19 Januari, 2023

,

Mengerjakan di bawah atau atas?

Mengerjakan di bawah atau atas?
(Hari Keenambelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Alangkah hebohnya, jika anak-anak mendadak mendapatkan meja sekolah seperti pada gambar di atas. Sudah dapat dipastikan mereka gegas untuk merengek-rengek, agar tidak ada jam pulang sekolah. Bahkan saking enggannya pulang sekolah, mereka maunya nginap saja. "Bayar mahal gapapa pula", mungkin begitu pikiran mereka. Dan jangankan mereka, mungkin kita juga akan betah berlama-lama. Baik itu untuk sekadar searching hal-hal tak penting sampai untuk bikin konten usaha sampingan.

"Bolehkah mengerjakan di bawah (maksudnya di atas lantai)?" Kalimat ajaib seperti itu mustahil untuk menyeruak ke permukaan. Sebab semua hal, bisa dikerjakan di atas. Dan sudah terwujud dengan begitu nyamannya (paling tidak dari segi psikis). Lain halnya dengan keadaan pada umumnya sekarang ini. Meja sekolah cenderung kurang membuat mereka merasa comfort atau leluasa. Ini memang yang lumrah dan alamiah. 

Oleh karena itulah, terkadang terbit kepenatan fisik yang berimbas ke psikis juga. Sehingga "kalimat sakti" seperti di atas, sesekali muncul dalam proses pembelajaran sehari-hari. Ini tentu bukan salah mereka. Kalau bukan salah mereka? Lantas salah siapa? Yang jelas, tak perlu menyalahkan "mejanya". Jika ada yang patut disalahkan, tetaplah kita sebagai guru. Mengapa? Coba renungkan!

Kita kerapkali lupa. Mungkin salah satunya karena begitu "asyik" mengerjakan tugas-tugas administrasi. Dan memberi mereka pekerjaan "yang menggunung". Sehingga dampaknya, mereka duduk terpekur, dari jam tujuh pagi hingga teng-teng-teng jam pulang sekolah. Dan itu hanya sedikit diselingi dengan masa rehat yang tak seberapa mendorong otot-otot badan menjadi rileks.

Dengan melihat argumen tadi, maka di hari keenambelas ini saya menyodorkan kalimat sakti tadi, pasca istirahat sekolah. Sebab nampaknya dari mulai masuk, anak-anak sudah digelontor tugas oleh guru sebelumnya. Mendengar tawaran saya, ekspresi kegirangan terpampang nyata di muka-muka mereka. Dan mereka begitu cepatnya, menghamparkan diri di atas lantai--yang tentunya sudah dipel--dengan mode kelesotan.

Bojonegoro, 19 Januari 2023

18 Januari, 2023

,

Yang Penting "Paham", Bukan "Pernah"

Yang Penting "Paham", Bukan "Pernah"
(Hari Kelimabelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Menjelang siang, di hari kelimabelas, saatnya pelajaran Matematika. Ada seorang anak yang berkata, "Itu sudah pernah diterangkan pak". Ketika membuka materinya. Tentu saya merasa senang, jika materinya sudah pernah diterangkan. Pasti mereka akan cepat mengerti, itu pikir saya. Mungkin begitu juga, pikiran bapak dan ibu sekalian.

Namun saya juga teringat, bahwa pernyataan ini, adalah hal yang lumrah. Dan bisa dianggap sebagai pernyataan ketidaksukaan secara terselubung. Sebab anak-anak kerapkali tidak menyukai suatu materi yang diulang-ulang, padahal belum tentu paham. Maunya yang serba new, setiap ketemu.

Ini bukannya suuzan lho ya. Ini juga fakta dan bisa dibuktikan. Sebab biasanya reaksi ini muncul, ketika seorang guru menanyakannya terlebih dahulu. Bukannya secara "berani" terlebih dulu menyatakan pendapat. Dan sewaktu ditanya balik, pastilah jawabannya sudah sangat-sangat bisa ditebak. Yaitu "tidak bisa". Memang berlagaklah, tapi kita sebagai guru tak perlu ambil emosi.

Beda halnya, kalau respon awalnya begini, "Wah aku udah bisa." Jika pendapatnya begitu, jelas nampak memang menguasai. Meski begitu, tetap kita tes sampai seberapa besar derajat kepintarannya. Apakah memang valid dan perlu diacungi jempol? Ataukah semacam pendapat akon-akon belaka?

