13 Januari, 2023

,

Bebek Dolan

Bebek Dolan
(Hari Kesebelas Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Mungkin ada yang mulai bosan baca tulisan ini. Karena tiap hari bahasannya "hewan" melulu. Oleh karena itu, saya minta maaf. Namun saya rasa harus tetap melanjutkan. Sebab eksperimentasi pembelajaran, lewat kegiatan ini masih berlangsung. Dan membutuhkan akronim-akronim yang dapat menggugah selera kreativitas. Kalau tanpa disingkat maupun disingkat secara "biasa" saja, kesannya kurang mengena. Perlu keunikan yang menyegarkan benak.

Dan di hari kesebelas ini, saya memakai istilah Bebek Dolan alias Bersih-bersih Kelas dan Halaman Sekolahan. Ini adalah sebutan lain daripada Gerakan Jum'at Bersih, yang sudah lama digemakan. Tidak ada kebaruan dalam rutinitasnya. Hanya sekadar mengenalkan terminologi baru. Kalaupun nanti dikembangkan agar tidak monoton, bisa dengan menambahkan yel-yel ataupun lagu. Dengan adanya hal itu, memungkinkan semangat bersih-bersihnya jadi meninggi.

Di samping itu, juga dapat dibuatkan maskot atau kostum. Namun ini tentu butuh modal, yang tidak dapat dikatakan sedikit. Meskipun bisa diakali, dengan bahan pembuatannya dari kertas, plastik, dan barang-barang tak terpakai di sekitar kita. Dengan ini, malah membikin jadi nilai plus. Benar-benar mengurangi sampah, juga membuat keadaan menjadi lebih hidup serta indah.

Dan semakin menyenangkan pula, jika sekali-kali di akhir kegiatan, diadakan makan besar dengan bahan dasarnya adalah bebek. Jadi kegiatannya betul-betul bebek detected. Apabila dikonsepkan dengan matang, bisa menjadi trade mark sekolahan. School branding yang murah, namun bertenaga.

Mungkin gagasan yang serba murah-meriah semacam ini diterapkan di berbagai level pendidikan, akan tercipta lingkungan pembelajaran yang mempunyai ciri khas dan berdaya saing tinggi. Tak perlu harus selalu mencanangkan aktivitas yang serba menguras kocek dan berbau teknologi tinggi. Karena pendidikan tidak melulu soal kecanggihan, namun lebih ke arah tingginya moralitas dan kreativitas.

Bojonegoro, 13 Januari 2023

12 Januari, 2023

,

Cecek Turu

Cecek Turu
(Hari Kesepuluh Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Tak ada afdol rasanya, apabila kegiatan Sarapan Pagi tak ada geliat bacanya. Makanya untuk itu, saya bikin pula aktivitas pendampingnya bernama Cecek Turu. Kok masih pakai nama hewan? Iya biar nyambung aja. Apalagi Cecek Turu ini merupakan kependekan dari Cerita-cerita Kekinian untuk Ditiru. "Ditiru" di sini maksudnya adalah agar anak-anak menjumput nilai-nilai positif yang dimunculkan. Dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, bukan sekadar slogan semata.

Untuk kegiatan Cecek Turu ini, sengaja saya buat setiap hari berdasarkan bahan ajar yang ada. Dan dicetak terbatas, cukup dua eksemplar saja. Alasannya simpel, hemat dan melatih anak-anak bergantian membaca. Agar nantinya terbiasa mengembangkan sikap sabar dalam menunggu antrian, tidak suka main menyerobot. Dan dampak lainnya, anak-anak dapat memupuk jiwa syukur secara tidak langsung.

Materi yang disuguhkan di lembar cerita tersebut, hanya mengambil dari satu bidang studi saja. Tidak semuanya. Hal ini bertujuan, agar anak lebih fokus dan gampang memahami. Untuk itu, kali ini materi yang diusung seputar pubertas. Tentu sudah bisa ditebak, bahwa materi ini berasal dari pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.

Semua tokoh cerita yang dihadirkan di sini berpusar pada keluarga Pak Rangga dan Bu Isti, beserta kedua anak kembarnya. Yaitu Haidar dan Yuna. Kedua anak ini berada di kelas enam. Sedangkan setting latarnya, kebanyakan berkisar di rumah dan tempat mereka bersekolah.

