16 Maret, 2022

,

Mengapa Kita Bisa "Mendredag" Saat Public Speaking?

Kegiatan kemarin malam dan kejadian sore tadi yang saya alami, mensahihkan pendapat bahwa tidak semua orang dapat berkomunikasi dengan baik. Lebih-lebih pada komunikasi massa. Bahkan pada orang yang notabene sehari-hari menghadapi publik, yaitu guru. Meskipun yang dihadapi itu masih terbilang anak-anak. 

Mengapa demikian? Mengapa bisa terjadi? Padahal kalau dipikir-pikir secara sekilas, guru sudah terbiasa. Artinya mereka ini mempunyai jam terbang yang tinggi. Dan tidak banyak profesi yang mampu menandinginya. Tapi jika dinalar secara dalam-dalam akan "ketahuan belangnya".

Kok ketahuan belangnya sih? Kagak sopan. Memang istilah itu terdengar kurang menghormati guru, namun jika mau menyelidik lebih dalam, istilah itu sudahlah tepat untuk dipakai. Sebab disadari maupun tidak, seorang guru akan cenderung "menyelepekan" kedudukan siswa. Sehingga dia dengan leluasa ngomong apa saja tanpa beban. Berbeda jika berbicara di hadapan umum atau disebut public speaking. Nyalinya ciut-mengkerut, karena dalam pikirannya orang-orang akan menggibahnya atau lebih dari segala hal dibanding dirinya.

Padahal itu adalah manifestasi dari gelapnya pemikiran. Terlalu berlebihan dalam memandang pendapat orang yang belum tentu juga ada wujudnya. Dan kalau dirangkaikan dalam kalimat tanya, bisa segerbong gini.

1. Apa mereka akan menertawakan saya?

2. Apa mereka paham dengan perkataan saya?

3. Apa mereka sedang menggunjing saya?

4. Apa yang saya sampaikan salah?

5. Apa mereka tidak menyukai saya?

Dan masih banyak "apa-apaan" lainnya. Ini hanya sebagian kecil saja. Namun mampu memotret fakta yang terjadi.

Akibatnya hal ini dapat menimbulkan peristiwa yang disebut dengan tongue-tied atau ilat mblundeti alias lidah tercekat. Sehingga kesulitan untuk melanjutkan pembicaraan. Dan ending-nya jelas tertebak. Bikin kisruh.

Tentu kita semua tidak ingin hal itu terjadi pada kita. Makanya sebelum melakukan public speaking, kita wajib melakukan latihan. Dan ini juga tetap berlaku pada orang yang sudah mahir dan terbiasa. Sebab bagaimanapun juga, dengan berlatih akan menguatkan hasil.

Latihan apa saja yang perlu dilakukan? Ada dua yang umum dilakukan, yaitu bantuan-cermin dan rekam-video. Keduanya dapat dilakukan sendiri maupun dibantu pihak lain. Selain itu juga di-back up dengan mempelajari bahasa tubuh, ekspresi wajah, kejelasan, intonasi, diksi, dan aksen. 

Apakah masih ada persiapan lainnya? Masih. Yaitu membuat daftar perkiraan pertanyaan. Dengan membuat ini, kita menjadi dengan mudah menjawab. Dan ini tentu saja, dapat meningkatkan kepercayaan diri. Sebab memang ujung-ujungnya bahasan artikel ini tiada lain adalah rasa percaya diri. Makanya untuk meningkatkan hal itu, haruslah mampu menghafal materi (jika susah menghafal, buatlah tulisan garis besar) dan mengingat pendukung materi (humor, lagu, dalil agama  quotes, dan dance). 

NB: Mendredag ini adalah kosakata gaul Bahasa Jawa untuk kata "ndredeg"  yang berpadanan kata dengan gemetar, grogi, atau gugup.

Referensi:

• info.populix co

• peoplematters.in

15 Maret, 2022

,

Menepati Janji Juga Perlu Dipelajari


Dari lahir sampai ke liang lahat, kita selalu dikelilingi janji-janji. Baik itu janji yang kita bikin sendiri maupun orang lain. Dan janji ini, jika kita beber akan menjadi sangat panjang. Karena akan ada banyak item yang dapat dimasukkan. Mulai dari janji religius, profesi, sampai perkawinan. Dan tentu saja, setiap janji harus ditepati. Ini sesuai dengan pepatah kita, "Janji adalah hutang".

