28 Februari, 2022

, , ,

Baby Repetition, Cara Terbaik Bagi yang Sulit Belajar


Banyak orang yang mengalami kesulitan dalam  belajar. Dan banyak sekali pencetus kesulitan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan mudah memvonis seseorang sebagai pemalas atau kurang sungguh-sungguh dalam pembelajaran. Harus ada pendekatan dan penyelidikan tentang metode belajarnya. Bisa jadi selama ini, metode yang digunakan tidak sesuai dengan gaya belajarnya.

Menurut Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana manusia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Dan mereka membagi gaya belajar itu ke dalam tiga kelompok, yaitu Visual, Audiotori, dan Kinestetik. 

Guru dalam situasi keseharian seharusnya menjalankan pengajaran yang mewadahi ketiga kelompok gaya belajar ini. Sehingga jika dipolakan secara umum menjadi Audiotori-Visual-Kinestetik. Mengapa dimulai dengan Audiotori bukan yang lain? Sebab di awal pengajaran, biasanya dimulai dengan penjelasan. Dan ranah ini masuk ke Audiotori. Apakah dapat dimulai dengan yang lain? Tentu dapat, mengapa tidak? Walaupun rezim pembelajaran  pada umumnya berkutat pada pola itu. 

Generasi sekarang ini kebanyakan memiliki gaya belajar Kinestetik, namun sayangnya para pengajarnya, adalah "mantan" pembelajar Audiotori. Ini yang memjadi problem. Dan mungkin saja, menjadi penyebab rendahnya daya serap siswa saat ini terhadap pengetahuan yang telah disampaikan. 

Lantas bagaimana mengatasinya? Salah satu pihak harus "mengalah", dan pasti kita tahu siapa itu. Dan juga tetap melaksanakan metode mengajar yang memfasilitasi gaya belajar lainnya. Meskipun porsinya agak kurang sedikit. Lalu konkritnya seperti apa? Tentu menggunakan metode pengajaran yang berbasis pada praktik, misalnya Project Based Learning.

Dan konsep pelaksanaannya menggunakan apa yang saya sebut dengan istilah "baby-repetition" atau "perulangan-bayi". Seperti yang kita lihat, bayi suka mengulang-ulang hal yang sama (lebih dari lima kali). Ini tentu bisa kita terapkan secara kontekstual. Dan agar tidak mendapat kejenuhan, kontennya dibuat berbeda-beda. Sehingga pelekatan pengetahuan terjadi "persis" seperti yang kita inginkan. 

Sumber gambar: shutterstock.com 
,

Kenapa Guru Harus Menulis? Apakah Itu Jalan Ninjanya?

Bukan karena ingin mendapatkan angka kredit. Bukan karena mencari popularitas. Bukan karena mencari tambahan penghasilan. Bukan karena ingin ditulis dengan tinta emas kesejarahan. Dan bukan karena yang bukan-bukan.

Tapi karena guru adalah salah satu penjaga moralitas. Kita tahu hari ini, dunia dikuasai oleh teknologi informasi. Dan teknologi informasi ini menggaungkan adanya kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Jika semua guru diam, dan tidak ada yang menulis. Maka akan keruhlah dunia kita. Perkataan kotor dan tak senonoh berkeliaran dengan leluasa. Hoaks akan diproduksi seluas-luasnya, tanpa henti. 

Tentu kita sebagai guru, tidak mau hal itu terjadi dan terus berkelanjutan. Sebab bila berkelanjutan, manusia akan punah dengan cara yang tragis. Maka menulis adalah jalan ninja  yang harus ditempuh. Tak peduli ada onak dan duri, yang menghadang kaki-kaki kita. Agar kita menjadi kesakitan, dan mengakhiri perjalanan. Padahal tujuan belum tercapai.

Mulailah menulis dengan hal-hal yang dekat dan sederhana. Seperti bagaimana membuat alat peraga atau trik-trik memakai aplikasi perkantoran yang memudahkan administrasi pendidikan. Jika memungkinkan, bisa lebih jauh, dengan menambahkan unsur-unsur religiusitas di dalam tulisannya. Di samping itu dapat pula berkenaan dengan aktivitas pribadi, seperti hobi, berorganisasi, maupun kegiatan sosial. 

