03 September, 2022

,

Blog Ko Ngene, Kok Dibanding-bandingke


Karena saya sedang belajar ngeblog lagi, makanya saya teringat di masa saya ketika belajar beberapa materi. Salah satu ingatannya adalah materi tentang "tembak-menembak". Tapi ini bukan tembak-menembak yang katanya menembak orang, tapi yang mati CCTV-nya. Tidak itu lho. Tembak-menembak di sini adalah tembak-menembak dalam arti kiasan. Jadi jangan dikait-kaitkan dengan dar-der-dor. Plis. Apalagi dengan Si Kaisar itu. Pokoknya tidak boleh.

Yang saya maksud di sini adalah materi tentang bagaimana agar postingan kita (yang otomatis blog kita) terkerek di halaman satu pencarian. Atau paling tidak, mudah muncul. Perlu dilakukan beberapa langkah. Namun lagi-lagi yang dikuak cuma satu langkah saja. Apa itu? Simak di bawah ini. Cukup sederhana dan mudah dipraktikkan. Sehingga tak sampai serepot para netizen mencari tafsir dibalik angka 052, yang tersemat di sebuah baju oranye. 

Langkahnya itu hanya menempelkan kata-kata yang berasal dari warta yang sedang viral atau dulunya disebut "sedang naik daun". Misalnya apa? Ya yang naik tiga bulan terakhir ini. Citayam, Brigadir, Gus Samsudin, Farel, dan BBM. Kalau saya sih pilih kata "Farel". Lebih aman, tak mungkin kena gusur, kena tembak, kena tipu, kena geruduk ataupun kena pasal karet. Dan memanglah bagi blogger pemula. Carilah yang aman-aman saja. Kecuali memang punya nyali maupun bekingan, bolehlah sedikit bengal. 

Karena terkait dengan "Farel", apapun yang berhubungan dengan beliaunya, bisa disusupkan dan disisipkan. Baik ke dalam judul maupun isi postingannya. Kalau saya pilih dua-duanya. Makanya judul tulisan ini adalah "Blog Ko Ngene, Kok Dibanding-bandingke". Dan jangan lupa cantumkan tautan yang berhubungan dengannya. Mau lihat? Di sini saja 👉 Lagu Ojo Dibandingke

Bagaimana? Enak bukan lagunya? Maunya saya meng-cover lagu itu dengan lirik komedi. Nanun sebab keterbatasan suara (sebut saja suaranya cempreng), saya hanya kasih liriknya, sampeyan semua yang menyanyikannya. Tapi ingat lho, jawil nama saya saat menyanyikannya. Ho'oh tenan lho? Karena ente kadang-kadang. Ya sudah tanpa berpanjang kata. Inilah liriknya.

Blog ko ngene, kok dibandhing-bandhingke
(Blog begini, kok dibanding-bandingkan)
Saing-saingke? Ya, mesthi mblarah
(Saing-saingkan? Ya, mesti tak karuan)
Tak oyak'a, aku ya ora mampu
(Kukejar, aku ya tak mampu)
Mung sak kuatku mostang-mosting ae
(Hanya sekuatku memposting saja)

Ku berharap engkau mengerti
Blog ini memang hanya ada satu

Jelas beda yen dibandhingke
(Jelas beda, jika dibandingkan)
Ora ana sing tak pamerke
(Tiada yang dapat aku pamerkan)
Aku ra isa yen kon gawe-gawe
(Aku tak bisa kalau disuruh buat-buat)
Humor, sak anane
(Humor, ala kadarnya)

Sapa wonge sing ra melek ati?
(Siapa orangnya yang tak terbuka hatinya?)
Wis ngguyoni tekan semene
(Sudah berkelakar sampai sekarang)
Iki kabeh ora ana artone
(Ini semua tak ada uangnya)
Ra ana adsense'ne
(Tidak ada adsense-nya)

Bojonegoro, 3 September 2022
, ,

Akhirnya Bisa Meguru ke Mbah Ali Harsojo

Orang Indonesia, khususnya orang Jawa selalu menyematkan gelar "Mbah" kepada seseorang yang dianggap pintar atau pandai. Bahkan sebutan ini tidak saja diberikan kepada manusia, tetapi juga kepada sesuatu. Contohnya saja adalah Google. Kita suka memanggilnya dengan sebutan Mbah Google. Padahal kita semua juga tahu, bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencari. Dan kita bisa mengira-ira dari suaranya, dia berkelamin perempuan. Dengan usia sekitaran 30-40an tahun. Jadi masih terbilang muda. Sehingga sebenarnya lebih layak, dipanggil Mbak Google daripada Mbah Google. Namun karena dia sudah waskita dibanding kita, jadi mungkin akan kualat bila dipanggil dengan sebutan Mbak.

