19 Februari, 2022

, ,

Jika Robot Punya Karakter, Bisakah Menjadi Guru Kita?


Jika Anda mau searching dengan kata kunci "robot menjadi guru", maka kemungkinan bertemu sebuah warta tentang pemakaian robot sebagai pengganti guru manusia di kedua Korea. Korea Selatan yang kita ketahui sebagai negara yang bebas dan terbuka, telah menerapkan pemakaian robot sebagai guru di tingkat TK dan SD, sejak 2010. Dengan alasan efisiensi anggaran. Sebab guru manusia sebagian harus "diimpor" dari luar. Sehingga pembiayaan di sektor pendidikan meninggi. Dan ini bisa diatasi, dengan menggantikan tenaga manusia dengan robot.

Tak jauh beda dengan Korea Selatan, Korea Utara meski terlihat sebagai negara tertutup dan jauh mutu pendidikannya dengan saudaranya itu, juga mulai ikut-ikutan. Demi mereformasi pendidikan di sana, menggelontorkan sejumlah dana untuk penggantian guru manusia dengan robot. Di jenjang pendidikan yang sama. Baru-baru ini, di tahun lalu, 2021. 

Itu baru terjadi di dua negara. Belum negara lainnya, khususnya yang sudah lebih maju dibandingkan kedua negara tadi. Mungkin bisa dipastikan sudah menerapkan hal serupa. Dan hal ini tentu dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Akankah kita kelak sebagai guru "dieliminasi" keberadaannya?

Walaupun dalam waktu dekat, kemungkinan itu musykil terlaksana. Karena kecerdasan buatan pada robot saat ini baru tahapan untuk menyamai atau menstimulasi kecerdasan manusia. Belum sampailah pada tahapan keterampilan sosial dan emosional. Bagaimana jika sepuluh atau dua puluhan tahun lagi, hal itu tercapai? 

Guru-guru kita nanti dikemanakan? Sebab pemerintah berencana ke depannya, peran ASN sebagian besar akan disandang oleh "mesin", termasuk robot di dalamnya. Kita lihat jumlah guru kita yang negeri (belum termasuk honorer, dan swasta) masih begitu besar jumlahnya. Jika mereka dianggap tidak lagi efektif serta efisien dalam bekerja, bisa jadi kemungkinan terburuknya akan dirumahkan. Atau dialihdayakan ke sektor lain. 

Mungkin renungan di atas, sekarang ini masih dianggap mengada-ada dan ngelantur. Namun bagaimana halnya jika itu menjadi terwujud, sudah siapkah kita? Ataukah kita masih berlindung kepada pesona para pakar yang berkata, "Kekurangan robot saat ini adalah tidak mampu mengajarkan karakter yang berbudi luhur"? Padahal kita sampai hari ini saja, masih susah mengajarkan etika pada siswa. Dan terus terang kita sebagai guru belum juga punya watak seperti yang diamanatkan perundangan. Lantas masih layakkah kita ... ...?

Sumber gambar: newsroom.cisco.com

18 Februari, 2022

, ,

Sekolah Harus Berani "Berganti Kulit"


Keluhan klasik yang terjadi setiap tahun di hampir semua sekolah adalah kekurangan murid. Dan banyak cara dilakukan untuk mengatasinya. Dari sekian itu ada sebuah cara yang seragam, yaitu membuat brosur dan pasang banner segede Gaban, di area atau gerbang sekolah. Yang agak melek internet, di-posting di media sosial. 

Apakah cara itu benar-benar efektif? Sebab banyak sekolah yang tidak menerapkan cara serupa, namun laris manis. Dan semua bangkunya terisi, bahkan sampai menolak-nolak calon siswanya. 

Apakah metode spanduk ini sudah seperti macam ompong? Bisa jadi. Sebab metode tersebut itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah murid. Meskipun di situ dipampang raihan medali dan piala. Juga beragam aktivitas, baik intra maupun ekstra. 