Dengan memberikan "suguhan" tersebut, paling tidak ada sentuhan warna yang berbeda, ada rasa kesegaran tersendiri. Jadi isinya dunia maya tidak melulu soal keluhan, celaan, dan pornografi. Oleh karena itu, jika menganggap diri sebagai guru, segera tentukan waktunya. Jangan lama-lama, kalau  bisa sekarang saja. Sebab seringkali waktu tidak berpihak pada kita.

Sumber gambar: imgbin.com

27 Februari, 2022

,

1001 Penyebab Guru Sulit Menulis

"Kok banyak banget sih?" mungkin ada yang bertanya begitu. 1001 ini hanyalah gambaran hiperbolik. Menurut perkiraan saya, tak sampai 100 bijilah. Dan penyebabnya itu ada yang bisa dimengerti sampai yang mengernyitkan dahi.

Karena ini bukan Matematika, sehingga tak perlulah berpanjang kata kali lebar kali tinggi. Kita cus werr lah

1. Takdir
Jawaban ini adalah jawaban yang manjur untuk mengklekepkan argumen ilmiah apapun. Jika sudah terkena ini, ya udahlah. Sebab itu, banyak yang bersembunyi di baliknya agar tidak dikejar.

2. Malas
Ini bukannya tak mau, tapi kurangnya motivasi dan inspirasi. Jika ada yang memotivasi dengan baik, dan ada inspirasi yang menonjol, pastilah ngikut.

3. Ide
Alasan klasik binti template. Sebab gagasan itu bertebaran dimana-mana. Di laut, di gunung, atau yang terdekat dengan hidung kita.

4. Capek
Kalau mengalami ini, iya istirahat dulu. Kecuali memang capeknya tak hilang-hilang. Itu urusan lain lagi.

5. Media
Menulis hal apapun, butuh yang namanya media. Bila tak ada, ya tak mungkin. Apalagi tak mau ngoyo untuk memfasilitasi.

6. Ekstrovert
Karakter ini adalah karakter "banyak tingkah, banyak polah". Sedangkan menulis perlu "diam tak bergerak". Jadi ya susah. 

7. Mindset
Ada yang bilang pikiran itu yang menentukan. Bila menganggap menulis itu mudah, maka akan mudah. Begitu juga sebaliknya. Jadi terlihat kan siapa yang suka menganggap sulit?

8. Scriptophobia
Ini adalah kondisi dimana seseorang takut untuk mengemukakan gagasannya lewat tulisan, untuk dikonsumsi publik. Ingat jangan mengaku-aku mengidap ini.

9. Profesi
Ada banyak jenis pekerjaan yang "mengharamkan" menulis (dan guru tidak termasuk dalam hal itu). Sehingga ketika menulis  harus pandai colong-colong waktu.

10. Uang
Jika otak sudah dikuasai duit, maka menulis pun harus ada cuannya. Bila tidak, iya tak mau.

"Lho kok cuma sepuluh?" mungkin ada yang protes yang semacam ini. Jawabannya simpel sih, "Iya ditambahi sendiri, biar genap. Hitung-hitung mengeliminasi situ punya kesulitan menulis".

Sumber gambar: depositphotos.com
,

Mengapa Hybrid Learning Tidak Disebut Pembelajaran Gado-gado?

Minggu-minggu gini, enaknya makan gado-gado. Apalagi pas siang, yummy pasti rasanya. Didukung suasana alam yang sedang redup-redupnya. Memakan makanan ini, "menghangatkan," sekaligus menutrisi tubuh kita. Bagaimana tidak, begitu tinggi kandungan gizinya. Menurut data Kemenkes RI (TKPI), setiap 100 gram gado-gado mengandung 301 mg kalsium, 6,1 gram protein, 7,5 mg besi dan 135 mg fosfor.. Kandungan ini mempunyai manfaat seabreg bagi tubuh. Dari yang tak kelihatan seperti darah dan tulang, hingga yang terlihat di permukaan seperti kulit.

Dan ini nampaknya sama persis dengan hybrid learning. Pembelajaran ini digadang-gadang sebagai pembelajaran yang unggul di segala sisi. Sebab menggabungkan pembelajaran kelas tradisional dengan pembelajaran berbasis teknologi. Selain itu, pertemuan guru dan murid bisa opsional, tergantung kebutuhan. Sehingga jargon "belajar dimanapun dan kapanpun", menjadi nyata dan bukan omong kosong di pembelajaran ini.

