itu setiap guru harus mengenali maqom keinovatifannya, agar bisa diberdayakan secara sistematis, masif, dan terencana. Dan di bawah ini, bisa dilihat dengan mata telanjang, kedudukan keinovatifan yang bercokol di diri tiap guru.

1. Andaikan
Pada tataran awal ini, keinginan berinovasi masih dalam angan-angan. Belum tergugah secara internal. Ada semacam ketakutan fobik di dalam dadanya.

2. Ashiap
Ini adalah level kedua, dimana keinovatifan mulai diejawantahkan, direncanakan untuk diterapkan. Harapan baru oase dalam pengajaran keseharian, menjadi nampak secara lamat-lamat.

3. Asoy
Di tingkatan ini, keinovatifan sudah melalui tahapan "evaluasi". Sudah dikenali sisi keunggulannya. Dan sudah layak disebut dengan istilah kekinian, yaitu pengampu best practice.

4. Amplifikasi
Ini adalah maqom puncak, dimana inovasinya disebarluaskan. Tidak cuma dipendam dan diperam di kelas dan sekolahnya. Tapi sudah mengglobal. 

Demikian keempat tingkatan keinovatifan. Dan setiap guru, pasti tahu dimana tingkatannya sekarang. Jangan sampai ada guru  yang level awal pun belum ada di benaknya. 

Sumber gambar: pamercourses.com

28 Februari, 2022

, , ,

Baby Repetition, Cara Terbaik Bagi yang Sulit Belajar


Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam  belajar. Dan banyak sekali pencetus kesulitan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan mudah memvonis seseorang sebagai pemalas atau kurang sungguh-sungguh dalam pembelajaran. Harus ada pendekatan dan penyelidikan tentang metode belajarnya. Bisa jadi selama ini, metode yang digunakan tidak sesuai dengan gaya belajarnya.

Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana manusia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Dan mereka membagi gaya belajar itu ke dalam tiga kelompok, yaitu Visual, Audiotori, dan Kinestetik. 

Guru dalam situasi keseharian seharusnya menjalankan pengajaran yang mewadahi ketiga kelompok gaya belajar ini. Sehingga jika dipolakan secara umum menjadi Audiotori-Visual-Kinestetik. Mengapa dimulai dengan Audiotori bukan yang lain? Sebab di awal pengajaran, biasanya dimulai dengan penjelasan. Dan ranah ini masuk ke Audiotori. Apakah dapat dimulai dengan yang lain? Tentu dapat, mengapa tidak? Walaupun rezim pembelajaran  pada umumnya berkutat pada pola itu. 

Generasi sekarang ini kebanyakan memiliki gaya belajar Kinestetik, namun sayangnya para pengajarnya, adalah "mantan" pembelajar Audiotori. Ini yang memjadi problem. Dan mungkin saja, menjadi penyebab rendahnya daya serap siswa saat ini terhadap pengetahuan yang telah disampaikan. 

Lantas bagaimana mengatasinya? Salah satu pihak harus "mengalah", dan pasti kita tahu siapa itu. Dan juga tetap melaksanakan metode mengajar yang memfasilitasi gaya belajar lainnya. Meskipun porsinya agak kurang sedikit. Lalu konkritnya seperti apa? Tentu menggunakan metode pengajaran yang berbasis pada praktik, misalnya Project Based Learning.

Dan konsep pelaksanaannya menggunakan apa yang saya sebut dengan istilah "baby-repetition" atau "perulangan-bayi". Seperti yang kita lihat, bayi suka mengulang-ulang hal yang sama (lebih dari lima kali). Ini tentu bisa kita terapkan secara kontekstual. Dan agar tidak mendapat kejenuhan, kontennya dibuat berbeda-beda. Sehingga pelekatan pengetahuan terjadi "persis" seperti yang kita inginkan. 

Sumber gambar: shutterstock.com 

25 Februari, 2022

,

Refleksi Pengajaran dari Buih Jadi Permadani


Di sini saya memposting ulang tulisan saya di tautan ini: http://guruajun.blogspot.com/2022/01/buih-jadi-bahan-refleksi.html. Sebab masih relevan untuk dijadikan bahan refleksi, bagi kita sebagai guru. Sehingga kita tidak menjadi abai, karena kebanggaan mendapat gelar "pahlawan tanda jasa". Dan beginilah isinya, yang saya ambil cuma pada bagian lirik lagunya.