Karena janji adalah hutang, makanya harus dibayar. Dan ini perlu dipelajari sejak dini, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkup sekolah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan untuk mengingkarinya. Dan hal ini, bila ada kaitannya dengan hukum disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi merupakan istilah dari bahasa Belanda "wanprestatie" berarti tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Menurut KBBI, pengertiannya adalah salah satu pihak bersepakat dalam perjanjian memiliki prestasi buruk akibat dari kelalaiannya.

Agar tidak tumbuh menjadi pribadi yang ingkar janji, maka diperlukan sebuah ekosistem kejujuran yang dapat "memproteksi" anak. Ekosistem itu tentunya bermula dari pihak keluarga dan diperkuat oleh sistem persekolahan. Dan di bawah ini akan diulas dampak positif yang dapat diperoleh, apabila janji diajarkan secara terencana di lembaga pendidikan.
  • Memiliki nilai kejujuran dan keterbukaan yang tinggi.
  • Anak bisa mengukur kemampuan dirinya dalam menepati janji. Ia belajar untuk tidak mengobral janji.
  • Dipercaya oleh teman-teman dan lingkungannya.
  • Mudah untuk menerapkan nilai lain kepadanya, karena siswa mudah percaya pada apa yang guru katakan.
Lantas bagaimana cara membuat siswa mampu memahami arti pentingnya berjanji? Ada banyak cara, di bawah ini ditunjukkan beberapa yang mungkin bisa diadaptasi oleh sekolah.
1. Buat peraturan
Buat peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa. Ditempel di setiap kelas dan dibacakan setiap upacara bendera.
2. Penugasan ringan berulang
Buat penugasan atau piket untuk seluruh siswa, sesuai kelas. Dan tidak boleh diwakilkan atau digantikan.
3. Logika terbalik
Buat pemahaman tentang hal ini, secara rutin. Baik secara langsung maupun dalan bentuk cerita.
4. Konsisten
Guru dan pihak sekolah harus ketegasan, jika ada pelanggaran. Dan perlu memberikan reward, jika ada yang dinilai pantas, secara periodik.
5. Beri kesempatan kedua
Meskipun perlu ketegasan, namun perlu dilihat latar belakang terjadinya pelanggaran. Sanksi yang dijatuhkan tetap harus mendidik, dan membuat mereka insyaf.

Tentu setelah melihat hal-hal di atas, bisa timbul sebuah pertanyaan, "Apakah dampak negatif dari janji?" Tentu ada, jika janji itu tidak ditepati. Dan berikut ini, hal-hal yang mungkin terjadi akibat dari pengingkaran atau pelalaian janji. 
1. Siswa menjadi kecewa
2. Hilangnya kepercayaan pada guru
3. Siswa menjadi pelanggar janji
4. Siswa suka berbohong
5. Lunturnya kewibawaan guru
Hal-hal di atas karena sudah terang benderang, makanya tak perlu dipaparkan secara terperinci. 

Melihat itu semua, kita sebagai guru harus mempunyai kesadaran bahwa berjanji itu penting. Dan tak mungkin hidup tanpa sebuah janji. Sebab bagaimanapun juga kehidupan adalah kumpulan janji-janji. Terlepas dari tingkah seseorang atau sekelompok orang yang suka mengobral janji manis nan palsu. Karena itu sebagai guru, kita harus mampu mengajarkan dampak positif dari sebuah janji. Ingat karakteristik anak-anak dimanapun sama, yaitu promise keeper (pengingat janji), suka menagih janji. Makanya jangan suka mengumbar janji, apalagi tidak menepatinya atau PHP. Sebab hal ini akan membuat mereka menjadi peniru ulung.

Sumber: 

14 Maret, 2022

,

Sudahkah Memuji Siswa di Hari Ini?


Diakui maupun tidak, pujian disukai setiap orang. Di semua lapisan usia dan ras bangsa. Dalam hubungannya dengan dunia pendidikan, pujian sangatlah bermanfaat. Sebab pujian selalu erat kaitannya dengan bentuk apresiasi guru terhadap kinerja siswa. Pada usia anak-anak, pencapaian terhadap suatu hal dan "perayaan" terhadap keberhasilannya adalah segaris lurus. Jika anak-anak mendapatkan pujian, maka akan mendorong dirinya melakukan validasi positif itu berulang-ulang. Dan seperti yang kita ketahui, apapun yang dilakukan akan menjadikannya sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini lalu tumbuh menjadi kultur. Kemudian akhirnya menjadi "DNA".

