24 Februari, 2022

, ,

Jangan Paksa Google Jadi "Goeroe" Kita


Kita sebagai guru, semakin hari semakin tergantung pada Google, apa-apa sekethak searching di peramban itu. Seakan "hajat hidup" orang banyak mangkalnya di situ. Bahkan saking parahnya, berani berkata, "Apapun permasalahanmu, tuntas di situ". Ini kan lebay bingit. Dan anehnya juga, pendapat ini ditularkan ke siswa secara sistematik.

Apa kita nggak khawatir, apabila suatu saat murid kita bilang, "Ah pak guru katrok nih. Gitu aja nggak paham". Ini kan celaka? Mau ditaruh dimana harkat dan marwah kita sebagai guru? Mau menasihati, kok faktanya bener. Tak menasihati, kok jelas kurang beretika muridnya. Ini kan dilema.

Semestinya peran kita sebagai guru, punya peran yang setara kamus. Dan layak disematkan sebagai ensiklopedia berjalan. Tapi kita kan sekarang jauh dari kesan itu. Mengapa bisa? Tahu sendiri, berapa gelintir guru yang masih sudi membaca? Ini belum termasuk berpikir dan berkarya. Ini masih teramat langka. Jadi ya wajarlah, kalau pendidikan kita tidak beranjak kemana-mana.

Duduk manis sambil sesekali kesik-kesik, karena negara-negara di sebelah sudah berlari kencang. Dan kita hanya menggerutu dan diam-diam mengumpat. Serta mulai menyalahkan semua hal. Padahal yang salah itu kita, bukan yang lain. Namun karena kita hidup di bawah tempurung kelapa. Kebenaran apapun condong tertolak secara otomatis.

Dan apabila saatnya kita benar-benar digantikan sebuah robot multiguna, mungkin kita baru tersadar dari kemalasan dan kebebalan diri sendiri. Kemudian merutuk, "Kalau begini jadinya, mending tidak melakukannya. Menyesal rasanya."

Sumber gambar: developers.google.com

23 Februari, 2022

, ,

aleepenaku.com, Tempatnya Aneka "Inpo" Maszzzeeeh

Bapak dan ibu guru yang sering ketinggalan informasi, dan suka berkata, "Kok geting aku". Kini bisa leha-leha bin santai-santai. Sebab apapun informasi terkait dengan pendidikan, aleepenaku.com, tempatnya. Ini bukan ngecap lho, atau saya dibayar dengan mahal. Tidak sama sekali. Saya menulisnya dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 

Pagi ini, owner dari situs itu berkomentar di sebuah grup WhatsApp, yang saya gabung di dalamnya. Terkejut dong saya. Karena saya duga  orangnya pasti segolongan manusia yang punya seabrek aktivitas. Selalu ngalor-ngidul setiap hari, ke berbagai tempat. Lebih mengagetkan lagi, ternyata pemiliknya seorang cowok. Saya kira dulunya cewek, sebab ditulis "alee". Bukannya saya seksis lho. Setahu saya, biasanya yang merubah huruf "i" menjadi dobel "e" itu kaum hawa.

Namun terlepas dari hal itu, apapun namanya nggak masalah. Seperti yang diungkap beliaunya di tautan ini: https://www.aleepenaku.com/2022/02/guru-blog-writer.html?m=1. Yang penting tidak melukai SARAJ (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan, dan Jenis Kelamin). Sebab kita tahu saat ini, bangsa kita, khususnya warganet, mudah meradang. Sedikit ada yang nyenggol, langsung ditangani tanpa ampun. Somasi dan klarifikasi sudah menjadi adab kekinian. Makanya harus hati-hati dalam penamaan sebuah situs. Kalau perlu, pakai bubur merah-putih

Dan ternyata pilihan nama "aleepenaku" memang benar-benar mbarokahi. Hampir bisa dipastikan, setiap warta yang terkait dengan pendidikan, tentulah situs tersebut jujugannya. Kita tahu di luar sana banyak blog yang serupa. Mungkin gegara kecepatan update dan isi penyampaiannya yang praktis, membuat situs tersebut mendapat limpahan atensi

Hal ini memang menjadi impian semua blogger, utamanya yang ingin me-monetize blognya. Agar blognya menjadi bercuan-cuan. Tentu itu adalah upaya yang tak mudah. Selain menampilkan materi sebaik mungkin (beserta trik-trik canggih), juga harus ikut ambyur  ke jejaring para blogger yang telah profesional. Tidak cuma main ser sana  ser situ. Beda bila niatnya hanya untuk sekadar nulis, untuk curhat, dan semua hal yang menjauhi fulus. Cukuplah bersikap yang wajar dan tidak neko-neko.

