05 Maret, 2022

,

My Diary "Membuat" Corona Sebagai Metode Belajar

29 Maret 2021
           Sekitar pukul 19.30 malam ini, saya keluar rumah untuk mencari makan. Di tengah perjalanan menuju rumah, tiba-tiba saya mendapatkan sebuah gagasan. Gagasan yang berkaitan dengan metode pengajaran. Sebenarnya gagasan ini cukup sederhana. Yang tak sederhana adalah namanya.
           Bagaimana bisa sederhana, kalau namanya adalah Corona? Siapapun hari ini pasti parno kalau mendengar kata Corona, tak cuma di Indonesia. Padahal bisa jadi yang dibahas adalah sebuah merek mobil dari Jepang. Karena itu bisa jadi, saya dianggap tak peka keadaan. "Keadaan pelik kok dibuat main-main", mungkin itu pikiran mereka.
           Terlepas dari ada dan tidaknya tuduhan itu, saya cuma bisa ngomong ini adalah sebuah gagasan. Tidak ada gagasan yang buruk. Apalagi gagasan ini tidak ditujukan untuk olok-olok ataupun meledek. Jadi ini murni tanpa tendensi. Malahan ini dapat dikatakan upaya untuk tidak terlalu dikekang penyakit itu. Masak kita mau dijajah terus-terusan olehnya? Tentu tidak kan?
           Terus bagaimanakah Metode Corona ini? Metode ini merupakan kependekan Coba Renungkan Obrolan dan  Cari Nilainya. Mungkin ada yang menyeletuk, "Kok maksa sih?". Betul kesannya memang dipaksakan. Ini tentu tak bisa dibantah. Namun, bila diteliti lebih dalam, bisalah hal itu. Mau ngomong itu tak sesuai PUEBI? Soal itu bisa kita bahas lain waktu.
           Kalau dibahas sekarang, pasti tulisan ini takkan jelas kelar-kelar jadinya. Untuk itulah kita lebih fokus pada Metode Corona ini saja. Metode ini dalam pembelajarannya berbasis dialog (percakapan). Dan tentu saja metode ini lebih cocok digunakan untuk pembelajaran di PKn dan Bahasa. 
           Dalam prosesnya, guru menyediakan sebuah dialog untuk dikaji secara individual oleh setiap siswa. Dan hasil dari kajiannya ditulis pada sebuah sticky note (ukuran 10cm x 10cm). Setelah itu ditempelkan di papan. Lalu guru mengajak anak-anak untuk melakukan diskusi kelas. Beginilah kira-kira konsepnya. Jika ada yang protes dan bilang, "Kok cuma gitu". Saya cuma bisa membalas, "Habis baru dapat tadi gagasannya."

30 Maret 2021
           Tadi malam, sudah saya ceritakan tentang bagaimana saya memperoleh Metode Corona. Sekarang saya akan lanjutkan ceritanya. Ceritanya nanti ini akan mengupas tentang pengembangannya.
           Setelah saya mendapatkannya, terus terang saya terpacu untuk menjadikannya sebuah buku. Dan pagi ini, saya mulai merancang apa-apa yang menjadi bagian buku tersebut. Buku ini nantinya berisi tentang berbagai pengertian dan "dalil" yang menyertainya. Selain itu, yang tak kalah penting adalah alasan mengapa metode ini harus ada. Sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif pilihan bagi bapak atau ibu guru untuk mengajar di sekolah.
           Di bawah ini adalah urutan bab yang direncanakan termaktub di dalam buku tersebut.
1. Belajar
2. Model Pembelajaran
3. Teks Bacaan
4. Dialog
5. Mencari Makna (Nilai)
6. Inventarisasi dan Klasifikasi
7. Diskusi Kelompok dan Kelas
8. Media Kertas Tempel
9. Tata Laksana
           Dari perencanaan urutan bab di atas, kelihatannya memudahkan saya dalam melangkah. Langkah awal yang mungkin saya ambil, pertama adalah mencari referensi. Termasuk di dalamnya KBBI, PUEBI, dan segala peraturan yang terkait. Langkah yang kedua adalah, menentukan target waktu. Berapa hari atau minggu yang saya butuhkan untuk menulis. Berapa jam seharinya. Langkah berikutnya lebih kepada aksinya, menulisnya. Dan itu dululah cerita saya, pagi ini. Bye. 😁

Sumber gambar: pnj.ac.id
NB: NB: Tulisan ini pernah saya posting di beberapa grup WhatsApp, dengan judul "Corona Kita Jajah Balik" dan "Mengembangkan Metode Pembelajaran Corona". Pada tanggal 29-30 Maret 2021. Dan sampai sekarang, buku ini belum dibuat. 😅

04 Maret, 2022

Sekolah Buat Apaan Sih?