Teriknya mentari siang ini, menyapa tubuhku.
Namun tidak dapat, lelehkan bodohnya, diriku ini.

Terasa terhempasnya, keinginanku ini, dengan sikapku.
Apakah karna aku, banyak kemauan, tanpa ada tindakan?

Oh mungkinkah diri ini, dapat mengubah siswa biasa, jadi berprestasi?
Seperti kata, yang aku ucap, dalam janji rasa.

Juga mustahil bagiku, mengajari para siswa.
Cuma berbekal buku, tanpa sebuah inovasi.
Semua itu, sungguh aku, sangat keliru.

Salah aku juga, karna jadi guru.
Yang tak bermutu, dan tiada profesional.
Seharusnya aku, siapkan ini-itu.
Sebelum mengajari, para siswa, di dalam kelasku.

Kalau ada guru yang membaca lirik cover lagu yang berjudul "Buih Jadi Permadani"  ini, dan bilang, "Aku nggak sebajindul itu kok". Ya gapapa sih. Itu sah-sah saja. 

Sumber gambar: goodreads.com

24 Februari, 2022

, ,

Jangan Paksa Google Jadi "Goeroe" Kita


Kita sebagai guru, semakin hari semakin tergantung pada Google, apa-apa sekethak searching di peramban itu. Seakan "hajat hidup" orang banyak mangkalnya di situ. Bahkan saking parahnya, berani berkata, "Apapun permasalahanmu, tuntas di situ". Ini kan lebay bingit. Dan anehnya juga, pendapat ini ditularkan ke siswa secara sistematik.

Apa kita nggak khawatir, apabila suatu saat murid kita bilang, "Ah pak guru katrok nih. Gitu aja nggak paham". Ini kan celaka? Mau ditaruh dimana harkat dan marwah kita sebagai guru? Mau menasihati, kok faktanya bener. Tak menasihati, kok jelas kurang beretika muridnya. Ini kan dilema.

Semestinya peran kita sebagai guru, punya peran yang setara kamus. Dan layak disematkan sebagai ensiklopedia berjalan. Tapi kita kan sekarang jauh dari kesan itu. Mengapa bisa? Tahu sendiri, berapa gelintir guru yang masih sudi membaca? Ini belum termasuk berpikir dan berkarya. Ini masih teramat langka. Jadi ya wajarlah, kalau pendidikan kita tidak beranjak kemana-mana.

Duduk manis sambil sesekali kesik-kesik, karena negara-negara di sebelah sudah berlari kencang. Dan kita hanya menggerutu dan diam-diam mengumpat. Serta mulai menyalahkan semua hal. Padahal yang salah itu kita, bukan yang lain. Namun karena kita hidup di bawah tempurung kelapa. Kebenaran apapun condong tertolak secara otomatis.

Dan apabila saatnya kita benar-benar digantikan sebuah robot multiguna, mungkin kita baru tersadar dari kemalasan dan kebebalan diri sendiri. Kemudian merutuk, "Kalau begini jadinya, mending tidak melakukannya. Menyesal rasanya."

Sumber gambar: developers.google.com

22 Februari, 2022

, , ,

Mengembalikan Tradisi Kuno di Kalangan Guru


Apa kebiasaan guru-guru tempo doeloe, sehingga menyebabkan mereka hidup sehat sampai lanjut usia? Mungkin dengan melihat kebiasaan tersebut, akan ditemukan rahasia di balik umur panjang mereka. Sebab guru-guru kita hari ini, banyak yang mati muda. Di samping itu juga menghasilkan output yang unggul.

A. Minum Teh
Dekade 90 adalah dekade terakhir guru-guru mendapatkan "layanan" minum teh di tiap meja guru di kelas ataupun di ruang guru. Mengapa guru-guru tersebut mendapatkan layanan itu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sampai detik ini, belum ketemu dalih dan dalilnya. Namun jika dipikir-pikir, ada banyak khasiat di dalam aktivitas minum teh ini. 

Khasiat tersebut antara lain adalah meningkatkan metabolisme. Kandungan yang ada di dalam teh dapat membakar kalori dan mengurangi lemak tubuh. Manfaat berikutnya adalah mencegah peradangan. Peradangan telah dikaitkan dengan segala hal mulai dari diabetes hingga penurunan kognitif. Faktanya, peradangan telah diimplikasikan sebagai akar dari hampir semua penyakit kronis. Sehingga teh berpotensi membantu mengurangi risiko kematian akibat penyakit tertentu (penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker).