Dan karena jawaban anak tadi sudah terang benderang. Maka tentunya saya mengharuskan diri untuk menerangkan kembali dari awal secara utuh. Setelah menerangkan, kemudian saya susul dengan contoh. Lalu tibalah saya memberikan dua buah soal saja. Mengapa cuma dua buah saja? Karena saya lebih mementingkan anak menjadi paham. Bukan yang penting banyak. Sebenarnya secara substantif keduanya sama. Yang membedakan cuma, yang satu mengandung gambar, sedangkan lainnya tidak.

Ternyata soal yang saiprit itu, butuh waktu yang lama bagi mereka untuk menyelesaikan. Dan saat saya membahasnya, sebagian besar dari mereka berkata, "Jawabannya saya sama pak, tapi caranya berbeda". Tentu saya kaget dong. Dalam benak saya tak ada cara lain, sebab sesuai buku caranya cuma itu. Dan seperti itulah saya terangkan.

Untuk mengobati rasa kekagetannya saya, saya minta salah satunya menuliskan perhitungannya di depan. Dan caranya memang beda, tidak berasal dari buku. Melihat ini saya tersenyum dan berkata, "Matematika mengenal beragam cara dan rumusan. Dan cara yang kalian pakai itu tidak salah. Hanya tidak sama dengan yang diterangkan. Apakah itu boleh? Sebenarnya boleh. Tapi ingat, lebih baik menggunakan cara yang sudah diterangkan. Apalagi cara yang diterangkan ini lebih pendek dan mudah."

Bojonegoro, 18 Januari 2023

15 Januari, 2023

,

Bikin Peraga untuk Mapel Agama

Bikin Peraga untuk Mapel Agama
Oleh: Ajun Pujang Anom

Kemarin sore, Alhamdulillah saya berhasil menelurkan tiga konsep alat bantu pembelajaran dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Karena ini masih konsep yang tersimpan dalam benak, jadi masih bisa dibilang konsep yang mentah. Meskipun konsepnya masih mentah, namun ada yang sudah matang. Yaitu namanya. Namanya telah dibikin dan diyakini sudah tepat. Ini kok sama seperti ortu yang ngecek calon buah hatinya lewat USG, kemudian segera mencari nama yang cocok sesuai jenis kelamin. Padahal lho, belum tentu brojol dalam keadaan bagas-waras. Pokoknya, yang penting yaqin dan optimistic.

Dan ngomong-ngomong soal pemberian nama ini, butuh waktu yang tak sedikit. Ada yang sudah ketemu beberapa detik, ketika konsep peraganya sudah diperoleh. Ada yang memerlukan waktu belasan jam, dan menguras pikiran. Walaupun akhirnya menghasilkan nama yang bisa dibilang, "Yah, begitu saja." Memang betul, menciptakan sebuah nama bukanlah perkara mudah. Sebab dia penanda, dan sebagai penanda harus memicu ketertarikan. Apalagi ini nama sebuah alat bantu, tentu kudu yang bisa membetot perhatian. Tetapi tidak mengabaikan fungsionalitasnya.

Tiga buah peraga tadi, berasal dari tiga buah bahan ajar yang berbeda. Tiga buah materi tersebut adalah Tajwid, Asmaul Husna, dan Wudlu. Untuk peraga dari Tajwid, diberi nama Beta Manise. Nama ini kependekan dari Bendera Tajwid - Media Alternatif Sederhana). Yang kedua adalah Pahala Besar. Disingkat dari Peraga Asmaul Husna dalam Benda Saling Terkait). Dan yang terakhir, bernama Perwira Gema. Nama yang diambil dari Peraga Wudlu Informatif Gerak Maju.

Untuk peraga Beta Manise, merupakan modifikasi dari media pembelajaran yang telah saya buat dulu untuk materi Aksara Jawa, yaitu Gelatin (Gendhera Latih Hanacaraka). Sengaja saya comot dari sini, karena kesamaan substansi. Sedangkan peraga Pahala Besar, berasal dari pengembangan puzzle. Kita sudah ketahui bersama, bahwa puzzle bisa menjadi sarana yang bisa menyalurkan seluruh gagasan dalam hampir semua materi pelajaran. Khusus untuk Perwira Gema, berasal dari modifikasi alat peraga yang umum dijual di olshop, namun biasanya dibuat terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan. Dalam media ini, tidak benar-benar terpisah. Atau lebih tepatnya bergantian.