Sumber gambar: aleepenaku.com
,

Public Speaking dan Opening-nya yang "Ga Garing"

Bagi guru-guru yang baru belajar menjadi pemateri atawa narasumber dan termasuk ke dalam kaum mendang-mending, harus memahami dengan betul bagaimana caranya membuka sebuah presentasi. Sebab bagaimanapun juga, awalan akan menentukan segalanya. Apabila sudah terlihat kurang nendang, ke belakangnya kurang begitu diperhatikan. Jika begini ini yang terjadi, tentu respon peserta akan menjadi anyep nyep-nyep.

Makanya mereka ini harus mencari seorang role-model, biar bisa dijiplak habis. Dan tak perlu dihiraukan ketika ada yang berkata  "Ih kamu kayak si onoh, kalau ngomong". Sebab sebagai junior dalam blantika bla-bli-blu-ble-bo, dan belum tahu "kejamnya" rimba raya pembicaraan. Akan terlampau sulit untuk merebut perhatian para peserta, jika tak punya sebuah "pesona". Jadi dengan mengimitasi perilaku seseorang yang sudah terbukti manjur di lapangan, nantinya berdampak pada kemudahan mengelola emosi peserta dan diri pribadi. Sebab sudah ada template, bila begini harus begitu. Dan bila begono harus Bagito.

Soal nanti keterusan bergaya seperti itu bijimana? Tak perlu khawatir, sebab tak ada proses peniruan yang benar-benar murni. Pasti ada bengkok-bengkoknya dikit. Apakah itu bisa menjadi lebih ciamik atau lebih bobrok dari orinya, itu bisa saja terjadi. Tergantung opsi yang ingin dipilih. Namun bila ingin tenar, versi "sakitnya" itulah yang perlu di-gaskeun. Karena selain menghargai sang guru, juga mengakomodasi keinginan banyak orang. Sebab banyak orang cenderung suka yang nyleneh, meskipun secara umum cemen untuk melakukannya sendiri. Lebih suka menginginkan orang lain saja, yang menjadi tumbal.

Lantas bagaimana, jjka halnya tak melihat seseorang yang bisa dijadikan obyek percontohan? Tak perlu risau, galau, kacau, dan sebangsanya. Sebab ada beragam trik yang dapat diaplikasikan. Lebih terang benderangnya, ikuti ulikan berikut ini.

A. Berpantun
Ini sudah terbukti jas jes jos, sebagai pembuka. Apalagi dilanjutkan dengan kelakar tipis-tipis, ini menjadi tambah semangkin daripada. Contohnya bagaimana? 

Abang Raka makan tomat,
makannya campur terasi
Peserta yang terhormat,
yuk simak materi ini

Kemudian disusul dengan bertanya, "Ada yang namanya Raka, eh Pak Raka di sini?" Jika ada yang menjawab, "Iya". Berikan permintaan maaf, "Maaf pak, tadi main selonong aja, nggak pakai izin". Sambil mengatakannya dengan ekspresi senyum merendah. Kemudian berikan kesempatan bertanya duluan, atau langsung memberikan hadiah. Hal ini akan memicu timbulnya simpati peserta yang meluap-luap alias tumpeh-tumpeh. Bagaimana jika tidak ada? Bisa bilang begini, "Untung kagak ada Bang Raka, bisa-bisa dijewer nih kuping". 

B. Pamer
Pamer prestasi oke, pamer kesusahan masa kecil oke, pamer aktivitas seabrek juga oke. Sebab banyak orang itu "menggilai pameran". Karena ketika melihat "pameran" itu hatinya membuncah, dan ingin teriak, "Aku pengen kayak kamu." 