Manfaat minum teh selanjutnya yaitu membantu meningkatkan kesehatan otak (mencegah Alzheimer dan penyakit neurodegeneratif lainnya). Di samping itu, teh bisa meningkatkan kesehatan mulut (mengurangi risiko penyakit periodontal, gigi berlubang, dan bahkan mungkin kanker mulut). Juga membantu meningkatkan kesuburan, berkurangnya penyerapan karbohidrat, peningkatan kadar gula darah, dan penurunan berat badan.

Melihat kegunaannya yang luar biasa, mungkin tradisi ini harus dikembalikan lagi keberadaannya. Sehingga guru dapat terjaga raganya dengan baik. Bila fisiknya sehat, tentu akan mengajar dengan senang. Ingat pepatah dari Eropa, "Men sana corpore sano". Di dalam badan yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.

B. Tirakatan
Tirakatan di sini dapat diartikan macam-macam. Dari mencegah diri untuk tidak berkorupsi hingga makan-minum (berpuasa). Mungkin dari semua tindakan pencegahan itu, korupsi adalah hal yang mudah dihindari. Sebab apa yang mau dikorupsi? Kapur? Spidol boardmarker?

Yang menjadi pertanyaan penting di sini, masih adakah guru yang tirakatan? Misalnya puasa? Ada? Saya yakin akan kesulitan ketemu guru seperti itu. Jika masih ada, boleh berkabar ke saya.

Guru dulu berpuasa demi muridnya, berpuasa demi kelancaran tugas mendidiknya adalah hal yang lumrah. Namun sekarang, paling banter hanya mendoakan. Itu pun tidak setiap hari. Kalau sudah begini, iya jangan berharap muridnya pandai-pandai plus beretika. Oleh karena itu, mengapa hal ini tidak dibudayakan lagi? Sebab bagaimanapun juga, kemajuan suatu bangsa melekat di tiap punggung guru.

Sumber: id.lovepik.com dan merdeka.com

18 Februari, 2022

, ,

Dark Jokes ala Siswa


Di hari Jum'at yang cerah, di sebuah taman-taman kanak-kanak, seorang ibu guru meminta seorang anak didik menyanyikan sebuah lagu. 

"Nina, ayo nyanyikan lagu kesukaanmu," pinta bu guru. Dan Nina berdiri lalu menyanyikan lagu kesukaannya, "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."

Setelah mengulangi dua kali lirik di atas, Nina pun duduk di kursinya lagi. Kemudian bu guru meminta anak-anak bertepuk tangan. Setelah anak-anak bertepuk tangan, bu guru berkata, "Andi, sekarang giliran kamu menyanyikan lagu kesukaannmu." 

Andi lalu menjawab, "Bu, aku tidak punya lagu kesukaan." 

Lalu bu guru membalas begini, "Ya sudah kamu bisa menyanyilan lagu yang dinyanyikan Nina."

Kemudian Andi menyanyikan lagu "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok bukanlah Nina."

Mendengar liriknya seperti itu, teman-temannya tertawa sambil bertepuk tangan. Dan bu guru pun menjadi bertanya, "Liriknya kok jadi gitu?"

Andi menjawab dengan santainya, "Kan aku bukan Nina. Aku kan Andi." 

Mendengar ini, bu guru menjadi diam terpaku

Beberapa bulan kemudian, Nina dan Andi sudah berada di sekolah dasar, di ruang kelas yang sama. Kini Andi mendapatkan giliran pertama menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima." 

"Balonku ada lima, meletus semunya. Dor, habis."

Mendengar seperti ini, teman-temannya tertawa termasuk juga Nina. Bu guru buru-buru bertanya, "Mengapa jadi gitu lagunya?"

Andi menjawab, "Iya gapapa, kan bu. Nanti bisa beli lagi balonnya".

Bu guru lalu menasihatinya, "Kalau begitu terus uangnya habis dong. Mending uangnya ditabung ya nak. Karena itu, jika sudah ada yang meletus, yang lain dijaga biar tidak meletus."

"Nggak ah bu. Kan orang tuaku kaya", ujar Andi.