Semua peraga di sini, menggunakan bahan utama dari kertas (dapat diganti dengan bahan lain, sesuai keadaan). Dan juga bisa diwujudkan dalam animasi sederhana menggunakan aplikasi Microsoft PowerPoint (dapat juga dengan aplikasi lainnya, sesuai kebutuhan). Ini artinya ketiga peraga tadi bisa dikemas dengan beragam bentuk, sesuai dengan inovasi dan kreativitas guru. Jadi tidak zakelijk, monoton pakai satu bahan saja. Dan menurut saya, sebuah peraga harus mampu ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk, sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman.

Bojonegoro, 15 Januari 2023

14 Januari, 2023

Macan Luwe

Macan Luwe
(Hari Keduabelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Selain Gerakan Jum'at Bersih, ada satu lagi kegiatan yang bisa dimodifikasi, yaitu Mading atau kepanjangannya adalah Majalah Dinding. Kalau biasanya majalah dinding itu "wadahnya" dipaku di dinding, untuk kali ini digantung alias dicantol. Makanya dinamakan "Majalah Cantol", disingkat Macan. Kalau Macan saja, rasanya kurang nendang. Perlu diimbuhi kata-kata yang melaparkan. Dan ketemulah kata "Luwe". Luwe ini singkatan dari Luwapkan Ekspresi. Sehingga jadilah istilah Macan Luwe.

"Wah, wah, maksa nih singkatannya", apabila Anda berpikir demikian. Maka pendapat saya pun tak jauh beda. Namun akhirnya saya tak ambil pusing. Sebab setelah saya otak-atik pikiran, kagak ketemu yang sesuai. Jadi terpaksalah pakai itu. Dan jika dirasa-rasa, itu tidaklah terlalu buruk. Malah mengesankan kepada siswa untuk bergegas menggelontorkan gagasan-gagasan hebat. Bahkan yang out of the box sekalipun.

Sebab apapun penemuan atau inovasi, selalu dikira nganeh-anehi. Terlalu beyond. Tidak membumi dan "apalah-apalah" lainnya. Namun setelah dirasa ada guna dan manfaatnya, langsung dicomot, serta dieksploitasi berlebihan. Begitulah sifat manusia dimanapun tempatnya. Jadi sulit untuk menafikkan fenomena ini.

Karena berprinsip pada kepraktisan dan hemat biaya, maka dipilihlah media yang menjadi "inang" dari si majalah itu. Karena posisinya dicantol, maka yang layak menjadi opsi tidak lain dan tidak bukan adalah kalender bekas. Tentu dengan menggunakan punggung polosnya sebagai tempat menempel.

Dengan menggunakan kalender bekas, posisi gantungannya bisa bergerak secara mobile. Berbeda dengan mading konvensional yang harus teronggok pasrah di tempat tertentu. Walaupun begitu, tetap ada kelemahannya. Karena pergerakannya bisa pindah kemana-mana, memungkinkan kerusakannya lebih tinggi. Ditambah pula, dengan tidak adanya pengaman berupa kaca atau plastik, yang biasanya menjadi pelindung sekaligus pemisah jarak.

Dan mulai hari Sabtu ini atau hari keduabelas masuk sekolah, kita buat bersama-sama. Nanti diagendakan dibikin seminggu sekali. Tentunya dengan tema yang beragam dan tidak melenceng dari materi pelajaran yang ada. Dan tema kali ini, yang kita usung adalah Pubertas.

Bojonegoro, 14 Januari 2023

13 Januari, 2023

,

Bebek Dolan

Bebek Dolan
(Hari Kesebelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Mungkin ada yang mulai bosan baca tulisan ini. Karena tiap hari bahasannya "hewan" melulu. Oleh karena itu, saya minta maaf. Namun saya rasa harus tetap melanjutkan. Sebab eksperimentasi pembelajaran, lewat kegiatan ini masih berlangsung. Dan membutuhkan akronim-akronim yang dapat menggugah selera kreativitas. Kalau tanpa disingkat maupun disingkat secara "biasa" saja, kesannya kurang mengena. Perlu keunikan yang menyegarkan benak.