Dengan inginnya yang membara itu, tentu akan menimbulkan pemompaan semangat yang luar biasa. Sehingga walaupun kondisi mata sudah dalam keadaan satu watt, mendadak seterang sokle. Dan bisa ditebak lontaran-lontaran pertanyaan akan berdesingan. Namun perlu diingat porsi pamernya harus secukupnya, jangan kebanyakan, nanti "keasinan". 

C. Penampilan Fisik
Jika pantun tak bisa, mau pamer tak ada yang dapat dipamerkan. Makanya pilihannya jatuh pada penampilan fisik. Bisa tampil dengan wajah yang sangat teramat glowing atau memilih dandanan norak. Bisa memakai pakaian perlente, adat, atau kocak kayak badut. Kemudian tetiba berganti dengan tampilan yang menyesuaikan situasi. Ini saja sudah menimbulkan decak kagum, ckckck. 

Bagaimana jika tak mampu atau mau memilih salah satu dari ketiganya? Cukup berdoa lalu berkata seperti ini secara lirih, "Mantap, mantap, mantap". Kemudian berpresentasi seperti lajunya kereta api.

Selamat mencoba dan rasakan sensasinya!

Catatan: 
Gambar di atas sekadar ilustrasi belaka, sebab acaranya sudah selesai.

22 Februari, 2022

, ,

Menengok wikiHow, Gudangnya "Tutorial"

Apabila bapak dan ibu guru suka mengunjungi situs Wikipedia, alangkah eloknya juga menengok wikiHow. Sebab di sana digelar aneka "cara" membuat atau menyelesaikan sesuatu hal. Berbeda dengan Wikipedia yang bahasanya selalu ndakik-ndakik,  wikiHow lebih ke arah praktis. Dengan disertai gambar (kartun) yang menarik dan sewajarnya, membuat pembacanya lekas paham. Dan langsung bisa menerapkan.

Mungkin ada yang bertanya apakah kedua situs "bersaudara"? Mungkin saja. Meskipun disebutkan bahwa di dalam keluarga besar Wikipedia, tak ada secuil pun nama wikiHow. Begitu pula jika ada yang bertanya kaitannya dengan WikiLeaks, juga setali tiga uang. Walaupun disematkan nama "wiki' di depan masing-masing. 

Terlepas dari hal itu, mari kita kembali ke arah pemanfaatan wikiHow. Apakah situs itu bisa diakses anak-anak? Tentu saja bisa. Namun sebaiknya tetap didampingi orang tua, sebab kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dapat pula tercipta. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil terjadi. Jadi tetap waspadalah.

Lantas bagaimanakah memakai situs tersebut? Cukup cari ikon suryakanta, yang ada di sebelah kanan atas. Atau di tengah agak ke atas, dan di belakangnya terdapat tulisan "Cari cara...". Kemudian ketikkan apa yang diinginkan. Misalnya "Cara Membuat Kue Cucur". Langsung ketikkan saja, tanpa menaruh kata "cara". Bahkan langsung seperti tulisan "kue cucur" pun bisa. Dan segera ditampilkan sejumlah tata cara membuatnya.

Bagaimana? Mudah bukan? Masih bingung? Ragu karena ada kata "tepercaya", yang sebenarnya merupakan kata yang keliru? Kita tahu, yang tepat adalah kata "terpercaya". Tetapi soal ini janganlah diambil hati, karena kita kan juga tahu bahwa di dunia ini tak ada yang sempurna. Meskipun sudah berusaha tampil sesempurna mungkin.

Sumber gambar: id.wikihow.com

, , ,

Mengembalikan Tradisi Kuno di Kalangan Guru


Apa kebiasaan guru-guru tempo doeloe, sehingga menyebabkan mereka hidup sehat sampai lanjut usia? Mungkin dengan melihat kebiasaan tersebut, akan ditemukan rahasia di balik umur panjang mereka. Sebab guru-guru kita hari ini, banyak yang mati muda. Di samping itu juga menghasilkan output yang unggul.

A. Minum Teh
Dekade 90 adalah dekade terakhir guru-guru mendapatkan "layanan" minum teh di tiap meja guru di kelas ataupun di ruang guru. Mengapa guru-guru tersebut mendapatkan layanan itu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sampai detik ini, belum ketemu dalih dan dalilnya. Namun jika dipikir-pikir, ada banyak khasiat di dalam aktivitas minum teh ini. 