Untuk cerita awal, yang diangkat berkisah tentang pemanfaatan aplikasi pengubah wajah. Dan bagaimana riuhnya saat kedua anak itu mengetahuinya pertama kali. Mereka berdua, tidak saja menyimpan hasil dari "rekayasa" muka mereka di gawai. Namun juga mempostingnya ke dalam akun sosial masing-masing. Selain itu, dicetak dan ditempel di dinding kamar mereka. Dan beginilah cuplikan kisahnya.

"Bun, bun, ini mau aku tanya?, kata Yuna kepada ibunya. Ibunya pun membalas, "Mau tanya apa?"

"Ini kan pak guru ngasih PR. Ada satu soal yang aku tak mengerti", tukas Yuna.

"Gimana soalnya?" tanya ibunya.

"Begini lho soalnya, Apa sebutan lain dari menstruasi?" ujar Yuna. Ibunya mengernyitkan dahinya lalu membalas, "Ada pilihannya nggak?"

"Ada, Bun?" ujar Yuna.

"Ini lho pilihannya, a. Datang bulan, b. Datang tak diundang, c. Datang terlambat, dan d. Datang lebih awal", lanjutnya.

"Wah, wah, gurumu lucu juga ya? Pertanyaannya kok kayak gitu", kata ibunya.

"Iya sih pak guru, emang orangnya humoris. Tapi ini beneran kan soalnya?" tanya Yuna sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ibu pun membalas dengan tersenyum, lalu menjawab, "Iya dong. Itu jawabnya mudah. Jawabnya adalah datang bulan".

Yuna agak terkejut mendengarnya, kemudian bertanya, "Kok bisa datang bulan, Bun?"

"Karena memang datangnya, seringkali tiap bulan. Makanya disebut datang bulan", ulas ibu dengan bijak.

Demikianlah sekilas ceritanya. Dan ceritanya ini memang "diusahakan" seperti keadaan riil sehari-hari. Dengan gaya bahasa yang tentu tak formal. Namun tetap mudah dimengerti.

Bojonegoro, 12 Januari 2023

11 Januari, 2023

,

Sapi Lemu

Sapi Lemu
(Hari Kesembilan Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom


Kemarin siang, setelah menuliskan soal untuk Sarapan Pagi, saya berpikir untuk membuat singkatan untuk kegiatan ini biar lebih menarik. Dan kebetulan anak-anak baru belajar tentang Cangkriman Wantah. Sebuah materi pada mupel Basa Jawa, yang mengulik tebakan berdasarkan akronim. Dengan begitu saya pikir, kalau dibuat jadi nge-match. Akhirnya ketemu istilah Sapi Lemu. Sapi Lemu ini dipendekkan dari Sarapan Pagi dengan Lembar Uraian.

Namun sayangnya belum kesampaian dilaksanakan di hari ini, sebab Lembar Uraiannya belum kebuat. Jadi akhirnya ditulis di buku tulis saja. Tapi tak masalah kan? Yang esensi dari program ini mampu berjalan. Dan dapat mengukur sejauhmana pemahaman materi yang akan diajarkan. Dari hasil yang ada, skor rata-rata mencapai 80. Sebuah pencapaian yang lumayan bagus, bukan?

Kelar jam sekolah, saya kepikiran soal pemakaian lembar uraian tadi. Apakah cocok diterapkan? Karena jika dilakukan, jelas butuh kertas yang banyak. Dan itu jauh dari kata hemat. Mau pakai kertas bekas, yang sisi sebelahnya masih kosong kelompong, kok nggak asyik kelihatannya. Kalau tidak memakai lembar uraian, singkatannya tak mungkin jadi Sapi Lemu. Harus diketemukan singkatan lainnya yang lebih pas dan punya daya dukung terhadap "realitas".

Alhamdulillah, akhirnya nemu kata Sapi Udik. Kependekan dari Sarapan Pagi untuk ditulis di Buku. Agak maksa ya? Tapi saya rasa tak apalah. Daripada tak ada yang unik dan sesuai dengan yang diinginkan. Tentu tak cuma Sapi Udik dong, kudu ada teman seiringnya. Sebab ke depan, kemasan Sarapan Pagi mempunyai konsep yang berbeda-beda.