Jika memang demikian, apa yang harus dilakukan oleh sekolah, di samping mengandalkan metode itu? Yaitu melakukan pengamatan dan survey kebutuhan orang tua. Karena bisa jadi wali murid menginginkan sekolah yang tidak membebani siswanya dengan kegiatan padat, dari pagi sampai sore. Selain itu, menguntungkan secara finansial (biasanya ini terjadi di sekolah yang berada di lingkungan berpendapatan rendah). 

Dengan melihat hasil dari pengamatan dan survey tadi, akan menghasilkan pendekatan yang sesuai. Walaupun ini juga tidak menjamin seratus persen. Namun ini dapat menjadi lebih efektif daripada sekadar sebar-tempel brosur. Terlepas brosurnya menjanjikan iming-iming yang menggiurkan sukma.

Apakah ada cara lain? Tentu ada, dan banyak. Misalnya melakukan metode lomba. Orang selalu membayangkan budget-nya besar. Padahal tidak selalu, dan bisa mencari sponsor atau urunan dari orang tua wali murid. 

Selain itu bisa menggunakan metode bina lingkungan. Metode ini lebih cocok dilaksanakan di lingkungan sekitar sekolah. Metode ini mengacu pada pendekatan saat kegiatan atau hajat pribadi dan lingkungan. Contohnya pernikahan, khitanan, agustusan, qurban, dan lain-lain. Di sini sekolah dapat menurunkan guru-gurunya (dapat pula dengan murid) menjadi bagian dari semacam event organizer dari kegiatan warga itu. 

Metode lain adalah metode buzzer. Metode ini memanfaatkan kemampuan pihak lain untuk mewacanakan kehebatan dari sekolah. Pihak lain itu bisa dari walmur, murid, guru, atau orang yang dibayar, untuk terus menerus "memberondong" ruang udara pergaulan dengan statemen yang luar biasa dari sekolah tersebut. 

Bagaimana? Mau mencoba? Atau punya metode lain yang lebih cocok-terap? Sebenarnya metode apapun bisa diterapkan, asalkan sekolahnya punya nyali dan melepaskan diri dari ikatan "andaikan". Karena hanya sekolah yang "mencintai" perubahan, yang akan adaptif sepanjang masa. Bukan soal dia disokong negara atau swasta.

Sumber gambar: cartoonstock.com
, ,

Dark Jokes ala Siswa


Di hari Jum'at yang cerah, di sebuah taman-taman kanak-kanak, seorang ibu guru meminta seorang anak didik menyanyikan sebuah lagu. 

"Nina, ayo nyanyikan lagu kesukaanmu," pinta bu guru. Dan Nina berdiri lalu menyanyikan lagu kesukaannya, "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok digigit nyamuk."

Setelah mengulangi dua kali lirik di atas, Nina pun duduk di kursinya lagi. Kemudian bu guru meminta anak-anak bertepuk tangan. Setelah anak-anak bertepuk tangan, bu guru berkata, "Andi, sekarang giliran kamu menyanyikan lagu kesukaannmu." 

Andi lalu menjawab, "Bu, aku tidak punya lagu kesukaan." 

Lalu bu guru membalas begini, "Ya sudah kamu bisa menyanyilan lagu yang dinyanyikan Nina."

Kemudian Andi menyanyikan lagu "Nina Bobok". 

"Nina bobok, oh Nina bobok. Kalau tidak bobok bukanlah Nina."

Mendengar liriknya seperti itu, teman-temannya tertawa sambil bertepuk tangan. Dan bu guru pun menjadi bertanya, "Liriknya kok jadi gitu?"

Andi menjawab dengan santainya, "Kan aku bukan Nina. Aku kan Andi." 

Mendengar ini, bu guru menjadi diam terpaku

Beberapa bulan kemudian, Nina dan Andi sudah berada di sekolah dasar, di ruang kelas yang sama. Kini Andi mendapatkan giliran pertama menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima." 

"Balonku ada lima, meletus semunya. Dor, habis."