Meskipun begitu, kita ini sebenarnya punya standar ganda soal panggilan ini. Kalaupun tak mau dicap seperti itu, minimal kita dapat disebut melakukan anomali. Mengapa demikian? Sebab kita sering menyebut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan sebutan Mas. Ini kan aneh. Mestinya itu ya Mbah Menteri. Secara beliau itu memang benar-benar pintar, tajir-melintir, dan pemegang kendali pendidikan di Indonesia. Walaupun beliaunya terbilang masih muda. Dan jelas umurnya sepantaran dengan Mbah Google tadi. Apa kita nggak takut kualat atau paling tidak disebut kurang ajar? Meskipun beliaunya ini yang minta atau merasa fine-fine saja dipanggil semacam itu.

Dengan dasar di atas, maka pantaslah saya menyebut Ali Harsojo (yang punya aleepenaku.com) dengan embel-embel Mbah di depannya. Di samping saya menyediakan waktu untuk belajar kepada beliaunya. Beliaunya memang betul-betul mumpuni di bidang per-bloggingan. Ibarat kata, beliaunya sudah apal-kecepal soal seluk beluk bikin blog. Dan bisa dipastikan tulisan ini, tidak direncanakan secara sistematis untuk mendapatkan template gratis dari beliaunya. Tapi lebih kepada ungkapan kejujuran. Walaupun kalau dikasih, ya saya nggak menolak. Wong diberi cuma-cuma oleh Mbahe. Hehehe.

NB: Jangan lupa klik tautan ini: Tempat Aneka Info

Bojonegoro, 3 September 2022

30 Agustus, 2022

,

Mengapa Edublogger Top-topan Kebanyakan Guru SD?


Kalau dilihat daftar daripada edublogger papan atas, maka akan nampak diduduki oleh guru-guru sekolah dasar. Mengapa bisa demikian? Karena kalau dipikir-pikir  guru weton SD ini secara logika tidak mempunyai pengetahuan formal yang cukup. Mereka ini jelas-jelas cuma memiliki ijazah kesarjanaan yang jauh dari "bau teknologi". Mestinya kan ya, yang menjadi blogger pendidikan kelas wahid itu guru TIK atau Informatika, yang notabene ngendon di sekolah menengah. Baik dari segi keilmuan maupun pengalaman, tentu sangat mumpuni. Tapi faktanya tidak demikian bukan?

Ini menjadi pertanyaan bagi saya. Dan di sini, saya mencoba menerka-nerka jawaban yang sekiranya cocok untuk itu. Jawaban-jawaban itu akan saya rangkai-bernomor di bawah ini.
1. Cari Cuan
Mungkin kelihatannya jawaban ini terasa mendiskreditkan. Namun memang itulah yang terjadi. Dan tidak ada yang salah dengan hal ini. Kita tahu energi yang didapatkan dari niat ini, pastilah sangat besar. Sehingga halangan ijazah, bukanlah menjadi hal penting.
2. Tulus Berbagi
Bagi yang tak begitu minat me-monetize-kan blognya, pasti kebanyakan menggolongkan diri sebagai orang-orang yang ikhlas. Dan ini juga tak sedikit, blogger yang bergabung di dalamnya. Jadi jangan mengira semua blogger itu mata duitan. Apalagi jika ketulusan tadi ditenagai hal yang spiritual, malah akan membumbung tinggi semangatnya.
3. Kebutuhan Pribadi
Ada pula yang membikin blog sekadar untuk menabung tulisan. Karena berpikir dengan adanya blog, mudah diakses dan sekaligus tempat untuk mengarsipkan apa yang sudah dikerjakan. Para penganut jawaban ini, tidak terlalu memusingkan fulus ataupun shorang-sharing seperti hal di atas tadi. 
4. Wadah Ekspresi
Ini bisa dikatakan sebagai golongan keempat. Golongan ini lebih mengutamakan kebebasan diri, tidak mau menjebakkan kepada ini dan itu. Dan mirip dengan kelakuan pada golongan sebelumnya. Yang membedakan, terletak pada opsi pendokumentasiannya saja. Golongan sebelumnya mengukuhkan pada sisi yang sudah diperintahkan atau dideskripsikan pekerjaannya.