Kemudian nongol Sapi Ilang atawa Sarapan Pagi secara Lisan dan Langsung. Yang mana terlihat dalam lakuannya menjauhi perbuatan tulis-menulis. Dan ini bukannya tidak baik. Ini justru menguatkan kemampuan tulis. Jika anak sudah terbiasa dengan komunikasi secara verbal. Lalu di-back up oleh kemampuan secara tekstual. Tentu akan berdampak pada kondisi masa depannya. Anak tersebut akan mudah beradaptasi dan menaklukkan tantangan yang ada. Dan bukankah tujuan pendidikan secara mendasar adalah hal itu?

Bojonegoro, 11 Januari 2023

10 Januari, 2023

,

Guru Nanyeaa?

Guru Nanyeaa?
(Hari Kedelapan Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom)

Akhirnya di hari kedelapan, pertanyaan "Apakah kalian belajar tadi malam?", muncul. Tentu setiap guru paham akan situasi dimana pertanyaan bertuah ini dihadirkan. Dan jika jawaban dari pertanyaan ini adalah "tidak", maka pertanyaan lanjutannya hanya berubah waktunya saja. Dari waktu malam ke sore hari. Dan lagi-lagi, bila balasannya adalah "tidak". Pasti harus ada tindakan yang solutif. Bukan menerbitkan kemarahan yang tercetak di muka dan suara.

Dan saya sebagai guru, sangat-sangat terkejut, dari dua jawaban di atas, sama-sama terjawab "tidak" oleh seluruh kelas. Seperti yang sudah-sudah, biasanya ada satu-dua siswa yang masih punya kesadaran sebagai siswa, untuk belajar. Lha ini tidak lho. Apa ini sebuah prestasi? Sebab seluruh murid memiliki *semangat kebersaman*. Punya rasa kesetia-kawanan sosial yang tinggi.

Efek dari terkejut ini adalah bikin saya tenger-tenger. Dan bertanya dalam benak, "Kok bisa gini ya murid-murid?" Namun saya tak dapat terjerembab dalam kalimat tanya seperti ini. Saya harus secepatnya mencari akal untuk memicu mereka berminat di malam sebelumnya untuk--minimal--baca-baca sekilas bukunya.

Tetiba mengemuka gagasan untuk merilis aktivitas Sarapan Pagi. Sebuah kegiatan di awal pembelajaran yang dapat menyegarkan pikiran. Untuk awal-awal, akan saya berikan setiap pagi lima buah pertanyaan yang berasal dari materi yang akan dipelajari di hari itu. Lima buah pertanyaan ini, sedapat mungkin mengadopsi pertanyaan berpola ADIKSIMBA (Apa, Dimana, Kapan, Siapa, Mengapa, Bagaimana, dan Berapa).

Jika hal ini telah berjalan dua minggu, maka formatnya akan dirubah. Bisa datang dari saya ataupun dari mereka. Termasuk membuat kemasannya menjadi serupa edugame. Saya rasa dengan nuansa permainan yang edukatif, kegairahan belajar akan meningkat pesat. Semoga saja demikian.

Bojonegoro, 10 Januari 2023

09 Januari, 2023

Responsif Bukan Reaktif

Responsif Bukan Reaktif
(Hari Ketujuh Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Memasuki hari ketujuh masuk sekolah, atmosfir kemalasan tiba-tiba melingkupi diri saya. Apa ini efek dari sekolah yang teramat jauh, ditambah dengan gaji yang belum nampak hilalnya sampai sekarang? Apabila ini dianggap "iya", tentu sebagai guru harus lekas-lekas menepisnya. Sebab jika membiarkannya, akan berdampak pada proses pembelajaran. Karena bagaimanapun, guru adalah yang menjadi pelaku utama dalam situasi pendidikan. Setiap gerak langkahnya akan dilihat dan diikuti. Kalau hatinya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Maka aura ruangan kelasnya akan terasa gundah gulana.

Sehingga output pembelajaran yang nantinya diharapkan takkan terbit. Tentu ini hal yang tidak diinginkan bukan? Makanya tak cuma saya saja, setiap guru pasti suatu saat akan mengalami kondisi yang serupa. Walaupun berbeda asal musababnya. Namun kudu bersegera melakukan tanggapan yang tepat dan terukur. Walaupun ini juga tak mudah. Yang namanya hati seringkali sulit dikompromikan untuk di balik kembali keadaannya menjadi normal-sewajarnya. 