Mendengar seperti ini, teman-temannya tertawa termasuk juga Nina. Bu guru buru-buru bertanya, "Mengapa jadi gitu lagunya?"

Andi menjawab, "Iya gapapa, kan bu. Nanti bisa beli lagi balonnya".

Bu guru lalu menasihatinya, "Kalau begitu terus uangnya habis dong. Mending uangnya ditabung ya nak. Karena itu, jika sudah ada yang meletus, yang lain dijaga biar tidak meletus."

"Nggak ah bu. Kan orang tuaku kaya", ujar Andi.

Bu guru lalu menimpali jawaban Andi, "Gini Andi, kita sejak kecil harus belajar hemat."

Andi pun menyergah, "Kalau hemat, mengapa harus beli lima? Hayo?"

Bu gurunya menjadi diam "terpalu".

Sumber gambar: youtube.com

17 Februari, 2022

, , , ,

Guru dan Kegemaran "Berdiskusi" Tanpa Solusi

Pada suatu minggu di sebuah ruang guru, terjadilah diskusi non formal tentang berbagai hal yang terjadi di sekolah.

Senin
Setelah upacara bendera selesai, guru-guru mengobrol tentang perilaku siswa yang tidak tertib. Mulai dari tidak memakai atribut yang tidak lengkap sampai datang terlambat (padahal rumah dekat). Ketika ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau bangun kesiangan. 

Pembicaraan ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Soalnya mendisiplinkan lewat jalur disetrap atau membiarkan di luar pagar, kok seakan melukai hati mereka. Mereka berpikir lembaga pendidikan berlabel "Sekolah Ramah Anak", tak mungkin melakukan hal itu. Dan pembicaraan itu berakhir #krikkrikkrik.

Selasa
Di hari selanjutnya terjadi dialog tentang sikap siswa yang suka tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau kalau mengerjakan asal jawab saja, padahal tinggal cari di buku. Kalau ditanya, jawabnya ya itu-itu saja. Lupa atau langsung dijawab tanpa melihat buku. 

Mau mendisplinkan dengan menyuruh mereka untuk menulis seratus kalimat berisi "Aku akan mengerjakan PR dengan baik". Kok pernah diprotes wali murid dengan ungkapan, "Hukumannya nggak kreatif, seperti itu melulu". Dan dialognya lagi-lagi berakhir dengan  #krikkrikkrik.

Rabu
Di hari ini mengeluhkan beberapa anak yang suka tidak membawa peralatan menulis. Kerjaannya hanya pinjam dari temannya. Saat ditanya jawabnya ya sama terus. Kalau tidak lupa ya barangnya sudah habis. Dinasihati agar selalu mengecek peralatan tulisnya setiap mau berangkat sekolah, juga tak pernah dijalankan. Bila dibilang ya beli, katanya belum punya uang, padahal jajannya kayak orang habis kondangan. Dan keluhan itu juga berakhir #krikkrikkrik.

Kamis
Di hari keempat, ada yang ingin siswanya berprestasi. Semua ber-bla-bla mengeluarkan pendapatnya. Ya harus inilah, ya haruslah itulah. Namun ujung-ujungnya mentok soal dana. Dan sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari perbincangan itu, cuma menghasilkan #krikkrikkrik.

Jumat
Guru-guru berkumpul seperti biasa dan berkata, bahwa anak-anak sekarang tidak punya etika. Dan membandingkan sikap mereka yang santun pada guru, di masa saat mereka masih bersekolah. Pokoknya siswa-siswi saat ini, dianggap kurang bermoral. Tidak lagi mau menghormati guru. 

Mereka memandang ini salahnya kurikulum, salahnya lingkungan, salahnya pemerintah, dan salahnya orang tua sendiri. Tidak ingat, bahwa mereka punya peran juga. Dan obrolan ini pun berakhir #krikkrikkrik.