Dari keempat tebakan jawaban tadi, mungkin saja ada yang kurang mampu memahami. Dan saya anggap ini wajar. Bahkan mungkin pula ada yang berpendapat, empat jawaban tadi tidak dapat menggambarkan mengapa maqom puncak dikuasai guru-guru SD. Untuk opini ini, saya bisa membalas dengan satu jawaban: GURU SD LEBIH BANYAK DARI GURU MANAPUN. Walaupun jawaban ini dapat juga dipatahkan dengan argumen, bahwa tidak banyak GURU TIK/INFORMATIKA atau GURU SMP-SMA serta yang SEDERAJAT, yang unjuk diri di dalam ranah edukasi. Kalaupun ada, hanya melulu seputar bidang studi yang diampu atau jenjang sekolah dimana dia berada. Berbeda dengan blogger dari Guru SD. Mereka ini lintas mupel dan jenjang. Serta meng-update  keterkinian di bidang pengajaran. Hal inilah yang memungkinkan mereka merajai list blogger pendidikan.

Sumber gambar: caritahuaejha.blogspot.com

20 Juli, 2022

KUTIBA (Klub Tiga Bahasa)

 

Saya kok jadi kepikiran, setelah mengunggah video siswa-siswi saya di atas. Selang beberapa hari yang lalu, sekolah saya di KOSP-nya mencantumkan kegiatan ekskul English Club. Tentu saja dengan wadah ini, diharapkan anak-anak mampu cas-cis-cus secara sederhana tentang salah satu bahasa internasional yang paling populer sejagat. Dengan demikian, ketika menginjak sekolah menengah tak lagi gagap. Apalagi ditambah adanya Mulok Bahasa Inggris, malah dimungkinkan semakin mempertajam keberhasilannya. Walaupun ini, baru sekadar ekspektasi. 

Kalau memang bisa tiga bahasa sekaligus, kenapa harus tunggal? Pikir saya. Jujur saja kita lihat, pemakaian bahasa daerah (dalam hal ini Basa Jawa) semakin menipis. Secara tidak sadar, kita telah memunahkan secara perlahan-lahan bahasa lokal kita. Seakan bahasa itu sudah kuno, sudah ketinggalan zaman, sudah tidak perlu dilestarikan lagi keberadaannya. Padahal kita tahu, identitas bangsa salah satunya adalah bahasa. Jika kita telah kehilangan identitas. Apalagi yang bisa kita tunjukkan atau banggakan?

Demikian pula dengan Bahasa Indonesia, meskipun pemakaiannya semakin lama semakin luas, dan sedikit banyak telah menggusur bahasa daerah di sektor yang paling privat sekalipun. Namun kita dapat lihat, banyak orang-orang kita cenderung keminggris ataupun menggunakannya secara gado-gado. Dan populer disebut dengan Indonenglish. Tentu ini buruk. Ini mempertandakan bangsa kita telah lemah dalam kepercayaan diri. Dan Kurikulum Merdeka yang menggadang-gadang dirinya sebagai "Kurikulum yang Membebaskan", malah menyulut api pembakarannya menjadi semakin besar.

Kok tulisan saya jadi seemosional begini ya? Apa karena ditulis menjelang petang, surup, mau Maghrib? Bisa jadi. Tapi sebenarnya maksud tulisan ini lebih ke arah membuka cakrawala pandang kompromistis-alternatif. Bahwa apa yang terlihat buruk, tetap bisa ditaklukkan, atau minimal ditekuk-tekuk keberadaannya. Tak harus selalu konfrontatif. Seperti halnya ekskul English Club tadi, kenapa  gak sekalian dibikin Klub Tiga Bahasa. Lebih asyik lho singkatannya. Mau tahu singkatannya? KUTIBA. Gimana, mantap bukan?