Tentu sebelum guru melakukan sebuah pujian, harus paham situasi dan kondisi. Tdak boleh menggeneralisir dan berlebihan. Untuk itulah hal-hal awal yang patut diketahui sebelum melayangkan pujian, bisa dicermati terlebih dahulu, seperti di bawah ini.

1. Harga Diri
Melakukan sesuatu bagi siswa (khususnya di kelas rendah), bukanlah sesuatu yang mudah. Maka dengan adanya pujian, membangun harga diri atau  self esteem. Dengan harga diri ini, membuat mereka merasa diterima, dicintai, dan dilindungi. 

2. Perilaku Baik
Di samping itu, pujian dapat membantu mereka untuk membedakan antara tindakan yang baik dan yang buruk. Dan hal ini juga merupakan cara terbaik untuk mendisiplinkan anak .

3. Mendekatkan Hubungan 
Sehingga berdampak pada kedekatan antara guru dan siswa. Karena mereka merasa berhasil membuat guru bangga padanya. Selain itu, mereka menganggap pujian sebagai hadiah untuk dirinya. Yang akhirnya hal ini dapat membuat siswa semakin percaya diri, bertanggung jawab, dan tidak ingin berbuat hal-hal yang buruk.

Setelah memperhatikan manfaat-manfaat pujian, marilah kita menuju "cara melakukannya". Sebab kekurang-tepatan dalam menyampaikan pujian bisa menimbulkan efek samping yang tidak mengenakkan. Untuk itulah perhatikan hal-hal berikut ini.

1. Usia
Apapun pujian harus memperhatikan kelayakan atau kepantasan dalam penyampaian. Dan kelayakan ini tentunya dapat dilekatkan pada umur berapa siswa mampu menunjukkan performanya. Sebab bila tak memperhatikan, malah membuat mereka kurang bergairah dalam proses pembelajaran.

2. Momen
Lebih baik memberikan pujian pada hal-hal yang baru dapat dicapainya. Dan bukan pada hal yang sama. Karena itu dapat membuat mereka tidak mau beranjak untuk "berjuang". Atau biasa orang sebut sebagai zona nyaman.

3. Ketulusan
Hindari memuji sambil lalu, cobalah untuk memusatkan perhatian pada mereka. Guru harus memilih kata yang tepat, disertai dengan ekspresi dan gerakan tubuh yang pas. Sebab jika tidak, mereka akan menganggap hal itu basa-basi belaka. Apalagi usia-usia di antara Kelas 1 sampai 3, mereka mempunyai kepekaan tinggi mengenali sebuah ketulusan. 

4. Spesifik
Ungkapkan secara lugas, dan tidak terlalu umum. Contohnya, "Luar biasa, kamu dapat menyelesaikan perhitungan ini dengan cepat". Bukan seperti ini, "Luar biasa, kamu memang jago Matematika". 

5. Proses
Pujian tidak selalu berbicara tentang hasil yang dicapai yang telah dicapai siswa. Akan tetapi, pada proses dan usaha mereka untuk mendapatkannya. Dengan demikian, mereka merasa usaha yang telah dilakukan, juga dihargai tanpa bergantung pada hasil yang mungkin didapat. Jadi berhasil maupun gagal, tidak masalah.

Dari uraian di atas, sudah dapat digambarkan bukan? Tentang arti pentingnya pujian pada anak usia sekolah. Makanya kita sebagai guru tak boleh segan-segan dalam memuji siswa. Meskipun juga harus dikontrol porsinya. Sehingga tidak nampak berlebihan. Dan membuat mereka bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab bagaimanapun juga, tak ada guru yang mau siswanya ogah-ogahan dalam pembelajaran. Dan dengan memelintir pesan yang selalu diungkap oleh Pak Ilham, bahwa memuji itu mudah dan menyenangkan bukan? Iyaaaaah. 

13 Maret, 2022

,

Tes Otka-otki untuk Melihat Keberbakatan Siswa

Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, saya juga menggemari singkatan. Makanya tak salah dong saya, di dalam tulisan ini juga membuat singkatan. Apalagi ini hari Ahad, masak harus saling menyalahkan? Capek tau. Mending dibuat santai-santaian. Tapi ini bagi yang tak lagi gawe. Meskipun begitu jangan begitu terlalu ngoyo. Tetap selow saja. 