Sabtu
Di akhir pekan, guru-guru kehabisan bahan diskusi. Karena itu mengobrol ngalor-ngidul. Setelah capek, mereka pun memutuskan pulang. Baru kali ini, ada keputusan dan hasilnya muncul dengan "bijaksana". Tidak seperti biasanya, selalu berakhir dengan #krikkrikkrik.

Begitu di minggu depannya, pembicaraan itu berlangsung terus menerus. Hanya bergeser saja topik pembicaraan setiap harinya. Apakah mereka tidak bosan melakukan hal itu? Terkadang iya, tapi mau bagaimana lagi. Mereka merasa tidak punya kemampuan untuk merubah. 

Sumber gambar: cleanpng.com



 

16 Februari, 2022

,

Kebetulan Ini Kisah Kepsek Imajiner

Kata orang, termasuk mungkin guru-guru saya, posisi saya enak betul. Tinggal perintah ini, tinggal perintah itu. Dan harus dilaksanakan dengan betul. Pendapat ini tidaklah betul seratus persen. Tukang nyuruh-nyuruh, itu cuma kelihatannya. Yang betul adalah apa yang saya perintahkan berdasar pada kajian saya. Kajian ini merupakan hasil penjabaran dari kebijakan yang di atas. Saya harus mampu melihat betul, mana yang disegerakan, mana yang dikerjakan bertahap. Jadi tidak sekadar main perintah, betul-betul ada dasar hukumnya. 

Oleh karena itu, jangan menganggap saya serba betul. Lebih tepatnya malah serba salah. Sebab saya juga paham sepaham-pahamnya. Kan pernah jadi guru "yang betulan". Jadi tahu betul akan kepahitannya. Makanya saya bukanlah kacang yang lupa kulitnya. Tapi ya itu tadi, saya punya atasan yang juga wajib didengar segala arahannya. Mau tidak mau, ya harus sendika dawuh. Siap terus, pantang bersurut. Itu pula yang saya minta ke rekan-rekan guru saya. Berarti tindakan saya  betul kan?

Coba dimana letak tidak betulnya? Tak mungkin ketemu. Hanya jiwa-jiwa pemalas yang mencoba menolak hal yang betul tadi. Bagi yang taat aturan, pasti patuh dan bersemangat melaksanakan. Bukan mencari-cari dalih pembenar dari perilaku yang tidak betul. Meskipun begitu, saya tetap paham. Tiap oramg pasti punya pemikiran dan keinginan berbeda-beda dalam meninjau suatu hal. Walaupun terkadang tinjauannya lebih cenderung ke ego pribadi. Tidak mau mempertimbangkan konsekuensi logis dari tingkah lakunya. Maunya yang enak-enak betul. Kalau sudah begini, apa saya tidak boleh sedikit keras? 

Pasti mereka yang mengira sikap saya ini kurang betul, pada akhirnya membetulkan juga ketika mereka sudah seperti saya. Jadi pimpinan. Kenapa saya bisa tahu? Sebab dulunya, saya juga begitu. Suka menyalah-nyalahkan atasan. Pendeknya hampir semua perilaku beliaunya tidak ada yang betul. Berarti karma dong? Mungkin betul pendapat ini.

Sumber gambar: dribbble.com

15 Februari, 2022

,

No Administration is My Dream Maszzzeeeh

Ini adalah sebuah kisah di negeri Antah Berantah. Kisah dari seorang bugucan (ibu guru cantik) yang bernama Kirain. Kisah tersebut berasal dari isi benak beliaunya. Dan beginilah kisahnya.

Orang-orang di atas itu gimana tho pikirannya? Saya kok ndak mudeng. Bikin kebijakan itu lho kok suka yang menyengserasakan guru. Mbokyao sekali-kali berpihak pada guru. Hidup kami itu sudah kembang kempis. Bisa dibilang kami ini mengidap tekanan dana rendah. Dan obatnya sebenarnya mudah. Naikkan gaji dan tunjangan. 