Ada banyak jenis pertanyaan yang kadar kenylekitannya begitu tinggi, hingga membuat hati kita sebagai guru njarem-njarem. Dan judul di atas adalah salah satunya. Pertanyaan itu jelas menyiratkan tentang betapa tidak pentingnya sekolah. Bisa jadi pertanyaan itu terlahir dari sebuah anggapan, bahwa sekolah adalah hanya tempat mencari ilmu. Sedangkan sekarang ilmu bisa dicari dimanapun. Tanpa sekolah pun bisa.

Mereka yang beranggapan bahwa sekolah hanya tempat mencari ilmu belaka, sesungguhnya berpikir secara picik. Sebab dalam four pillars of learning (empat pilar belajar) yang dirilis oleh Unesco, sekolah harus menjadi lahan yang cocok untuk hal-hal berikut ini.

(1) Learning to know (belajar untuk mengetahui)
Belajar untuk mengetahui, maknanya adalah sekolah menjadi sarana untuk mencari ilmu pengetahuan. Dan siswa dapat mempergunakannya untuk memahami berbagai hal riil maupun abstrak yang ada di kehidupan.

(2) Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu)
Belajar untuk melakukan sesuatu, artinya adalah pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan dalam keseharian. Dan mendorong adanya penemuan, apabila timbul suatu permasalahan. 

(3) Learning to be (belajar untuk menjadi)
Belajar untuk menjadi, maksudnya yaitu sekolah mampu mendorong munculnya potensi siswa ke permukaan. Dan memantik mereka untuk mau dan mampu memilih sesuai dengan apa yang diinginkannya.

(4) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Belajar untuk hidup bersama, berarti agar sekolah dapat membuat iklim yang bersahabat, saling menghormati dan menghargai segala perbedaan yang ada. Sehingga para siswa tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dari paparan keempat pilar tadi, jelas bahwa sekolah sangat penting bagi kita, sangat penting bagi generasi penerus bangsa. Jadi pandangan bahwa sekolah hanya tempat mencari ilmu saja, adalah pandangan yang sempit. Pandangan itu kalau didalami, hanya berpatokan pada pilar pertama saja, yaitu learning to know.

Apalagi kalau ada pandangan yang menyebutkan bahwa sekolah hanyalah tempat untuk mempersemaikan orang-orang yang penurut. Ini adalah pandangan yang salah besar. Sekolah diciptakan kehadirannya untuk membekali anak-anak manusia, agar dapat meresapi denyut nadi kehidupan kekinian, dan tak menjadi gagap ketika kelak menjadi manusia dewasa seutuhnya. 

Sumber gambar: shutterstock.com

03 Maret, 2022

,

Apa Sih Isinya Situs Pendidikan?

Bagi yang penasaran atau pengen saran, dapat membaca bahasan berikut ini. Namun jangan memasang target tinggi-tinggi lho ya, takutnya jatuh. Kalau jatuh sampai yang nolongin coba? Nggak ada. Sebab jatuhnya itu di dalam benak, jadi yang tahu ya Anda sendiri bukan orang lain. Kalaupun dicurhatkan ke orang lain, itu juga kadang kagak nolong. Sebab responsnya bisa saja cuma begini, "Gitu ya?" Bikin nyesek dua kali kan? Mending nggak usah. Nikmati saja. Termasuk menikmati intro tulisan yang mungkin bikin ilfil ini, dan mulut auto-ngomong, "Ih ini tulisan apaan sih?" 😁

Ya sudah, saya sudahi saja, biar tidak semakin enek perasaannya. Tapi sebenarnya jujur saja, ketika membaca judul tulisan ini, hawa agak-agak tidak serius sudah terasa. Baik yang peka maupun kurang peka perasaannya. Jadi tak mungkin, kalau "pembukaan" itu disangka cengengesan yang tak berguna alias unfaedah.