06 Juli, 2022

Siswa, Murid, Pelajar, dan Peserta Didik, Mana yang Lebih Baik?

Tergelitik, itu mungkin ungkapan yang tepat, untuk menggambarkan apa yang ada di benak saya. Akibat dari membaca tak sengaja sebuah tulisan yang berisi perbedaan antara murid dan siswa. Dalam tulisan tersebut, makna "siswa" dipaparkan sebagai manusia yang mempunyai kepribadian kurang stabil, jauh dari kedewasaan. Berbeda halnya dengan arti "murid", dituturkan sebagai seseorang yang bersikap bijak. Dari pernyataan tadi jelas, kata "siswa" mengalami "character assasination". Sehingga menurut simpulan saya, kata "siswa" itu telah didiskreditkan.

Untuk memperkuat argumen saya, mari kita tengok pengertian keduanya di KKBI daring berikut ini:
a. Murid
Orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah)
b. Siswa
Murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah); pelajar

Dari sana kita tahu, kata "murid" dan "siswa" digunakan untuk saling menggantikan dan melengkapi dalam lingkup pendidikan. Bersamaan pula dengan kata "pelajar" dan "peserta didik". Empat serangkai ini dipakai secara konsisten dalam konteks yang berbeda-beda. Meskipun begitu, tidak ada dari keempat kosakata itu lebih unggul satu dengan yang lainnya. Artinya tidak terjadi pemeringkatan keberadaban.

Sebagai contoh, secara official ada istilah "wali murid". Dan tidak terdapat istilah "wali siswa", "wali pelajar", bahkan "wali peserta didik". Walaupun sebenarnya tetap dimungkinkan, utamanya pada "wali siswa". Lain hal ada pada istilah "perpisahan siswa" atau "penerimaan peserta didik baru". Begitu ajeg, kita memakainya seperti itu dan terasa klopnya.

Dengan demikian, memperbedakannya secara buruk justru akan menimbulkan percekcokan yang menguras energi. Anggap sajalah kata-kata tadi muncul untuk memperkaya khasanah kebahasaan kita. Oleh karena itu, mendinglah kita menempuh upaya-upaya yang mengandung perbaikan mutu pengajaran. Sebab sejak Era Reformasi hingga kini, kualitas output sekolah-sekolah kita semakin jauh panggang daripada api.

Sumber gambar: id.pinterest.com

28 Maret, 2022

,

Film Bocah, Memfasilitasi Sebuah Inisiatif


Jum'at kemarin, atau tepatnya tanggal 25 Maret 2022, anak-anak saya di Kelas V SDN Pandan II Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, membuat film bocah. Hal ini berawal, ketika saya menerangkan tentang jenis usaha yang ada di masyarakat. Salah satunya terkait tentang bidang kesenian. Dalam bidang tersebut terdapat banyak contohnya, termasuk film.

Saat saya menjelaskan tentang film, ada seorang anak yang berceletuk ingin membuat film dan teman-temannya juga menimpali dengan keinginan yang sama. Dan kebetulan saya pernah bermain di film pendek berjudul "Angel". Di sini tautannya: Film Angel. Film tersebut menceritakan tentang betapa susahnya pembelajaran jarak jauh atau disebut dengan PJJ. Anak-anak rupa-rupanya terinspirasi akan hal itu. 

Setelah selesai pemberian materi, saya setujui usulan mereka. Mereka saya ajak diskusi, tentang topik apa yang mereka akan angkat. Pertama-tama, ada yang mengusulkan tentang situasi saat berangkat ke sekolah. Semuanya setuju, namun setelah dipilih pemerannya, ada yang menolak. Akhirnya disepakati ganti tema. Tema kedua yang mau diusung adalah situasi saat menyelesaikan pekerjaan rumah. Dan secara mufakat, semua setuju. 

Sesudah membahas tema, ditentukan siapa yang akan menjadi pemeran utama. Kemudian anak-anak yang mendapat peran, mengajukan saran untuk tidak memakai nama asli. Karena dari sebelas siswa yang bermain hanya enam anak, maka yang lain membantu saya mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk memindahkan kursi dan meja kelas. Sebab pembuatan film ini mengacu pada konsep classroom-movie (film ruang kelas). Jadi semua adegan atau pengambilan gambarnya, dilakukan di dalam maupun di sekitar ruang kelas.