Meskipun punya performa sehebat itu, tapi nyatanya masih punya kelemahan. Kelemahan yang paling terlihat di pelupuk mata, yaitu pembelajaran ini tak punya Bahasa Indonesia-nya. Jadi sampai detik ini belum ada padanan katanya. Padahal apapun kata dalam Bahasa Inggris, biasanya sudah diketemukan terjemahannya. Contoh bullying sudah punya perundungan. Meskipun kita sendiri, sampai hari ini belum tahu, dimana kata "perundungan" ini dipungut.

Jika kita mau jujur dan tidak malu-malu, mestinya bisa mengadopsi kata "gado-gado" sebagai pengganti kata "hybrid". Ini mengena dan pas soalnya. Karena arti gado-gado sendiri adalah campur-campur. Walaupun betul kata "gado-gado" bukan kosakata lokal, dan berasal dari Portugal. Tetapi ia sudah lama dipribumisasikan bangsa ini. Jadi sudah tidak berbau asing dan aseng lagi.

Sehingga nantinya hybrid learning dapat disebut dengan nama "pembelajaran gado-gado" atau disingkat PGG. Meskipun begitu kalau sudah dialih-bahasakan, kita jangan sekali-kali bersikap norak, ketika membahasa-inggriskan ulang. Macam gado-gado yang diberi padanan seperti ini: mixed vegetables with the peanut sauce. Kedawan bro-bro.

Sumbar: antaranews.com dan andrafarm.com

26 Februari, 2022

, , ,

Inovasi Pembelajaran yang Ramah di Kantong, Bisa?


Ketika berbicara tentang inovasi pembelajaran, asosiasinya sebagian guru menuju ke UUD (ujung-ujungnya duit). Mengapa ke duit atau uang? Sebab guru-guru tersebut berpikir bahwa dalam konteks kekinian, inovasi pembelajaran sama dengan pemakaian information technology. Dan sudah terang benderang, bila menyangkut hal itu, aroma cuan yang merebak.

Apakah salah konsep berpikir semacam itu? Agak merepotkan jika harus menyalahkan pemikiran ini. Sebab ada banyak faktor yang menyelimuti pemikiran tadi. Jadi sangat sulit bersikap tegas dalam hal ini. 

Kondisi sekarang yang cenderung berbau teknologi, sedikit banyak mendorong pemikiran tadi. Hampir tak ada kehidupan kini, yang tak bersentuhan dengan dunia teknologi informasi. Bahkan saking ingin terkoneksi terus menerus, selalu update.  Maka manusia sekarang sampai rela "membopong" gawainya ke tempat tidurnya.

Apabila ada istilah babysitter, mungkin layak ada istilah gadgetsitter untuk hal ini. Karena kemana-mana momong si gawai. Dan betapa paniknya mereka ini, ketika ponsel baterainya habis, sinyalnya hilang, dan pulsanya kosong. Persis saat menghadapi bayi yang tak mau berhenti menangis.

Kondisi di ranah pendidikan pun tak jauh beda, apalagi sewaktu kondisi pandemi, dan murid tak boleh kemana-mana. Hampir dapat dipastikan semua proses pembelajaran membutuhkan yang namanya teknologi informasi. Sehingga jika ada upaya penihilan peran teknologi tersebut, langsung dibungkam dengan kata-kata, "Guru kok gaptek. Guru kok nggak mau melek teknologi". 

Ini adalah sebuah pernyataan yang merendahkan, tidak saja pada profesi guru, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Sebab diakui maupun tidak, guru adalah pengawal keberadaban. Tanpa guru, manusia akan hidup dalam keliaran proses berpikir. Dan tentu kita bisa menebak, bagaimana pola kehidupannya.

Makanya mau tak mau, asosiasi di atas itu menjadi sebuah hal yang tak dapat ditampik keberadaannya. Seakan-akan adanya teknologi informasi "membutakan" pemikiran. Padahal yang namanya inovasi pembelajaran tidak selalu berjalan sejajar dengan hal itu. Tanpa adanya teknologi informasi sekalipun, inovasi pembelajaran  tetap dapat hidup dan berkembang biak di dalam rahim pendidikan.

Sumber gambar: theodi.org
,

Dapatkah Budaya Antri Dimasukkan ke dalam Kurikulum?