Baiklah saya mulai ulasannya, berbicara tentang situs pendidikan tentu berbicara tentang kebutuhan guru sehari-hari. Kebutuhan sehari-hari itu tidak jauh dari bahan ajar dan ditambah dengan administrasi yang melingkupi. Dengan melihat kebutuhan tersebut, pasti situs-situs pendidikan berusaha seoptimal mungkin menyediakan yang paling update. Dan yang paling update tentu saja mengalami lonjakan traffic setiap hari.

Agar pelayanan menjadi optimal, situs-situs itu menjadi spesialis di bidang tertentu. Hal ini tentu saja dalam rangka memudahkan dan mempercepat pencarian. Meskipun begitu, ada juga yang mengambil langkah untuk memberikan segalanya atau one stop shopping. Palugada, apa yang lu mau gue ada. Prinsip ini juga tidak salah. Sebab bisa jadi pengunjung, tidak ingin berpindah-pindah. Suka puas di satu situs saja.

Walaupun begitu, tetap pula melakukan pelabelan dan kategorisasi. Dan umumnya kategori yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Materi pelajaran 
2. Soal-soal
3. Administrasi kelas
4. Administrasi sekolah
5. Administrasi kepegawaian
6. Teknologi di bidang pendidikan
7. Warta pendidikan
8. Perlombaan

Selain kategori yang umum di atas, ada pula kategori lainnya. Namun seringkali terbatas pada kategori motivasi dan renungan. Hampir sulit menemukan situs maupun blog yang mengulas hal-hal pendidikan secara ringan, seperti di blog ini. 😄

Sumber gambar: colorlib.com
,

Masak Ada Guru yang Tak Ngoyo Ngopeni Muridnya?

Jika ada guru yang bilang,"Nggak usah ngoyo-ngoyo. Lha wong anaknya orang". Bisa dipastikan platform berpikirnya sudah keluar jalur. Bagaimana tidak keluar jalur? Sebab pekerjaannya guru adalah mengurusi anaknya orang lain. Kalau tidak mengurusi anaknya orang lain, lantas pekerjaannya apa? Ghibah gitu? Kan nggak tho?

Yang namanya mengurusi anak orang tak boleh setengah-setengah, harus sengoyo mungkin. Sebab kelak mereka yang mewarisi peradaban saat ini. Kita pasti tak mau peradaban kita mendadak ambyar berantakan ketika di tangan mereka. Karena mereka tak punya bekal dan bingung harus melakukan apa.

"Ngapain mikir terlalu jauh?" Kalau ada yang menyergah pendapat itu. Oke, baiklah ini ada pendapat yang lebih masuk akal dan pasti menohok. Apa kita mau anak-anak kita dibimbing oleh guru-guru yang maunya santai saja? Yang kerjaannya nyuruh murid mengerjakan tugas seabreg dari buku, sedikit ngasih penjelasan, dan hobinya marah-marah melulu. Tentu tak mau bukan? 

Jika tak mau, tentu kita harus menengok diri kita di cermin masing-masing. Sudah seberapa pantas kita menjadi guru? Sudahkah menghiasi diri dengan ilmu yang mumpuni? Sudahkah belajar setiap hari untuk meng-update pengetahuan? Sudahkah menggelar pengajaran yang menyenangkan dan bermakna? Sudahkah berkeringat-keringat untuk menggali potensi siswa? 

Apabila belum, berani nggak menunjuk ke jidat sendiri? Lalu bilang, "Benarkah saya ini guru?" Kemudian lekas-lekas resign, menyerahkan surat pengunduran diri. Saya kok haqqul yaqin nggak ada yang berani, meski kita belum melakukan itu semua. Coba kenapa?

Sumber gambar: pinterest.com

02 Maret, 2022

,

Public Speaking-nya Guru

Alhamdulillah, akhirnya saya bisa menulis di blog ini tentang webinar yang diadakan Kelas Berbicara atau lebih suka menahbiskan diri sebagai Kelas Public Speaking. Di Kelas Public Speaking yang sekarang sudah sampai gelombang 5 ini, saya diminta menjadi anggota Tim Horrreee. Saya sebenarnya nggak tahu kapasitas saya, sehingga sampai "tega" dimasukkan ke dalamnya. Katanya saya ini, begini dan begitu. Dan mungkin juga "begono". Karena dasarnya saya orangnya mauan, iya saya mau. Mungkin ini yang disebut dengan begono tadi. Gitu Maszzzeeeh.