Baiklah di tulisan ini saya bikin singkatan untuk otak kanan dan kiri. Yang otak kanan saya pendekkan menjadi otka. Sedangkan otak kiri menjadi otki. Bagaimana? Rada-rada keren gitu ya? Akhirnya terjawab juga kan tentang judul tulisan yang pakai otka dan otki itu?

Sudah kita ketahui bersama, bahwa ada asumsi di masyarakat yang mengelompokkan kemampuan manusia berdasarkan otka dan otki. Orang yang termasuk otki dipercaya kemampuannya lebih kepada logis-akademik. Sedangkan yang otka, lebih ke arah kreatif-artistik. Kalau menurut bahasa saya sih, yang otka ini suka nyeniJika yang otki itu cenderung kepada nyeno.

Lantas bagaimana cara mengetahui bahwa kita termasuk ke otka atau otki? Klik saja tautan berikut ini: Tes Otka-otki 1. Di sana ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Dan nanti keluar hasilnya yang menentukan, bahwa kita ikut golongan mana. Apabila ketika memilih jawaban terjadi kegalauan, yang akhirnya mungkin menimbulkan kekeliruan, maka dapat memilih cara yang kedua. Cara kedua ini lebih simpel-pel-pel. Cukup menangkupkan kedua tangan. Jika jempol tangan kanan berada di atas, berarti otka. Begitu juga sebaliknya. Dan apabila lagi-lagi diterpa keresahan, maka tengoklah link ini: Tes Otka-otki 2. Tes kedua ini dapat diterapkan ke murid-murid kita, dan akan membuat mereka tertegun-tegun. Lalu berkata, "Kok iso yo?"

Meskipun begitu, jangan pongah bin jumawa, apabila termasuk otka dan otki. Sebab banyak pakar syaraf yang mengatakan hal itu hanya mitos belaka. Sebab otak kita bekerja secara koordinatif. Hal ini juga diwartakan oleh detik.com, dengan mengutip dari Scientific American. Sebuah penelitian yang telah berjalan selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa “kognisi [kreatif] dihasilkan dari interaksi dinamis dari sejumlah area otak yang beroperasi di sebuah jaingan skala besar." Proses kreatif yang satu berbeda dengan yang lain, begitu juga bagian otak yang dibutuhkan dalam kerja kolektifnya. Inovasi, penciptaan baru, bukan monopoli salah satu bagian otak kita. Seperti sebuah kantor, proses perekrutan dari masing-masing departemen sesuai dengan proyek dan tugas yang datang. Bagaimanapun juga, meski berasal dari bagian-bagian yang berbeda, otak manusia mirip dengan kodratnya sebagai makhluk sosial: mesti bekerja secara kolektif agar mampu menghasilkan sesuatu yang berguna.

Lantas buat apa tes-tesan tadi? Iya sekadar untuk mengenali ke arah dominan mana kita dalam berperilaku. Meskipun itu tidak berlaku atau terjadi terus-menerus. Contohnya saya. Saya tiap hari rajin menulis. Menulis ini adalah kemampuan otak kiri (otki). Padahal jika dites, saya termasuk ke dalam kualifikasi otak kanan (otka).

Sumber gambar: verywellmind.com


12 Maret, 2022

, ,

Memasukkan Permainan Tradisional Menjadi Inkul atau Ekskul

Kita selama ini suka berbicara dalam tataran idealisme, namun selalu megap-megap dalam tataran operasional. Mengapa demikian? Ya karena kita sering halu gaes. Jadi apa yang ada di benak kita, ya kita semaikan di sana saja. Tidak mau mencobanya di alam nyata. Sebab selalu ketakutan akan kegagalan. Padahal kegagalan adalah bagian dari resiko hidup. Jika tak mau resiko, ya hidup kita akan stagnan. Dan lama-lama "punah sendiri". 

Ini pun terjadi pada hal-hal yang berbau tradisional. Kita suka berkoar-koar, suka menghamburkan kata-kata. Akan inilah, akan itulah. Intinya ingin melestarikan kebudayaan. Namun saat ditanya, kapan pelaksanaan. Tetiba bersembunyi di balik finansial, religiusitas, legal-formal, dan lain sebagainya. Ini kalau orang Jawa bilangnya  "Ora sumbut".