Khasiat tersebut antara lain adalah meningkatkan metabolisme. Kandungan yang ada di dalam teh dapat membakar kalori dan mengurangi lemak tubuh. Manfaat berikutnya adalah mencegah peradangan. Peradangan telah dikaitkan dengan segala hal mulai dari diabetes hingga penurunan kognitif. Faktanya, peradangan telah diimplikasikan sebagai akar dari hampir semua penyakit kronis. Sehingga teh berpotensi membantu mengurangi risiko kematian akibat penyakit tertentu (penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker).

Manfaat minum teh selanjutnya yaitu membantu meningkatkan kesehatan otak (mencegah Alzheimer dan penyakit neurodegeneratif lainnya). Di samping itu, teh bisa meningkatkan kesehatan mulut (mengurangi risiko penyakit periodontal, gigi berlubang, dan bahkan mungkin kanker mulut). Juga membantu meningkatkan kesuburan, berkurangnya penyerapan karbohidrat, peningkatan kadar gula darah, dan penurunan berat badan.

Melihat kegunaannya yang luar biasa, mungkin tradisi ini harus dikembalikan lagi keberadaannya. Sehingga guru dapat terjaga raganya dengan baik. Bila fisiknya sehat, tentu akan mengajar dengan senang. Ingat pepatah dari Eropa, "Men sana corpore sano". Di dalam badan yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.

B. Tirakatan
Tirakatan di sini dapat diartikan macam-macam. Dari mencegah diri untuk tidak berkorupsi hingga makan-minum (berpuasa). Mungkin dari semua tindakan pencegahan itu, korupsi adalah hal yang mudah dihindari. Sebab apa yang mau dikorupsi? Kapur? Spidol boardmarker?

Yang menjadi pertanyaan penting di sini, masih adakah guru yang tirakatan? Misalnya puasa? Ada? Saya yakin akan kesulitan ketemu guru seperti itu. Jika masih ada, boleh berkabar ke saya.

Guru dulu berpuasa demi muridnya, berpuasa demi kelancaran tugas mendidiknya adalah hal yang lumrah. Namun sekarang, paling banter hanya mendoakan. Itu pun tidak setiap hari. Kalau sudah begini, iya jangan berharap muridnya pandai-pandai plus beretika. Oleh karena itu, mengapa hal ini tidak dibudayakan lagi? Sebab bagaimanapun juga, kemajuan suatu bangsa melekat di tiap punggung guru.

Sumber: id.lovepik.com dan merdeka.com
, ,

Usia Harapan Hidup Guru yang Semakin Rendah


Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, namun sebuah perenungan. Bahwa hidup manusia di dunia ini penuh misteri. Apa yang disangka dan diperkirakan, belum tentu apa yang didapatkan. Dan di sinilah bukti bahwa Tuhan itu Maha Ada dan Maha Kuasa. Meskipun begitu, manusia tetap diwajibkan berikhtiar Oleh-Nya, bukan sekadar berpangku tangan. Menunggu bintang jatuh di tangan. Sebab manusia yang berusaha dengan tak kenal lelah adalah manusia yang sebenar-benarnya. Dan guru adalah salah satu sosok manusia tersebut.

Kita bisa lihat betapa besar perjuangan guru untuk kita. Beliau-beliaunya berela-rela berangkat pagi-pagi dan seringkali pulang menjelang petang. Demi memastikan kita mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan seringkali terpaksa mengabaikan kebutuhan pribadinya, agar anak didik tetap memperoleh pengajaran sebaik-baiknya.

Namun dibalik keluarbiasaan perjuangan tersebut, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Kita lihat di berbagai tempat saat ini, angka harapan hidup guru semakin menipis. Hal ini memang tidaklah berasal dari sebuah data yang sungguh-sungguh valid. Namun hanya berdasarkan pada pengamatan dan berbagai informasi yang berseliweran.

Hampir setiap hari, kabar duka singgah di timeline kita. Guru-guru dalam kisaran usia 40 - 50 tahun, bahkan lebih muda dari itu, meninggalkan dunia fana ini. Penyebabnya dapat bermacam-macam. Tetapi yang terlihat kebanyakan, karena sebuah penyakit. Jika ini di-cross check-kan dengan keadaan guru-guru, khususnya sebelum era reformasi agak berbeda.