Hari-hari ini keluhan tentang langkanya migor atau minyak goreng merebak dimana-mana. Dan sudah bisa ditebak, jika ada bazaar yang menyelenggarakan pengadaannya, langsung diserbu habis. Memang begitulah kita, setiap ada barang kebutuhan sehari-hari menghilang di pasaran, maka kita bergegas antri pagi-pagian menuju bazaar, agar mendapat jatah. 

Ini tidak terjadi di zaman sekarang saja, bahkan jauh sebelum itu. Bisa kita lihat dokumentasinya sejak zaman Bung Karno, tiap tahun selalu ada sembako yang harus diantrikan. Dan memang tidak selalu sama. Kadang beras, kadang telur ayam (dan termasuk penunjangnya, yaitu elpiji). 

Mengapa ini selalu terulang? Apa kerja badan statistik kita yang tak becus? Apa karena tata niaga perdagangan yang tak pernah dibenahi? Ataukah ada mafia sembako yang berkuasa? Jika pertanyaan terakhir ini yang menjadi muasalnya, kenapa tidak dibasmi? Mengapa kita tiap tahun mengulang-ulang hal yang sama, meskipun komoditinya berbeda? 

Terlepas dari hal itu, kelakuan kita dalam mengantri sembako, masih mengindikasikan kita sebagai negara berkembang. Dimanapun negara berkembang, selalu urusannya soal perut. Tentu berbeda dengan negara maju, antriannya sering berkisar pada hal sekunder bahkan tersier, semacam antri beli gawai terbaru. 

Dan tingkah laku dari warga negara berkembang saat mengantri itu, masih menjadi sorotan tajam. Tidak cuma Indonesia saja, yang di negara jiran sering diolok-olok. Setiap ada orang yang menyerobot baris antrian, pasti dituduh orang Indonesia. Seakan sudah menjadi mitos. Hal ini sebenarnya kebiasaan yang berlaku umum di negara berkembang. Tidak cuma di Indonesia.

Makanya kita sebagai bangsa yang besar, harus memupus mitos itu. Sehingga tak perlu ada aparat keamanan maupun penjaga, agar antrian berjalan tertib. Alangkah eloknya apabila kita mengantri dengan teratur. Tak perlu dorong-dorongan maupun ribut dengan sebelah. Apalagi nyelonong karena dapat bantuan orang dalam. 

Tentu kesadaran ini harus dipupuk sejak kecil. Melalui keluarga dan sekolah. Jika melalui sekolah, tidakkah perlu dipikirkan memasukkan budaya antri, sebagai sebuah entitas yang bisa menimbulkan bangsa lain yang melihat menjadi berdecak kagum? Jika iya, mestinya kurikulum kita segera mengadopsinya.

Sumber gambar: life.lk

25 Februari, 2022

,

Refleksi Pengajaran dari Buih Jadi Permadani


Di sini saya memposting ulang tulisan saya di tautan ini: http://guruajun.blogspot.com/2022/01/buih-jadi-bahan-refleksi.html. Sebab masih relevan untuk dijadikan bahan refleksi, bagi kita sebagai guru. Sehingga kita tidak menjadi abai, karena kebanggaan mendapat gelar "pahlawan tanda jasa". Dan beginilah isinya, yang saya ambil cuma pada bagian lirik lagunya.

Teriknya mentari siang ini, menyapa tubuhku.
Namun tidak dapat, lelehkan bodohnya, diriku ini.

Terasa terhempasnya, keinginanku ini, dengan sikapku.
Apakah karna aku, banyak kemauan, tanpa ada tindakan?

Oh mungkinkah diri ini, dapat mengubah siswa biasa, jadi berprestasi?
Seperti kata, yang aku ucap, dalam janji rasa.

Juga mustahil bagiku, mengajari para siswa.
Cuma berbekal buku, tanpa sebuah inovasi.
Semua itu, sungguh aku, sangat keliru.

Salah aku juga, karna jadi guru.
Yang tak bermutu, dan tiada profesional.
Seharusnya aku, siapkan ini-itu.
Sebelum mengajari, para siswa, di dalam kelasku.

Kalau ada guru yang membaca lirik cover lagu yang berjudul "Buih Jadi Permadani"  ini, dan bilang, "Aku nggak sebajindul itu kok". Ya gapapa sih. Itu sah-sah saja. 

Sumber gambar: goodreads.com