Contoh tentang tradisional ini adalah permainan tradisional. Sebagian besar peralatannya mudah didapat dan dibuat. Jadi tidak ada alasan, dapat menggerogoti anggaran. Jika berkaitan dengan faktor agama, juga jauh. Apabila diselidiki, tidak ada permainan tradisional yang umum dilakukan sejalan dengan kepercayaan tertentu atau sebuah kesesatan beragama. Semua permainan tradisional tadi bebas dari hal itu. Terkait dengan perundangan, permainan tradisional sudah dimasukkan ke dalam objek pemajuan kebudayaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Jadi alasan apalagi yang mau dipakai?

Makanya sekolah atau lembaga pendidikan yang telah memasukkan permainan tradisional sebagai mulok (muatan lokal), perlu diapresiasi setinggi-tingginya. Ini artinya mereka tidak lagi berada di "omong besar" belaka. Namun sudah dalam aplikasi nyata. Dan jujur saja, sudah banyak daerah yang membuat pergub, perbup, dan perkot, terkait dengan mulok adat istiadat. Jadi ini hanya soal kemauan keras dari pihak sekolah saja.

Makanya untuk menguatkan hati lagi dalam pelaksanaannya di lembaga pendidikan, mungkin bisa membaca dua pendapat tentang pengertian permainan tradisional di bawah ini.

1. Novi Mulyani 
Dalam bukunya yang berjudul "Super Asyik Permainan Tradisional Anak" mengungkapkan, permainan tradisional adalah permainan warisan dari nenek moyang yang wajib dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal. 

2. Dr. Euis Kurniati, M.Pd.
Dalam bukunya yang berjudul "Permainan Tradisional dan Perannya Dalam Mengembangkan" mengungkapkan, permainan tradisional merupakan suatu aktivitas permainan yang tumbuh dan berkembang di daerah tertentu, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat dan diajarkan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sumber gambar: liputan6.com

11 Maret, 2022

,

Menyalahkan Guru di Kelas Rendah


Selama ini kasus bullying di pendidikan, selalu dikira terjadi antara siswa dengan siswa. Padahal bullying atau mempunyai padanan kata dengan penindasan, perisakan, dan perundungan, ini juga terjadi antara guru dengan guru. Tentu mendengar hal ini, janganlah kaget. Memang benar guru secara ideal adalah manusia yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang etika. 

Tetapi yang namanya manusia juga mempunyai khilaf. Jadi melihat ini, perisakan bisa juga guru yang melakukannya. Dan jangan menganggap penindasan ini menjurus ke hal-hal yang cenderung fisik. Sebab faktanya lebih banyak ke arah psikis. Ini sesuai dengan pengertian bullying itu sendiri, yaitu tindakan atau perilaku yang dilakukan untuk menyakiti baik dalam bentuk verbal maupun ragawi.

Apa saja verbal-bullying yang umumnya terjadi antar guru, namun tidak disadari keberadaannya? Di sini hanya diberikan sebuah contoh saja. Perundungan itu adalah menyalahkan ketidakmampuan siswanya gegara guru sebelumnya dianggap tidak mengajari. Jika diredaksionalkan ungkapannya seperti ini, "Apa saat di kelas itu, kamu tidak diajari gurumu?" Hal ini jika dilontarkan langsung kepada siswanya. Apabila di antara sesama rekan guru, bisa saja jadi semacam ini, "Apa guru di kelas sebelumnya tidak bisa mengajar ya?" Padahal ini dikatakan di saat rapat, yang guru disentil itu ada. Dan ini tidak cuma sekali dua kali, namun terus menerus.

Padahal guru yang suka menyalahkan ini, belum tentu juga mempunyai kemampuan dan keberhasilan, jika ditempatkan di kelas atau sekolah yang lebih rendah jenjangnya. Mereka ini hanya mau menang-menangan saja, mau enak sendiri. Lupa bahwa tugas guru adalah "mencerdaskan" siswanya. Sebab seperti pemeo, kalau sudah cerdas kenapa harus sekolah?