Bu guru lalu menimpali jawaban Andi, "Gini Andi, kita sejak kecil harus belajar hemat."

Andi pun menyergah, "Kalau hemat, mengapa harus beli lima? Hayo?"

Bu gurunya menjadi diam "terpalu".

Sumber gambar: youtube.com

17 Februari, 2022

, , , ,

Guru dan Kegemaran "Berdiskusi" Tanpa Solusi

Pada suatu minggu di sebuah ruang guru, terjadilah diskusi non formal tentang berbagai hal yang terjadi di sekolah.

Senin
Setelah upacara bendera selesai, guru-guru mengobrol tentang perilaku siswa yang tidak tertib. Mulai dari tidak memakai atribut yang tidak lengkap sampai datang terlambat (padahal rumah dekat). Ketika ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau bangun kesiangan. 

Pembicaraan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Soalnya mendisiplinkan lewat jalur disetrap atau membiarkan di luar pagar, kok seakan melukai hati mereka. Mereka berpikir lembaga pendidikan berlabel "Sekolah Ramah Anak", tak mungkin melakukan hal itu. Dan pembicaraan itu berakhir #krikkrikkrik.

Selasa
Di hari selanjutnya terjadi dialog tentang sikap siswa yang suka tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau kalau mengerjakan asal jawab saja, padahal tinggal cari di buku. Kalau ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau langsung dijawab tanpa melihat buku. 

Mau mendisplinkan dengan menyuruh mereka untuk menulis seratus kalimat berisi "Aku akan mengerjakan PR dengan baik". Kok pernah diprotes wali murid dengan ungkapan, "Hukumannya nggak kreatif, seperti itu melulu". Dan dialognya lagi-lagi berakhir dengan  #krikkrikkrik.

Rabu
Di hari ini mengeluhkan beberapa anak yang suka tidak membawa peralatan menulis. Kerjaannya hanya pinjam dari temannya. Saat ditanya jawabnya ya sama terus. Kalau tidak lupa ya barangnya sudah habis. Dinasihati agar selalu mengecek peralatan tulisnya setiap mau berangkat sekolah, juga tak pernah dijalankan. Bila dibilang ya beli, katanya belum punya uang, padahal jajannya kayak orang habis kondangan. Dan keluhan itu juga berakhir #krikkrikkrik.

Kamis
Di hari keempat, ada yang ingin siswanya berprestasi. Semua ber-bla-bla mengeluarkan pendapatnya. Ya harus inilah, ya haruslah itulah. Namun ujung-ujungnya mentok soal dana. Dan sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari perbincangan itu, cuma menghasilkan #krikkrikkrik.

Jumat
Guru-guru berkumpul seperti biasa dan berkata, bahwa anak-anak sekarang tidak punya etika. Dan membandingkan sikap mereka yang santun pada guru, di masa saat mereka masih bersekolah. Pokoknya siswa-siswi saat ini, dianggap kurang bermoral. Tidak lagi mau menghormati guru. 

Mereka memandang ini salahnya kurikulum, salahnya lingkungan, salahnya pemerintah, dan salahnya orang tua sendiri. Tidak ingat, bahwa mereka punya peran juga. Dan obrolan ini pun berakhir #krikkrikkrik.

Sabtu
Di akhir pekan, guru-guru kehabisan bahan diskusi. Karena itu mengobrol ngalor-ngidul. Setelah capek, mereka pun memutuskan pulang. Baru kali ini, ada keputusan dan hasilnya muncul dengan "bijaksana". Tidak seperti biasanya, selalu berakhir dengan #krikkrikkrik.

Begitu di minggu depannya, pembicaraan itu berlangsung terus menerus. Hanya bergeser saja topik pembicaraan setiap harinya. Apakah mereka tidak bosan melakukan hal itu? Terkadang iya, tapi mau bagaimana lagi. Mereka merasa tidak punya kemampuan untuk merubah. 

Sumber gambar: cleanpng.com



 

16 Februari, 2022

,

Kebetulan Ini Kisah Kepsek Imajiner

Kata orang, termasuk mungkin guru-guru saya, posisi saya enak betul. Tinggal perintah ini, tinggal perintah itu. Dan harus dilaksanakan dengan betul. Pendapat ini tidaklah betul seratus persen. Tukang nyuruh-nyuruh, itu cuma kelihatannya. Yang betul adalah apa yang saya perintahkan berdasar pada kajian saya. Kajian ini merupakan hasil penjabaran dari kebijakan yang di atas. Saya harus mampu melihat betul, mana yang disegerakan, mana yang dikerjakan bertahap. Jadi tidak sekadar main perintah, betul-betul ada dasar hukumnya. 