Untuk itu diperlukan perenungan yang mendalam, akan tetapi juga secepatnya menemukan hasil. Walaupun juga tak boleh gegabah. Berusaha jangan merugikan siapapun, termasuk diri sendiri. Sebab jika terbiasa mengalah, namun diiringi ketidak-tulusan tak akan ada guna dan manfaatnya. Hanya menimbulkan bom waktu yang kapanpun bisa meledak, tanpa ada yang tahu sebelumnya.

Perenungan diri sebagai pihak yang telah diamanahi ilmu sekaligus anak didik. Dengan amanah tersebut tentu saja ada tanggung jawab di baliknya. Berbicara tanggung jawab, artinya berkesungguhan segenap jiwa untuk melaksanakan sebaik-baiknya. Menomor-satukan sikap dan tindakan yang profesional. Tapi tidak berlebihan, lebih-lebih menepikan kebutuhan pribadi sama sekali. Yang apabila ditarik ujungnya adalah mampu menyuguhkan win-win solution terhadap apapun akar permasalahan. Agar kelak di kemudian hari, tidak terjadi gejolak hati dan keluhan yang berlarut-larut.

Jika ini mampu dilakukan, hasil torehannya akan mudah ditebak. Proses pembelajaran, baik yang sedang, telah, dan nantinya dilaksanakan, berdampak seperti apa yang dicita-citakan. Sehingga tak ada tuh yang namanya "kegalauan". Enjoy-enjoy saja melihat semuanya. Apalagi ruangan kelasnya seperti pada gambar. Baru dan bercat hijau. Terasa adem dan menyegarkan.

Bojonegoro, 9 Januari 2023

07 Januari, 2023

,

Refleksi dan Review

Refleksi dan Review
(Hari Keenam Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Tanggal 7 atau hari keenam telah tiba. Pasti kedatangannya tetap membuncahkan sejumlah angan. Dari sisi murid, hari Sabtu adalah hari menjelang libur. Hari dimana bisa "mengumbar" kebebasan, sebab di hari-hari biasa merasa terkungkung dan terbebani. Apakah pemikiran tersebut salah? Tentu saja tidak, sebab sebagian besar berpendapat semacam itu. Mungkin hanya segelintir, yang merasa nikmat jika hidupnya dipenuhi dengan berbagai tugas dan kerjaan.

Oleh karena itu, tidak ada tugas tambahan yang perlu dibebankan kepada siswa, saat di rumah alias pekerjaan rumah (PR). Bagi sebagian guru, opini itu tidaklah tepat. Alasannya antara lain, membuat siswa agar selalu ingat belajar kapanpun dan dimanapun. Membikin mereka tidak bermalas-malasan. Menurut saya argumen ini dapat dikatakan tepat, dapat pula dikelirukan. Tergantung apa hal yang menjadi tugas rumahan. Kalau tugasnya cuma berupa soal-soal belaka, yang lebih banyak menguras energi. Ini tidaklah tepat.

Namun saya yakin pendapat saya ini, tidaklah seratus persen bisa dijadikan pegangan. Sebab tiap guru punya idealisme tersendiri, terkait bagaimana memanfaatkan hari libur bagi siswa. Dan juga, bisa jadi tugas tambahan itu merupakan faktor penentu keberhasilan siswanya kelak. Who knows? Meskipun begitu, tiap guru harus mampu memaknai, bahwa setiap aktivitas pembelajaran yang dihadirkan berpusat pada kebutuhan siswa (student centered). Bukan upaya terselubung dari guru untuk membalaskan dendamnya di masa lalu, dimana dia dihajar oleh bejibun pekerjaan dari gurunya.

Setiap guru hendaknya pula menginsyafi, bahwa para siswa yang diemongnya tidaklah punya karakter seperti dirinya. Tiap anak punya keunikan tersendiri. Oleh karena itu mereka punya gaya belajar yang berbeda. Dalam situasi klasikal, memang teramat sulit untuk menyajikan suatu pembelajaran yang memenuhi kebutuhan secara personal. Akan tetapi bisa diupayakan kondisi pembelajaran berdasarkan kelompok gaya belajar tertentu (yang mungkin dapat dilaksanakan secara bergantian, dalam satu kurun waktu).