Mereka tidak mau melihat secara luas, bahwa setiap siswa di setiap jenjang itu mempunyai persoalan yang unik dan khas. "Keistimewaan" ini dapat timbul karena faktor usia atau hal lain seperti keluarga, pertemanan, jarak sekolah, dan lain sebagainya. Jadi tidak boleh digebyah uyah. Kalau usia sudah sekian, atau sudah kelas sekian, pasti telah menguasai kemampuan yang dipersyaratkan. Jika memang sudah mampu, tentu tidak dilaksanakan adanya perbaikan. Padahal perbaikan ini salah satu muaranya dapat menentukan terjadinya penelitian tindakan kelas (PTK). Hal yang sangat dibutuhkan guru, untuk naik pangkat (di negeri).

Dan seringkali ketidakmampuan siswa itu, memacu guru menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam merancang konsep pembelajaran yang akan dilakukan. Sehingga menciptakan penemuan-penemuan baru di dalam perbaikan mutu pendidikan. Yang dalam hal ini dapat mewujud ke arah best practice (praktik terbaik). Sesuatu yang sungguh dibutuhkan pendidikan saat ini.

Sumber gambar: facebook.com

10 Maret, 2022

,

Hands on Experience, Belajar Secara Faktual


Kemarin siang, tiga rekan guru saya berbincang-bincang. Salah satunya yang menjadi guru Kelas 2 berkata, "Tadi saya lewat ruang Kelas 1, harum sekali ruangannya". Bu guru Kelas 1 pun membalas, "Iya, tadi anak-anak saya suruh belajar mengepel. Mereka bersemangat sekali. Bahkan saling berebutan mengambil alatnya, saat dijelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan." Mendengar ini, bu guru Kelas 3 ikutan nimbrung, "Ooo... gitu ya? Makanya semerbak mewangi kemana-mana." Bu guru Kelas 1 berujar, "Iya ini sesuai dengan materi yang ada di buku. Kan memang mintanya Kurikulum 2013 begitu".

Yang dilakukan oleh bu guru Kelas 1 inilah yang disebut dengan Hands on Experience. Hands on Experience dalam pelaksanaannya benar-benar melibatkan siswa dalam kegiatan tertentu, tidak cuma secara teoritis. Makanya secara terminologi, Hands on Experience diartikan sebagai suatu rancangan pembelajaran yang bertujuan untuk melibatkan anak dimulai dari menggali informasi, bertanya, beraktivitas, menemukan sampai menyimpulkan. Sehingga pembelajaran ini juga disebut dengan istilah Authentic Learning atau dikenal juga dengan nama Experiental Education. Dan ini setara dengan konsep learning by doing. Sebuah konsep belajar dengan mengerjakan sesuatu secara aktif dan mempunyai dampak dalam perubahan perilaku pelajar. 

Namun persoalannya, seringkali sulit sekali dilaksanakan di dalam pembelajaran. Ada dua sebab utama yang menjadikannya sulit. Pertama, soal waktu. Bagaimanapun juga alokasi waktu untuk praktik siswa, cenderung tidak bisa diperkirakan. Lebih banyak kurangnya dibandingkan dengan lebihnya. Karena saat pelaksanaan, sebagian anak tidak mau berhenti, dan sebagian lain tidak tuntas-tuntas dalam pengerjaannya. Dan guru lebih terdorong untuk membantu yang tidak bisa, dan memberikan keleluasaan pada yang sudah berhasil (yang mereka ini suka mengulangi lagi percobaannya). Padahal secara "kurikulum" ada batas waktu yang telah ditentukan. 

Yang kedua, soal administrasi. Persoalan administrasi ini juga sama dengan yang tadi. Sulit dicari solusinya. Karena selain sebagai guru, adalah juga seorang pegawai. Sebagai seorang pegawai tentu harus menuntaskan hal-hal yang terkait dengan administrasi. Dan ini tidak bisa dihindari maupun diabaikan. 

Akhirnya memang dilematis peran guru ini. Di satu pihak dituntut mengajar dengan inovatif. Di sisi lain ada tuntutan profesionalisme yang terkait dengan birokrasi kepegawaian. Jadi mau tidak mau, harus memeras otak dan memerah tenaga, agar semuanya berjalan dengan lancar. 

Makanya perundangan tentang pendidikan yang sekarang sedang digodok di tingkat kementerian, moga-moga mampu memberikan secercah asa tentang bagaimana guru seharusnya mengajar dengan baik. Tanpa diganggu keruwetan-keruwetan, yang sebenarnya bisa dialih-dayakan ke pihak lain. Sehingga proses pembelajaran berjalan dengan lancar, dan tentunya berkemajuan.

Sumber gambar: dreamstime.com