Oleh karena itu, jangan menganggap saya serba betul. Lebih tepatnya malah serba salah. Sebab saya juga paham sepaham-pahamnya. Kan pernah jadi guru "yang betulan". Jadi tahu betul akan kepahitannya. Makanya saya bukanlah kacang yang lupa kulitnya. Tapi ya itu tadi, saya punya atasan yang juga wajib didengar segala arahannya. Mau tidak mau, ya harus sendika dawuh. Siap terus, pantang bersurut. Itu pula yang saya minta ke rekan-rekan guru saya. Berarti tindakan saya  betul kan?

Coba dimana letak tidak betulnya? Tak mungkin ketemu. Hanya jiwa-jiwa pemalas yang mencoba menolak hal yang betul tadi. Bagi yang taat aturan, pasti patuh dan bersemangat melaksanakan. Bukan mencari-cari dalih pembenar dari perilaku yang tidak betul. Meskipun begitu, saya tetap paham. Tiap oramg pasti punya pemikiran dan keinginan berbeda-beda dalam meninjau suatu hal. Walaupun terkadang tinjauannya lebih cenderung ke ego pribadi. Tidak mau mempertimbangkan konsekuensi logis dari tingkah lakunya. Maunya yang enak-enak betul. Kalau sudah begini, apa saya tidak boleh sedikit keras? 

Pasti mereka yang mengira sikap saya ini kurang betul, pada akhirnya membetulkan juga ketika mereka sudah seperti saya. Jadi pimpinan. Kenapa saya bisa tahu? Sebab dulunya, saya juga begitu. Suka menyalah-nyalahkan atasan. Pendeknya hampir semua perilaku beliaunya tidak ada yang betul. Berarti karma dong? Mungkin betul pendapat ini.

Sumber gambar: dribbble.com

14 Februari, 2022

, ,

Mandi dan Cebok Pun Diurusi Guru

Jangan mengira, urusan guru cuma ngajari cara menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima" hingga Trigonometri. Lebih daripada itu. Bahkan jika pernah mengampu di kelas bawah atau rendah (istilah yang diperkenalkan Kurikulum 2013 untuk menyebut kelas 1-3), maka akan lebih luas. Jadi call-center, penitipan anak sementara, sampai urusan yang seharusnya hak seratus persen ortu. Seperti cebok dan mandi.

Kok sampai urusan cebok dan mandi segala? Betul urusan domestik seperti ini terkadang, guru punya peran yang besar. Siapa bilang, anak yang sudah memasuki usia sekolah terus punya kecakapan "mengeluarkan hajat hidup pribadi"? Banyak terjadi di lapangan, meskipun tidak terjadi tiap tahun, anak tidak berani buang hajat di kamar mandi lalu nggembol di celananya. Atau yang lebih baik sedikit daripada ini, yaitu minta dicebokin

Ini mengandung dilema lho. Tidak menjamin bu gurunya yang notabenenya perempuan, terkadang jijik jika harus menceboki siswinya. Padahal dia juga mempunyai seorang putri. Kalau minta tolongnya, ke rekan guru perempuan sih nggak masalah. Tapi bila ke rekan guru yang lelaki, bahkan penjaga sekolah yang laki-laki, ini kan jelas kurang etis. Dan malah lebih sadis,  minta anak itu pulang tanpa diantar, dengan membawa "buah yang tidak diinginkan itu". 

Mau menyalahkan kelakuan tercela ini, murni karena ketidakempatian guru belaka, kok kebangetan. Sebab guru juga manusia. Ada juga rasa yang terkadang terlihat kurang baik. Namun bila diselidiki lebih dalam, bisa jadi karena kekhawatiran. Tahu sendiri kan jaman sekarang, perbuatan menceboki bisa dianggap perbuatan yang melanggar privacy dan susila? Jika begini halnya, perbuatan guru tersebut tidaklah salah seratus persen. Dan mungkin nanti, bila ada kelas parenting, bolehlah materi tentang potty training alias toilet training ini juga disisipkan.