Seperti yang kita ketahui, gaya belajar ada tiga hal. Yaitu audiotori, visual, dan kinestetik. Audiotori sangat cocok untuk metode ceramah. Sebab bagi mereka yang suka mendengar, metode ceramah memungkinkan lebih cepat diserap dibandingkan lainnya. Berbeda dengan audiotori, anak-anak dengan gaya belajar visual, lebih termanjakan dengan metode-metode yang berbasis grafis (gambar). Sedangkan gaya belajar terakhir, yaitu kinestetik, meluapkan waktu belajarnya dengan metode yang dekat dengan gerak-gerak dinamis. Tidak cuma duduk diam manis, mendengarkan, dan melihat saja.

Bagi guru yang terbiasa merenung dan bertukar gagasan dengan guru-guru lainnya, bukanlah persoalan yang sukar mengemas strategi pembelajaran yang mampu melegakan semua gaya belajar siswa. Untuk itulah seharusnya semua stake holder pendidikan juga punya kesadaran yang sama. Dan bersama-sama mendorong guru untuk selalu melakukan perbaikan dalam pengajarannya. Tentunya dengan menjalankan hal-hal yang jauh dari ancaman dan sanksi. Sebab kedua hal ini, secara psikologis membikin guru malah ketakutan dan tertekan. Jika ini yang terjadi, pendidikan kita semakin "jauh panggang daripada api".

Bojonegoro, 7 Januari 2023

06 Januari, 2023

,

Mendulang Imajinasi dan Kreativitas

Mendulang Imajinasi dan Kreativitas
(Hari Kelima Masuk Sekolah)
Oleh: Ajun Pujang Anom

Hari kelima, saatnya mengamati para peserta didik dalam memancing hasrat imajinasi dan kreativitas dari lubuk hati dan pikiran mereka. Apakah mereka mampu memunculkan dan menuangkannya dalam sebuah produk yang dapat tersentuh oleh tangan dan dilihat oleh mata? Apakah dalam prosesnya juga mampu mengikhtiari tanpa petunjuk terperinci dari guru?

Jawaban dari pertanyaan kedua ini tentu saja masih jauh dari harapan. Sebab ketika dalam pelaksanaan tugasnya, mereka masih menyibukkan untuk bertanya ini dan itu, secara detail. Padahal sudah diterangkan di awal dan diulang beberapa kali, untuk berani mengeksplor bahan-bahan yang sudah diberikan. Dan dikerjakan secara bersama-sama. Karena ini adalah tugas kelompok.

Dalam tugas kelompok, tentunya harus ada sharing pembagian peran. Tidak boleh ada pihak yang berdiam diri, sedangkan pihak yang lain heboh dan ribet sendiri. Kegotong-royongan adalah kunci dalam aktivitas seperti ini. Tiap anak punya potensi atau kelebihan yang saling melengkapi. Jadi tidak ada yang boleh menjalani sendirian. Tiap anak harus mempunyai semangat untuk menunaikan tugasnya sesebisa mungkin, dan mengoptimalkan apa yang dimiliki.

Namun pada kenyataannya, ada sebagian siswa yang kurang mempunyai inisiatif untuk menyelesaikan tugas. Mereka cenderung untuk mengamati dan lebih banyak diam. Sehingga hal ini tentunya berdampak pada waktu yang telah ditentukan. Yang mestinya waktu pengerjaan cukup dilakukan di hari ini, akhirnya molor ke hari esok. Dan ini pastinya bisa dijadikan umpan balik bagi mereka dalam memandang fenomena ini.

Mereka akan sama-sama melihat dan mengerti, bahwa tidak mengenakkan jika menemui situasi, dimana ada yang berleha-leha saja, sedangkan pihak lainnya bekerja dengan keras. Padahal apa yang diusahakan nantinya, akan dinikmati bersama-sama. Dalam kondisi normal di masyarakat, keadaan ini dapat memunculkan hujatan dan kecaman. Selain itu, dalam bentuk ekstrimnya, orang-orang yang melakukan tindakan bermalas-malasan, dikenai sanksi pengucilan.

Nasihat di atas, memungkinkan mereka meresapi lebih kuat. Sebab dipraktikan secara realistik, tidak cuma keluar secara verbalistik. Sehingga jika timbul pertanyaan semacam ini, "Maukah kalian menjadi pihak yang tidak mau turut serta dalam sebuah kegiatan sosial?" Tentu saja, jawabannya adalah tidak. Karena kita adalah makhluk sosial. Yang di dalam diri, ada kesadaran untuk berbuat bersama-sama, untuk mencapai sebuah tujuan yang sama.

NB: Anak-anak sedang membuat poster.

Bojonegoro, 6 Januari 2023