Jangan berkata tunjangan itu sudah cukup besar buat kami. Sebab besar apanya? Wong buat nambal cicilan kami tidak cukup. Sudah gitu, turunnya suka tersendat-sendat. Plus harus fotokopi yang ini dan yang ono. Itu belum termasuk dengan meterai. Ini ngasihnya ikhlas nggak sih? Sederhana ngapa?

Situ sih enak, kerjanya cuma tiduran. Dapat dana kenakalan, eh kenyantaian pula. Kalau melek mainnya Zuma dan hanya iya-iya aja bila menyangkut urusan yang tidak menyenggol periuknya. Coba saja turun ke bawah, ikutan ngajar. Nggak usah lama-lama, cukup satu-dua minggu. Pasti teriak sambat, dan nanti nangesKarena itu biarkan kami yang menyangga beban berat itu. Kalian nggak mungkin kuat. 

Di samping itu, dan ini yang penting. Soalnya tunjangan bukanlah hal yang terpenting. Apa kami ini tipe orang yang mata duitan? Kalau memang mata duitan, pasti ya nggak jadi guru. Mending olsop-olsopan, lebih bercuan. Yang kami minta cuma pengurangan bahkan penghilangan administrasi. Sebab kami bukan makhluk multitasking. Atau amoeba, yang bisa membelah diri. 

Jangan menganggap kerjaan kami hanya modal mulut. Please, stop. Itu pelecehan besar bagi kami. Ingat maju dan mundurnya bangsa ada di pundak guru. Makanya jangan sekate-kate. Apalagi bilang, "La wong tinggal copas atau ngeprint". Kedua hal tadi juga butuh keringat, tau.

Demikianlah kisah dari Bu Kirain. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, itu hanya sekadar kebetulan yang tidak disengaja.

Sumber gambar: pngtree.com

14 Februari, 2022

, ,

Mandi dan Cebok Pun Diurusi Guru

Jangan mengira, urusan guru cuma ngajari cara menyanyikan lagu "Balonku Ada Lima" hingga Trigonometri. Lebih daripada itu. Bahkan jika pernah mengampu di kelas bawah atau rendah (istilah yang diperkenalkan Kurikulum 2013 untuk menyebut kelas 1-3), maka akan lebih luas. Jadi call-center, penitipan anak sementara, sampai urusan yang seharusnya hak seratus persen ortu. Seperti cebok dan mandi.

Kok sampai urusan cebok dan mandi segala? Betul urusan domestik seperti ini terkadang, guru punya peran yang besar. Siapa bilang, anak yang sudah memasuki usia sekolah terus punya kecakapan "mengeluarkan hajat hidup pribadi"? Banyak terjadi di lapangan, meskipun tidak terjadi tiap tahun, anak tidak berani buang hajat di kamar mandi lalu nggembol di celananya. Atau yang lebih baik sedikit daripada ini, yaitu minta dicebokin

Ini mengandung dilema lho. Tidak menjamin bu gurunya yang notabenenya perempuan, terkadang jijik jika harus menceboki siswinya. Padahal dia juga mempunyai seorang putri. Kalau minta tolongnya, ke rekan guru perempuan sih nggak masalah. Tapi bila ke rekan guru yang lelaki, bahkan penjaga sekolah yang laki-laki, ini kan jelas kurang etis. Dan malah lebih sadis,  minta anak itu pulang tanpa diantar, dengan membawa "buah yang tidak diinginkan itu". 

Mau menyalahkan kelakuan tercela ini, murni karena ketidakempatian guru belaka, kok kebangetan. Sebab guru juga manusia. Ada juga rasa yang terkadang terlihat kurang baik. Namun bila diselidiki lebih dalam, bisa jadi karena kekhawatiran. Tahu sendiri kan jaman sekarang, perbuatan menceboki bisa dianggap perbuatan yang melanggar privacy dan susila? Jika begini halnya, perbuatan guru tersebut tidaklah salah seratus persen. Dan mungkin nanti, bila ada kelas parenting, bolehlah materi tentang potty training alias toilet training ini juga disisipkan.