Selesai persiapan, dimulailah syutingnya. Karena aktor utama mempunyai porsi "berkata-kata" lebih banyak, menginginkan ada sedikit skenario. Hal ini pun saya turuti. Meskipun di saat diskusi disetujui untuk langsung berbicara tanpa script. Dan tiap peran sudah dibagikan jobdesk-nya. 

Dalam pelaksanaannya, film ini dibuat dengan menganut prinsip one shot movie. Yaitu dibuat tanpa pengulangan adegan, jadi hanya sekali ambil. Dan nyatanya sukses, walaupun kalau diperhatikan ada beberapa titik kekeliruan.  Dan saya rasa ini wajar, sebab baru pertama mereka bermain seperti ini dengan direkam. Di samping itu juga, karena menganut prinsip "sekali ambil" tadi. 

Lalu setelah usai pengambilan gambar, anak-anak bersepakat untuk membuat film mingguan. Dan hari yang dipilih adalah Sabtu, setelah pulang sekolah. Dengan pemainnya dibagi dua shift. Sehingga tiap anak hanya bermain dua kali dalam sebulan. 

Senang rasanya saya sebagai guru dengan inisiatif dan kreativitas mereka. Saya sadar bahwa tugas guru, salah satunya adalah untuk memfasilitasi beragam potensi yang ada di setiap anak. Sehingga potensi-potensi tersebut dapat berkembang. Dan membuat mereka dapat mengarungi lautan kedewasaan nantinya, tanpa rasa kecil hati. 

Penasaran dengan film bocah yang digarap anak-anak itu? Lihat di bawah ini!



27 Maret, 2022

,

Writing-Hibernation


Mungkin istilah di atas, tidak akan Anda temukan dimanapun saja. Sebab ini rekaan saya saja. Writing-hibernation adalah sebutan dari saya untuk kondisi seseorang yang melakukan jeda penulisan dalam kurun waktu tertentu. Biasanya terjadi dalam beberapa bulan (paling lama satu sampai dua tahun saja). Faktor pencetus penjedaan ini bisa terjadi karena beberapa hal.

1. Kehilangan Gagasan
Gagasan, tetaplah jadi biang kerok dari semua persoalan kepenulisan. Seakan apapun kegagalan atau ketidakaktifan, selalu ditimpakan ke dirinya. Makanya ketika terjadi ketiadaan produktifitas menulis, sudah jelaslah "siapa" yang ditunjuk sebagai aktor utama.

2. Kesibukan Kerja
Kesibukan juga merupakan hal kedua yang turut dipersalahkan. Padahal kalau dipikir, sesibuk apa sih manusia-penulis itu, sehingga tak sempat meluangkan waktu barang 15 sampai 30 menit? Dalam hal ini, kesibukan telah menyerupai dengan gagasan tadi. Mungkin lebih tepatnya tangan kedua.

3. Kekurangan Motivasi
Motivasi sudah lama memantapkan diri untuk menjadi jawara ketiga soal penyebab redanya semangat menulis. Karena memang motivasi adalah salah satu "pelita" yang suka memberikan iming-iming. Baik itu popularitas maupun penghargaan (termasuk uang di dalamnya).

4. Kejenuhan Pikiran
"Kok cuma gini-gini aja", adalah pikiran gelap yang sering menyelusup. Dan jika dibiarkan seperti api yang membakar kertas kering. Hal ini awalnya, bisa bermula dari poin ketiga. Apabila dibiarkan berlarut tentu akan menimbulkan kebencian terhadap hal apapun yang berbau kepengarangan.

Empat hal tadi adalah sesuatu yang biasa. Namun tidak lagi menjadi biasa, kalau empat hal itu bergabung. Sebab tak banyak penulis, apalagi yang masih amatiran kuat menahan rongrongan anarkisme mereka. Kemungkinan besar mereka akan tumbang. Akhirnya menggantungkan penanya untuk selamanya.

Sehingga writing-hibernation tak lagi berlaku. Karena sudah dalam tahap writing-elimination. Yang kelak selalu mereka rindukan dan ceritakan, kemanapun mereka melangkah. Sebuah kebanggaan semu yang menyilaukan.