Dan di hari kesebelas ini, saya memakai istilah Bebek Dolan alias Bersih-bersih Kelas dan Halaman Sekolahan. Ini adalah sebutan lain daripada Gerakan Jum'at Bersih, yang sudah lama digemakan. Tidak ada kebaruan dalam rutinitasnya. Hanya sekadar mengenalkan terminologi baru. Kalaupun nanti dikembangkan agar tidak monoton, bisa dengan menambahkan yel-yel ataupun lagu. Dengan adanya hal itu, memungkinkan semangat bersih-bersihnya jadi meninggi.

Di samping itu, juga dapat dibuatkan maskot atau kostum. Namun ini tentu butuh modal, yang tidak dapat dikatakan sedikit. Meskipun bisa diakali, dengan bahan pembuatannya dari kertas, plastik, dan barang-barang tak terpakai di sekitar kita. Dengan ini, malah membikin jadi nilai plus. Benar-benar mengurangi sampah, juga membuat keadaan menjadi lebih hidup serta indah.

Dan semakin menyenangkan pula, jika sekali-kali di akhir kegiatan, diadakan makan besar dengan bahan dasarnya adalah bebek. Jadi kegiatannya betul-betul bebek detected. Apabila dikonsepkan dengan matang, bisa menjadi trade mark sekolahan. School branding yang murah, namun bertenaga.

Mungkin gagasan yang serba murah-meriah semacam ini diterapkan di berbagai level pendidikan, akan tercipta lingkungan pembelajaran yang mempunyai ciri khas dan berdaya saing tinggi. Tak perlu harus selalu mencanangkan aktivitas yang serba menguras kocek dan berbau teknologi tinggi. Karena pendidikan tidak melulu soal kecanggihan, namun lebih ke arah tingginya moralitas dan kreativitas.

Bojonegoro, 13 Januari 2023

12 Januari, 2023

,

Cecek Turu

Cecek Turu
(Hari Kesepuluh Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Tak ada afdol rasanya, apabila kegiatan Sarapan Pagi tak ada geliat bacanya. Makanya untuk itu, saya bikin pula aktivitas pendampingnya bernama Cecek Turu. Kok masih pakai nama hewan? Iya biar nyambung aja. Apalagi Cecek Turu ini merupakan kependekan dari Cerita-cerita Kekinian untuk Ditiru. "Ditiru" di sini maksudnya adalah agar anak-anak menjumput nilai-nilai positif yang dimunculkan. Dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, bukan sekadar slogan semata.

Untuk kegiatan Cecek Turu ini, sengaja saya buat setiap hari berdasarkan bahan ajar yang ada. Dan dicetak terbatas, cukup dua eksemplar saja. Alasannya simpel, hemat dan melatih anak-anak bergantian membaca. Agar nantinya terbiasa mengembangkan sikap sabar dalam menunggu antrian, tidak suka main menyerobot. Dan dampak lainnya, anak-anak dapat memupuk jiwa syukur secara tidak langsung.

Materi yang disuguhkan di lembar cerita tersebut, hanya mengambil dari satu bidang studi saja. Tidak semuanya. Hal ini bertujuan, agar anak lebih fokus dan gampang memahami. Untuk itu, kali ini materi yang diusung seputar pubertas. Tentu sudah bisa ditebak, bahwa materi ini berasal dari pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.

Semua tokoh cerita yang dihadirkan di sini berpusar pada keluarga Pak Rangga dan Bu Isti, beserta kedua anak kembarnya. Yaitu Haidar dan Yuna. Kedua anak ini berada di kelas enam. Sedangkan setting latarnya, kebanyakan berkisar di rumah dan tempat mereka bersekolah.

Untuk cerita awal, yang diangkat berkisah tentang pemanfaatan aplikasi pengubah wajah. Dan bagaimana riuhnya saat kedua anak itu mengetahuinya pertama kali. Mereka berdua, tidak saja menyimpan hasil dari "rekayasa" muka mereka di gawai. Namun juga mempostingnya ke dalam akun sosial masing-masing. Selain itu, dicetak dan ditempel di dinding kamar mereka. Dan beginilah cuplikan kisahnya.

"Bun, bun, ini mau aku tanya?, kata Yuna kepada ibunya. Ibunya pun membalas, "Mau tanya apa?"