Guru-guru senior (kalau boleh dikatakan begitu), terbilang sehat bugar sampai lanjut usia. Hampir-hampir tak ada yang berpenyakit berat. Kekurangan yang biasanya ditemui pada usia tua, semacam pegal linu atau katarak, tak begitu berpengaruh pada mereka. Mereka aman dan nyaman saat "menyantap" makanan yang seharusnya cuma cocok untuk anak muda. Pokoknya tak ada keluhan berarti.

Tentu ini menimbulkan tanda tanya, apa ada yang salah dengan "kehidupan" guru kita saat ini? Padahal guru dulu, serba kekurangan dan jauh dari nutrisi. Berbeda dengan sekarang. Sudah banyak yang dapat menikmati hidup lebih dari layak dan dapat mengkonsumsi makanan yang sarat gizi. Dengan hal itu saja bermakna, bahwa kehidupan guru saat ini lebih baik. Beda betul dengan yang dulu, seorang guru negeri hidupnya banyak yang ngenes. Padahal tidak ada keneko-nekoan dalam hidupnya ini. Intinya hidup dalam serba keingiritan. Namun faktanya, nampak sehat dan bahagia sampai lanjut usia.

Apa yang sebenarnya terjadi? Karena kisaran besarnya mengenai guru yang PNS, jadi soal isu kesejahteraan jelas tak mungkin. Apa gegara beban kerja? Kalau masalah ini, harus diusut tuntas. Sebab tugas guru adalah mengajar. Jika tentang ini tentu persoalannya ringan binti sepele. Tapi bila menyangkut tugas tambahan atau tugas yang mengiringi, seperti administrasi sekolah, harus diselesaikan secara sistemik. Karena urusan itu adalah urusan para penggede. 

Meskipun hal itu urusan mereka, guru-guru juga tetap harus dilibatkan dalam ekosistem kebijakannya. Sebab bagaimanapun juga, guru adalah garda terdepan pendidikan kita. Yang setia mengawal tumbuh-kembang tunas-tunas bangsa.  Sehingga mereka dapat beraktualisasi, seperti apa yang diharapkan. Dan solusi bergizinya tidak boleh ditunda, untuk diketemukan. 

Sumber gambar: smiledeliveryonline.com

21 Februari, 2022

,

Benarkah Hari Ini Kita Semakin Cerdas?


Saya sering mendengar perkataan seperti ini, "Sekarang ini banyak orang pandai, tapi sedikit orang yang mengerti." Namun di lain pihak ada yang berkata, "Anak-anak sekarang ini, sampai kelas dua belas saja, masih ada yang belum bisa perkalian, tidak hafal nama provinsi di Jawa, dan masih banyak lagi. Mereka belajar nggak sih?"

Mendengar kedua perkataan tadi, saya jadi bingung, yang benar yang mana? Sebab keduanya bertolak belakang. Kalau memang benar pandai, tentu pelajaran yang ada di sekolah dapat terserap dong. Minimal yang paling dasar. La ini tidak. Jadi yang mengatakan perkataan pertama, itu jelas salah kan? 

Terus soal mengerti itu datangnya darimana? Dari pandai bukan? Jika tidak pandai, mana mungkin bisa mengerti? Ataukah dibalik, bagaimana mungkin pandai, kalau tidak mengerti? Hayo yang mana duluan?

Semua hal ada parameternya. Termasuk tentang kecerdasan. Kita bertahun-tahun termasuk di urutan bawah PISA (Programme for International Student Assessment) atau Program Penilaian Pelajar Internasional. Dari sini saja sudah jelas, bangsa kita saat ini belum termasuk bangsa yang pintar.

Mau data apa lagi? Apabila kita melihat hasil Sakernas (Survey Angkatan Kerja Nasional) pada tahun 2021, jumlah sarjana kita 8,31% dari jumlah penduduk keseluruhan. Dan mayoritas penduduk kita adalah berpendidikan setara sekolah dasar.

Dari situ saja, sudah terpampang nyata bahwa orang-orang Indonesia sekarang ini masih jauh dari kata cerdas, pandai, pintar, cerdik, atau apapun namanya. Karena kalau memang cerdas, ada buktinya dong. Mana? Sebab jika sudah, pasti kita sudah menjadi bangsa yang maju.

Sumber gambar: towardsdatascience.com