Di pertemuan kelima, atau tepatnya tadi malam, saya mengikuti sampai tuntas. Ini berbeda dengan pertemuan sebelum-sebelumnya, hanya secuil. Alasannya klasik saja, dan ini tentu dengan mudah ditebak. Jadi tak perlu dibahas dengan dalam. Hanya di pertemuan pertama saya ngikut. Bukan karena tak ada kendala, tapi ya kebetulan jadi pembicara pengganti. Jadi mau tak mau, apapun kendala harus dikendalikan.

Sedangkan di pertemuan kelima, tak ada kendala. Pokoknya lancar-car-car. Senang dong. Apalagi materinya yang luar biasa, tentang hubungan guru dan murid. Guru harus mampu memahami karakter dan juga memfasilitasi potensi-potensi yang dimiliki para siswanya. Sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai generasi hebat. 

Agar dapat lebih menangkap maksud saya tadi, bacalah resume-resume yang saya cuplik dari beberapa blog peserta. 

1. https://leniguruuhuy.blogspot.com/2022/03/gurunya-manusia.html?m=1

Tak dipungkiri saat ini segala aspek sudah menggunakan sistem elektronik, termasuk dalam aspek pendidikan yang biasa kita kenal dengan istilah e-learning. Kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat sangat membantu proses pembelajaran saat masa pandemi ini, namun juga memiliki  dampak pada perkembangan anak didik kita.

Beliau menuturkan dari hasil penelitian yang dilakukan, masalah anak didik kita saat ini 20% adalah masalah akademis dan 80% adalah masalah non akademis. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kita semua, termasuk para guru. Dari 80% ditemukan empat masalah yang paling utama : adiktif gadget, adiktif pornografi, abuse, dan anti sosial

2. https://guruuningabersamabulieze.blogspot.com/2022/03/guru-manusia-di-masa-pandemi.html?m=1

Saat seorang guru tidak bisa menjadi guru manusia, maka perannya akan digantikan oleh gadget. Oleh karena itu, solusi cerdasnya adalah menjadi the inspired teacher.

Ciri-ciri the inspired teacher adalah :

1. Kita harus berperan sebagai orangtua yang memberi nasehat

2. Guru yang memiliki pengetahuan lebih

3. Sahabat yang mau diajak berbagi

Kalau tidak bisa seperti itu, maka kita bisa tergantikan oleh robot. Bahkan dengan hologram, satu guru dapat terlihat di beberapa kelas (sampai luar negara pun bisa). Tentu dengan penyesuaian bahasa.

3. https://swulandarigawaikucoretankugmld21.blogspot.com/2022/03/guru-manusia-dimasa-pandemi-menjadi.html?m=1

Dalam masa e-learning ini diperlukan kemampuan khusus, agar kita tidak tergantikan oleh tenaga robot yang sudah dikembangkan di negara maju. Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai solusi atas masalah ini? Tentu dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Sikap guru teladan
2. Semua anak didik  dilahirkan  adalah seorang bintang
3,  Kemampuan yang sifatnya seluas samudra
4. Anak cerdas dengan multiple  intelligence
5. Masa Revolusi 4.0, guru dituntut harus  memiliki kemampuan di bidang teknologi multimedia

Untuk penjelasannya lebih dalam, tontonlah materinya di tautan berikut ini: https://youtu.be/DrpP716k7Fs

Modal Jadi Guru Cuma Dua, Keturunan dan Kepepet

Sebagian besar guru yang saya temui, ternyata adalah keturunan dari guru. Sehingga saya dapat berasumsi, bahwa menjadi guru merupakan sebuah cara menjaga warisan leluhur. Nasab yang tak boleh putus atau lekang, meski diupah tak masuk akal.

Tentu ada yang tak sependapat dengan asumsi saya. Dan ini sah-sah saja. Tapi meskipun begitu, punyakah bukti otentik mereka ini? Semacam hasil survey atau pendataan. Jika tidak, ya sama saja seperti saya. Cuma bedanya, saya sudah "mensahihkan" pendapat saya lewat pertanyaan dan pengamatan secara langsung.

Dengan begitu, minimal saya tidak asal jeplak. Walau bisa dibilang, tidak terdokumentasi secara ilmiah. Ini bukan apologi atau ngeles lho. Sebab pendapat tentang hal apapun, harusnya diuji kevalidannya. Sehingga tidak tersungkur ke dalam kubangan debat yang tak berujung pangkal.