"Ini kan pak guru ngasih PR. Ada satu soal yang aku tak mengerti", tukas Yuna.

"Gimana soalnya?" tanya ibunya.

"Begini lho soalnya, Apa sebutan lain dari menstruasi?" ujar Yuna. Ibunya mengernyitkan dahinya lalu membalas, "Ada pilihannya nggak?"

"Ada, Bun?" ujar Yuna.

"Ini lho pilihannya, a. Datang bulan, b. Datang tak diundang, c. Datang terlambat, dan d. Datang lebih awal", lanjutnya.

"Wah, wah, gurumu lucu juga ya? Pertanyaannya kok kayak gitu", kata ibunya.

"Iya sih pak guru, emang orangnya humoris. Tapi ini beneran kan soalnya?" tanya Yuna sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ibu pun membalas dengan tersenyum, lalu menjawab, "Iya dong. Itu jawabnya mudah. Jawabnya adalah datang bulan".

Yuna agak terkejut mendengarnya, kemudian bertanya, "Kok bisa datang bulan, Bun?"

"Karena memang datangnya, seringkali tiap bulan. Makanya disebut datang bulan", ulas ibu dengan bijak.

Demikianlah sekilas ceritanya. Dan ceritanya ini memang "diusahakan" seperti keadaan riil sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang tentu tak formal. Namun tetap mudah dimengerti.

Bojonegoro, 12 Januari 2023

11 Januari, 2023

,

Sapi Lemu

Sapi Lemu
(Hari Kesembilan Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Kemarin siang, setelah menuliskan soal untuk Sarapan Pagi, saya berpikir untuk membuat singkatan untuk kegiatan ini biar lebih menarik. Dan kebetulan anak-anak baru belajar tentang Cangkriman Wantah. Sebuah materi pada mupel Basa Jawa, yang mengulik tebakan berdasarkan akronim. Dengan begitu saya pikir, kalau dibuat jadi nge-match. Akhirnya ketemu istilah Sapi Lemu. Sapi Lemu ini dipendekkan dari Sarapan Pagi dengan Lembar Uraian.

Namun sayangnya belum kesampaian dilaksanakan di hari ini, sebab Lembar Uraiannya belum kebuat. Jadi akhirnya ditulis di buku tulis saja. Tapi tak masalah kan? Yang esensi dari program ini mampu berjalan. Dan dapat mengukur sejauhmana pemahaman materi yang akan diajarkan. Dari hasil yang ada, skor rata-rata mencapai 80. Sebuah pencapaian yang lumayan bagus, bukan?

Kelar jam sekolah, saya kepikiran soal pemakaian lembar uraian tadi. Apakah cocok diterapkan? Karena jika dilakukan, jelas butuh kertas yang banyak. Dan itu jauh dari kata hemat. Mau pakai kertas bekas, yang sisi sebelahnya masih kosong kelompong, kok nggak asyik kelihatannya. Kalau tidak memakai lembar uraian, singkatannya tak mungkin jadi Sapi Lemu. Harus diketemukan singkatan lainnya yang lebih pas dan punya daya dukung terhadap "realitas".

Alhamdulillah, akhirnya nemu kata Sapi Udik. Kependekan dari Sarapan Pagi untuk ditulis di Buku. Agak maksa ya? Tapi saya rasa tak apalah. Daripada tak ada yang unik dan sesuai dengan yang diinginkan. Tentu tak cuma Sapi Udik dong, kudu ada teman seiringnya. Sebab ke depan, kemasan Sarapan Pagi mempunyai konsep yang berbeda-beda.

Kemudian nongol Sapi Ilang atawa Sarapan Pagi secara Lisan dan Langsung. Yang mana terlihat dalam lakuannya menjauhi perbuatan tulis-menulis. Dan ini bukannya tidak baik. Ini justru menguatkan kemampuan tulis. Jika anak sudah terbiasa dengan komunikasi secara verbal. Lalu di-back up oleh kemampuan secara tekstual. Tentu akan berdampak pada kondisi masa depannya. Anak tersebut akan mudah beradaptasi dan menaklukkan tantangan yang ada. Dan bukankah tujuan pendidikan secara mendasar adalah hal itu?

Bojonegoro, 11 Januari 2023