Wah bosonya kok terlampau puitis? Wes koyok gitulah. Pokoknya sesuatu yang terlontar dari mulut kita, sedapatnya dipertanggungjawabkan. Baik secara akademik maupun etik. Lah keterusan ngomong ginian. Piye tho kih? Kok geting aku.

Ya sudah kita akhiri perkataan yang ndakik-ndakik tadi. Sekarang kita kembali ke topik bahasan. Jika memang sebagian besar, tentu ada sebagian kecil dong? Yup betul sekali. Yang sebagian kecil itu, isinya sebagian besar berasal dari faktor kepepet. Dan ini jangan dibantah lagi. Sebab perolehan datanya juga sebelas-dua belas dengan metode yang digunakan pada hal sebelumnya.

Mengapa kepepet menjadi faktor pencetus orang menjatuhkan pilihan pada profesi guru? Karena ketika tak ada kesempatan atau lowongan kerja yang dapat dimasuki, menjadi guru adalah pilihan rasional. Kerasionalannya ini jika dibedah, akan terlihat seperti ini. Gaji gede, tunjangan lumayan, kerjaan cuma ngecuwes, dan kalau sudah senior bisa nge-bully junior dengan bebas tanpa terjerat hukum.

"Ooo berarti tidak majunya pendidikan di Indonesia, gegara ini dong?" Soal ini, bukan kapasitas saya untuk menjawab, meskipun didesak terus. Kalaupun akhirnya mau menjawab, paling-paling jawaban saya tidak jauh dari ungkapan ini, "Kok tanya saya?"

Sumber gambar: etsy.com
NB: Tulisan ini pernah saya posting di beberapa grup WhatsApp, dengan judul "Keturunan vs Kepepet". Pada tanggal 23 Januari 2022.

01 Maret, 2022

,

Menyibak Karakter Guru Inovatif


Saya yakin semua guru saat ini, adalah guru yang inovatif. Cuma yang membedakan adalah tingkatan keinovatifan. Sehingga wajar, ada yang nampak di permukaan. Ada pula yang "terendus" pun tidak. Ini bukan karena soal koneksi, bisa jadi cuma nasib belaka. 

Dan seringkali keinovatifannya itu tidak selalu dirasa sebagai sebuah inovasi. Dianggap hal yang normal-normal saja. Ini menjadi problem tersendiri. Sebab bisa jadi inovasinya tadi mampu mengubah wajah pendidikan kita yang sudah bopeng menjadi glowing

Makanya ketika guru menemukan sebuah gagasan yang inovatif, harus di-support benar-benar. Baik dana, do'a, maupun dukungan kebijakan. Tidak cuma perkataan, "Loe hebat Bro." Harus ada langkah-langkah taktis dan teknis yang mengawal. Agar inovasi itu tidak "terjerembab" di tengah jalan. 

Dengan demikian juga menginspirasi tumbuhnya inovasi-inovasi di berbagai tempat dan bidang. Karena pendidikan adalah induknya peradaban. Jika pendidikannya maju, maka peradabannya menjadi gilang-gemilang. Dan ini tentu hal yang kita idam-idamkan. 

Untuk itu setiap guru harus mengenali maqom keinovatifannya, agar bisa diberdayakan secara sistematis, masif, dan terencana. Dan di bawah ini, bisa dilihat dengan mata telanjang, kedudukan keinovatifan yang bercokol di diri tiap guru.

1. Andaikan
Pada tataran awal ini, keinginan berinovasi masih dalam angan-angan. Belum tergugah secara internal. Ada semacam ketakutan fobik di dalam dadanya.

2. Ashiap
Ini adalah level kedua, dimana keinovatifan mulai diejawantahkan, direncanakan untuk diterapkan. Harapan baru oase dalam pengajaran keseharian, menjadi nampak secara lamat-lamat.

3. Asoy
Di tingkatan ini, keinovatifan sudah melalui tahapan "evaluasi". Sudah dikenali sisi keunggulannya. Dan sudah layak disebut dengan istilah kekinian, yaitu pengampu best practice.

4. Amplifikasi
Ini adalah maqom puncak, dimana inovasinya disebarluaskan. Tidak cuma dipendam dan diperam di kelas dan sekolahnya. Tapi sudah mengglobal. 

Demikian keempat tingkatan keinovatifan. Dan setiap guru, pasti tahu dimana tingkatannya sekarang. Jangan sampai ada guru  yang level awal pun belum ada di benaknya. 

Sumber gambar: pamercourses.com